Rabu, 16 April 2008

Dialog Dengan Marxis Pemuja Jawa

audara-saudaraku sekalian, dialog saya dengan pemuja Jawa yang bernama Roysepta Abimanyu berlanjut, dalam dialog kali ini akhirnya si pemuja Jawa ini menunjukkan jati diri aslinya yang seorang MARXIS/KOMUNIS.

Dalam dialog kali ini pula si pemuja Jawa ini menampilkan wajah aslinya, ternyata pernyataan-pernyataan bodohnya dalam dialog-dialog sebelumnya dengan saya ternyata hanyalah KAMUFLASE si pemuja Jawa ini untuk menyembunyikan maksud aslinya, ketika dia tampak bodoh di hadapan saya saat berbicara tentang antropologi, ternyata itu bukanlah pengetahuannya yang sebenarnya, sebaliknya ternyata dia sangat paham tentang antropologi, bahkan jauh lebih paham daripada saya sendiri. itu dia lakukan bisa jadi untuk menjebak dan memprovokasi saya untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang nantinya akan dia gunakan untuk menyerang balik saya (ini taktik khas Jawa yang sudah sangat saya hapal) atau itu dia lakukan semata untuk memanipulasi FAKTA bahwa keberagaman itu memang ada fakta bahwa GAYO/ACEH memang berbeda dengan JAWA.

Ternyata Roysepta Abimanyu yang MARXIS/KOMUNIS ini adalah seorang sarjana lulusan PERANCIS yang entah dengan maksud apa, justru sekarang berada di Aceh, bersama kita, berusaha merusak pemahaman kita dan berusaha menipu kita dengan membangun opini bahwa KEBERAGAMAN itu TIDAK ADA, Roysepta Abimanyu berusaha mengacaukan opini dengan menggambarkan bahwa seolah-olah INDONESIA ini adalah sebuah bangsa yang real bukan sebuah bangsa artifisial buatan Belanda.

Roysepta Abimanyu, ternyata sengaja mencari gara-gara dengan menyerang tulisan saya yang menolak ALA dengan maksud untuk membangun opini bahwa kamilah GAYO yang sekarang sedang menzalimi Jawa, bukan sebaliknya.

Saya tidak mengenal orang ini secara fisik, tapi kepada saudara-saudaraku saya ingatkan orang ini "had nyoe na diantara geutanyoe syedara lon ureung Aceh"...bahkan menurut pengakuannya dia sering minum kopi di Solong, karena itu berhati-hatilah atas semua gerakannya dan waspadai dan kenali pula taktik politik ala Jawa-nya.

Berikut ini dialog lengkap saya dengan si Pemuja Jawa yang ternyata MARXIST ini!

Kronologis lengkap perdebatan ini dari awal thread ini dibuka bisa dibaca di www.gayocare.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Roysepta Abimanyu : Bung Win Wan Nur,

Win Wan Nur : Iya Bung Roysepta Abimanyu, saya harap kali ini anda puas, nama anda saya tulis lengkap.

Roysepta Abimanyu : Win Wan Nur bagian dari Gayo, tapi Gayo tidak sama dengan Win Wan Nur.

Win Wan Nur :Ini adalah klaim khas anda berbungkus kata-kata canggih tapi pemahaman amburadul, mau bukti?...yuk kita blejeti pernyataan anda.

Pernyataan anda di atas adalah logika dasar yang sedikit anda pelintir sesuai karakteristik anda yang saya amati selama ini, premis pertama anda "Win Wan Nur bagian dari Gayo" benar karena Win Wan Nur memang adalah bagian kecil dari Gayo, tapi premis kedua anda "Gayo tidak sama dengan Win Wan Nur" ya salah besar (saya tidak mengatakan ngawur karena saudara kita di Kalimantan tidak nyaman dengan sebutan itu) karena bertentangan dengan premis pertama anda sendiri , karena Gayo sendiri adalah kumpulan dari individu-individu dan hanya disebut Gayo karena di dalamnya ada individu-individunya, salah satunya adalah Win Wan Nur...yang anda katakan secara sangat salah TIDAK SAMA DENGAN GAYO ini.

Jadi pernyataan anda di atas Jelas TIDAK LOGIS. Ngomong sok canggih seperti ini kan memang ciri khas anda yang seperti biasa juga ujung-ujungnya anda kelelep sendiri sama omongan anda, persis seperti tuduhan-tuduhan anda yang lain kepada saya seperti bilang saya STEREOTIP eh pas diblejeti kok ternyata anda sedang berbicara tentang diri anda sendiri.

Kalau mau main kata-kata begitu, ini saya benerin logika anda WIN WAN NUR adalah satu elemen kecil yang menyusun Gayo dan sekecil apapun elemen itu WIN WAN NUR adalah GAYO jadi WIN WAN NUR = GAYO meskipun jelas bukan SELURUH GAYO dan sayapun tidak pernah mengklaim Win Wan Nur adalah SELURUH GAYO.

Ini juga berlaku bagi orang-orang KP3ALA, Apakah karena Rahmat Salam dan Iwan Gayo adalah limbah-limbah suku kami lalu Rahmat Salam dan Iwan Gayo tidak sama dengan Gayo?...ya nggak begitu, mereka tetap saja Gayo, meskipun statusnya LIMBAH.

Kalau saya katakan Roysepta Abimanyu bukan bagian dari Gayo, tapi merasa lebih tahu dan lebih pintar soal Gayo daripada Win Wan Nur, ini lebih benar lagi dan nggak ada yang bisa membantah.

Begitu logika yang benar bung Roy...wah ternyata sebelum kita berdebat di Solong banyak sekali hal yang harus anda pelajari ya Roysepta Abimanyu.

Roysepta Abimanyu : Sebenarnya saya salut dengan determinisme anda untuk membuktikan bahwa pandangan anda tentang "Jawa" bukanlah pandangan stereotip.

Win Wan Nur : Anda ini sudah berkali-kali saya bilang, pernyataan anda tentang "saya yang menilai Jawa dengan pandangan stereotip" itu adalah imajinasi anda sendiri dan cuma eksis dalam fantasi anda sendiri, kok nggak ngerti-ngerti ya, pakai bilang salut dengan determinisme lagi.

Ya udah sekali lagi saya bilang, ide tentang saya yang menilai jawa secara stereotip itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah imajinasi di dalam kepala anda THOK, FAKTA yang sebenarnya adalah cara menilai secara STEREOTIP adalah cara khas anda dalam menilai, sebaliknya cara itu sama sekali ABSEN dari diri saya.

Tapi ngomong-ngomong soal salut sayapun jujur saja sangat salut dengan anda, jujur saya akui sejauh ini andalah lawan diskusi saya yang paling tahan lama

Roysepta Abimanyu : Begitu deterministiknya sehingga tidak telihat mana yang merupakan bumbu diskusi atau mana yang argumentasi serius.

Win Wan Nur : Ck ck ck, nggak bosan-bosannya anda ini pakai jurus Jawa yang udah terbukti nggak mempan ini, udahlah nggak usah mbulet dan muter-muter, tunjukkan saja mana bumbu diskusi yang nggak serius dan mana argumentasi serius menurut anda biar kita blejeti lagi.

Roysepta Abimanyu : Anda membawa ini menjadi persoalan "pemuja Jawa"

Win Wan Nur : Lagi-lagi, anda ini lempar batu sembunyi tangan, anda sendiri yang dalam seluruh tulisan anda yang begitu Jawa sentris, kok malah bilang saya yang membawa ini jadi persoalan.

Untuk membuktikan omangan saya mari kita baca tulisan anda yang tidak saya potong-potong ini, ini tulisan anda sendiri ketika anda berusaha membantah argumen saya yang mengatakan Jawa tidak militan :

"Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa? Anda bisa sebut PKI, DI/TII, PRD, Jamaah Islamiyah. Semuanya punya kader orang Jawa dan semuanya punya "masa tempur" yang panjang. Kalau soal "disiram peluru", anda mungkin belum mendengar pengepungan Kandang Menjangan (markas kopassus) oleh warga (yangmayoritas Jawa dan tak punya senjata), "pertempuran" Semanggi I dan II di mana fakta lapangan justru menunjukkan jumlah mahasiswa yang bertempur lebih
sedikit daripada warga setempat yang terlibat "pertempuran", dan saya yakin ada juga Jawanya tidak punya senjata ataupun struktur bersenjata seperti GAM. Atau anda mau dengar cerita ketika kantor Golkar Jatim dibakar massa Gus Dur? Sama juga, "disiram peluru" tapi masih ngelawan."

Dengan segala pemujaan ini, mengatakan di jawalah semua gerakan militan besar berasal, di jawa orang disiram peluru nggak lari dan mengatakan itu sebagai sifat militansi, untuk membantah argumen saya kalau Nilai-nilai luhur dalam budaya jawa tidak membentuk manusia Jawa memiliki sifat militan, masih mau ngeles bilang ini bukan omongan seorang pemuja JAWA...eh sekarang Anda memutar balikkan fakta dengan menuduh saya yang membawa persoalan ini menjadi persoalan "pemuja Jawa" he he he ..ini taktik basi bos, orang Aceh nggak sebego yang anda bayangkan, yang bisa tertipu dengan utak-atik gathuk mbulet-mbulet begini.

Karena dalam kacamata kami orang Aceh yang berkomunikasi suka terus terang dan apa adanya, Faktanya jelas urusan pemuja Jawa ini sama sekali tidak ada urusannyadengan saya, tapi KENYATAAN itu memang itulah yang tercermin dalam IDE yang ada dalam tulisan anda ingat bung Roy, ini diskusi milis saya nggak pernah tahu anda itu siapa secara genetik, saya tidak kenal Roysepta Abimanyu secara fisik, saya mengenal Roysepta Abimanyu hanya melalui IDE yang ada dalam tulisan anda.

Roysepta Abimanyu : dan "dipenuhi ide-ide Orde Baru".

Win Wan Nur : Inilah kalau anda terlalu larut dalam doktrin dan dogma, kemampuan menganalisa diri sendiri dan kemampuan berpikir kritis HILANG.

Soal tulisan anda dipenuhi Ide-ide Orde Baru ya memang begitulah faktanya, bahkan parahnya saya melihat ide-ide itu tidak datang dari kesadaran anda, tapi sudah tertanam di alam bawah sadar anda yang kental dengan doktrin ideologi MARXIS/KOMUNISTIK itu, kenapa saya katakan begitu?...karena anda saya lihat begitu mati-matian membantah keterkaitan ini dan jeals sekali anda tidak menyadari adanya keterkaitan tersebut, padahal meskipun katanya Orde Baru yang sangat anda benci itu sangat anti Komunis, tapi dalam prakteknya Orde Baru banyak sekali menerapkan ide-ide komunis yang salah satunya adalah ANTI KEBERAGAMAN.

Apakah ini cuma karangan saya karena saya benci Jawa atau saya sentimen pada anda?...mari kita buktikan, ingatkah anda pernah mengatakan TIDAK ADA SUKU YANG BERHAK MENGKLAIM TANAHNYA?...Semua suku itu pada dasarnya sama, Pengklasifikasian suku-suku di Indonesia itu tidak dikenal sebelum kedatangan Belanda dan pengklasifikasian suku-suku itu adalah hasil kerja para penjajah.

Semua propaganda kosong anda ini, Ini kan ide anti keberagaman individu, persis seperti pemaksaan satu kultur seperti yang dilakukan Soeharto dulu yang dengan kebijakannya menghancurkan seluruh sistem masyarakat di Indonesia di tingkat desa menjadi satu sistem seperti sistem desa di JAWA, sehingga keberagaman sistem sosial tingkat terendah yang bukan ala Jawa ini hanya tinggal bisa kita saksikan di BALI dan di beberapa kelompok suku pedalaman...kebersamaan dan anti perbedaan ini adalah IDE KOMUNIS.

Nah di sinilah letak kesamaan antara IDE KOMUNIS anda yang Marxist dengan IDE KOMUNIS Orde Baru yang Kapitalis nanggung yang katanya anti komunis itu.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda perhatikan, sekalipun saya menggunakan kutipan dari anda untuk memberikan kepada pembaca yang lain mana kalimat-kalimat yang anda bangun yang saya anggap sebagai ungkapan stereotip, saya tidak pernah memotong-motong jawaban penuh anda karena alasan irrelevansi. Saya ingin pembaca lain, terutama yang bagi pembaca yang baru mengikuti "perbincangan panas" ini, tidak kehilangan teks lengkap uraian yang saya kutip. Bahkan sering saya mengutip paragraf lengkapnya. Itu yang disebut fairness, apalagi
jika saya ingin memforward isi perbincangan ini ke milis lain, ataupun pembaca lain.

Win Wan Nur : Hua ha ha ha....asli saya ngakak membaca rengekan anda ini, lagi lagi anda pakai taktik basi strategi komunikasi ala Jawa yang penuh ewuh pakewuh yang sangat mengutamakan keindahan kemasan daripada isi, anda yang menyerang dan memprovokasi saya malah sengaja membuat diri seolah-olah sangat menderita sehingga yang terlihat seolah-olah sayalah yang menzalimi anda.

Benar taktik ini sukses diterapkan Soeharto pada Soekarno, Gus Dur pada Soeharto, Mega pada Gus Dur dan SBY pada Mega, tapi itu semua terjadi di Jawa bung Roy, bukan di Aceh ini, kalau di Jawa sikap menghiba-hiba seperti ini dianggap terhormat, di Aceh sini ya diludahi orang.

Gaya komunikasi saya yang praktis detail dan terbuka malah anda permasalahkan, saya memotong-motong itu bukannya menghilangkan konteks tapi justru memperjelas inti dari masalah yang anda permasalahkan, eh ini malah anda bilang saya tidak fair.

Lalu dengan sok bijaksananya anda bilang, anda nggak motong ucapan saya karena anda bilang "anda ingin pembaca lain, terutama yang bagi pembaca yang baru mengikuti "perbincangan panas" ini, tidak kehilangan teks lengkap uraian yang anda kutip?"..ini gaya ngeles khas Jawa dalam menyembunyikan ketidak mampuan anda yang tidak mampu mendebat saya dalam hubungan antara Gayo dan Jawa ini secara detail.

FAKTA yang benar mengenai keadaan ini adalah anda tidak memotong-motong tulisan saya secara detail adalah karena anda memang sengaja menghindari detail ketika mendebat saya, sebab anda memang tidak punya satupun ARGUMEN VALID untuk mendukung klaim-klaim dan fitnahan anda, modal anda mendebat saya cuma doktrin MARXIS/KOMUNISTIK di kepala anda itu ditambah sikap ewuh pakewuh khas jawa yang anda pakai buat ngelak kanan kiri waktu saya paksa untuk bicara detail.

Alasan sebenarnya kenapa anda tidak memotong-motong bahasan tulisan saya secara detail bisa jadi adalah karena argumentasi logis saya tidak sedikitpun memberi celah bagi anda untuk membuktikan bahwa argumen saya itu berdasarkan pandangan STEREOTIP. Tapi bisa juga nada punya alsan lain yang jelas bukan karena kebijaksananaan seorang Roysepta Abimanyu.

Mau bukti, silahkan balas semua argumen saya di tulisan ini secara detail, potong sesuka anda asal semua tulisan saya anda kutip utuh dalam seluruh bagian postingan anda?...buktikan anda memang punya argumen VALID dan mampu membahas relasi anatar Gayo dan Jawa secara detail, dan mampu membuktikan kalau semua argumen saya dasarnya adalah pandangan STEREOTIP. dengan begitu nggak perlu merengek-rengek bilang saya STEREOTIP lah Nggak fair lah, dan segala macam rengekan khas anak TK lainnya, kalau anda bisa menunjukkan klaim anda secara DETAIL anda bisa menunjukkan sendiri di mana letak tidak fairnya saya pada semua pembaca "perbincangan yang biasa-biasa aja tapi anda sebut "panas" ini (memangnya kopi pancung panas)...ha ha ha..santai sikit lah bos, nggak usah tegang kali!

Bicara soal fairness dan tidak kehilangan text, Anda pikir kami orang aceh yang membaca perdebatan ini sebegitu begonya yang cuma karena kalimat anda saya potong ini akan kehilangan pemahaman yang utuh atas kalimat anda?, Seperti saya katakan sebelumnya MASALAH TERBESAR anda adalah anda tidak bisa membedakan yang mana IMAJINASI anda sendiri dan yang mana KENYATAAN, sekali inipun yang anda permasalahkan itu adalah SUBJEKTIFITAS anda sendiri, dalam kepala anda anda mengkhayal kami ini Orang Aceh yang membaca perdebatan ini adalah kumpulan ORANG BEGO yang karena tidak seberuntung anda bisa kuliah di Perancis, sehingga tidak bisa menilai secara fair tulisan anda yang telah saya potong-potong agar pembahasannya lebih fokus.

Tapi apakah benar ORANG ACEH yang saya kirimi tulisan ini benar SEBEGO yang anda bayangkan?...apakah dengan pemotongan yang saya lakukan, mereka akan kehilangan pemahaman utuh tentang TEXT anda tersebut?...ya tentu saja tidak, itu cuma khayalan anda sendiri.

Toh kalaupun anda merasa sangat terganggu dengan gaya diskusi saya yang suka memotong kalimat agar permasalahannya jadi FOKUS ini, kenapa anda tidak mempost tulisan lengkap anda di milis-milis yang anda permasalahkan?...apakah saya pernah melarang?...atau malah apa saya punya kemampuan melarang?...bukankah sayapun tidak pernah meminta anda untuk menyerang saya, kelompok saya, suku saya dan bangsa saya?.

Terus selanjutnya mana lebih fair saya yang memotong-motong tulisan anda tapi memposting secara utuh, dibandingkan dengan anda yang sengaja mengelak dari argumen saya dengan membiarkannya tidak ditanggapi, lalu merengek-rengek di sini bilang saya tidak fair?

Kalau mau Fair...coba anda jelaskan kenapa anda tidak menjawab secara detail ketika saya kejar dengan pertanyaan atas pernyataan anda di bawah ini:

1. Ketika anda menyatakan tidak seorangpun yang berhak mengklaim tanah sebagai miliknya, saya bertanya "Kalau memakai logika Anda, kenapa Belanda diusir dari sini?, bukankah merekapun sebenarnya berhak atas tanah ini"

Mana jawaban detail anda untuk pertanyaan saya ini?...apakah sikap anda yang dengan sengaja mengelak untuk menjawab pertanyaan ini yang anda maksud lebih FAIR daripada memotong-motong kalimat anda yang tetap saya post secara utuh?

2. Ketika saya minta dijelaskan atas dasar dan maksud apa anda meletakkan angka 2000 di situ?

Mana jawaban detail anda?...anda hanya menjawab "Makanya, saya bilang, belum tentu 2000 tahun yang lalu ada orang Gayo di tanah Gayo. Di Eropa saja, setelah PD II rasanya tidak ada ahli sejarah berani mengatakan misalnya orang Jerman sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu di "tanah" Jerman". ...mana jawaban atas pertanyaan saya? jawaban seperti inikah yang anda sebut fair?

3.Ketika saya bertanya, tahu apa sih anda tentang aktor-aktor politik yang bermain di seputar isu ALA itu?, apa anda mengenal mereka secara pribadi?, apa anda tahu rekam jejak mereka, anda tahu siapa orang tuanya, anda tahu kultur seperti apa yang membesarkan mereka?

Anda jawab Yang terakhir, saya memang gak tinggal di Tanah Gayo, saya tinggal di Banda Aceh. Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik.

"Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik" Apakah jawaban seperti ini ANDAIKAN adalah merupakan bentuk pernyataan yang lebih Fair menurut anda?

Sudah begini apakah anda masih berani mengelak kalau saya bilang gaya berpolitik Ala Jawa sudah mendarah daging dalam diri anda?

Roysepta Abimanyu : Pertama, saya sedang setengah bercanda ketika saya bilang anda terselimpet soal nama saya. Saya sebenarnya tertawa ketika anda menuliskan "...mengaku bernama Roy Abimanyu". Ketika membaca itu, dalam benak saya, saya tersenyum sambil bertanya apakah ada "Roysepta Abimanyu" yang lain? He he.

Win Wan Nur : Bung Roy yang baik, harap anda sadari ini adalah diskusi milis, ekspresi anda hanya bisa saya nilai melalui tulisan anda, mana saya tahu mimik anda seperti apa ketika anda bilang saya terselimpet soal nama anda, yang bisa saya nilai dan saya tanggapi hanyalah apa yang anda tulis.

Tapi cara anda menghindar ini sama sekali tidak asing bagi saya karena cara anda ini memang tipikal strategi Jawa feodal dalam melancarkan kritikan terselubungnya atas pribadi si lawan. Strategi Jawa memang selalu menyiapkan "guyon" sebagai "safety net"-nya begitu si orang Jawa itu ditanya balik "kowe ngomong opo?" Ingat Semar dan para punakawan di pewayangan Jawa khan! jadi cara anda Itu adalah archetypenya Jawa dalam mengritik.

Roysepta Abimanyu : Dalam dunia anda, dari kalimat-kalimat yang anda gunakan, saya mendapatkan kesan bahwa ada representasi yang menyatakan bahwa Indonesia ini berada dalam hegemoni Jawa. Anda bukan satu-satunya, salah satu pendiri milis ini, Andreas Harsono, pernah mengkoinkan istilah Indopahit. Indonesia kelanjutan dari Majapahit. Banyak akademisi yang aktif dalam Indonesian Studies juga memiliki pandangan yang sama: sistem politik Indonesia disusun dan bertahan lama berdasarkan konsep Jawa tentang kekuasaan dan tatanan sosial. Pandangan ini banyak muncul dari akademisi yang meneliti tentang perilaku politik Orde Baru.

Win Wan Nur : Berarti kan memang pendapat saya itu bukan pendapat yang eksklusif-eksklusif amat, jadi kenapa anda bisa begitu terganggu dengan tulisan saya yang mencerminkan keprihatinan saya atas eksistensi SUKU SAYA?

Roysepta Abimanyu : Persoalannya adalah kalau kacamata ini digunakan sebagai alat satu-satunya untuk merepresentasikan aspek-aspek nasion Indonesia.

Win Wan Nur : Nasion Indonesia itu apa bung Roy?....

Kan saya pernah bilang yang mendefinisikan Indonesia itu Belanda, coba saja Sumatra waktu itu masuk Inggris seperti Malaysia, maka jangan harap Sumatra bakal menjadi bagian dari Indonesia sekarang karena pengalaman kami di sini jelas nggak bakal sama dengan Jawa dan dijajah Belanda. Dan nggak mungkin juga Jawa saat ini ngomong bahasa Indonesia yang adalah bahasa Melayu itu.

Omongan anda ini mengingatkan saya pada megawati Presiden yang paling nggak berkualitas yang pernah dimiliki negara ini bilang 'salah atau benar ini negaraku' Kembangkan omongan nasionalis yang buta sejarah itu menjadi 'salah atau benar ini adalah warisan Belanda yang musti 'tak pertahankan', maka Ngawurnya khan tambah kentara. (sori bung Muhlis, kata-kata ini terpaksa dipake lagi, soalnya saya kesulitan menemukan kata pengganti yang lebih halus)

Jadi kalau sekarang semangat kedaerahan muncul di mana-mana ya itu fenomena yang wajar saja, semangat itu muncul karena memang sekarang Belanda sebagai satu-satunya tali pengikat Nasion Indonesia sudah makin irrelevan buat Indonesia ini. Belanda itu adalah bayang-bayang Indonesia. Belandanya hilang, Indonesia ya jadi hantu karena kehilangan bayang-bayangnya.

Kalau sekarang MARXIS/ KOMUNIS seperti anda yang gila PENYERAGAMAN ini uring-uringan dan bikin macam-macam teori yang bertentangan dengan akal sehat untuk menutupi kenyataan bahwa Semangat kedaerahan itu memang ada, ya itu karena andanya sendiri yang memang tidak bisa berpikir dengan akal sehat dan orang seperti anda ini sebenarnya lebih layak dipajang di museum, negara komunis penganut Marxisme udah pada tumbang semua eh ini anda malah mau jualan makanan basi itu di tanah warisan endatu kami.

Roysepta Abimanyu : Saya ingat kalimat anda:"Anda mengatakan tidak pernah dibesarkan dalam kultur Jawa?...baiklah. saya tanya, anda sekolah sejak SD sampai sekarang di luar negeri kah?, apakah sejarah yang anda pelajari sejak SD bukan buatan pembuat kurikulum yang dipenuhi HEGEMONI kultur Jawa?...harap anda jawab pertanyaan ini."

Win Wan Nur : Benar sekali, sejarah yang saya pelajari sejak SD itu adalah buatan pembuat kurikulum yang dipenuhi HEGEMONI kultur Jawa, itulah sebabnya pertanyaan yang sama saya tanyakan pada anda, tapi untuk saya sejarah model itu hanya untuk dijadikan hapalan untuk lulus ujian saja, sebaliknya sejarah asli yang saya maknai membentuk diri saya sebagai manusia adalah sejarah asli BANGSA SAYA yang diceritakan turun-temurun oleh keluarga dan lingkungan saya.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda menggunakan ini sebagai definisi "hegemoni jawa", anda akan melupakan apa yang disebut perkembangan-perkembangan bentuk-bentuk dan relasi-relasi produksi, dengan kata lain: keberadaan kelas-kelas sosial, industrialisasi, dan seterusnya.

Win Wan Nur : Yang anda omongkan ini kan semua hapalan doktrin MARXIS/KOMUNIS, BASI, kalo ngomong sama saya yang jelas-jelas aja lah nggak usah mbulet muter kemana-mana menghindari detail, kalo mau mendebat saya tunjukkan saja dengan jelas mana itu perkembangan-perkembangan bentuk-bentuk dan relasi-relasi produksi, mana keberadaan kelas-kelas sosial, industrialisasi, dan seterusnya...nanti biar saya tunjukkan dengan detail KOSONG nya argumen anda.

Roysepta Abimanyu : Relasi kelas ini muncul di lingkup nasional, juga bersifat lokal. Elit politik di kabupaten/kota di luar Jawa tidak menggunakan konsep Jawa. Selain itu, pada jaman perkembangannya dan penyebarluasannya di Indonesia, pendekatan ini tidak mendapatkan kritik atau interogasi yang serius karena sudah dianggap "benar" secara akademis.

Win Wan Nur : sekali lagi saya bilang, yang sangat perlu anda pelajari sekarang adalah membedakan mana FANTASI mana KENYATAAN.

Roysepta Abimanyu : Pandangan kedua yang saya tahu mendukung teori hegemoni Jawa tidak terlalu "Jawa-sentris". Kalangan yang percaya dengan argumen ini mengakui bahwa kultur Jawa yang ada saat ini dibentuk oleh banyak faktor, termasuk faktor kekuasaan dan relasi kekuasaan di jaman kolonial.

Win Wan Nur : Seperti yang anda katakan PERCAYA ya namanya juga percaya mana bisa dibuktikan dengan penamatan panca indra, ya kepercayaan itu subjektif, hanya berlaku bagi si pemegang kepercayan itu sendiri...jadi argumen anda itu ya cuma berlaku bagi anda sendiri, sedangkan basis argumen saya kan selalu OBJEKTIF artinya bisa diamati oleh siapapun.

Saya kan sudah bilang, Jawa itu SINKRETIS mulai dari Jaman pra Hindu, Hindu- Buddha, Islam, Kolonial sampai hari inipun faktor utama yang membentuk kultur Jawa ya itu dan itu saja, karena apapun sistemnya apapun kepercayaan yang di anut, kepercayaan asli JAWA ya nggak hilang, tapi malah dicampurkan ke kebudayaan atau sistem yang baru itu (ingat Wayang Purwa), kebijakan Jawa sejak jaman Pra-Hindu dulu sampai sekarang ya tetap sama aja, itu ya tetap model kebijakannya SEMAR, cara berpolitik Jawa sejak jaman Pra -Hindu sampai sekarang ya begitu-begitu aja.

Roysepta Abimanyu : Namun di sisi lain, kalangan ini justru percaya bahwa tafsir Orde Baru tentang kebudayaanlah yang "Jawa-sentris".

Win Wan Nur : kan sudah saya bilang bos, namanya juga kepercayaan sifatnya ya Subjektif, kebenarannya ya terserah siapa yang menafsir.

Roysepta Abimanyu : Biasanya mereka menunjukkan penggunaan-penggunaan kata-kata Jawa/Sanskrit, seremonial Orde Baru yang penuh dengan "aura" Jawa, Soeharto yang meski telah mensahkan Ejaan Yang Disempurnakan tetap tidak kunjung hilang logat Jawanya yang kental, ataupun adanya tendensi sebagian pejabat Orde Baru mendekatkan diri pada citra "priyayi Jawa".

Win Wan Nur : Yang anda omongkan ini kan cuma bungkus, yang jadi masalah kan patronisasi tipikal orang Jawa yang suka mem-bapak-kan dirinya sendiri tanpa diminta siapa-siapa, jadi dia pun terus merasa punya hak budayawi untuk membimbing yang lain dalam konteks feodalisme budaya Jawa itu, lalu melakukan generalisasi ambil elemen yang serupa dari semuanya, bangun argumennya dari keserupaan itu, sambil terus menindas perbedaannya di tingkat detail ...ini yang dilakuan Suharto dan sekarang mau anda terapkan di Aceh.

Roysepta Abimanyu : Pandangan ini disempurnakan oleh sebuah argumen bahwa kultur Jawa sebenarnya tercipta menjadi "sopan", "penuh nilai-nilai adil-luhung", karena relasi kekuasaan tidak langsung yang melibatkan Belanda dan bangsawan Jawa dalam mengontrol rakyat Jawa.
Orde Baru mengadopsi kultur bangsawan Jawa karena ingin melegitimasi dirinya sebagai kekuasaan kultural dan menggunakan ritual bangsawan Jawa untuk merepresentasikan masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang tertata dan stabil.

Win Wan Nur : Anda baca nggak sih penjelasan saya tentang Wayang Purwa?...jauh sebelum Belanda apalagi Orde Baru, jawa ya memang sudah begini.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda ingin menggunakan argumen ini juga punya masalah. Pertama, bangsawan Jawa bukanlah totalitas Jawa secara keseluruhan, apalagi nilai-nilainya. Daerah-daerah yang dapat mewakili kebudayaan kelas ini berpusat secara geografis di Jogjakarta dan Solo. Orang-orang yang dikategorikan oleh Belanda kolonial sebagai Jawa saling berbeda satu sama lain dengan folklore, dialek, dan tradisi yang berbeda-beda. Ketika anda bicara "Wayang Purwa", saya bertanya bagaimana dengan budaya Jawa lainnya yang populer namun sama sekali tidak berhubungan dengan Keraton-Keraton Jawa, semisal Ketoprak atau Warok Ponorogo? Kedua, yang lebih mendasar, ketika kultur Jawa dan "nilai-nilai luhurnya" yang diadopsi merupakan ciptaan para bangsawan yang berada di tengah-tengah antara masyarakat yang diperas/dijajah dan kekuasaan kolonial Belanda, bukankah sangat mungkin Orde Baru juga bisa menciptakan "kultur Jawa" versinya sendiri, yang lebih diimprovisasi dan dicampur-adukkan dengan elemen-elemen nasionalisme-populis Soekarno, jargon-jargon liberal Barat, fasisme Jepang, teknokratisme Amerika secara bersamaan? Ketiga, upaya merepresentasikan masyarakat Jawa sebagai tertata dan stabil sangat terganggu dengan periode 1945-1965, sebuah periode di mana "tertata dan stabil" digugurkan oleh pergolakan politik pemberontakkan, pembunuhan politik, pembantaian) di Jawa.

Soal Pembahasan Antropologi/Etnografi

Sebenarnya, tadinya saya gak ingin berbicara panjang-panjang soal ini ketika saya ngomong soal ilmuwan Eropa yang meletakkan dasar etnografi di Nusantara. Karena anda langsung menuduh saya menyatakan "bullshit" atas kerja mereka, yah saya harus klarifikasi. Saya menggunakan kaca mata yang berbeda, saya bicara tentang relasi kekuasaan kolonial yang menggolong-golongkan penduduk nusantara ke dalam kelompok-kelompok etnis dan ras. Ada banyak penelitian sebenarnya menemukan bahwa "tradisi", "folklore", bahkan identitas dan sense of belonging berbagai etnis/suku di nusantara justru muncul setelah proses penggolongan-penggolongan ini.

Sama seperti penyusunan peta dalam geografi, penelitian etnografi kolonial sebenarnya untuk persoalan governmentality, urusan bagaimana pemerintah kolonial bisa memerintah dengan pendekatan yang sekarang disebut "customised". Di sini bukanlah persoalan devide et impera yang sering dibesar-besarkan oleh pendidikan sejarah indonesia di bawah semangat Moh. Yamin, ini justru salah satu perhatian elit kolonial dalam konteks politik etis yang ingin berkuasa dengan cara-cara yang canggih, tidak menggunakan kekuatan kasar. Yang ingin digunakan adalah semacam kekuasaan yang bisa cocok dengan rakyat jajahan yang beragam etnis. Setidak-tidaknya ada 19-20 wilayah yang dihasilkan dari studi etnografi kolonial Belanda, di mana Belanda memberlakukan hukum adat setempat sebagai elemen kekuasaannya, dan
tentunya seperangkat elit setempat yang telah dijinakkan untuk melengkapi administrator-administrator kolonial.

Artinya, kalau saya kemudian menggunakan paragraf di bawah ini, maaf saja, saya tidak sedang bicara pembahasan antropologi.

"Orang yang tinggal di Bogor, Purwakarta,Bandung dst dikategorikan Sunda, orang yang tinggal di semarang, solo, dst dikategorikan jawa. Padahal kesamaannya lebih di bahasa, sementara adat-istiadatnya ternyata berbeda-beda, sistem politiknya juga berbeda-beda. Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut, banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20, yang kurang lebih berarti terpengaruh oleh penggolongan-penggolongan kolonial. Sebagai contoh, tak banyak orang yang tahu bahwa Tari Kecak adalah hasil koreografi abad 20, orang lebih banyak langsung mengkategorikan sebagai "tradisi" bali."

Saya sedang bicara tentang relasi kekuasaan yang ada pada imaginaries orang tentang identitas mereka, tentang bagaimana tafsiran kolonial atas masyarakat-masyarakat nusantara membentuk konstelasi etnis di Indonesia hingga saat ini.

Win Wan Nur : Bravo...Bung Roy...Bravo, terima kasih atas penjelasan anda, akhirnya anda menunjukkan jati diri asli anda sekarang, sekarang saya jadi tahu persis kalau anda ternyata bukanlah orang yang sebego dan sementah yang anda tunjukkan dalam diskusi-diskusi kita terdahulu, ternyata banyak hal yang sengaja anda sembunyikan untuk dijadikan senjata pamungkas buat menghancurkan saya dan usaha saya mempertahankan EKSISTENSI SUKU SAYA....Bravo.

Terimakasih dengan penjelasan anda ini saya jadi sangat mengerti kalau ternyata anda menyimpan maksud tertentu ketika anda mengatakan Suku-suku di Indonesia membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal. Adalah lmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia.

Saya jadi mengerti sekarang, ternyata semua itu anda katakan bukan karena ketidak tahuan anda akan ANTROPOLOGI DASAR bahkan sebaliknya ternyata ilmu ANTROPOLOGI yang anda miliki sudah mencapai tingkat sangat canggih yang jauh di atas saya, he he he...apa yang sebenarnya anda sembunyikan bung Roy?

Apa rencana anda ketika dengan sengaja memelintir, fakta keberagaman ini sudah ada jauh sebelum Kolonial Belanda ada tapi anda katakan keberagaman ini adalah hasil kreasi Imperialis?

Roysepta Abimanyu : Saya sedang bicara bagaimana imaginaries kolonial tersebut menempatkan etnis-etnis tersebut ke dalam wilayah-wilayah yang mereka tentukan boundariesnya. Ini sebenarnya mirip dengan bagaimana kekuasaan kolonial lainnya (Inggris, Prancis, dan Belgia) membagi-bagi wilayah mereka di Afrika, yang kemudian menjadi sekian negara-bangsa baru. Saya sebenarnya sedang membicarakan geografi dan geopolitik, di mana interaksi spatial kekuasaan diperhitungkan identitas sebuah masyarakat sebagai entitas
politik. Dan saya berani bilang, itu memang pengaruh Eropa.

Win Wan Nur : Kalau soal penjelasan anda ini saya tidak akan mendebat anda, anda yang kuliah di Perancis jelas lebih tahu tentang daerah sejarah, sosiologi, antropologi dan apapun tentang negara itu daripada saya dan silahkan ngomong dan pamer sesuka anda soal ini, saya berterima kasih anda telah memberi saya informasi baru ini, tapi penjelasan dan pengetahuan anda yang mendalam tentang Eropa dan Africa ini...masalahnya adalah anda MAKSA menggunakan pengetahuan anda ini untuk digeneralisasikan ke hubungan antara Gayo dan Jawa hasilnya ya tetap saja tidak membuat teori anda yang mengatakan keberagaman ini hasil kreasi Imperialis menjadi relevan dan MASUK AKAL ketika teori itu anda gunakan untuk mendebat saya saat saya sedang berbicara tentang hubungan antara GAYO dengan JAWA.....FOKUS BUNG ROY...FOKUS, jangan ngelantur kemana-mana yang kita omongkan dan perdebatkan berhari-hari ini bukan relasi antara Jawa dengan Sunda atau Jawa Tengah dengan Jawa Timur tapi relasi antara GAYO dengan JAWA!

Roysepta Abimanyu : Ada bedanya pengamatan jujur yang memperhatikan setiap orang pasti berbias, dengan pengamatan "objektif" atau "raw data" tapi melupakan fakta bahwa semua orang punya bias.

Win Wan Nur : Siapa yang lupa?, di dunia ini memang mana ada pemahaman yang 100% sama, barang nyata seperti korek api atau Zippo pun bias nilai dan maknanya bagi perokok dan bukan perokok, biarpun kedua penilai itu sama-sama setuju benda nyata itu adalah Zippo, apalagi budaya yang bentuknya lebih abstrak ini, anda yang sedikit banyak terpengaruh kultur jawa otomatis dalam setiap penilaian anda yang njawani yang penuh ewuh pakewuh, ya tentu saja menilai dengan cara itu, sayapun demikian semua penilaian saya ya tentu saja tidak bisa lepas dari gaya ke-Aceh-an saya yang terus terang.

Tapi saat secara objektif melihat faktanya, baik anda yang Jawa maupun saya yang Aceh, ketika melihat Jawa dimana-mana banyak yang sukses jadi pembantu, Minang dimana-mana suka merantau banyak yang sukses jadi pedagang, cina yang selalu tertekan tapi sangat kuat memegang nilai budayanya cenderung lebih sukses dalam hal apapun dibanding suku lain di Indonesia...yang kita lihat ya sama saja, Minang yang perantau sukses berdagang, Jawa yang rajin sukses jadi pembantu maupun Cina yang sangat gigih berusaha, sukses di sekolah, berdagang, bermusik atau berolah raga.

Bias ada ketika yang kita nilai itu adalah nilai atau makna kesuksesannya, nilai sukses dalam kaca mata Jawa pasti ada perbedaan dengan nilai sukses dalam kaca mata Aceh.

Roysepta Abimanyu : Bung Win, saya agak bingung melihat anda sangat "fasih" dalam antropologi, bahkan senang mempelajari kebudayaan dan bahasa etnis lain, tapi menggunakannya untuk menjustifikasi pandangan-pandangan anda berbias etnisitas.

" Tentu saja ada, ya kami orang ACEH yang berhak melakukannya, hal itu berhak kami lakukan kalau kami merasa keturunan transmigran Jawa yang bukan "pemilik sah" tanah GAYO tersebut mulai berlaku kurang ajar terhadap kami PEMILIK SAH TANOH GAYO, ketika mereka dengan pongahnya menghadap Priyayi di tanah leluhur mereka sana dengan mengenakan BLANGKON, mengaku sudah jadi Mayoritas di TANAH KAMI dan mengklaim TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI sebagai Tanah mereka dan dengan lancang minta mendirikan provinsi baru dengan
menggunakan bahasa KROMO INGGIL yang dalam budaya Jawa dipakai sebagai sikap menyerah dan mecerminkan sikap INFERIORITAS TOTAL."

Win Wan Nur : Bung Roy, siapa sih orangnya yang 100% bisa lepas dari bias etnisitas?...kecuali memang orang itu tidak punya dasar identitas etnis sama sekali, saya sendiri dalam menilai tentu secara naluriah akan sangat terpengaruh oleh nilai-nilai yang ditanamkan dan membentuk pribadi saya, anda sendiripun ketika memandang dan menilai saya mana bisa lepas dari bias kejawaan yang entah darimana asalnya anda tidak pernah mau mengakui, tapi terbukti ada dalam pribadi anda.

Berdasarkan pemahaman itu, kalau anda jujur dan keberadaan anda di negeri kami memang karena niat baik, anda yang lulusan Perancis yang sangat pintar, memiliki basis teori dan data yang sangat kuat tentu akan sangat maklum dan paham alasan saya mengeluarkan pernyataan saya di atas adalah cuma satu yaitu karena EKSISTENSI SUKU KECIL KAMI diancam oleh ETNIS TERBESAR di negara ini.

Tapi bersama-sama kita saksikan yang terjadi kan tidak seperti itu, anda yang ternyata sangat paham alasan saya mengeluarkan pernyataan itu justru memojokkan dan menjebak saya dan semua orang yang membaca postingan anda untuk sampai ke satu kesimpulan bahwa SAYA Win Wan Nur yang menulis penolakan atas ALA atas nama kelompok saya FPPG yang merupakan satu elemen dari suku saya GAYO yang merupakan salah satu elemen penyusun bangsa saya ACEH ...STEREOTIP memandang Jawa.

Bermodalkan teori dan data yang sangat kuat yang anda miliki, terlihat jelas anda bukannya mendukung usaha kami membela diri, tapi sebaliknya tujuan anda justru untuk menggiring opini pembaca, bahwa dalam konflik ini justru kami Gayo yang 4 orang diantaranya baru-baru ini dibakar hidup-hidup inilah yang mengancam JAWA, dengan pengetahuan yang anda miliki anda berusaha membangun opini bahwa justru JAWA lah yang merasa terancam dan untuk itu keberadaan mereka di negeri kamilah yang harus dilindungi, bukan sebaliknya.

Saya sama sekali tidak menggunakan pengetahuan saya tentang kebudayaan dan bahasa etnis lain untuk menjustifikasi pandangan-pandangan saya yang berbias etnisitas, kalau anda memakai kutipan tulisan saya di atas sebagai BUKTI bahwa saya melakukan justifikasi atas pandangan-pandangan saya yang berbias etnisitas, anda tentu lebih tahu lagi...pernyataan saya itu hanyalah reaksi, ada FAKTOR LUAR yang membuat saya mengeluarkan pernyataan seperti yang anda kutip itu...dan tampaknya FAKTOR ini berdasarkan prinsip fairness menurut anda tidak perlu anda jelaskan kepada para pembaca tulisan anda.

Bung Roy...anda pernah bertanya kenapa saya mempost diskusi kita ke berbagai milis, hari ini saya jawab alasan inilah yang membuat saya mem-POST semua isi perdebatan kita ini ke milis-milis yang dihuni orang Aceh, ingat bung Roy HANYA KE MILIS-MILIS YANG DIHUNI ORANG ACEH, itu saya lakukan supaya saudara-saudara sebangsa saya tahu, kalau di tengah mereka, di Solong tempat nongkrong mereka ada satu makhluk yang sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa kami ACEH, orang itu bernama ROYSEPTA ABIMANYU seorang Sarjana Cerdas yang pernah jadi Ketua Bidang Ekonomi PRD (bahkan mungkin masih sampai sekarang) berniat tidak baik terhadap bangsa kami .

Roysepta Abimanyu : Tapi ketemu jawabannya, Koentjaraningrat! Anda menyuruh saya meminjam buku Pengantar Antropologi karangan Koentjaraningrat di UNSYIAH. Terlepas dari jasa besarnya Koentjaraningrat, kita singkat saja K (kalau saya sebut Pak Koen atau RMK-Raden Mas Koentjaraningrat, nanti dituduh pemuja Jawa) dalam membawa fondasi ilmu antropologi dan metode kuantitatif di Indonesia, konten
teoritik yang dibawa K berada dalam cita-cita Pembangunanisme yang kebetulan sejalan dengan semangat Orde Baru, yang menurut anda dihegemoni Jawa itu. Selain karena kegigihannya ingin mengubah mentalitas pribumi untuk pembangunan, karya dia menyebarluas seiring dengan banjir proyek penelitian kultural, baik dari ORBA maupun kampus luar negeri. Selain itu metode kuantitatif yang diperkenalkannya lebih sering dijalankan untuk menjustifikasi politik kebudayaan dan pendidikan ORBA. Tetapi ini memang tidak menggerus kualitas karya-karya intelektual K, sampai-sampai Anda merekomen karya orang yang anda sebut "pasti sukses kalau jadi pembantu".

Win Wan Nur : Hampir semua pernyataan anda ini tidak saya bantah, saya mengajukan nama Koentjaraningrat semata karena melihat parahnya argumen anda ketika mengatakan "Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut,
banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20." Terbukti kemudian ternyata sikap SOK BEGO anda ini hanyalah kamuflase anda dan ini anda lakukan kalau bukan bagian dari strategi yang telah anda rencanakan untuk digunakan buat menyerang saya, ketika saya merespon jebakan anda ini. Ketika saya melihat pengetahuan anda itu anda gunakan untuk menjustifikasi pandangan KOMUNISTIK anda bahwa KEBERAGAMAN ITU TIDAK ADA.

Dan seperti biasa pula di paragraf inipun anda sengaja memelintir pernyataan saya yang mengatakan "orang suku Jawa selalu menjadi yang paling sukses berkarir sebagai pembantu rumah tangga" yang saya bandingkan dengan suku-suku lain menjadi "pasti sukses kalau jadi pembantu"...yah nggak apa-apalah Bung Roy saya sudah sangat paham, ini memang strategi khas anda.

Dalam paragraf ini ketika anda mengatakan (kalau saya sebut Pak Koen atau RMK-Raden Mas Koentjaraningrat, nanti dituduh pemuja Jawa) sekali lagi pola anda tidak berubah, yang anda lakukan selalu menggiring opini pembaca kalau saya yang pada awal thread ini menulis atas nama kelompok saya FPPG yang merupakan satu elemen dari suku saya GAYO yang merupakan salah satu elemen penyusun bangsa saya ACEH ini RASIS, bukankah sejak awal saya katakan sikap RASIS absen dari diri saya, saya berulangkali mengatakan bahwa saya tidak pernah menilai MANUSIA dari sisi GENETIKNYA semua penilaian saya terhadap JAWA adalah pengamatan JUJUR saya, buktinya saya tetap merekomendasikan Kuntjaraningrat yang tentu saja anda tidak sangat naif menduga bahwa saya tidak mengetahui kalau SECARA GENETIK Raden Mas Koentjaraningrat adalah JAWA.

Roysepta Abimanyu : Saya lebih tersenyum lagi ketika anda bicara ilmu antropologi bisa menjelaskan masyarakat Perancis itu adalah hasil proses asimilasi. Setahu saya, banyak akademisi yang meragukan klaim "nos ancestres, les gauls" karena bahasa Perancis itu yah hasil penaklukan yang menempatkan bahasa Oeïl sebagai bahasa legitime, menghancurkan bahasa Oc, Breton, Alsace, dan Basque. Prosesnya, terjadi mulai akhir jaman monarki absolut, diperkuat dengan pelarangan penggunaan bahasa lokal selama ratusan tahun yang dimulai
oleh rejim revolusioner. Bahasa Oeïl, sebagaimana Oc, sebenarnya berasal dari Latin, dibawa para plebeian yang menjadi legiuner Romawi, yang digunakan luas di region parisien. Kalau anda senang membaca komik Asterix, sebenarnya Gosciny dan Uderzo sedang mengkritik apa yang mereka sebut Latinisasi (makanya musuhnya Romawi), dan kalau anda lihat wilayah desa Asterix, itu adalah Bretagne, tempat tinggal orang-orang Breton. Rejim revolusioner yang baru berkuasa sejak 1789 memiliki strategi penyatuan bahasa untuk kepentingan politik mereka, pembentukan dan pembentukan kembali struktur mental masyarakat. Namun, penaklukan bahasa berdampak pada hilangnya identitas etnis. Nah kalau klaim Galia nenek moyang Perancis dipakai, kenapa bahasa Breton dilarang selama ratusan tahun? Jadi kalau ini bisa disebut asimilasi, wah mengerikan juga ya hasil membaca Koentjaraningrat.

Win Wan Nur : Ha ha ha...Khusus untuk yang ini Bung Roy anda sangat pantas tersenyum, malah saya pikir anda ini adalah pribadi yang dingin sekali karena cuma tersenyum, soalnya saya malah ngakak ketika membuka website anda dan membaca latar belakang anda lalu membaca sebuah tulisan anda tentang Politik Bela diri Uni Eropa yang telah dimulai sejak masa perang dingin dalam bahasa Perancis yang sempurna (dengan menggunakan diri saya sendiri yang kalau di test DALF mungkin levelnya paling jauh hanya A2 sebagai pembanding tentunya), saya lebih ngakak lagi ketika membaca ulang pernyataan SOK TAU saya saat menanggapi pernyataan anda tentang sejarah terbentuknya Bangsa Perancis, jadi soal Perancis dengan segala sejarah dan permasalahannya...sejujurnya dari lubuk hati saya yang paling dalam tanpa ada intrik apapun saya katakan bahwa Win Wan Nur tidak akan cukup bodoh untuk DUA KALI pamer KETOLOLAN di milis ini berdebat tentang Perancis dan segala permasalahannya dengan anda Roysepta Abimanyu yang merupakan seorang sarjana lulusan Perancis, bahkan KHUSUS UNTUK BAGIAN INI saya dengan sukarela memposisikan diri sebagai MURID terhadap ANDA (dans cettes matieres vous etes mon professeur) dan dengan ini saya akui pula kalau pernyataan saya sebelumnya yang melecehkan anda ketika menjelaskan tentang Perancis, adalah terjadi semata akibat KEBODOHAN saya yang alpa mengenal latar belakang anda.

Tapi soal Koentjaraningrat, itu soal yang berbeda, saya rekomendasikan Koentjaraningrat kepada anda karena dalam pengkategorian antropologi ala Anda itu, saya melihat anda SECARA LICIK sangat menonjolkan pada pentingnya fungsi "tradisi" inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20 dalam pengkategorian itu, dan sejujurnya KELICIKAN anda itu baru dapat saya lihat sekarang, saat mengomentari tulisan anda yang lalu, saya benar-benar jujur dan polos ketika mengatakan "pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL", pernyataan saya itu keluar betul-betul berdasarkan pemahaman saya atas anda saat itu, tidak ada TRIK SULAP ala Ken Arok.

Saat itu saya benar-benar tidak tahu latar belakang anda, tapi sekarang setelah saya tahu latar belakang anda, ya pandangan saya terhadap anda tentu lain lagi, sekarang saya jadi tahu persis kalau anda tidak mungkin tidak paham detail-detail kecil remeh temeh seperti itu, maka melalui pemahaman saya yang baru terhadap anda ini, ketika saya melihat dengan jelas bagaimana anda memelintir pengkategorian suku-suku itu untuk menggiring pemahaman saya dan pembaca diskusi ini menuju satu kesimpulan bahwa KEBERAGAMAN ITU BIKINAN IMPERIALIS... yang terjadi sekarang justru saya jadi bertanya-tanya, apa maksud keberadaan seorang MARXIS lulusan Perancis secerdas dan sepintar anda di Tanah Warisan Endatu kami ?!

Roysepta Abimanyu : Di satu sisi fasistik, di sisi lain seperti membela hak masyarakat indigenous, seperti dua paragraf ini:

"Ya tentu saja ada, bahkan sudah pernah dilakukan oleh Soekarno dan Seoharto dulu, di masa Soekarno mereka diusir ketika
mereka tidak mau memilih jadi WNI dan di masa Soeharto mereka diusir ketika mereka diangap tidak mau melebur dengan suku bangsa asli
pemilik SAH Bumi Nusantara ini.

Di luar Indonesia ada juga negara yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk
asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat negara sendiri di Tanah yang mereka Datangi...contohnya adalah NEGARA SINGAPURA, Australia dan Selandia Baru, di ketiga negara tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran yang tidak bebas menjalankan adat budaya maupun agama mereka, kami ORANG GAYO tentu saja tidak mau bernasib seperti para penduduk asli itu."

Win Wan Nur : Hua ha ha ha....asli diskusi dengan anda kali ini betul-betul mengocok perut saya Bung Roy, seperti inikah bentuk fairness versi anda yang anda sebut dan anda dengung-dengungkan di awal tulisan tadi?

Mau kuliah di Perancis kek mau di Planet Mars sekalipunpun sekali Jawa ya tetap Jawa, trik berpolitiknya ya nggak berubah mulai dari Zaman Ken Arok dulu sampai sekarang. Polanya persis, memprovokasi terus menggunakan reaksi orang yang diprovokasi sebagai senjata. dengan menyembunyikan beberapa fakta tentunya, sayangnya strategi yang berkali-kali anda ulang ini sudah sejak awal terbukti gsgsl kok masih saja anda ulang bung Roy?.

Bung Roy yang Marxis/Komunis...yuuk kita telusuri awal mula, asal muasal saya mengeluarkan tulisan yang secara sangat manis dan lembut anda kutip itu.

Tolong Bung Roysepta Abimanyu menuliskan angka 14176 di box kecil bertuliskan message # di bagian atas daftar postingan milis pantau komunitas ini kemudian klik Go... lalu setelah terbuka anda baca seluruh isi paragraf ke 9 kemudian lihat sendiri nama yang mempost tulisan itu dan anda akan segera tahu siapakah yang memprovokasi saya dengan dua pertanyaan di bawah ini sehingga menghasilkan jawaban seperti yang anda permasalahkan itu :

1.Apakah ada yang berhak mengusir para keturunan transmigran Jawa, karena mereka bukan "pemilik sah" tanah tersebut?

2.Atau apakah ada yang berhak mengusir keturunan Tionghoa dari Indonesia karena mereka adalah pendatang?

Lalu Bung Roysepta Abimanyu yang pintar silahkan ketik angka 14197 ditempat yang sama seperti tadi kemudian klik Go... silahkan baca PARAGRAF no.69 yang ketika mengutip tulisan saya ini sengaja anda buang, bukankah justru paragraf No.69 yang sengaja anda buang itulah yang paling JELAS menunjukkan posisi saya atas provokasi orang yang menulis kedua pertanyaan itu?

Apakah isi paragraf kalimat saya yang secara sangat JUJUR dan FAIRNESS telah sengaja dihilangkan oleh ROYSEPTA ABIMANYU si MARXIST/KOMUNIS Jawa yang gaya dan strategi berpolitiknya PERSIS sama seperti gaya dan strategi berpolitiknya Ken Arok dulu?

Saudara-saudaraku sekalian inilah kalimat saya yang dengan sengaja telah dihilangkan oleh si MARXIS lulusan PERANCIS ini :

Meskipun tentu saja IDE pengusiran seperti yang anda provokasi-kan ini adalah hal terakhir yang kami pilih, sejauh ini kami masih beranggapan, saudara-saudara Jawa kami tersebut hanya terprovokasi oleh Raja-raja kecil yang terancam kehilangan kekuasaan.

Roysepta Abimanyu : Saya tidak punya fantasi apa-apa tentang anda, tentang Orang Gayo, lah kok sekarang tiba-tiba saya dituduh punya prasangka orang Aceh/Gayo (lebih luas lagi ya?).

Win Wan Nur : Kalau anda memang jujur dengan pernyataan saya ini, kenapa anda yang tidak bereaksi apa-apa ketika Limbah-limbah suku kami memprovokasi saudara-saudara kami Jawa kelas pekerja korban Priyayi di tanah leluhur mereka sana berdemo ke Jakarta secara VULGAR menggunakan BLANGKON, berbahasa KROMO INGGIL mengatakan mereka sudah mayoritas di Tanah Muyang Datu kami, lalu dengan alasan itu minta Jakarta membentuk provinsi baru?...tapi merasa begitu terganggu dan bereaksi begitu keras terhadap saya yang cuma bereaksi atas provokasi yang mereka lakukan dengan sangat VULGAR terhadap suku kami itu?...kenapa anda justru menuduh saya yang STEREOTIP?

Roysepta Abimanyu : Saya cuma membaca tulisan anda, dan kemudian mengatakan:
penilaian anda tentang orang Jawa (cocok jadi pembantu) itu stereotip, sama stereotipnya dengan imajinaries orang di Jawa tentang Aceh yang dilukiskan suka berperang oleh media di Jakarta. Maaf saja, saya tidak memfitnah, saya menilai dengan bukti-bukti tertulis dari anda sendiri. Perlu saya list?

Win Wan Nur : Apanya yang Stereotip?...dan ngapain juga perlu anda list , saya memang betul ngomong begitu kok karena faktanya Jawa memang dibentuk oleh budayanya untuk cocok jadi pembantu, nggak ada yang stereotip di sini ITU FAKTA buktinya lihat saja di mana-mana mulai dari Jawa sendiri, di Aceh sini, di Medan, di Bali sampai Malaysia, Singapura, Hongkong sampai Arab Saudi, Jawa memang terbukti cocok jadi pembantu dan mereka rata-rata SUKSES melakoni profesi itu, karena karakter mereka yang dibentuk oleh nilai-nilai luhur budaya mereka memang membuat mereka cocok melakoni jenis pekerjaan itu.

Terus anda bilang imajinaries orang di Jawa tentang Aceh yang dilukiskan suka berperang oleh media di Jakarta sebagai Stereotip?...di mana letak Stereotipnya?...Faktanya orang Aceh memang suka berperang kok, generasi keluarga saya saja sejauh yang sempat saya kenal melalui cerita turun temurun mulai dari kakeknya kakek saya, cuma generasi bapak saya saja yang nggak pernah ikut perang, sisanya termasuk saya semua tumbuh besar dalam Perang. dan kisah seperti ini bukan cuma kisah eksklusif keluarga saya saja, melainkan kisah hampir semua keluarga Aceh. Nggak ada yang stereotip di sini ITU FAKTA.

Konflik yang timbul di Aceh selama berada di bawah pemerintahan Indonesiapun kan masalah utamanya sebenarnya hanya ini, Indonesia di bawah Orde Baru yang isinya orang-orang KOMUNIS seperti anda ini (bedanya cuma di sistem ekonominya Komunis Orde Baru menganut Kapitalis tanggung), berkeras bikin teori yang berlawanan dengan FAKTA, berkeras bilang bahwa KEBERAGAMAN itu tidak ada, KEBERAGAMAN itu cuma hasil kategorisasinya BELANDA, oleh orang-orang model anda ini karakter semua suku yang karena sama-sama HOMO SAPIENS ini dianggap sama semua.

Konflik terjadi karena orang Jawa yang nilai-nilai luhur budaya mereka menciptakan mereka cocok jadi pembantu, menilai dan memperlakukan Aceh yang suka berperang dengan acuan nilai-nilai luhur budaya mereka, ya jelas nggak nyambung, karena cara menangani PEMBANTU dan cara menangani ORANG YANG SUKA PERANG kan memang harus beda. Tapi FAKTA adanya perbedaaan ini yang selalu ditolak oleh Orde Baru hasilnya ya KONFLIK BERKEPANJANGAN.

Dan satu hal lagi, Bung Roy, yang jadi masalah dalam perdebatan kita di sinipun saya lihat justru sebenarnya bukan soal fakta cocok atau tidaknya Jawa dengan pekerjaan pembantu (gimana mau dibantah...itu memang fakta kok), tapi masalahnya adalah anda ROYSEPTA ABIMANYU seorang MARXIS lulusan PERANCIS yang pernah jadi Ketua Bidang Ekonomi PRD menganggap rendah dan remeh PROFESI PEMBANTU. sehingga anda merasa risih dan menolak Jawa dikatakan sangat cocok bekerja di bidang profesi yang satu itu.

Roysepta Abimanyu : Oh ya, kalau anda masih tertarik mengenai pendidikan sejarah saya sejak SD yang anda pertanyakan apakah di bawah hegemoni Jawa atau tidak, waduh untungnya saya bisa bilang tidak. Saya membaca buku-buku sejarah terbitan TIME-LIFE milik kakek saya sejak SD, lebih menarik dan berkesan (nah anda bisa berteriak: didikan Amerika!). Periodisasi dalam pelajaran sejarah yang saya pelajari di SD-SMA saja saya tidak bisa saya ingat, kalau tidak membaca protes Asvi Warman Adam mengenai Kurikulum SNI. Saya mengenali sejarah nusantara lagi malah ketika mencuri baca buku Denis Lombard punya teman.

Win Wan Nur : Tidak Bung Roy, setelah saya membaca profil anda di website anda ditambah dengan menggoogle nama anda dan membaca tulisan-tulisan anda di berbagai media, saya tidak tertarik lagi mengetahui latar belakang pendidikan sejarah anda karena saya pikir saya sudah cukup paham Roysepta Abimanyu yang tiba-tiba muncul mendebat saya ini orang seperti apa, tapi terserahlah kalau anda mau cerita, terserah pula anda mau ngomong apa, mau jujur atau mau ngeles atau mau pamerpun itu urusan anda, yang tidak akan memberi pengaruh apapun lagi terhadap saya. Karena seluruh pandangan saya terhadap anda saat ini sama sekali telah berbeda dibandingkan pandangan saya terhadap anda di awal diskusi dulu bahkan dibandingkan pandangan saya saat mengomentari paragraf awal tulisan anda ini sekalipun, bukankah untuk segala hal yang berhubungan dengan Perancis malahan secara sepihak saya telah menganggap anda sebagai GURU SAYA, tapi apapun kata anda yang jelas melalui apa yang anda tunjukkan dalam diskusi ini, baik itu gaya maupun perilaku yang anda perlihatkan pada kami dalam diskusi ini dengan terang menunjukkan kalau Roysepta Abimanyu sangat nJAWANI.

Roysepta Abimanyu : Sebagai penutup yang lupa saya sampaikan, seperti anda, saya merasakan berdirinya ABAS-ALA kepentingan elit semata dan malah bisa menjadi bahan bakar konflik baru. Adagium "Yang minoritaslah yang memulai perang" saya rasa bisa berlaku di ALA kalau jadi provinsi, tinggal tergantung siapa yang merasa menjadi minoritas dalam konflik ini.

Win Wan Nur : Ini kan kesimpulan saya dari awal, dan ternyata sama saja dengan kesimpulan anda, jadi berarti semua diskusi dan perdebatan ini anda lakukan cuma buat NGETEST saya?

Roysepta Abimanyu : Semakin panjang anda menulis respon terhadap saya, semakin menunjukkan kepada saya bahwa "pengamatan" dan
"tingkat literasi teoritik" anda begitu "luar biasa". Saya yakin kalau anda mengambil kuliah antropologi yang diajarkan Koentjaraningrat, anda pasti dapat A. Cuma jangan salahkan saya, kalau orang-orang yang lebih bijak dari kita berdua, yang membaca respon-respon anda ke saya, bisa lebih jauh "memahami" dan "mengerti" anda.

Win Wan Nur : Nasehat bijaksana anda itupun juga berlaku bagi anda sendiri Bung Roysepta Abimanyu MARXIS lulusan PERANCIS yang menganggap kami orang Gayo, Aceh udik yang tinggal di Gunung ini tidak tahu apa-apa. Semakin panjang anda menulis respon terhadap saya, semakin menunjukkan kepada saya bahwa anda ternyata punya basis teori dan fakta yang sangat kuat (keduanya tanpa tanda kutip), saya yakin kalau anda mau menggunakan basis teori dan fakta yang anda ketahui itu dengan jujur, kami orang Aceh akan sangat menaruh HORMAT kepada anda, cuma jangan salahkan saya, kalau orang-orang yang lebih bijak dari kita berdua, yang membaca respon-respon anda ke saya, bisa lebih jauh lebih mencurigai dan meragukan (keduanya juga tanpa tanda kutip) niat baik atas keberadaan anda hari ini di Tanah warisan ENDATU KAMI.

Roysepta Abimanyu : PS. Taktik demonisasi sering kali ada blowback. Masa gak capai membelah cermin berhari-hari? Saya lebih ngakak lagi membaca respon anda ke Muhlis Suheri.

Win Wan Nur : Taktik demonisasi apa Bung Roy?, bukankah demonisasi itu taktik anda sendiri dan bukankah sekarang anda pula yang sedang merasakan blowbacknya?... siapa yang membelah cermin berhari-hari?, apakah debat panjang ini terjadi akibat saya yang sengaja mencari gara-gara, menantang debat setiap penghuni milis yang namanya berbau-bau Jawa?...apa bukan sebaliknya justru andalah yang telah membawa kita berdebat sampai sejauh ini, bukankah semua ini dimulai ketika tidak ada angin dan tidak ada hujan anda tiba-tiba menyerang saya, FPPG kelompok saya, GAYO suku saya serta ACEH bangsa saya, ketika anda dengan nada menggurui menyerang tulisan saya yang atas nama FPPG menolak ALA dan dengan sombongnya mengaku andalah yang lebih tahu tentang dinamika perpolitikan dan orang-orang di TANAH WARISAN MUYANG DATU SAYA?.

Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Tidak ada komentar: