Selasa, 27 Mei 2008

Mantan Backpackers 12 Tahun Kemudian

Tiga bulan yang lalu aku mendapat e-mail dari seorang teman lama bernama Gilles yang berasal dari Bretagne, sebuah kota di Perancis bagian utara. Aku mengenal Gilles di restoran Oong milik Kak Nurma di Iboih, Sabang, tahun 1996 lalu, ketika itu kami berdua masih sama-sama menjadi 'back packers'.

Dalam bayanganku, tahun 1996 itu seperti zaman 'antik' yang sudah lama sekali tertinggal di belakang, soalnya aku ingat pada zaman itu di Banda Aceh belum ada internet, bahkan di eropapun internet belum populer, di Eropa waktu itu internet masih sangat eksklusif, jadi dulu setelah Gilles pulang ke Perancis, kami masih berkomunikasi melalui surat yang ditempeli Perangko. Cara berkomunikasi 'zaman kuno' yang pasti akan menjadi bahan tertawaan anakku kalau aku menceritakannya saat dia sudah berumur belasan tahun nanti.

Gilles teman lamaku ini sekarang bekerja sebagai manajer Restoran di Cannes, sebuah kota tempat tujuan wisata yang ramai di selatan Perancis yang tidak jauh dari Italia.

Dalam e-mailnya Gilles mengatakan akan menikah bulan Mei tahun ini yang bertepatan dengan musim semi di eropa sana, dan setelah menikah Gillles berencana mengajak istrinya untuk berbulan madu ke Indonesia. Tapi karena sekarang kesibukannya sudah lain dibandingkan tahun 1996 dulu ketika kami masih sama-sama berstatus mahasiswa, Gilles meminta tolong padaku untuk mengatur perjalanan berbulan madu buat dia dan istrinya.

Aku menyarankan Gilles untuk memilih Bali untuk tempat berbulan madunya, dan aku juga bilang kalau Mei ini aku bisa menemani dia selama beberapa hari. Gilles setuju tapi Gilles juga ingin dalam bulan madunya ini ada acara naik gunungnya, dan kalau bisa gunung berapi katanya.Bagi Gilles gunung berapi itu sangat menarik, soalnya di Eropa jarang ada Gunung berapi, paling-paling cuma Vesuvius, Etna dan Santorini, itupun ketiganya tidak begitu menarik buat didaki. Rupanya Gilles sangat berkesan ketika dulu saat di Takengon dia kuajak mendaki gunung Burni Telong melalui Bandar Lampahan.

Hari kamis Tanggal 22 mei lalu, Gilles dan istrinya tiba di Jakarta, aku menjemput mereka berdua di Cengkareng. Gilles datang dengan menumpang Cathay Pacific yang dari Perancis menuju Indonesia dengan melewati Hongkong, aku menunggu di gerbang internasional berbaur dengan penjemput lain dari Hotel atau Biro perjalanan yang berkerumun di luar pintu keluar terminal internasional sambil memegang papan yang bertuliskan nama orang yang dijemput. Menunggu penumpang yang keluar dari terminal internasional ini sangatlah membosankan, karena setelah pesawat mendarat, banyak jalur birokrasi keimigrasian yang harus dilewati penumpang, terutama pengecekan paspor beserta visa kunjungan. Setelah satu jam lebih menunggu penumpang pesawat dengan kode penerbangan CX-745 pun akhirnya mulai keluar dan satu persatu langsung menemukan penjemput yang memegang papan bertuliskan namanya dan merekapun langsung berangkat.

Saat Gilles keluar dari gerbang terminal internasional Bandara Soekarno-Hatta ini, sekilas aku tidak mengenali sosoknya yang rapih dan bersih diapun tampaknya begitu, tidak terlalu mengenaliku. Maklumlah terakhir kali kami bertemu adalah 12 tahun yang lalu, saat itu kami berdua masih sama-sama berambut gondrong dan berpenampilan lusuh yang berpergian kemana-mana dengan menggendong tas sebesar lemari, sosok Gilles yang melekat di pikiranku adalah sosok Gilles yang seperti gambaran itu, rupanya diapun begitu sosok Win yang dia ingat adalah Win yang gondrong, berkemeja flanel, bercelana kargo, bersepatu hiking dan menggendong back pack berwarna biru.

