Jumat, 23 Januari 2009

Situasi Aceh di Tahun 90-an dan Kini

Kemarin, iseng-iseng saya pergi ke perpustakaan. Saya membaca koran-koran dan majalah lama edisi tahun 90-an. Sangat menarik sekali membaca artikel dan berita yang tertulis dalam media cetak itu. Saat kita menilainya dengan situasi sekarang, ada perasaan aneh ketika saya membaca sebuah iklan komputer canggih yang begitu bombastis. Dalam iklan itu dikatakan IBM telah memasarkan sebuah komputer PC tercanggih yang pernah ada dengan kapasitas hard disk 2 Gigabytes yang dipasarkan dengan harga hanya $ 8150 saja.

Saat itu Soeharto sedang lucu-lucunya, dalam beberapa foto yang dipublikasikan di media-media itu, saya melihat tiga orang menteri diantaranya Mar'ie Muhammad dan Tungky Aribowo yang sedang meyerahkan map dan menghadap beliau dengan takzimnya.

Berita dalam negeri saat itu didominasi oleh berita penculikan yang dilakukan GPK Irja yang dipimpin Kelly Kwalik dan tenggelamya kapal Gurita di hari Meugang (sehari menjelang Ramadhan) di perairan Sabang. Membaca itu, saya teringat kembali betapa 5 hari sebelum kejadian itu saya baru saja dari Sabang bersama rombongan Pecinta Alam dari seluruh Indonesia dengan menumpang kapal yang sama.

Saat saya baca koran edisi januari 1996, saya membaca saat itu APBN tahun 1996 yang baru disahkan mendapat tanggapan positif, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar. Pujian itu misalnya datang dari Michel Camdessus, direktur IMF untuk Asia yang belakangan menjadi Ketua IMF. Dalam tulisannya di Gatra, Michel mengatakan keyakinannya kalau kurang dari sepuluh tahun lagi Indonesia akan menjadi salah satu negara penting di kawasan ini.

Saat itu Michel Camdessus, seperti juga kita semua yang tinggal di negara ini, sedikitpun tidak bisa menduga atau bahkan membayangkan kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimistis itu akan ada kejadian luar biasa di negara ini. Seperti Michel Camdessus yang tidak pernah membayangkan kalau beberapa tahun kemudian wajahnya akan dilempar kue pie di depan umum oleh Robert Naiman, seorang aktivis anti globalisasi. Saat itu, tidak seorangpun bahkan dengan fantasi yang paling liar sekalipun yang bisa membayangkan, kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimisme itu, Soeharto presiden kita tercinta yang begitu berkuasa dan sangat ditakuti, yang bahkan harus menjadi idola seluruh penduduk negara ini yang berminat menjadi pegawai negeri akan turun tahta dengan cara yang sangat hina.

Saya sendiri saat itu masih menjadi Mahasiswa di Fakulas Teknik, Jurusan Teknik Sipil Unsyiah. Masih belum begitu terkoneksi dengan berita-berita dan perkembangan yang terjadi di luar provinsi. Kami di Aceh saat itu terbilang masih terisolasi, jangankan berita di luar bahkan adanya operasi militer bersandi jaring merah untuk membasmi GAM yang saat itu masih disebut dengan istilah GPK Aceh saja tidak benar-benar kami ketahui. Kecuali hanya dari kabar-kabar burung tidak resmi dari orang-orang yang tinggal di Aceh Utara atau Pidie. Imajinasi terliar siapapun saat itu akan bisa membayangkan saat ini Aceh akan dipimpin oleh seorang Gubernur yang anggota GAM bernama Irwandi dan wakilnya Nazar anak IAIN yang lahir persis di tahun yang sama dengan saya.

Waktu itu saya sedang tergila-gila main batu, sebutan kami untuk permainan domino. Dua senior saya yang sudah tamat bernama Jojo dan Syuhada (sekarang sudah almarhum), tiap malam datang ke kost-an saya di Jalan Cumi-Cumi, Lamprit. Di sana apalagi yang kami lakukan kalau bukan main batu, bertarung dan berjudi kecil-kecilan, dengan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak sebagai taruhan. Karena sudah malam siapapun yang kalah harus membeli apa yang kami pertaruhkan ke Jambo Tape yang buka sampai pagi . Sementara untuk pergi ke Jambo Tape yang jaraknya sekitar 2 kilo meteran dari Jalan Cumi-Cumi, satu-satunya kendaraan yang ada adalah Motor Honda GL Pro keluaran tahun 1982 milik Jojo yang lebih sering bukannya membantu tapi malah menjadi masalah baru karena tidak bisa dihidupkan. Akibatnya lengkaplah penderitaan bagi yang kalah main batu, sudah kalah berjudi, membawa macam-macam barang malam-malam masih ditambah harus mendorong motor butut pula. Tapi untungnya Banda Aceh pada waktu itu benar-benar sangat aman, di kota ini tidak ada preman, sehingga jalan kaki di malam hari yang sepi dari Jambo Tape ke Lamprit pun kita tidak merasa was-was.

Saat itu di Banda Aceh belum ada internet, obrolan di kalangan anak muda baru sekedar membahas, tadi Devi Padiana ngomong apa aja waktu siaran pagi di Flamboyan, ada festival musik apa di taman budaya, siapa nama cewek mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang sekarang kost di Jalan Pari dan pembicaraan-pembicaraan sejenisnya. Hampir tidak pernah saya mendengar pembicaraan yang menyangkut politik dan sejarah. Apalagi Filsafat dan Sastra yang keduanya adalah benda asing bagi kami di Aceh waktu itu. Politik paling-paling menjadi bahan omongan di kalangan anak-anak HMI yang eksklusif dan pergaulan mereka secara politis terpisah dari budaya keseharian anak muda di Aceh.

Novel yang kami baca saat itu masih model Mira W, Lupus, Gola Gong dengan Balada Si Roy-nya. Karya Pramoedya masih jadi barang haram. Kalaupun membaca novel luar paling banter bacaan kami Sidney Seldon, Mario Puzzo, Agatha Christie, Michael Crichton atau John Grisham. Tidak ada novel dari pengarang-pengarang semacam Paulo Coelho, Arundhati Roy apalagi George Orwell.

Seperti juga tidak ada yang menduga akan terjadi sesuatu yang luar biasa tahun 1998, lebih tidak ada yang menduga lagi akan terjadi sesuatu yang lebih luar biasa bagi Aceh dan dunia. Akhir tahun 2004 terjadi bencana Tsunami yang menewaskan lebih dari 300 ribu penduduk provinsi ini. Sebuah bencana dahsyat yang kedahsyatannya melebihi imajinasi manusia manapun yang hidup di tahun 90-an itu.

Bencana itu benar-benar membawa kesedihan bagi orang-orang Aceh yang tersisa. Tapi seperti biasa, saat terjadi suatu musibah pasti juga ada hikmah di baliknya.

Pasca tsunami, Aceh jadi terbuka berbagai lembaga asing dan nasional berdatangan. Orang Aceh yang karakternya memang berjiwa bebas dengan cepat menyerap segala informasi dan peradaban yang dibawa oleh orang-orang yang datang.

Sebagaimana sebuah produksi yang pasti akan banyak menghasilkan limbah. Efek dari keterbukaan inipun demikian, yang paling banyak terserap oleh masyarakat Aceh adalah limbah-limbah yang dibawa oleh keterbukaan itu, diantaranya perilaku hedonis yang terlihat nyata di antara para OKB yang mendapat keutungan besar selama proses rehap rekon terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah manusia, lalu dengan mudah pula ditemui orang Aceh dengan gaya sok pamer, gaya bahasa yang meniru logat Jakarta dan sejenisnya.

Tapi tentu saja bukan hanya limbah yang dihasilkan oleh keterbukaan itu, keterbukaan Aceh juga menghasilkan banyak produk paten. Keterbukaan itu membuat Aceh menjadi tempat bergumulnya aneka pemikiran dan aneka semangat yang bersifat membebaskan.

Empat tahun sesudah tsunami saya kembali ke Aceh, masuk ke masyarakatnya dan merasakan sendiri dinamikanya.

Begitulah, saat di Aceh kemarin, saya menyaksikan dan merasakan sendiri betapa dinamisnya pergumulan pemikiran yang terjadi di Aceh saat ini. Anak-anak muda di Aceh sekarang dengan fasih berdiskusi tentang sastra, filsafat, sejarah, politik dan ekonomi global sampai ke isu-isu lingkungan. Partai-partai lokal baru yang mengusung semangat yang bersifat membebaskan juga bermunculan. Yang menariknya rata-rata partai baru itu dipimpin dan diisi oleh anak-anak muda seumuran atau lebih muda dari saya.

Permainan yang digemari anak muda di Aceh sekarang juga sudah berbeda. Jika mahasiswa jaman kami dulu berjudi di meja domino, dengan modal meja atau triplek yang jika dipukul bisa mengeluarkan bunyi yang keras. Dalam permainan itu kami beradu ketangkasan berpikir dan kekuatan menganalisa permainan dengan taruhan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak. Mahasiswa Aceh sekarang tidak lagi seperti kami. Sekarang mereka berjudi Valas, menggunakan perangkat laptop dan fasilitas IM2 dari Indosat sambil duduk di warung kopi. Yang mereka analisa juga bukan sekedar batu apa dipegang kawan sehingga harus diberi jalan dan batu apa yang dipunyai lawan dan harus dihambat agar tidak bisa keluar. Tapi yang mereka analisa adalah setiap detail isu internasional mulai dari Argentina sampai Afrika Selatan yang kemungkinan bisa mempengaruhi sentimen di pasar uang. Taruhannya juga Dollar betulan.

Sementara itu pemerintahan Irwandi-Nazar masih terlihat gamang dengan peran barunya. Irwandi seperti Lech Walesa ketika memimpin Polandia pasca berhasilnya gerakan Solidarity, terlihat masih kesulitan melepaskan perannya dari seorang pemberontak menjadi orang yang mengurusi negeri. Irwandi tidak terlalu bisa berbasa-basi dengan bawahan. Semua birokrat lama yang berpengalaman yang jauh lebih paham keadaan dan situasi di pemerintahan, semua dia curigai dan dia musuhi. Sehingga tidak jarang kita lihat Irwandi uring-uringan, karena dia tidak percaya yang namanya pendelegasian. Mulai dari menyopiri mobil sampai berhadapan dengan wartawan semua dia urusi sendiri.

Diplomasi Irwandi dengan menteri di Jakarta juga buruk sekali. Hal sekecil apapun oleh Irwandi dilaporkan ke Jusuf Kalla sehingga menimbulkan antipati dari menteri-menteri, padahal menteri-menteri itulah pelaksana taktis, yang mengeluarkan dana dan sebagainya sehingga seharusnya dengan merekalah Irwandi lebih banyak berhubungan, bukan dengan Jusuf Kalla.

Kebijakan pemerintahan di Aceh saat ini juga tidak jelas arah dan prioritasnya. Semua hal berbau 'cet langit' disikat, mulai dari eksplorasi panas bumi sampai konsep lingkungan yang diberi nama Aceh Green yang cuma besar di media tapi tidak pernah jelas seperti apa pelaksanaan konkretnya.

Uang APBA (APBD versi Aceh), semua ditumpuk di provinsi, sehingga sampai akhir tahun 2008 sedikit sekali yang bisa tersalurkan. Akibatnya muncul ketidak puasan di daerah-daerah tingkat dua. Di daerah-daerah yang bupatinya punya agenda politik sendiri seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah, kelemahan Irwandi ini dieksploitasi sampai ke kampung-kampung. Yang oleh mereka digunakan sebagai senjata untuk mendorong berdirinya provinsi Aceh Leuser Antara.

Di Banda Aceh sendiri, Irwandi tampak mulai tersudut dan mulai kehilangan dukungan. Rakyat yang dulu memilihnya dan menaruh harapan besar di pundaknya mulai merasa kecewa. Lalu Irwandi yang mulai mengalami krisis kepercayaan, atas anjuran team asistensinya yang dipimpin oleh Teuku Rafli yang mantan suami Tamara, mulai terbiasa memasang iklan di koran-koran yang menyatakan bahwa dia adalah Gubernur Pilihan Rakyat dan berkali-kali menyebut MoU Helsinki sebagai pegangannya.

Padahal kalau kita analisa dengan pikiran jernih, pegangan Irwandi ini sangat rentan sekali. Sangat bergantung pada niat baik pemerintahan saat ini. Seandainya kepemimpinan Nasional berganti, katakanlah yang paling sial yang nantinya terpilih sebagai presiden adalah Megawati. Yang sejak awal sudah bilang tak akan mau sejengkalpun mendiskusikan soal kedaulatan dengan kelompok separatis. Meskipun dalam pelaksanaan MoU itu ada dukungan internasional, tapi jika Indonesia dipimpin oleh Presiden semacam itu, apakah Irwandi masih bisa dengan gagah mengatakan berpegang pada amanat MoU Helsinki?.

Saat membaca majalah dan koran-koran lama itu saya juga bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Aceh dua tahun lagi?...Apakah di pemilu 2009 ini Partai Lokal bisa meraih kemenangan?. Apakah nanti kalau itu terjadi, kemenangan itu akan benar-benar merupakan solusi?. Saya bertanya begitu karena terus terang dalam hati saya menyimpan kekhawatiran, yang saya takutkan justru kemenangan partai lokal di Aceh nanti akan menjadi bumerang, karena dengan itu tidak akan ada kambing hitam lagi seperti sekarang. Saat itu semua kebijakan adalah tanggung jawab kita, kita tidak lagi bisa menyalahkan Jakarta.

Atau jangan-jangan di depan ini sudah menanti sebuah kejadian luar biasa yang tidak kita perkirakan seperti apa yang terjadi di tahun 1998.

Dan terakhir yang tidak kalah membuat saya penasaran adalah, dua tahun lagi bagaimana perspektif saya, jika saya masih hidup dan membaca kembali tulisan yang saya post sekarang ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Kamis, 22 Januari 2009

Obama dan Hubungan Masa Kecilnya Dengan Relasi Indonesia-Amerika

Sebelum hari pelantikan Obama kemarin, saya membaca sebuah tulisan di facebook yang berisi nada pesimis yang ditulis di profil seorang temanku. Katanya " aku heran sama orang Indonesia yang begitu berharap dengan Obama, padahal padahal dalam hati Obama..Indonesia? sapa elu...:)".

Saya tidak sepakat dengan pendapat teman saya ini, karena menurut saya masa kecilnya di sini jelas meninggalkan pengalaman dan kesan kuat tentang negara ini bagi Obama. Terbukti dari apa yang dia tulis dalam bukunya, dia bercerita tentang Bali, Jakarta dan segala kenakalannya selama tinggal di sini. Apalagi waktu SBY menelpon untuk mengucapkan selamat saat dia resmi terpilih jadi Presiden, apa yang dikatakan Obama pada SBY?..."Gue kangen Nasi Goreng, Bakso dan Rambutan". Jadi jelas teman saya ini salah ketika dia mengatakan "begitu dia jadi Presiden mana dia ingat lagi Indonesia", karena faktanya adalah sebaliknya, Obama tidak pernah lupa Indonesia.

Terus apa implikasi dari kenangan pribadi masa kecil Obama ini terhadap posisi Indonesia di mata Amerika selama masa kepemimpinannya nanti?...Nah kalau ini pertanyaannya, baru jawabannya TIDAK ADA.

Amerika bukanlah tipe negara dakocan yang menjalankan politik luar negerinya berdasarkan pada perasaaan sentil mentil masa kecil presidennya. Sebagai sebuah negara, mereka sudah punya satu peta besar negara-negara yang dibagi dalam skala prioritas dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Mulai dari negara yang paling penting seperti Israel, Irak dan Afghanistan sampai ke negara yang paling tidak penting sama sekali semacam Vanuatu dan Tonga.

Siapapun presiden Amerika, dalam mengambil setiap kebijakannya dia tidak akan bisa melepaskan pertimbangan kebijakan luar negerinya dari peta yang sudah ada ini. Secara garis besar, siapapun presiden Amerika, negara-negara yang dianggap teman, musuh sampai yang biasa saja oleh Amerika ya itu-itu saja. Tidak berubah.

Siapapun presidennya, musuh Amerika ya tetap Kuba, Iran dan Korea Utara. Temannya?...untuk di Asia tinggal kita lihat saja dimana Amerika menempatkan pangkalan-pangkalan militernya. Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Kalau di Timur tengah ya jelas Israel. Siapapun presiden Amerika, kenyataan ini tidak akan bisa diubah karena kuatnya lobi Yahudi sebagai hasil kuatnya kontrol mereka atas ekonomi Amerika.

Biarpun mungkin secara pribadi seorang Presiden Amerika sangat benci Israel dan yahudi, tapi secara institusi adalah mustahil seorang presiden Amerika untuk mengubah secara ekstrim kebijakan nasional mereka yang pro negara Yahudi di Timur Tengah itu. Kalaupun ada perbedaan antara kebijakan antara satu presiden dengan presiden lain. Itu cuma masalah tingkatan keras dan lunaknya saja. Tapi secara garis besar yang namanya Amerika siapapun presidennya ya Pro Israel.

Untuk negara arab teman-teman Amerika ya bakalan tetap, Mesir, Arab Saudi, Kuwait sama Jordania. Iran dan Suriah dianggap lawannya. Sama Libya udah rada baikan.

Di Eropa jelas sama NATO, sama Rusia yang sekarang udah mulai lagi menyusun kekuatan pasca bubarnya Uni Sovyet, Amerika juga mulai hati-hati dan nggak mau salah perhitungan.

Untuk mengamati pola kebijakan luar negeri Amerika, perlu kita tahu pula kalau Amerika ini adalah sebuah negara yang dijalankan dengan pemikiran filsafat Pragmatisme hasil pemikiran William James dan kawan-kawan. Pragmatis sendiri kurang lebih berarti hanya melakukan apa yang menguntungkan diri sendiri saja. Biarpun di kalangan kaum filsuf, filsafat yang dianut Amerika ini dicibir dan dihina kanan kiri dibilang kampungan lah atau dibilang sebagai pemikiran yang 'menaruh otak di bokong' lah dan dan lain sebagainya. Tapi apa boleh buat, faktanya dengan filsafat kampungan inilah Amerika menguasai dunia.

Dengan semua paparan saya di atas, kalau mau melihat posisi Indonesia di mata Amerika, kita tidak perlu melihat siapa yang menjadi presiden di sana. Karena siapapun presidennya kebijakan luar negeri yang dia ambil tidak akan bisa dilepaskan dari cara pandang Amerika yang seperti yang saya gambarkan itu.

Jadi untuk melihat apa seberapa berartinya Indonesia di mata Amerika, bukan dengan melihat fakta bahwa di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Jakarta, melainkan dengan melihat apa untungnya keberadaan Indonesia bagi kepentingan nasional Amerika. Cara pandang yang sama juga berlaku buat Kenya, negara asal Bapak kandung Barack Obama.

Sebagai sekutu misalnya, seperti yang saya katakan, untuk kawasan ini secara tradisional Amerika itu kawan dekatnya ya Australia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang.

Memang kalau dilihat dari posisi geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra dan dua benua ini sangat strategis baik untuk militer apalagi ekonomi. Tapi seperti yang saya katakan di atas tadi, untuk kepentingan militer dalam memanfaatkan posisi strategis kawasan ini Amerika berpartner dengan Philipina. Untuk ekonomi? siapa di kawasan ini yang dianggap paling penting oleh Amerika?...ya Singapura.

Kenapa Singapura?...itu karena meskipun Singapura itu negara kecil yang bahkan bisa tenggelam cukup dengan kita ludahi saja dan orangnyapun berbicara dengan logat bicara yang jauh lebih jelek dibandingkan logat kita. Tapi negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek inilah yang secara empiris bisa memanfaatkan segala keuntungan ekonomi dari strategisnya posisi geografis nusantara ini.

Singapura yang baru 9 Agustus 1965 memerdekakan diri dari Malaysia ini adalah tempat transit paling penting dalam jalur laut dan penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Untuk jalur laut malah bisa dikatakan sebagai salah satu tempat transit terpenting di dunia, mengingat Selat Malaka adalah jalur laut tersibuk di dunia.

Sementara Indonesia adalah sebuah nama yang dikenal sebagai negara yang gemar menyia-nyiakan seluruh potensi yang dia punya. Ya potensi alam, potensi melimpahnya penduduk yang seharusnya bisa diolah menjadi pasar yang sangat strategis, dan terutama potensi letak geografisnya yang luar biasa strategis itu.

Mentalitas pengelola negara ini rata-rata seperti Kosasih Bakar, Ceh amatiran yang secara genetik berasal dari Gayo, sama dengan saya. Pengelola negara ini bisa dikatakan adalah sekumpulan ahli yang sangat ahli mencari alasan. Seperti Kosasih Bakar yang ketika saya katakan, andai 30 Tahun yang lalu kita seperti Cina atau Korea selatan yang benar-benar membangun kekuatan hingga sekarang sudah setara eropa dan Cina bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya. Yang pertama kali terpikir di kepalanya saat saya mengatakan itu adalah apa yang dipunyai negara-negara yang saya sebutkan tadi tapi tidak dipunyai negara ini...Oh Cina itu tidak dapat disamakan dengan kita, mereka komunis bisa maju karena buruh dibayar murah, Korea itu dibiayai IMF dari awalnya. Indonesia tidak punya itu semua dan dengan alasan seperti itu selesailah semua masalahnya. Ketertinggalan Indonesia sudah bisa dimaklumi.

Seperti Kosasih Bakar, di kepala pengelola negara ini tidak pernah muncul apa yang tidak dipunyai Korea dan Cina tapi bisa ditemukan melimpah di negara ini, misalnya negara ini punya potensi pertanian sedemikian besarnya, garis pantai yang sedemikian panjangnya, posisi geografis yang sedemikian strategisnya dan pasar domestik yang sedemikian besarnya (sekarang ada dalam taraf wacana ditawarkan oleh beberapa partai peserta pemilu, tapi saya sendiri tidak tahu persis seperti apa konsep matang mereka).

Konsekwensi dari mentalitas seperti ini apa?, tidak muncul inisiatif melobi ICAA misalnya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat transit pesawat udara yang melintasi Amerika menuju Eropa dan sebaliknya, Eropa menuju Australia, Timur Jauh menuju Timur Tengah. Tidak ada inisiatif untuk membangun sebuah pelabuhan transit besar di Banda Aceh yang terletak tepat di mulut Selat Malaka. Akibatnya apa?...Semua potensi besar itu akhirnya dimakan habis oleh Singapura.

Sehingga seperti yang saya gambarkan di atas, di kawasan ini, Singapura, negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek itulah yang mengambil segala manfaat dari semua keuntungan itu, kita cukup makan ampasnya saja.

Selain potensi geografis, kita juga masih banyak punya potensi lain, diantaranya Hutan, Perikanan dan Pertambangan. Tapi karena kita punya banyak potensi seperti itu dan negara ini adalah negara yang murah hati pula. Sehingga potensi hutan dimakan sama Malaysia, potensi perikanan dimakan sama Thailand dan potensi pertambangan dimakan sama Amerika.

Karena kita cuma bisa mencari-cari apa yang dipunyai oleh orang lain, bukan apa yang kita punya, jadilah tidak dapat memanfaatkan segala potensi kita, akibatnya sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang, kita ya begini-begini saja. Tidak dipandang dalam pergaulan dunia, tidak terlalu serius dianggap oleh bangsa-bangsa lain bahkan dipandang sebelah mata oleh negara sesama Melayu, Malaysia atau Singapura, negara yang cuma sekecil upil kalau dibandingkan dengan kita.

Dengan cara pandang ini jelas kita bisa melihat kalau Indonesia di mata Amerika adalah negara yang biasa-biasa saja. Bukan negara yang terlalu penting buat dirangkul, bukan juga buat dijauhi. Alasannya tidak ada yang terlalu penting di Indonesia ini untuk menjadikannya sebagai pusat perhatian Amerika dalam arti positif seperti Singapura atau dalam arti negatif seperti Myanmar misalnya.

Kalau kita buat peta yang lebih jelas, untuk kawasan Asia tenggara. Negara-negara mana saja yang dianggap penting oleh Amerika. Maka kita akan melihat kalau yang dianggap penting oleh Amerika secara militer adalah Philipina dan Australia, kalau secara ekonomi ya Singapura. Lalu dalam peta yang sama akan kita lihat skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika di kawasan ini, secara positif posisi Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Tapi Masih di atas Brunei, Laos dan Kamboja dan jauh di atas Myanmar yang junta militernya dimusuhi Amerika yang sebaliknya kalau secara dilihat secara negatif, bisa jadi merupakan salah satu prioritas hubungan luar negeri mereka di kawasan ini.

Di Asia, secara umum yang belakangan menjadi perhatian Amerika dan dianggap strategis untuk ditingkatkan hubungan luar negerinya, jelas Cina dan India yang belakangan ini sangat luar biasa pertumbuhan ekonominya yang didukung jumlah penduduk dengan skala raksasa.

Siapapun yang menjadi Presiden Amerika, prioritas kebijakan luar negeri negara itu tidak akan jauh bergeser dari faktor-faktor yang saya sebutkan itu. Jadi, meskipun mungkin ada sedikit pengaruhnya, tapi adalah tidak relevan mengaitkan masa kecil Obama di Jakarta dengan potensi peningkatan hubungan luar negeri antara Indonesia dan USA secara drastis.

Tapi meskipun terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hubungan luar negeri Indonesia-Amerika. Seharusnya orang Indonesia mesti berbesar hati dan berbangga dengan terpilihnya Obama. Karena dengan keberadaannya sekarang sebagai Presiden Amerika. Orang-orang sedunia jadi tahu kalau Bali adalah sebuah bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Tapi bagi siapa saja yang dulu sangat bersemangat mendukung Obama di saat pemilihannya, yang berharap dengan terpilihnya dia akan ada perubahan drastis kebijakan Amerika atas Israel-Palestina. Saran saya, sekarang anda sudah boleh menyiapkan beberapa keranjang yang berisi segala macam variasi kata makian baru.

Ini sangat perlu anda siapkan sebab sebentar lagi anda akan segera bosan dengan variasi makian yang itu-itu saja karena dalam waktu-waktu ke depan, kata-kata itu akan banyak sekali anda gunakan. Cacian terhadap Amerika dan presidennya nantinya akan tetap sama saja, tapi dengan mengganti kata 'Bush' yang delapan tahun belakangan ini sangat familiar di telinga kita dengan kata 'OBAMA' tentunya.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Pemuda Peduli Gayo

Selasa, 06 Januari 2009

Ukuran Moral di Negeri Pengusung Syari'at Islam

Sejak terjadinya hiruk pikuk pro dan kontra terhadap RUU APP dulu, saya sudah merasa sangat penasaran seperti apa jadinya jika ukuran moral dibakukan menjadi butir-butir hukum positif.

Bukan kebetulan saya sendiri berasal dari Aceh, sebuah negeri yang berada dalam administrasi Negara Republik Indonesia yang dari dulu selalu dijadikan sebagai ajang eksperimen atau kelinci percobaan atas berbagai kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah Negara Republik Indonesia. Entah itu kebijakan militer, kebijakan ekonomi, otonomi daerah dan tentu saja soal pembakuan ukuran moral ini. Sejak beberapa tahun yang lalu Aceh secara resmi ditetapkan sebagai daerah yang menerapkan hukum syariat Islam dalam mengontrol perilaku dan standar moral warganya. Penerapan hukum ini dilengkapi dengan Qanun yang dibuat oleh anggota DPRA (Dewan perwakilan Rakyat Aceh) yang dikawal pelaksanaannya oleh aparat Wilayatul Hisbah alias polisi moral.

Saya yang sangat penasaran ingin tahu seperti apakah kondisi riil di dalam sebuah negeri yang memformalkan ukuran moral menjadi butir-butir hukum positif sangat berkeinginan untuk bisa pulang ke Aceh. Tempat kelahiran saya yang sudah cukup lama tidak pernah saya kunjungi. November yang lalu kesempatan itu akhirnya datang.

Beberapa waktu sebelum saya menginjakkan kembali kaki saya di tanah Aceh tercinta. Saya menemukan sebuah diskusi dan perdebatan yang cukup panas di milis-milis yang anggotanya berasal dari Aceh. Perdebatan itu terkait dengan tersebarnya foto seorang pria yang berpelukan dengan seorang wanita yang wajahnya tidak terlihat jelas. Kebetulan si Pria ini adalah seorang mantan wartawan yang sekarang menjabat sebagai Bupati di Kabupaten Aceh Barat Daya.

Oleh sebuah media cetak, wanita yang dipeluk si Bupati yang wajahnya tidak terlihat jelas ini dikatakan sebagai WIL-nya si Bupati sehingga secara moral Bupati ini telah melanggar hukum syari'at Islam yang berlaku di Aceh. Sementara baik si Bupati maupun istrinya sendiri mengaku kalau perempuan yang di dalam foto tersebut adalah istrinya sendiri. Pengakuan si Bupati ini tidak bisa diterima begitu saja oleh publik sehingga perdebatan tentang moral bupati ini terus berkembang sampai berbulan-bulan.

Begitu panasnya isu tentang skandal ini sampai-sampai dalam pembuktiannya sempat menghadirkan "pakar" Telematika legendaris Roy Suryo yang seperti biasa dengan gaya sok taunya berani memastikan perempuan yang wajahnya tidak kelihatan itu BUKAN ISTRI BUPATI. Perdebatan ini agak mereda ketika team pengacara bupati yang berasal dari kantor pengacara milik teman saya juga. Mengejar pernyataan berani Roy Suryo dan menuntutnya dengan pasal pencemaran nama baik.

Tapi meskipun mereda, kasus ini tidak hilang sepenuhnya. Karena MORAL adalah sebuah unsur yang sebegitu pentingnya dalam masyarakat Aceh yang islami. Begitu pentingnya urusan moral ini sehingga bahkan sampai hari inipun permasalahan Akmal memeluk perempuan yang wajahnya tidak terlihat jelas ini masih terus dengan gigih diangkat oleh wartawan sebuah media cetak terbitan Medan. Wartawan yang pertama kali mengangkat kasus ini ke permukaan.

Kepada saya si wartawan yang juga merupakan seorang teman baik dan adik kelas saya di Unsyiah dulu mengatakan "Bang, ini urusan penting. Selama ini seratus sekian ribu rakyat Aceh Barat Daya bertanya-tanya, siapa sebenarnya perempuan yang tidur bersama Akmal (nama si Bupati) di dalam foto itu". Begitu tuturnya menjelaskan kondisi masyarakat di daerah wilayah kekuasaan sang bupati "Ini tugas saya dan panggilan nurani saya sebagai wartawan untuk menjelaskan kepada masyarakat Bang", lanjutnya kemudian. Berdasarkan penuturan teman saya yang wartawan ini, saya bisa merasakan betapa pentingnya urusan MORAL dalam masyarakat Aceh saat ini.

Sementara itu di bagian lain Aceh, di Takengen, ibukota Kabupaten Aceh Tengah juga terjadi sebuah SKANDAL BESAR yang secara moral (Moral menurut ukuran saya) jauh lebih parah dibandingkan SKANDAL yang terjadi di Aceh Barat Daya. Skandal di Aceh Tengah ini juga melibatkan Bupati. Namanya Nasruddin seorang lulusan IAIN yang juga mantan Sekda yang duduk menjadi bupati setelah dipilih langsung oleh rakyat Aceh Tengah melalui Pilkada.

Skandal di Aceh Tengah ini melibatkan Bupati Nasrudin dengan Panti Asuhan Budi Luhur Takengon. Oleh Bupati Nasruddin, setengah dari luas lahan Panti Asuhan Budi Luhur yang merupakan tempat tinggal seratusan anak yatim itu yang terletak tepat di pinggir jalan Takengon-Bireun. Setengah dari lahan yang luas totalnya 10.000 meter persegi ini dijual kepada sebuah institusi kapitalis bernama Bank BPD Aceh. Tampaknya letak Panti Asuhan yang strategis inilah yang membuat Bupati tergiur untuk menjual setengah lahan panti itu. Setengahnya lagi tetap dijadikan sebagai lahan panti. Bagian yang dijual kepada BPD tentu saja bagian yang paling strategis yang berada tepat di pinggir jalan Takengon-Bireun.

Urusan skandal ini bukan hanya menjadi urusan Nasruddin dengan sekitar seratusan anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur saat ini. Tapi kasus pejualan tanah panti ini juga adalah urusan Nasrudiin dengan sejarah panjang Panti Asuhan yang didirikan pada tahun 1948 ini. Panti Asuhan yang bisa berdiri berkat usaha gigih dan ketulusan hati almarhum para dermawan yang sangat peduli dengan anak yatim di bumi Gayo. Urusan penjualan panti oleh Nasruddin ini adalah urusan tanah dihibahkan oleh para Dermawan itu untuk ANAK YATIM...saya yakin almarhum para Dermawan itu tidak pernah terpikir menghibahkan tanah mereka untuk kemudian dijadikan BANK BPD.

Lebih hebatnya lagi di atas bagian lahan yang dijual ini terdapat sebuah mesjid yang dibangun dengan susah payah oleh pengurus panti sebelumnya. Mesjid ini dibangun sepenuhnya dengan dukungan dana dari para dermawan tanpa sedikitpun mendapat bantuan dari Pemda. Begitulah Bupati yang sangat mengerti agama islam karena merupakan seorang sarjana lulusan IAIN ini bersama wakilnya yang notabene adalah putra kandung salah seorang ulama yang paling saya hormati di Takengen. Tidak hanya menjual Panti Asuhan tempat tinggal anak yatim, tapi sekaligus menjual RUMAH TUHAN.

Di sisa 5000 meter persegi lahan di bagian belakang panti tetap dipertahankan sebagai panti asuhan. Di Lahan ini Nasruddin merobohkan bangunan panti yang lama dan menggantinya dengan bangunan modern yang bernilai 5 milyar rupiah. Menurut kepala Dinas Sosial Aceh Tengah yang secara tidak sengaja saya jumpai di Pantan Terong. Dengan bangunan baru itu nantinya Panti Asuhan Budi Luhur akan menjadi panti asuhan milik Pemda dengan BANGUNAN termewah di Aceh.

Sebelumnya saya berpikir kalau uang hasil penjualan lahan yang strategis itulah yang dipakai untuk merehab bangunan panti ini, tapi ternyata tidak. Menurut Pak kepala Dinas yang juga kenalan lama saya yang dulu saya kenal semasa beliau masih menjabat sebagai camat Bebesen ini. Uang yang dipakai untuk merehab bangunan panti itu diambil dari dana OPSUS (atau Otsus?). Menurut si bapak ini pula kalau tanah panti yang dijual itu nantinya oleh Pemda akan diganti dengan lahan rawa Paya Ilang yang nantinya akan diurug dengan luas yang sama seperti lahan yang dijual.

Melihat besarnya dana yang digelontorkan ke Panti ini saya jadi penasaran ingin mengetahui korelasinya dengan tingkat kesejahteraan anak-anak penghuninya. Untuk mengetahui itu saya mengobrol dengan beberapa anak Panti yang masih mengenal saya karena dulu bersama dengan saya pernah sama-sama menjadi penghuni panti yang sama. Adik-adik yang dulu saat saya masih di sana masih duduk di bangku SD ini sekarang sudah duduk di bangku SMA dan sudah bisa lebih jernih menjelaskan persoalan.

Menurut adik-adik ini sekarang kehidupan di Panti lebih sulit. Sebagai contoh saat lebaran, jika dulu saat saya masih di sana, oleh pengurus panti setiap anak diberikan uang sejumlah Rp. 120.000- untuk membeli pakaian baru. Tapi sekarang setiap anak cuma mendapat Rp.50.000-. Yang lebih parah lagi, sekarang bahkan untuk uang kebutuhan sekolah merekapun, ketika diminta pengurus sering mengatakan tidak ada uang. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa pengurus lama yang sekarang sudah pensiun dan mendirikan panti asuhan sendiri di atas tanah miliknya sendiri. Si adik yang juga melihat rancangan bagunan gedung baru panti ini juga sangat menyesalkan kalau dalam kompleks panti yang baru nanti tidak ada rencana pembangunan tempat ibadah.

Berdasarkan pada fakta ini, ketika Nasruddin memutuskan untuk membangun gedung panti yang katanya akan menjadi panti asuhan milik Pemda yang paling mewah di Aceh ini, saya melihat ada kesan kalau dia sama sekali tidak mendasarkan tindakannya pada niat baik . Saya menangkap ada kesan bahwa pembangunan bangunan panti yang nilainya milyaran ini, niatnya bukan untuk kepentingan anak yatim, tapi lebih untuk kepentingan para kontraktor yang sebelumnya menjadi tim sukses Nasruddin dalam usahanya untuk merebut kursi kepemimpinan Aceh Tengah yang saat ini dia duduki. Alasan kecurigaan saya ini sederhana saja. Para kontraktor yang dulu membiayai kampanye Nasruddin, yang mebiayai kunjungan-kunjungannya ke daerah-daerah, berbicara dari satu mesjid ke mesjid lain untuk mendapat simpati pemilih tentu harus diberikan peluang untuk mengembalikan sekaligus mendapatkan laba dari 'kebaikan' yang dulu pernah mereka berikan pada Nasruddin.

Indikasi dari kecurigaan saya ini sangat mudah pula kita temui. Indikasi yang paling jelas adalah bahwa para kontraktor yang mengerjakan bangunan panti ini terdiri dari para kolega Nasruddin yang dulu mendukungnya selama masa pemilihan. Kemudian fakta bahwa bangunan panti yang lama masih cukup layak untuk dihuni, kalaupun perlu direnovasi, maka yang dibutuhkan hanyalah renovasi-renovasi skala kecil saja. Sama sekali tidak ada urgensinya membangun gedung panti semegah dan semewah ini.

Kalaulah saja dasar dari Bupati Nasruddin menggelontorkan dana 5 milyar untuk kepentingan anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur ini adalah niat baik. Maka logika orang waras akan mengatakan uang dana OPSUS (atau Otsus?) yang 5 milyar itu tentu akan dia tempatkan sebagai dana untuk pendidikan dan peningkatan kapasitas anak-anak panti. Apalagi faktanya bahwa selama ini anak panti Asuhan ini hanya dibiayai sampai tamat SMA. Memang pernah ada beberapa anak Panti Asuhan Budi Luhur yang sangat menonjol prestasi sekolahnya melanjutkan pendidikannya sampai ke pendidikan tinggi, bahkan salah seorang anak panti yang berprestasi itu sekarang sudah menjadi kepala sekolah. Tapi biaya pendidikannya selama menempuh pendidikan tinggi itu sepenuhnya ditanggung oleh dana pribadi dari pengurus lama.

Dengan dana yang 5 Milyar itu kalau bupati mau dan memang punya niat baik pada anak-anak yatim penghuni Panti Asuhan Budi Luhur, tentu Nasruddin bisa membuat program untuk membiayai kuliah anak-anak panti yang berprestasi seperti yang dilakukan pengurus lama dengan uang dari kantong pribadinya. Tapi itu tidak dilakukan oleh Nasruddin...kenapa?...Jawabnya, karena kalau itu dia lakukan tidak akan ada proyek fisik yang bisa dibagi-bagikan kepada tim suksesnya.

Sementara itu, uang hasil penjualan lahan Panti yang jumlahnya 7 Milyar Rupiah sampai saat ini masih berada dalam kas PEMDA yang disimpan di Bank BPD, institusi yang membeli lahan itu. Uang 7 milyar itu sampai hari ini belum jelas peruntukannya dan setahu saya sejauh ini tidak ada satu institusi atau satu LSM-pun di Aceh Tengah yang mempertanyakannya.

Begitulah cara pandang di Aceh terhadap ukuran moral pada saat ini. Akmal yang fotonya dengan seorang perempuan yang dia akui sebagai istrinya dan pengakuan yang sama juga disampaikan oleh Istrinya mendapat tanggapan begitu luas. Sementara Nasruddin yang menjual lahan panti asuhan dan mesjid di tempat tinggal anak yatim tidak ada yang mempedulikan.

Kenyataan ini terasa aneh bagi saya, karena saya yang mendapatkan pemahaman islam saya dari pengajaran kakek saya. Sejak kecil selalu diberitahu kalau Islam, agama yang saya anut adalah sebuah agama yang sangat memuliakan anak yatim.

Dengan pemahaman seperti itu, bagi saya berlaku culas terhadap anak yatim seperti yang dilakukan oleh Bupati Nasrudin yang menjual lahan tempat tinggal anak-anak yang tidak berdaya itu (meski kemudian menggantinya dengan gedung yang lebih mewah yang sebenarnya tidak mereka butuhkan) adalah sebuah pelanggaran MORAL yang sangat serius. Jauh lebih serius dibandingkan apa yang dilakukan oleh Akmal, kolega Nasrudin di Aceh Barat Daya. Saya beranggapan begitu karena begitu mulianya posisi anak yatim dalam Islam. Ajaran islam banyak menjelaskan mengenai hal ini secara eksplisit dalam berbagai hadits sahih bahkan dalam ayat-ayat Al-qur'an yang sebagai umat islam kami percayai sebagai firman langsung Allah SWT sendiri. Ini yang selalu dikatakan oleh almarhum kakek saya. Pemahaman seperti itu dulu membuat sempat saya berpikir kalau mustahil ada orang yang mengaku Islam yang berani berbuat sesuatu yang merugikan anak yatim.

Tapi dalam kenyataannya ternyata apa yang saya pikirkan itu SALAH menurut cara pandang masayarakat Aceh, negeri dimana Syariat Islam telah dibakukan menjadi hukum positif. Dalam konteks Aceh, ternyata sayalah yang terlalu berlebihan dalam memandang kemuliaan anak yatim dalam islam. Pemahaman keislaman saya dalam konteks keacehan dalam kaitannya dengan anak yatim ini adalah pemahaman keislaman yang aneh.

Buktinya jika skandal di Aceh Barat daya menarik begitu banyak perhatian umat Islam di Aceh. Memicu munculnya banyak kecaman kepada Akmal yang disebut sebagai Bupati tidak bermoral. Tidak demikian halnya dengan Nasrudin. Tidak seorangpun yang menyalahkannya, tidak seorangpun yang menyebutnya tidak bermoral. Bahkan oleh media-media yang memiliki koresponden di Takengen. Skandal besar yang dilakukan oleh Nasrudin dipandang sebagai sebuah informasi yang tidak layak buat diberitakan.

Saya mungkin bisa memahami kalau hanya Wartawan yang tidak peduli karena memang sudah menjadi rahasia umum kalau para Wartawan di Takengen rata-rata (meski tidak semuanya) adalah wartawan peliharaan para pejabat yang mendapat amplop di setiap lebaran. Tapi yang membuat saya lebih heran adalah tidak satupun unsur di Masyarakat yang mampu mengingatkan Bupati yang peduli apalagi mengingatkan Nasrudin atas SKANDAL BESAR yang dia lakukan ini. Ulama, LSM sampai DPRD semuanya diam sama sekali tidak menganggap apa yang dilakukan Nasrudin sebagai sebuah pelanggaran moral dan serius.

Situasinya menjadi lebih menarik jika kita mengurai lebih jauh fakta yang berkaitan dengan kasus penjualan panti ini. Faktanya, Nasruddin tidaklah sendirian ketika memutuskan menjual panti ini, ada persetujuan dari DPRK (sebutan untuk DPRD Tk II di Aceh), ada persetujuan MPU (Majelis Perwakilan Ulama). Jika kita urai lebih jauh lagi maka kita akan menemui fakta lain bahwa penjualan panti ini adalah juga atas persetujuan Departemen Sosial Provinsi. Artinya Nasrudin menjual lahan Panti ini kepada BPD juga atas persetujuan Kepala Dinas Sosial Tingkat Provinsi yang saya asumsikan juga tentu harus mendapat persetujuan dari Gubernur atau Wakil Gubernur Aceh yang dijabat oleh Irwandi dan Nazar dan juga berkemungkinan sangat besar juga diketahui oleh Abu Bakar Ilyasak, ulama asal Gayo yang bertanggung jawab atas pelaksanaan syariat islam di Bumi Aceh (Mudah-mudahan asumsi saya ini salah).

Begitulah hasil pengamatan saya mengenai cara pandang orang Aceh, negeri yang membakukan Syariat Islam sebagai hukum positif dalam memandang MORALITAS. Urusan seorang pejabat tidur dengan siapa jauh lebih menyentuh entitas moralitas keislaman orang Aceh saat ini ketimbang urusan seorang pejabat yang menjual rumah ibadah dan lahan milik anak yatim kepada sebuah institusi kapitalis yang usahanya berbasiskan RIBA.

Kesimpulan ini saya dapatkan berdasarkan pada fakta yang saya temui selama dua bulan keberadaan saya di tanah kelahiran saya ACEH.


Wassalam

Win Wan Nur
Mantan Penghuni Panti Asuhan Budi Luhur