Melihat ada seorang bule klimis kebingungan aku mulai curiga jangan-jangan ini Gilles, kuperhatikan baik-baik dan sepertinya memang iya...penampilannya memang lebih klimis, rambutnyapun sudah tidak gondrong lagi dan raut wajahnya juga agak lebih tua dari Gilles yang kukenal, tapi bentuk wajahnya masih seperti dulu, lalu aku memanggilnya dengan suara keras di tengah kerumunan para penjemput yang rata-rata berseragam batik dengan desain khas tempat mereka bekerja, "Gilles", kataku dan dia menoleh...sejenak dia memandangiku dengan pandangan menyelidik, lalu sejurus kemudian sambil tertawa keras dia berteriak "Win!...", Katanya....dan akupun tertawa tidak kalah kerasnya menyaksikan 'metamorfosis' fisik yang terjadi pada diri Gilles, kemudian kami berduapun berangkulan dan tidak bisa berhenti tertawa, kami saling mentertawakan perubahan fisik yang terjadi pada diri kami berdua dibandingkan 12 tahun yang lalu, perubahan fisik yang paling mencolok pada kami berdua terutama ada di wilayah perut.

Gilles kemudian memperkenalkan istrinya Florence yang baru dia nikahi dua hari yang lalu. Wajah Florence istri Gilles ini lebih mirip wajah orang Rusia ketimbang orang Perancis, rambutnya pirang, wajah dan bentuk tubuhnya tidak bisa tidak mengingatkan orang pada sosok Maria Sharapova, petenis wanita yang baru saja menjadi petenis wanita peringkat satu dunia versi WTA pasca mundurnya Justine Henin dari dunia tenis profesional. Flo, begitu nama panggilannya, bekerja sebagai staf pemasaran di Mirabella sebuah perusahaan kosmetik yang merupakan anak perusahaan L'oreal sebuah merek kosmetik terkenal di Perancis, berbeda dengan L'oreal yang menggarap pasar kelas menengah, Mirabella ini mengkhususkan diri untuk menggarap pasar kosmetik dengan kategori 'low-end'.

Florence sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. jadi mau tidak mau aku harus berbicara dalam bahasa Perancis, ketika kami mulai bicara Gilles pun kaget melihat perkembangan bahasa perancisku yang jauh lebih maju dibandingkan saat kami bertemu terakhir kali 12 tahun yang lalu, ya iyalah...udah 12 tahun, kalo cuma sebegitu-begitu aja ya bukan berkembang namanya. Selama ini kami berkomunikasi melalui e-mail selalu menggunakan bahasa Inggris.

Dari Cengkareng aku langsung mengajak Gilles dan Flo, ke rumahku di bilangan cempaka putih Jakarta Timur, istriku sudah menyiapkan makanan buat mereka berdua di sana. Untungnya lokasi rumahku tidak terlalu jauh dari pintu gerbang Tol jadi Gilles dan Flo tidak perlu merasakan suntuknya macet di Jakarta yang terkenal itu, bagaimana tidak suntuk kalau jalan Tol yang selancar ini oleh mereka masih saja disebut 'embouteillage " kata perancis untuk menyebut 'macet' belum tahu kalian", kataku, "ntar kita coba ke Sudirman lewat Salemba via tanah abang, biar kalian tahu yang namanya 'embouteillage' itu kayak gimana".

Maklumlah si Gilles ini biarpun sudah pernah ke Sabang, Takengon, Danau Toba dan Bukit Lawang tapi sama sekali belum pernah ke Pulau Jawa, soalnya Jalur back packers dari eropa untuk asia tenggara lazimnya memang turun di Bangkok terus muter-muter di sekitar Laos, Kamboja, Vietnam, terus ke Penang nyebrang ke Sumatra melalui Belawan kemudian muter-muter di Pulau kita ini, mulai dari Sabang, Lhok nga, lalu naik bis ke Medan kembali menginap di seputaran Mesjid Raya lalu ke Bukit Lawang, Prapat dan paling jauh ke Bukit Tinggi. beberapa back pakers yang lebih berjiwa petualang dari Sabang mengambil jalur ke Takengon, nyambung ke Blang Kejeren lalu Kuta Cane baru ke Medan lagi. Akibat dari jalur perjalanan yang seperti ini ya seperti Gilles ini yang meskipun sudah ke Indonesia tapi masih sangat asing dengan suasana kota Jakarta.

Gilles dan Florence menginap semalam di rumahku di Jakarta, tidak banyak yang kami lakukan di Jakarta, malamnya aku dan istriku mengajak Gilles makan malam di food court Mal Kelapa Gading yang tidak terlalu jauh dari rumahku.

Besok paginya, kami berangkat ke Bali dengan menumpang pesawat Lion air. Sebenarnya Gilles dan Flo tidak dibenarkan oleh pemerintah negara mereka yang tergabung dalam Uni Eropa untuk berpergian di Indonesia dengan menumpang maskapai penerbangan lokal, tapi dasar bandel mereka berdua tidak peduli larangan itu. Uni Eropa menilai melarang warganya menaiki pesawat milik maskapai penerbangan Indonesia, karena Uni Eropa Menganggap pemerintah Indonesia yang selalu hanya bisa menemukan solusi instant dalam meangani setiap masalah ini (contohnya solusi menaikkan harga BBM beberapa hari yang lalu) tidak becus dalam menangani masalah keselamatan terbang, terbukti dari banyaknya terjadi kecelakaan udara, ditambah lagi Uni Eropa tidak bisa menerima pesawat komersial dijadikan sebagai tempat operasi Intelijen yang telah menghilangkan nyawa Munir yang mantan ketua KONTRAS itu, oleh pemerintah Indonesia penyelesaian kasus ini tidak pernah benar-benar ditangani dengan serius sehingga kasusnya yang sudah sedemikian jelas masih mengambang hingga sekarang.

Larangan terbang menggunakan maskapai penerbangan dalam negeri ini sangat memukul agen-agen perjalanan wisata di Indonesia dan juga pengusaha pariwisata di daerah di luar Bali. efek larangan terbang ini bagi pariwisata Indonesia justru lebih parah dibandingkan efek trauma psikologis yang ditimbulkan Bom Bali I dan II yang tampaknya saat ini perlahan-lahan mulai hilang, terbukti dengan melimpahnya turis asing yang sekarang berkunjung ke Bali saat ini. Larangan Uni Eropa kepada warganya untuk terbang menggunakan maskapai penerbangan dalam negeri ini, berimbas pada agen perjalanan yang tidak bisa lagi menjual paket tur ke Sumatra, Lombok, Pulau Komodo, Toraja sampai ke Wamena.

Padahal paket Tur seperti ini adalah tambang uang bagi agen perjalanan, dan juga menghidupkan denyut perekonomian di daerah tujuan, karena perjalanan seperti ini sangat menarik minat pelanggan-pelanggan potensial dari agen-agen besar eropa seperti Tigre Vanille, Club Med, Jet Tour, Asia Voyage dan lain sebagainya yang para kliennya memang berlibur dengan cara menghabiskan duit, bukan seperti back packers semacam Gilles dan saya dulu yang selalu menginginkan perjalanan maksimal dengan dana minimal. Untuk Tur di pulau Jawa para agen perjalanan sudah menemukan solusinya, yaitu menjual paket Tur dengan perjalanan darat. Meskipun kadang-kadang turis yang datang tidak mempermasalahkan larangan terbang itu, tapi agen perjalanan mereka di Eropa sana tidak mengijinkan para kliennya melakukan perjalanan seperti itu, karena tidak satupun perusahaan asuransi di eropa yang mau menanggung resiko perjalananan warga eropa yang menumpang maskapai penerbangan Indonesia. Jadi kalau Pemerintah Indonesia tidak mampu meyakinkan Uni Eropa untuk mencabut larangan Terbang ini, progaram Visit Indonesia Year 2008 ya cuma omong kosong pemulas bibir.

Akibat larangan ini bukan hanya berimbas pada turis, tapi juga merepotkan diplomat dan ekspatriat yang bekerja di Indonesia. Saya ingat apa yang dialami teman saya Audrey beberapa waktu yang lalu, Audrey ini adalah salah seorang staf di CCF yang sekarang bekerja di L'Alliance Francais Bali , ketika itu Audrey yang sekarang tinggal di Bali perlu datang ke Jakarta untuk menghadiri sebuah acara. untuk bisa ke Jakarta Audrey, terpaksa naik Singapore Airlines ke Singapura baru dari sana di naik pesawat yang sama ke Jakarta, untuk kembali ke Bali Audrey juga terpaksa mengambil jalur yang sama . Meskipun Audrey sendiri sebenarnya tidak begitu peduli dengan larangan terbang itu, tapi karena dia bekerja di lembaga yang berada di bawah naungan pemerintah Perancis, ya dia terpaksa mengikuti aturan itu. Akibat dari larangan uni eropa ini siapa yang untung?...jawabnya ya Singapore.

Setelah satu setengah Jam dalam pesawat kamipun tiba di Bali, pesawat Lion Air yang kami tumpangi mendarat dengan mulus di Bandara Ngurah Rai yang sekarang sudah sangat banyak berubah dibandingkan beberapa bulan yang lalu, di luar gedung bandara sekarang sudah banyak toko-toko souvenir, ada KFC, ada Solaria, Starbucks bahkan Circle-K. Di Bali kami dijemput oleh teman yang saya percayakan mengelola usaha saya di sini, dari bandara kami langsung menuju Kuta, ke rumah yang saya kontrak dan malam itu kami menginap di sana.

Cerita selama di Bali akan saya lanjutkan pada tulisan berikutnya...

Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Tidak ada komentar: