Rabu, 25 Februari 2009

Aceh yang Larut Dalam Langgam Permainan Jakarta

hari ini saya membaca sebuah tulisan dari seorang peneliti di Aceh Institute bernama Fajran Zain yang dia beri judul POLITIK PROFIT-TAKING. dalam tulisan ini Fajran menyoroti panasnya situasi yang terjadi di Aceh di saat menjelang pemilu seperti sekarang ini yang ditandai dengan banyaknya kekerasan yang menurut Fajran tidak lain adalah sebuah rancangan dari Jakarta, tapi orang Aceh tidak menyadarinya, malah sibut bertarung sendiri.

Persis seperti yang dikatakan Fajran, itu pulalah yang saya rasakan terhadap situasi di Aceh saat ini. Orang Aceh sibuk bertarung sendiri sesama orang Aceh dan orang Aceh lupa kalau lawan mereka yang sebenarnya adalah Jakarta.

Saat ini banyak orang Aceh yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, yang merasakan itu sebagai bentuk kekalahan Aceh dari Jakarta. Tapi di Jakarta sendiri jauh lebih banyak lagi yang tidak setuju dengan MoU Helsinki, banyak kelompok ultra nasionalis di sana yang merasa bahwa MoU Helsinki ini adalah bentuk pengkhianatan penyelenggara negara terhadap NKRI.

Beberapa kelompok berpengaruh di Jakarta yang sangat tidak sepakat dan merasa terhina dengan ditandatanganinya MoU Helsinki ini melakukan segala daya dan upaya agar MoU ini batal. Bagaimana caranya?...yang termudah tentu saja dengan memancing supaya Aceh sendiri melanggarnya, sehingga mereka punya alasan untuk melanggarnya pula.

Pancingan inilah yang saya lihat sangat intens mereka lakukan belakangan ini, terutama menjelang pemilu yang tidak lama lagi. Emosi dan kesabaran orang Aceh sekarang benar-benar sedang mereka uji. Tugas mereka serasa lebih mudah karena mereka juga tahu persis kalau gubernur Aceh adalah orang yang dalam menghadapi masalah sangat suka mengedepankan emosi.

Pancingan ini mereka lakukan dari segala lini, baik langsung di dunia nyata untuk mengaduk emosi masyarakat umum maupun di dunia maya untuk memancing emosi masyarakat intelektual. Mereka juga tahu persis di komunitas dunia maya mana para intelektual, aktivis, pegiat LSM dan politikus Aceh berkumpul. Lalu komunitas itulah yang mereka sasar.

Yang menjengkelkan saya adalah dalam melakukan pancingan ini salah satu umpan yang digunakan oleh Jakarta adalah Gayo suku saya. Fenomena "minorities within minorities" dalam relasi Aceh dan Gayo, belakangan ini saya lihat benar-benar dieksplioitasi oleh Jakarta untuk kepentingan mereka.

Beberapa waktu yang lalu di dunia maya ada seorang Gayo yang lahir besar di Jawa, yang menggunakan kegayoannya untuk memancing rasa sentimen kaum intelektual Aceh terhadap suku kami. Dia melakukan itu seolah-olah seperti sedang memaparkan pemikirannya, seolah sedang berusaha membuat opini baru. Padahal yang terlihat jelas sekali yang sedang dia lakukan tidak lain hanyalah untuk memancing emosi para penghuni milis yang berisi segala macam kaum intelektual Aceh yang dia tahu persis kapasitasnya di dunia nyata. Sasaran jelas h supaya komunitas milis ini membenci dia yang dia gambarkan sebagai representasi dari suku Gayo, sehingga komunitas inipun akan membenci suku Gayo secara keseluruhan.

Apa yang dipraktekkan oleh Jakarta di milis juga gencar dilakukan di dunia nyata. Informasi-informasi seperti yang saya baca di berbagai media dunia maya. Itu pula yang saya temukan disampaikan kepada masyarakat di Gayo sana. Sehingga tidak heran, sekarang di beberapa tempat telah muncul kelompok-kelompok militan yang sangat membenci Aceh dan siap berperang dengan Aceh yang dalam persepsi mereka adalah sekelompok orang yang sangat membenci Gayo, sebagaimana yang dipropagandakan oleh orang-orang semacam para propagandis yang marak diberbagai media dunia maya beberapa waktu yang lalu.

Bedanya, jika propaganda mereka di media dunia ini banyak mendapat perlawanan kritis dan bisa dipatahkan. Propaganda mereka di dunia nyata berlangsung mulus dan sempurna tanpa sedikitpun perlawanan dari pemerintah Aceh yang memang menjadi sasaran pembusukan mereka. Bukannya membantu memadamkan, pemerintah Aceh melalui kebijakan-kebijakannya yang aneh dan tidak membumi justru semakin menguatkan argumen-argumen propaganda mereka.

Yang saya lihat, kKetika mereka melakukan propaganda semacam itu terhadap orang Aceh, jelas mereka tidak sedang bermaksud untuk mengubah opini orang Aceh agar menjadi sama dengan opini yang seolah sedang mereka bangun. Mereka melakukan itu, sekali lagi samata hanya untuk mengaduk emosi, targetnya jelas adalah supaya Aceh yang emosinya naik kemudian menyerang Gayo. Inilah yang menjadi sasaran utama mereka, lalu saat itu terjadi, dengan mengatasnamakan GAYO, mereka punya alasan untuk minta perlindungan dari Jakarta.

Ketika mempraktekkan taktik ini, Jakarta juga rupanya sangat memperhatikan perkembangan isu internasional. Dulu saat histeria dunia terhadap bencana tsunami masih sedemikian kuatnya. Mereka tidak melakukan taktik ini karena mereka tahu persis saat itu Aceh masih menjadi pusat perhatian dunia, setiap gerakan kecil yang tidak wajar yang mereka lakukan akan segera mengundang perhatian dan kecaman. Tapi sekarang Jakarta sangat tahu, negara-negara di dunia sudah mulai kembali disibukkan oleh urusan rumah tangga mereka masing-masing. Yang paling aktual sekarang bagaimana menghadapi krisis ekonomi terberat sepanjang sejarah yang sudah di depan mata. Isu utama politik internasional juga sekarang sudah kembali ke 'khittah' asalnya,Timur tengah ditambah dengan isu nuklir Iran dan Korea Utara. Urusan Aceh dan Jakarta, seperti yang sudah-sudah kembali menjadi prioritas kesekian. Kalaupun sekarang Jakarta mulai berani mengusik Aceh lagi, perhatian internasional memang ada, tapi kualitas perhatian itu tidak lagi seintens awal-awal tsunami dulu.

Perkembangan seperti ini sangat disadari sepenuhnya oleh Jakarta, tapi sebaliknya dengan kita di Aceh. Seperti yang ditulis oleh Fajran, para elit baik di pemerintahan maupun ditingkat politisi di Aceh rata-rata tidak menyadarinya. Kita malah sibuk ribut sesama kita sendiri dan tidak menyadari kalau saat ini kita sudah larut dalam taktik dan langgam permainan Jakarta.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Rabu, 18 Februari 2009

Berbuat Tidak Harus Berorientasi Pada Hasil

Saat saya menulis surat terbuka untuk Irwandi, seorang teman berkomentar "Aku suka sama tulisan kee ni Win, tapi siapa yang bisa menjamin tulisan kee ni bisa sampe ke Meja Irwandi?". begitu kata teman saya ini. Intinya, sebenarnya teman saya ini ingin mengatakan 'ngapain susah-susah nulis kalau sudah tahu hasilnya tidak terlalu bisa diharapkan'.

Dulu saat saya juga mulai menulis segala macam argumen untuk menolak ide pendirian provinsi ALA, seorang teman lain juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, "buat apa kee susah-susah menolak, sementara orang-orang yang ingin mendirikan Provinsi ALA sudah terkonsolidasi sedemikian kuatnya, sudah membangun jaringan yang sangat kuat baik di pusat maupun di Gayo sendiri. Sudah begitu mereka didukung oleh dana yang kuat pula". Pokoknya si teman ini ingin mengatakan kalau apa yang saya lakukan itu adalah sesuatu yang sia-sia.

Menurut saya sendiri, apa yang dikatakan oleh kedua teman saya ini adalah bagian dari cara pandang keduanya dalam melihat dunia. Cara pandang yang berbeda dengan cara pandang saya sendiri. Kedua teman saya ini memandang dunia dengan cara pandang mainstream yang berlaku di dunia modern saat ini yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme-nya Amerika. Setiap usaha yang dilakukan harus mendapatkan hasil yang setimpal.

Sementara saya sendiri sudah lama sekali meninggalkan cara pandang seperti itu. Ketika berbuat sesuatu, saya sudah tidak pernah lagi memikirkan apa hasil dari usaha yang saya lakukan itu nantinya. Dalam melakukan sesuatu, bagi saya yang penting adalah apa yang saya lakukan itu BENAR menurut kriteria saya. Dan apa yang saya anggap benar itu akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya dan saya nikmati prosesnya. Soal hasil, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, banyak dari faktor-faktor itu yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Jadi soal hasil saya terbiasa menyerahkan kepada takdir saja. Soal proses, baru itu urusan saya.

Dalam membesarkan anak misalnya. Saya sama sekali tidak peduli nanti sudah besar anak saya mau jadi apa. Yang terpenting bagi saya saat ini adalah memberikan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik buat dia. Apakah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik itu nantinya anak saya pasti jadi lebih baik dari anak-anak lain yang mendapatkan pendidikan dan kasih sayang tidak sebaik dia?...tidak ada yang menjamin. Sayapun tidak pernah mempedulikan itu, yang jelas tugas saya saat ini memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik buat dia, soal hasil nanti biar takdir yang menetukannya.

Saat menulis surat terbuka terhadap Irwandi atau ketika saya menyatakan penentangan secara terbuka terhadap ide pembentukan provinsi ALA. Saya juga didasari oleh cara pandang yang sama. Saya hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Soal hasil saya tidak mempedulikan.

Soal ini, Logika yang saya anut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan logika yang digunakan kedua teman saya. Jika mereka mengatakan buat apa menulis dan capek-capek menentang kalau sudah tau akan gagal. Saya berpikir, kalau sudah berbuat saja sudah hampir pasti gagal apalagi kalau kita diam menunggu nasib dan tidak berbuat apa-apa.

Jadi ketika menulis surat terbuka pada Irwandi, saya tahu persis kalau adalah tidak mungkin surat itu bisa mengubah langsung cara pandang Irwandi yang makin lama makin kelihatan mental inlandernya yang minder terhadap orang asing berkulit putih dan berambut pirang. Yang setiap titahnya dituruti oleh Irwandi dengan takzimnya seperti titah para dewa. Irwandi jelas tidak pernah menyadari kalau para bule penasehatnya itu cuma bisa berpikir dalam batas pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional.

Bule-bule di sekitar Irwandi itu sebenarnya sama seperti para Ekonom IMF ketika mereka membuat teori ekonomi, teori yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Pengalaman yang khas ini menggantung di belakang pikiran mereka, terproyeksi keluar melalui teorinya seolah-olah situasi pengalaman itu sendiri sifatnya 'universal'. Orang Amerika misalnya, rata-rata taat hukum dan katakan saja punya sikap ABC terhadap bisnis; jadi waktu orang Amerika berpikir ekonomi, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'taat hukum' & 'sikap ABC'tadi MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Kedua sikap itu adalah sikap masyarakat Amerika sana yang sudah begitu dari dulu secara terberi.

Ketika Irwandi menggunakan kecerdasan para penasehat asingnya itu dalam soal pengelolaan hutanpun ya sama saja. Ketika para penasehat Irwandi membuat teori kehutanan, teori kehutanan yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Dalam pikiran mereka mana terpikir orang di pinggir hutan yang hidup dari menebang satu dua batang kayu, dalam pikiran mereka tidak terbayangkan kalau satu batang pohonpun tidak boleh ditebang, akan banyak orang yang hidup di sekitar hutan yang keparan. Jadi waktu orang asing penasehat Irwandi berpikir soal hutan, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'kesadaran atas global warming', 'hutan tropis adalah paru-paru dunia' & 'sikap ABC lainnya' yang MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Sebenarnya itu adalah sikap masyarakat mereka di negerinya sana yang sudah begitu secara terberi.

Karena itulah banyak kebijakan Irwandi yang tidak membumi, dan konsep Aceh Green-nya ditertawakan orang di kanan-kiri.

Sama dengan teori-teori yang dipakai para pegiat ALA di Jakarta sana. Ketika membayangkan penyelesaian seperti apa yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Mereka yang sejenis dengan Kosasih yang membuat teori-teori itu, tidak pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi di Aceh. Inilah yang mendasari keluarnya teori 'PERANG BODOH' yang legendaris itu. Itu terjadi karena tanpa sadar mereka mendasarkan segala teorinya pada sikap dan kesadaran masyarakat di Jakarta dan pulau jawa sana, yang memang sudah begitu dari dulu secara terberi. Karena itu pulalah segala macam argumen dan teori mereka tidak membumi.

Masalahnya orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini. Orang-orang waras yang bisa menilai segala sesuatu dengan jernih, sebisa mungkin dijauhkan dari sekitar mereka, karena keberadaan orang-orang seperti ini akan merusak rencana yang mereka pikir baik dan mereka pikir sudah sama sekali tidak ada cacat celanya.

Tapi meskipun sudah begitu keadaannya, tidak ada alasan buat saya untuk berhenti menyampaikan ide dan pemikiran saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti melawan mereka, meski saya tahu peluang saya untuk menang kecil sekali.

Bagi saya, meskipun saya gagal kali ini. Itu sama sekali bukan masalah besar. Yang penting saya tidak tinggal diam melihat proses kehancuran suku dan bangsa saya. Kalaupun kali ini saya tidak berhasil, paling tidak nanti saya bisa memperlihatkan pada anak dan cucu saya. Kalau dalam proses kehancuran yang dialami oleh suku dan bangsanya itu saya tidak tinggal diam saja. Saya sudah berusaha. Dan mudah-mudahan nanti anak cucu saya bisa terinspirasi dan melanjutkan apa yang sudah saya lakukan hari ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Selasa, 17 Februari 2009

Dipenjara Karena Membela Kehormatan Aceh dan Gayo...Kenapa Tidak?

Usaha Kosasih untuk menghancurkan Aceh dan Gayo kini memasuki babak baru. Setelah sekian lama dia bersembunyi di balik topeng

budi halusnya, akhirnya kini saya berhasil melucuti topeng terakhirnya dan Kosasihpun kini mau tidak mau terpaksa muncul

dengan wajah aslinya yang kejam dan ganas. Wajah kejam dan ganas yang selama ini dia sembunyikan dengan rapi. Sekarang

Kosasih sudah tanpa malu-malu lagi menunjukkan jati dirinya yang sebenarnya yang mau menghalalkan segala cara untuk mencapai

tujuannya.

Untuk saya sendiri, ketika saya memutuskan untuk memulai proyek pelucutan Topeng Kosasih. Saya sangat sadar kalau ancaman

seperti yang dikeluarkan Kosasih ini memang hanya tinggal menunggu waktu saja dan sudah saya perkirakan memang akan muncul

dalam waktu yang tidak terlalu lama. Karena sudah saya perkirakan inilah, saya benar-benar berhitung dengan cermat kapan

waktunya yang tepat buat saya untuk memulai proyek pelucutan topeng Kosasih ini. Untuk memulai proyek ini saya terlebih

dahulu menunggu momen yang tepat. Momen yang tepat itu adalah Momen ketika saya bisa memastikan kalau saya tidak perlu lagi

hadir secara fisik dalam usaha yang selama ini saya bangun. Jadi kalaupun dalam usaha saya membuka topeng Kosasih ini saya

menghadapi situasi yang paling buruk, anak dan istri saya tidak akan lagi bermasalah dari segi ekonomi. Dan sekarang momen

itu sudah tiba, usaha yang saya jalani sekarang sebenarnya tidak lagi membutuhkan kehadiran saya secara fisik, kalaupun

sekarang saya masih menjalani sendiri, itu lebih hanya karena adanya unsur petualangan dalam usaha ini dan itu tidak ingin

saya lewatkan.

Tapi ketika saya melihat ada petualangan baru yang lebih menantang, tentu saja saya sedikitpun tidak keberatan untuk

meninggalkan aktivitas saya yang sekarang yang lama-lama sudah mulai membosankan juga.

Membaca ancaman Kosasih, saya seperti menemukan semangat untuk memulai petualangan baru lagi dan yang namanya petualangan

baru selalu merupakan hal yang mengasyikkan bagi saya.

Sudah banyak hal yang saya alami, entah itu menjelajahi berbagai hutan dan gunung di negeri ini, mengunjungi berbagai kota di

negeri ini dan manca negara sambil mengenal orang-orangnya bahkan saya pernah menjadi gelandangan dalam arti yang sebenarnya.

Tapi tinggal di penjara dalam arti yang sebenarnya belum pernah saya rasakan.

pengalaman menjadi gelandangan, terjadi tepat 6 tahun yang lalu pada februari tahun 2003 ketika saya memutuskan pindah ke

Bali, setelah seluruh uang saya dan partner asing saya sejumlah 350 juta digelapkan oleh partner bisnis saya, orang Gayo asal

Bebesan yang bernama IRUL, yang sekarang saya dengar sudah membuka konter HP di Banda Aceh.

Saat itu saya ke Bali tepat 4 bulan setelah Legian dihantam Bom oleh Amrozi dan kawan-kawan. Saya datang ke Bali pada saat

semua orang keluar dari Bali karena kehilangan pekerjaan akibat sepinya kedatangan turis asing yang membuat efek domino ke

seluruh segi kehidupan orang Bali. Sampai tukang bakso, tukang ikan dan tukang sayur asal Jawapun tidak bisa lagi menghidupi

diri di Bali karena tidak ada orang yang membeli dagangan mereka. Saat itu dengan modal hanya 1 juta di kantong saya

menggelandang kemana-mana.

Pada masa menggelandang itu banyak sekali pengalaman menarik yang saya dapati. Kesempatan yang saya dapatkan waktu itu

membuat saya bisa mengenal berbagai macam orang di lapisan bawah strata sosial, yang bertahan untuk hidup dengan menggunakan

segala potensi dirinya yang mungkin bisa dia olah menjadi uang. Pada masa ini, di lorong-lorong kecil Poppies Lane I dan II,

Bene Sari, Sahadewa dan putihnya pasir pantai Kuta saya berkenalan dengan Dian, pelukis jalanan yang berbicara gagap asal

Subang yang kualitas lukisannya mengimbangi karya Basuki Abdullah. Saya juga berkenalan dengan dua orang pemuda asal Ambon

yang bekerja sebagai gigolo yang akibat pekerjaannya sama sekali tidak bisa lagi tertarik pada perempuan muda, mata mereka

hanya tertarik melihat bule-bule yang sudah tua. Saya juga bertemu dan bersahabat dengan seorang penjual narkoba palsu asal

Jember yang bertahan hidup dengan menjual hassis palsu yang dia buat dari jamu Jago, Kokain palsu yang dia buat dari bubuk

obat sakit kepala naspro yang digiling halus, Ganja palsu dari daun kenikir dan berbagai narkotika palsu lainnnya. Beberapa

kali turis asing konsumen teman saya ini merasa tertipu dengan narkoba yang dia beli, tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa

karena tidak mungkin mereka bisa melaporkan teman saya ini ke Polisi dengan alasan melakukan penipuan. Beberapa kali pula

teman saya ini ditangkap oleh Polisi yang rupanya telah lama mengamati gerak-geriknya, tapi ketika tertangkap dan diketahui

ternyata barang bukti hassis yang dijual adalah Jamu Jago, hukuman yang harus diterima teman saya ini adalah disuruh menelan

habis barang dagangannya.

Saya sendiri bertahan hidup dengan menjualkan perak milik orang Bali asal Karangasem bernama Bli Made yang entah kenapa

merasa prihatin melihat saya dan langsung mempercayakan saya untuk menjajakan peraknya yang bernilai ratusan juta saat dia

harus kembali ke kampungnya ke Karangasem untuk mengikuti berbagai upacara keagamaan. Bli Made ini pula yang memberi saya dua

cincin perak yang salah satunya saya jadikan mas kawin saat saya menikahi istri saya tahun 2004.
Cukup lama saya menjalani hidup menggelandang seperti ini sampai saya bertemu dengan orang Gayo yang memberi saya tempat

disebuah bengkel pembuatan sandal miliknya dan selama 6 bulan saya tinggal di sana tidur diantara spons dan karet material

pembuat sandal dan bertahan hidup dengan penghasilan 3000 rupiah sehari. Meskipun banyak orang melihat kehidupan yang saya

jalani selama setahun itu sangat jauh dari layak, tapi latar belakang saya sebelumnya membuat saya justru bisa menikmati

kehidupan seperti ini, karena bagi saya itu adalah petualangan. Selama masa itu saya belajar soal segala seluk beluk bisnis

di Bali, mengenal karakter orang-orangnya membangun jaringan dan akhirnya memiliki usaha sandal sendiri lalu sekarang

berekspansi ke usaha Pariwisata dan punya usaha lain di Jakarta.

Ketika Kosasih mengancam akan melaporkan saya ke Polisi. Saya menganggap ancaman ini bukan ancaman main-main, tentu saja

kalau itu nanti terjadi sayapun bisa mengajukan bukti-bukti bahwa Kosasihlah yang memulai mencari gara-gara terhadap saya.

Tapi seperti yang saya katakan, dalam hukum positif penilaian akhir terhadap suatu masalah hukum akan tetap berada di tangan

para aparat penegak hukum. Nah melihat latar belakang Kosasih dan siapa-siapa saja yang ada di belakang Kosasih, saya sama

sekali tidak akan kaget kalau dalam pertarungan melalui jalur hukum positif ini sayalah yang akan berada di pihak yang kalah

dan mau tidak mau harus mendekam di penjara. Dan setelah saya pelajari latar belakangnya, sayapun sama sekali tidak kaget

membaca ulasan Kosasih yang sangat mengetahui detail masa lalu saya.

Kenyataan inilah yang membuat saya sangat antusias. Apalagi setelah saya membaca buku Abal-abal karangan Arswendo Atmowiloto

yang berdasarkan atas pengalamannya selama menjalani hukuman Penjara. Melalui buku itu saya melihat ternyata kehidupan

penjara itu sangat menarik untuk diamati dan dibukukan. Ketika saya menceritakan hal ini pada istri dan anak saya, istri dan

anak sayapun menanggapinya sama antusiasnya dengan saya. Karena suami dan bapak masuk penjara juga akan merupakan hal baru

bagi mereka berdua.

Memang sebelumnya saya sudah pernah mengalami tinggal di balik jeruji, tapi saat itu saya ditahan di tahanan militer, bukan

tahanan sipil. Tahanan militer ini tidak menarik dan membosankan karena isinya tidak banyak dan yang tidak banyak itupun isi

kepalanya persis sama seperti isi kepala saya, karena mereka adalah teman saya sendiri. Sama sekali tidak ada variasi seperti

dalam tahanan sipil sebagaimana digambarkan Arswendo dalam buku Abal-Abal-nya. Apalagi dalam tahanan militer itupun saya

hanya sempat ditahan satu hari karena oleh masyarakat yang merasa saya dan dua teman saya yang lain ditahan karena membela

kepentingan dan hak mereka, memilih bertahan di gedung DPRD sampai kami bertiga di lepaskan. Salah satu teman yang ditahan

bersama-sama dengan saya saat itu, bernama LUKMAN AGE yang sekarang bekerja sebagai direktur Aceh Institute.

Yang paling saya ingat saat itu adalah ketika saya diinterogasi oleh petugas militer di sana. Pada akhir interogasi si bapak

petugas itu mengatakan kalau seluruh data diri saya yang mereka catat hari itu akan disebarkan ke seluruh Kodim, Korem dan

institusi militer lainnya di seluruh Indonesia. Dan karena itu saya tidak akan mudah mendapatkan surat berkelakuan baik.

Karena nama saya sudah tercatat dalam buku besar Angkatan Darat, menurut si bapak petugas saya juga akan sulit sekali untuk

menjadi pegawai negeri apalagi anggota ABRI. Kebetulan pada waktu itu menjadi pegawai negeri apalagi menjadi anggota ABRI,

adalah dua hal yang sama sekali tidak pernah terlintas di kepala saya. Jadi resiko ini sama sekali tidak ada pengaruhnya buat

saya.

Dulu saya ditahan di KODIM hanya karena ledakan emosi masa muda saya yang terpancing saat saya melihat sebuah perusahaan HTI

besar milik konglomerat besar Ibrahim Risjad yang bekerja sama dengan Liem Sioe Liong dengan seenak perutnya mencaplok lahan

warga Kuta Baro yang oleh perusahaan ini di klaim termasuk lahan kerjanya yang telah disetujui oleh pemerintah pusat di

Jakarta. Secara sepihak perusahaan ini memagar lahan milik warga, dan meracuni sapi-sapi milik warga yang mencari makan di

lahan yang mereka klaim telah diberikan izin oleh Jakarta untuk mereka kelola. Mengetahui ini sayapun tidak menolak ketika

seorang teman mengajak Saya, Lukman dan beberapa teman lainnya untuk mendampingi masyarakat desa ini berdemo ke DPRD Aceh.

Saya dan Lukman tertangkap karena kami berdua memegang spanduk secara mencolok tepat di depan hidung para anggota DPRD yang

diam seribu basa ketika satu truk pasukan berbaju loreng dari Kodim masuk ke halaman gedung tersebut dan menangkap kami

berdua, memegangi tangan dan kaki saya tepat di depan hidung para anggota dewan terhormat tersebut.

Yang membuat saya lebih bersemangat membaca ancaman Kosasih ini adalah ketika saya memahami alasan seandainya kali ini saya

benar-benar di penjara.
Kali ini kalau benar saya jadi ditahan nanti, alasan akan lebih personal dan lebih emosional bagi saya, bukan hanya sekedar

akibat dari ledakan emosi masa muda. Kali ini, kalau saya benar ditahan nanti, ini akan menjadi sebuah kehormatan dan

kebanggaan besar bagi saya sebab kali ini saya ditahan karena membela kehormatan dan harga diri Aceh dan terutama GAYO suku

saya sendiri.

Yang lebih istimewa lagi, kalau saya benar dipenjara akibat laporan Kosasih ini, saya yakin ini akan menjadi berita

menarik.Seorang blogger provokator yang selama ini memprovokasi dan melecehkan orang Aceh dan orang Gayo. Yang tanpa

didukung data yang bisa dipertanggungjawabkan mengatakan kata Aceh berasal dari kata ASU, Orang Aceh hanya bisa ONANI, Didong

Jalu yang budaya Gayo menjadi begitu terus terang adalah karena hasutan dari Snouck Rounge (maksudnya Snouck Hurgronje).

Justru secara ajaib merasa nama baiknya tercemar karena kalah beradu argumen dengan seorang blogger lain yang mempertahankan

harga diri pribadi dan sukunya dan berhasil mementahkan semua argumen kosongnya. Si Blogger Provokator ini kemudian

melaporkan lawan debatnya ke polisi dan berhasil memenjarakan lawan yang tidak bisa dia kalahkan di dunia maya. Hmmm...berita

semacam ini tentu akan menjadi berita istimewa menjelang akhir masa tugas pemerintahan SBY-Kalla.

Tapi kalau ancaman Kosasih ini hanya gertak sambal saja, ini juga tidak apa-apa. Karena ini sekaligus bisa jadi pelajaran

bagi siapapun juga yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga diri Aceh dan juga GAYO suku saya di berbagai media

internet. Karena kalau nanti kedepan ada yang mencoba berbuat seperti itu dan saya menemukannya, mereka harus tahu selama

saya masih bebas dan belum dipenjara. Saya bisa pastikan kalau orang sok jago yang mencoba-coba mengusik kehormatan dan harga

diri Aceh dan juga GAYO suku saya akan saya buat remuk redam lebih dari yang telah saya lakukan pada Kosasih hari ini. Untuk

Kosasih sendiri terus terang saya masih cukup banyak menahan diri, karena untuk Kosasih saya sangat menyadari bahwa sebangsat

apapun dia, bagi saya karena darah Gayo yang mengalir di nadinya, Kosasih tetap serinen saya.

Wassalam

Win Wan Nur
ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com
www.winwannur.blogspot.com

Rabu, 11 Februari 2009

Surat Terbuka Untuk Bang Wandi Bag II

Bang Wandi, dulu di awal-awal aku bergabung di milis ini, aku pernah mengatakan bahwa dalam setiap konflik dan pertarungan memperebutkan suatu wilayah, selalu terjadi apa yang disebut 'battle of the mind' yaitu sebuah usaha untuk menjadi pemegang sudut pandang massa.

Untuk memenangkan 'battle of the mind' ini, sejak jaman dulu berbagai cara dilakukan orang, asal cara pandangnya berlaku, para aktor yang terlibat dalam 'battle of the mind' menggunakan berbagai cara baik yang sifatnya objektif entah itu dengan cara jajak pendapat, bukti statistik dan lain-lain. Atau dengan cara subjektif seperti yang dilakukan Kosasih beberapa waktu yang lalu yaitu dengan cara-cara yang dia akui sebagai cara bermoral kek, cara Tuhan kek, cara nabi atau cara apa saja.

Menurutku, konflik antara Aceh versus Jakarta, jelas adalah pertarungan memperebutkan suatu wilayah. Sehingga yang terjadi di Acehpun sebenarnya adalah 'battle of the mind'.

Dalam 'battle of the mind' antara Aceh versus Jakarta, bertahun-tahun Aceh terus tertekan. Ibarat main catur, Aceh terus kena SKAK dan hanya bisa terus menghindar tanpa bisa memberi perlawanan berarti, sehingga seolah-olah Aceh hanya tinggal menghitung hari.

Tapi tanpa diduga terjadi sebuah momentum yang membalikkan segalanya, Aceh dilanda tsunami. Bencana yang dianggap salah satu bencana terbesar dalam sejarah modern umat manusia.

Oleh orang yang tidak percaya Tuhan, bencana Tsunami ini dianggap sebagai fenomena alam biasa.

Oleh orang yang gemar teori konspirasi, bencana Tsunami ini dianggap sebagai akibat dari test nuklir bawah laut yang dilakukan Amerika.

Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sedemikian buasnya (lagi-lagi Kosasih yang paling tepat kita gunakan sebagai contohnya), bencana Tsunami ini dimaknai sebagai hukuman Tuhan terhadap orang Aceh yang memberontak terhadap Jakarta, bencana Tsunami ini dimaknai hukuman Tuhan bagi manusia yang tidak mematuhi 'ulil amri'nya di Jawa sana.

Oleh para pemuja Tuhan yang memahami Tuhan sebagai suatu entitas yang sebegitu maha pengasih dan maha penyayangnya, bencana ini difahami sebagai rahmat terselubung dari Tuhan terhadap orang Aceh yang selama ini terus ditindas Jakarta. Bencana ini membuat Aceh jadi terbuka, membongkar kepada dunia semua ketidak adilan yang selama ini ditutupi oleh Jakarta dan yang terpenting memberi akses yang sedemikian luas bagi orang Aceh untuk meningkatkan kapasitas dirinya.

Terserahlah orang mau memaknai bencana Tsunami itu dari sudut pandang mana, yang jelas pasca Tsunami kulihat angin berbalik, Aceh yang biasanya tertekan kini bisa melakukan SKAK MESA. Yang ditandai dengan ditanda tanganinya MoU Helsinki dan kemudian diikuti dengan terpilihnya Bang Wandi sebagai gubernur.

Oleh kita di Aceh, situasi yang berbalik ini disambut dengan gegap gempita dan penuh euforia, seolah-olah raja lawan sudah tumbang dan pertarungan telah benar-benar dimenangkan. Padahal faktanya kita baru memiliki MESA. Lawan masih punya kekuatan lebih dari cukup untuk menumbangkan raja kita.

Sialnya MESA di tangan benar-benar telah melenakan kita. Sejak MESA lawan di tangan kita, kita benar-benar bertarung tanpa arah dan strategi yang jelas. Kita jadi ribut sesama kita sendiri dan lupa bahwa lawan kita yang sebenarnya itu adalah Jakarta.

Kita lupa pertarungan masih terus berjalan, tanpa MESA, lawan menyusun kekuatan strategi dan langkah yang mengepung setiap celah gerak kita.

Ternyata MESA di tangan sama sekali bukan keuntungan, sebaliknya bisa jadi inilah awal dari kekalahan permanen kita.

MESA di tangan telah membuat kita semua seolah lupa kalau Jakarta yang telah kita permalukan jelas-jelas sangat ingin membalas kekalahan.

Jakarta lawan kita itu bukan lawan biasa, mereka sangat mahir dan cermat membaca setiap gerak kita dan menyiapkan pukulan telak ke arah titik terlemah kita.

Mereka sangat memahami kondisi psikologis massa yang labil saat berada dalam situasi transisi, di mana masyarakat berharap tinggi pada perubahan dan merekapun tahu persis kalau harapan tinggi itupun akan cepat sekali berubah menjadi frustasi saat masyarakat menerima kegagalan.

Pemahaman seperti inilah yang membuat Jakarta sangat berkepentingan dan sangat berharap pemerintahan Bang Wandi gagal. Mereka tahu persis kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh bernostalgia ke masa lalu. Mereka tahu persis, kegagalan Bang Wandi akan membuat masyarakat Aceh merindukan masa, saat Aceh masih sepenuhnya di bawah kendali Jakarta.

Melihat gerak langkah pemerintahan Bang Wandi belakangan ini. Dalam berbagai skala, harapan Jakarta itu sudah terjadi. Dan sejauh ini, atas 'kemenangan kecil' Jakarta itu, kami melihat sama sekali belum ada gerak tangkal alias jawaban yang mantap dari Bang Wandi. Inilah yang membuat kami yang di luaran sini banyak yang merasa gugup.

Perlu Bang Wandi tahu, saat ini sangat banyak orang di luaran sini yang berniat membantu Bang Wandi, mereka berniat membantu karena mereka sadar betapa sulitnya posisi kita sekarang, mereka melihat segala bangunan kebebasan yang dari dulu kita perjuangkan, saat ini benar-benar terancam dan sedang berada diambang kehancuran.

Tapi bagaimana orang-orang di luaran sini mau membantu kalau setiap kali diingatkan Bang Wandi langsung kumat darah tinggi?...sampai-sampai siapa bicara dengan siapa di SOLONG pun abang mata-matai.

Wassalam

Win Wan Nur

Sabtu, 07 Februari 2009

Meninggalnya Aziz Angkat dan Surat Terbuka Buat Bang Wandi

Bang Wandi gubernur kami, kemarin aku nonton TV. Kulihat SBY bereaksi keras atas meninggalnya Aziz Angkat, Ketua DPRD Sumatera Utara di tangan para demonstran yang menuntut pembentukan Provinsi Tapanuli. Momen itu langsung membuat SBY menegaskan kalau tahun ini tidak ada lagi pemekaran, baik kabupaten maupun provinsi.

Bukan hanya SBY, tapi opini masyarakat secara nasionalpun sekarang sudah mengarah ke anti segala bentuk pemekaran wilayah. Seperti SBY bilang dan juga dulu selalu aku katakan bahwa ide-ide pemekaran wilayah ini lebih banyak hanya untuk kepentingan segelintir elite lokal.

Aku yakin, angin yang berubah ini sedikit membuat hilang pusing di kepala Bang Wandi yang diakibatkan oleh bermacam tuntutan pemekaran ini, baik itu oleh ALA maupun ABAS.

Tapi Bang Wandi, meski momen ini menguntungkan, jangan Bang Wandi pikir Bang Wandi dan kita semua yang menolak pemekaran sudah menang. Belum Bang Wandi ini masih awal dari pertarungan.

Perlu Bang Wandi tahu, aku juga seperti Bang Wandi, tidak setuju dengan ide-ide yang dikembangkan pra elit lokal di daerahku soal pembentukan Provinsi ALA. Tapi dalam memandang mereka, aku berbeda sudut pandang dengan Bang Wandi. Meski berseberangan ide denganku, tapi aku mengakui kalau mereka itu, orang-orang di balik Ide ALA itu di tingkat lokal adalah orang-orang lama yang merupakan para politikus jempolan yang sangat berpengalaman.

Mereka bukan orang-orang seperti Bang Wandi yang suka menyelesaikan masalah dengan cara pamer emosi. Mereka adalah orang-orang yang sangat mengerti kapasitas diri mereka sendiri. Misalnya untuk urusan ALA ini. Mereka tahu persis, Ide mereka ini akan mentah kalau dibawa ke ranah rasional, melalui perdebatan ilmiah yang mempertanyakan studi kelayakan yang mumpuni. Karena itulah sejak awal cara-cara seperti itu selalu mereka hindari.

Jadi kalau kemarin SBY bilang, ide-ide pemekaran ini bukan didasarkan atas suatu studi kelayakan yang teruji, bukan atas alasan-alasan rasional dan lebih kentara urusan kepentingan elit lokal. Dari dulu mereka tahu itu. Soal mereka tidak bisa mempertahankan ide mereka secara ilmiah, dari dulu mereka tahu itu. Buktinya bisa Bang Wandi lihat di milis ini, beberapa kali mereka mencoba dengan cara itu, berkali pula mereka terkaing-kaing dan kemudian bersembunyi. Mereka tahu persis soal ide-ide pemekaran ini mereka akan habis jika mereka mencoba menyelesaikannya dengan cara diskusi.

Jadi urusan SBY bilang pemekaran dihentikan dan opini yang berkembang secara nasional juga demikian, itu bukan hal baru bagi mereka. Karena itu sudah sangat mereka sadari. Dan sejak dulu merekapun tidak pernah berusaha untuk berjuang dengan strategi ini.

Perlu Bang Wandi tahu, dari dulu cara mereka menggoalkan ALA adalah dengan berusaha menciptakan KONFLIK TERBUKA. Isu-isu kesenjangan, ide ketidak adilan, diskriminasi terhadap minoritas, penindasan Aceh terhadap Gayo, peminggiran dalam segala bidang. Inilah ide-ide yang selama ini mereka kembangkan, tidak peduli apakah ide itu berdasarkan fakta atau bukan.

Mereka bermain di situ, dan setiap mereka melihat ada celah kecil yang memungkinkan buat mereka memainkan isu itu, celah itu akan mereka masuki dan mereka perlebar.

Aku tahu persis kalau Bang Wandi tidak benar-benar mengenal mereka, Bang Wandi sama sekali tidak tahu apa kelebihan dan apa kekurangan mereka. Tapi sebaliknya mereka sangat mengenal setiap detil kecil kelemahan dan kekurangan Bang Wandi yang dengan cermat mereka kantongi. Setiap ada kesempatan, setiap Bang Wandi membuat satu kesalahan kecil, kesalahan Bang Wandi itulah yang mereka eksploitasi.

Perlu Bang Wandi tahu, Selama di Gayo beberapa waktu yang lalu, aku berkeliling ke berbagai pelosok, menyaksikan dan merasakan sendiri bagaimana perasaan warga di tanahku sendiri.

Mungkin selama ini di koran, di TV atau dari bisikan pembantu Bang Wandi sendiri, informasi yang masuk mengatakan Masalah ALA ini masih dalam tataran elit dan itu Bang Wandi percayai. Tapi apa yang kusaksikan di Gayo sama sekali lain. Di beberapa tempat, soal ALA ini malah sudah menimbulkan sikap militansi, dan kenapa itu bisa muncul?...itulah yang kubilang tadi, lawan Bang Wandi soal ALA ini adalah para politikus jempolan. Untuk mempengaruhi emosi rakyat mereka turun sendiri, mengajari mereka tentang berbagai hal mengenai kelemahan dan ketidakadilan Bang Wandi.

Contohnya di sekitar Ramung Kengkang, jalan-jalan di pedesaan dan di kebun-kebun semuanya licin dan mulus sekali. Kontras dengan jalan besar yang penuh lobang di sana sini.

Waktu berada di sana aku mengobrol di sebuah warung yang didalamnya banyak penduduk setempat yang rata-rata petani. Ketika aku bertanya pada mereka soal ALA, mereka menjadi bersemangat dan antusias, semua orang di warung kopi itu mendukungnya. Meskipun beberapa mendukung dengan dalil yang tidak masuk akal, misalnya mengatakan kalau bergabung dengan Aceh, kita tidak akan bisa membangun rumah karena Irwandi tidak membolehkan menebang satu pohonpun kayu di hutan. Atau ada yang mengatakan, sekarang kita miskin karena oleh orang Aceh kita dipajaki, kopi yang kita panen diambil pajaknya di perbatasan, kalau ALA berdiri hal seperti itu tidak akan ada lagi.

Tapi di samping argumen-argumen yang tidak lucu seperti itu ada pula yang punya argumen tepat dan masuk akal, dan menurutku itu istimewa sebab belakangan ini kulihat pengetahuan mereka tentang politik cukup lumayan sekali. Aku berkesimpulan begini, ketika di antara kerumunan itu seorang petani yang saat kutanya mengatakan dia cuma tamat SMP menjeaskan dengan detail kepadaku, tentang apa yang dulu baru aku pelajari di bangku perguruan tinggi.

Si Petani ini menjelaskan kepadaku soal administrasi pengelolaan jalan di negara ini, dia menjelaskan kepadaku yang pernah kuliah di Teknik Sipil ini tentang klasifikasi jalan berdasarkan administrasi, ada jalan yang dikelola pusat, ada jalan yang dikelola provinsi dan ada jalan yang dikelola kabupaten. Padahal aku baru tahu soal ini, dulu di semester tiga dalam mata kuliah Jalan Raya.

Menurut si petani ini, jalan di kampung-kampung bagus dan mulus, karena jalan itu adalah jalan dibawah administrasi kabupaten, kebijakan memperbaiki atau tidak ada di tangan bupati. Itulah sebabnya jalan-jalan ini semuanya bagus. Berbeda dengan jalan Teritit Pondok Baru yang dikelola provinsi yang penuh lobang di sana sini, itu karena kebijakan pengelolaannya ada di Gubernur. Dan menurut mereka Gubernur yang GAM itu memang tidak senang orang di daerah ini maju dan karena itulah jalan itu tidak pernah diperbaiki.

Dan yang lebih mengagetkan lagi Bang Wandi, petani yang lain yang juga ikut mengobrol di warung kopi itu tahu soal dana OTDA segala, lengkap dengan angka-angkanya. Mereka mengatakan padaku kalau dana OTDA yang 53 milyar semua ditarik ke provinsi. Menurut mereka bagaimana Gayo mau maju kalau orang Aceh cara mainnya seperti ini.

Selayaknya orang Gayo manapun yang suka beranalogi, mereka mengatakan padaku, kenapa Gayo ini tertinggal itu karena ibarat sabung ayam, kita orang Gayo di pegang, orang Aceh dilepas bebas dan dengan leluasa mematuki.

Di sini, aku tidak berbicara soal benar salahnya informasi yang mereka terima, tapi yang aku bicarakan adalah soal kehebatan lawan Bang Wandi. Mereka berhasil menjadikan diri mereka pahlawan di masyarakat dan sebaliknya mereka berhasil menjadikan Bang Wandi sebagai musuh masyarakat. Dan dengan cara itulah mereka meyakinkan rakyat, bahwa orang Gayo memang butuh mendirikan Provinsi sendiri.

Apa yang kulihat di sana menunjukkan dengan jelas kalau lawan-lawan Bang Wandi ini begitu lihai memainkan strategi komunikasi ketika mereka berhadapan dengan rakyat bawah . Jujur aku katakan, kemampuan yang mereka miliki soal ini jauh di atas kemampuan Bang Wandi.

Sementara Bang Wandi merasa terlihat hebat dengan urusan-urusan besar, entah itu pertambangan, energi panas bumi, menghadiri konferensi gubernur yang katanya sedunia, meskipun setelah diteliti ternyata yang hadir cuma gubernur-gubernur dari negara-negara yang jadi dakocannya Amerika saja, bahkan gubernur yang dari Amerikapun yang hadir cuma ada tiga dan itupun satu sudah ditangkap karena tuduhan Korupsi. Bang Wandi tidak menyadari kalau lawan-lawan Bang Wandi di sini sudah sukses menghancurkan citra Bang Wandi.

Aku tahu Bang Wandi terlihat macho dan gagah nyetir mobil sendiri, merasa patriotis hanya menggunakan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Tapi satu yang Bang Wandi tidak sadari, gaya Bang Wandi yang Bang Wandi pikir hebat itulah yang dimanfaatkan lawan-lawan bang Wandi. Soal Bahasa Aceh misalnya, perlu Bang Wandi tahu, dengan gaya Bang Wandi itu banyak orang Gayo yang dulu simpati sekarang balik memusuhi Bang Wandi.

Perlu Bang Wandi ingat, penduduk asli negeri kita ini bukan hanya etnis Aceh semata dan Bang Wandi adalah gubernur dari semua etnis itu. Sejak dulu kita sudah begitu, bahasa yang kita gunakan dalam berkomunikasi antar etnis adalah bahasa Melayu. Tapi itu tidak Bang Wandi hargai, sebagai Gubernur dari warga yang plural ini Bang Wandi malah memamerkan kemachoan suku Bang Wandi sendiri. Inilah yang mengakibatkan banyak orang suku lain yang dulu simpati pada Bang Wandi, sekarang berubah jadi benci.

Contohnya beberapa waktu yang lalu, ketika Bang Wandi menghadiri konferensi UNFCC dan ditemui rombongan orang Aceh di Hotel Intercontinental, Jimbaran Bali. Bang Wandi dengan bangganya hanya berbicara dengan Bahasa Aceh, padahal Bang Wandi tahu persis karena Pak Bahtiar Ketua LAKA Bali sendiri yang mengungkapkannya bahwa di sana juga hadir sekelompok orang Aceh bersuku Gayo.

Saat akan bertemu Bang Wandi waktu itu, semua orang Gayo yang hadir itu menaruh respek dan hormat yang begitu tinggi pada Bang Wandi, tapi saat dalam pertemuan itu Bang wandi hanya mau berbahasa Aceh. Pulang dari sana mereka semua jadi memandang rendah dan memaki-maki Bang Wandi. Dengan sikap Bang Wandi, mereka merasa marah dan dilecehkan, mereka kesal karena dari semua orang Gayo yang hadir di sana, yang mengerti omongan Bang Wandi saat itu cuma saya sendiri.

Ada banyak lagi sebetulnya yang ingin kutuliskan, tapi untuk tahap ini aku pikir cukup segini, kalau terlalu banyak aku takut Bang Wandi bosan.

Cuma perlu Bang Wandi tahu, apa yang kusampaikan ini sebetulnya adalah keluhan banyak orang. Tapi ini tidak pernah Bang Wandi dengar karena orang yang merasakan yang kutulis ini cuma bisa diam. Bukan karena takut, tapi karena orang-orang yang merasakan ini, seperti teman-temanku yang pernah sama-sama turun ke jalan tahun 1998 dulu, sekarang mereka semua sudah terkotak dalam berbagai kelompok politik tertentu. Akibatnya mereka tidak lagi bebas seperti aku, kalau mereka ngomong, status mereka sebagai bagian kelompok ini dan itu tidak bisa mereka lepaskan. Mereka khawatir kalau mereka ngomong, nanti malah kelompoknya yang Bang Wandi maki, seperti anak-anak KAMMI yang underbownya PKS beberapa waktu yang lalu.

Kepada Bang Wandi aku minta maaf kalau Bang Wandi merasa gaya tulisanku ini sok akrab, tidak memanggil Bang Wandi dengan sebutan 'Pak' atau 'Teungku'.

Perlu Bang Wandi tahu, saat berbicara dengan pejabat, sebutan-sebutan semacam itu memang sengaja kuhindari karena bagiku sebutan seperti itu hanya melanggengkan budaya feodal hirarkis. Aku menghindarinya karena aku tahu persis, urusan feodal di Aceh sudah selesai dengan berkahirnya perang Cumbok dulu dan di Gayo malah sama sekali tidak pernah eksis dari zaman dulu.

Aku juga minta maaf kalau, penyampaianku yang melalui milis ini terlihat kurang sopan, karena milis ini bukan media yang tergistrasi secara resmi dan bukan pula di media cetak yang lebih membumi.

Sebenarnya itu bukan karena aku tidak mau menulis di media semacam itu Bang Wandi, masalahnya di Aceh ini media-media teregistrasi itu punya selera dan standar kebijakan sendiri. Sebagai contoh di koran serambi, untuk bisa meloloskan tulisan ke sana, semua harus melalui redaktur Opini. Masalahnya redaktur Opini di Serambi ini, alumni HMI yang bernama Ampuh Devayan lebih susah didekati daripada seorang menteri.

Dan terakhir, perlu juga Bang Wandi tahu, saat ini kami semua sudah cukup bangga dengan gaya Bang Wandi yang macho itu, apalagi sekarang dengan mobil baru pemberian Arnold si bintang Terminator. Jadi kalau soal gaya Bang Wandi sudah betul-betul Oke, jadi sekarang yang masih terus kami tunggu adalah kerja Abang, bukan penampilan.

Meskipun aku tahu suratku ini tak akan dibalas, tapi aku tahu Bang Wandi pasti akan membaca surat yang kutulis ini dan tanpa kuminta dipikirkanpun, aku tahu persis hari-hari ke depan apa-apa yang kutuliskan ini tak akan bisa Bang Wandi buang begitu saja dari kepala abang.

Karena itulah agar tidak menambah beban, aku merasa Bang Wandi perlu tahu, kalau aku menulis ini sama sekali bukan karena rasa benciku pada Bang Wandi. Tapi semata hanya sebagai masukan untuk tambahan informasi. Supaya Bang Wandi tetap ingat, kalau dulu Bang Wandi dipilih dengan harapan besar membawa perubahan. Masalahnya sejauh ini perubahan yang kami dapat baru sejauh gaya Bang Wandi yang blak-blakan, belum ke perubahan kebijakan yang memberi pengaruh signifikan pada kesejahteraan. Berkaitan dengan hal yang terakhir ini, justru yang kami lihat sekarang Bang Wandi sangat kedodoran.

Sebegitu dulu suratku ini Bang Wandi, kuharap suratku ini tidak menaikkan tensi Bang Wandi yang terkenal tinggi.

Wassalam
Adikmu

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Jumat, 23 Januari 2009

Situasi Aceh di Tahun 90-an dan Kini

Kemarin, iseng-iseng saya pergi ke perpustakaan. Saya membaca koran-koran dan majalah lama edisi tahun 90-an. Sangat menarik sekali membaca artikel dan berita yang tertulis dalam media cetak itu. Saat kita menilainya dengan situasi sekarang, ada perasaan aneh ketika saya membaca sebuah iklan komputer canggih yang begitu bombastis. Dalam iklan itu dikatakan IBM telah memasarkan sebuah komputer PC tercanggih yang pernah ada dengan kapasitas hard disk 2 Gigabytes yang dipasarkan dengan harga hanya $ 8150 saja.

Saat itu Soeharto sedang lucu-lucunya, dalam beberapa foto yang dipublikasikan di media-media itu, saya melihat tiga orang menteri diantaranya Mar'ie Muhammad dan Tungky Aribowo yang sedang meyerahkan map dan menghadap beliau dengan takzimnya.

Berita dalam negeri saat itu didominasi oleh berita penculikan yang dilakukan GPK Irja yang dipimpin Kelly Kwalik dan tenggelamya kapal Gurita di hari Meugang (sehari menjelang Ramadhan) di perairan Sabang. Membaca itu, saya teringat kembali betapa 5 hari sebelum kejadian itu saya baru saja dari Sabang bersama rombongan Pecinta Alam dari seluruh Indonesia dengan menumpang kapal yang sama.

Saat saya baca koran edisi januari 1996, saya membaca saat itu APBN tahun 1996 yang baru disahkan mendapat tanggapan positif, bukan hanya dari dalam negeri tapi juga dari luar. Pujian itu misalnya datang dari Michel Camdessus, direktur IMF untuk Asia yang belakangan menjadi Ketua IMF. Dalam tulisannya di Gatra, Michel mengatakan keyakinannya kalau kurang dari sepuluh tahun lagi Indonesia akan menjadi salah satu negara penting di kawasan ini.

Saat itu Michel Camdessus, seperti juga kita semua yang tinggal di negara ini, sedikitpun tidak bisa menduga atau bahkan membayangkan kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimistis itu akan ada kejadian luar biasa di negara ini. Seperti Michel Camdessus yang tidak pernah membayangkan kalau beberapa tahun kemudian wajahnya akan dilempar kue pie di depan umum oleh Robert Naiman, seorang aktivis anti globalisasi. Saat itu, tidak seorangpun bahkan dengan fantasi yang paling liar sekalipun yang bisa membayangkan, kalau dua tahun setelah nada-nada penuh optimisme itu, Soeharto presiden kita tercinta yang begitu berkuasa dan sangat ditakuti, yang bahkan harus menjadi idola seluruh penduduk negara ini yang berminat menjadi pegawai negeri akan turun tahta dengan cara yang sangat hina.

Saya sendiri saat itu masih menjadi Mahasiswa di Fakulas Teknik, Jurusan Teknik Sipil Unsyiah. Masih belum begitu terkoneksi dengan berita-berita dan perkembangan yang terjadi di luar provinsi. Kami di Aceh saat itu terbilang masih terisolasi, jangankan berita di luar bahkan adanya operasi militer bersandi jaring merah untuk membasmi GAM yang saat itu masih disebut dengan istilah GPK Aceh saja tidak benar-benar kami ketahui. Kecuali hanya dari kabar-kabar burung tidak resmi dari orang-orang yang tinggal di Aceh Utara atau Pidie. Imajinasi terliar siapapun saat itu akan bisa membayangkan saat ini Aceh akan dipimpin oleh seorang Gubernur yang anggota GAM bernama Irwandi dan wakilnya Nazar anak IAIN yang lahir persis di tahun yang sama dengan saya.

Waktu itu saya sedang tergila-gila main batu, sebutan kami untuk permainan domino. Dua senior saya yang sudah tamat bernama Jojo dan Syuhada (sekarang sudah almarhum), tiap malam datang ke kost-an saya di Jalan Cumi-Cumi, Lamprit. Di sana apalagi yang kami lakukan kalau bukan main batu, bertarung dan berjudi kecil-kecilan, dengan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak sebagai taruhan. Karena sudah malam siapapun yang kalah harus membeli apa yang kami pertaruhkan ke Jambo Tape yang buka sampai pagi . Sementara untuk pergi ke Jambo Tape yang jaraknya sekitar 2 kilo meteran dari Jalan Cumi-Cumi, satu-satunya kendaraan yang ada adalah Motor Honda GL Pro keluaran tahun 1982 milik Jojo yang lebih sering bukannya membantu tapi malah menjadi masalah baru karena tidak bisa dihidupkan. Akibatnya lengkaplah penderitaan bagi yang kalah main batu, sudah kalah berjudi, membawa macam-macam barang malam-malam masih ditambah harus mendorong motor butut pula. Tapi untungnya Banda Aceh pada waktu itu benar-benar sangat aman, di kota ini tidak ada preman, sehingga jalan kaki di malam hari yang sepi dari Jambo Tape ke Lamprit pun kita tidak merasa was-was.

Saat itu di Banda Aceh belum ada internet, obrolan di kalangan anak muda baru sekedar membahas, tadi Devi Padiana ngomong apa aja waktu siaran pagi di Flamboyan, ada festival musik apa di taman budaya, siapa nama cewek mahasiswa baru asal Lhokseumawe yang sekarang kost di Jalan Pari dan pembicaraan-pembicaraan sejenisnya. Hampir tidak pernah saya mendengar pembicaraan yang menyangkut politik dan sejarah. Apalagi Filsafat dan Sastra yang keduanya adalah benda asing bagi kami di Aceh waktu itu. Politik paling-paling menjadi bahan omongan di kalangan anak-anak HMI yang eksklusif dan pergaulan mereka secara politis terpisah dari budaya keseharian anak muda di Aceh.

Novel yang kami baca saat itu masih model Mira W, Lupus, Gola Gong dengan Balada Si Roy-nya. Karya Pramoedya masih jadi barang haram. Kalaupun membaca novel luar paling banter bacaan kami Sidney Seldon, Mario Puzzo, Agatha Christie, Michael Crichton atau John Grisham. Tidak ada novel dari pengarang-pengarang semacam Paulo Coelho, Arundhati Roy apalagi George Orwell.

Seperti juga tidak ada yang menduga akan terjadi sesuatu yang luar biasa tahun 1998, lebih tidak ada yang menduga lagi akan terjadi sesuatu yang lebih luar biasa bagi Aceh dan dunia. Akhir tahun 2004 terjadi bencana Tsunami yang menewaskan lebih dari 300 ribu penduduk provinsi ini. Sebuah bencana dahsyat yang kedahsyatannya melebihi imajinasi manusia manapun yang hidup di tahun 90-an itu.

Bencana itu benar-benar membawa kesedihan bagi orang-orang Aceh yang tersisa. Tapi seperti biasa, saat terjadi suatu musibah pasti juga ada hikmah di baliknya.

Pasca tsunami, Aceh jadi terbuka berbagai lembaga asing dan nasional berdatangan. Orang Aceh yang karakternya memang berjiwa bebas dengan cepat menyerap segala informasi dan peradaban yang dibawa oleh orang-orang yang datang.

Sebagaimana sebuah produksi yang pasti akan banyak menghasilkan limbah. Efek dari keterbukaan inipun demikian, yang paling banyak terserap oleh masyarakat Aceh adalah limbah-limbah yang dibawa oleh keterbukaan itu, diantaranya perilaku hedonis yang terlihat nyata di antara para OKB yang mendapat keutungan besar selama proses rehap rekon terbesar yang pernah dilakukan sepanjang sejarah manusia, lalu dengan mudah pula ditemui orang Aceh dengan gaya sok pamer, gaya bahasa yang meniru logat Jakarta dan sejenisnya.

Tapi tentu saja bukan hanya limbah yang dihasilkan oleh keterbukaan itu, keterbukaan Aceh juga menghasilkan banyak produk paten. Keterbukaan itu membuat Aceh menjadi tempat bergumulnya aneka pemikiran dan aneka semangat yang bersifat membebaskan.

Empat tahun sesudah tsunami saya kembali ke Aceh, masuk ke masyarakatnya dan merasakan sendiri dinamikanya.

Begitulah, saat di Aceh kemarin, saya menyaksikan dan merasakan sendiri betapa dinamisnya pergumulan pemikiran yang terjadi di Aceh saat ini. Anak-anak muda di Aceh sekarang dengan fasih berdiskusi tentang sastra, filsafat, sejarah, politik dan ekonomi global sampai ke isu-isu lingkungan. Partai-partai lokal baru yang mengusung semangat yang bersifat membebaskan juga bermunculan. Yang menariknya rata-rata partai baru itu dipimpin dan diisi oleh anak-anak muda seumuran atau lebih muda dari saya.

Permainan yang digemari anak muda di Aceh sekarang juga sudah berbeda. Jika mahasiswa jaman kami dulu berjudi di meja domino, dengan modal meja atau triplek yang jika dipukul bisa mengeluarkan bunyi yang keras. Dalam permainan itu kami beradu ketangkasan berpikir dan kekuatan menganalisa permainan dengan taruhan Sprite, Nasi Goreng atau Martabak. Mahasiswa Aceh sekarang tidak lagi seperti kami. Sekarang mereka berjudi Valas, menggunakan perangkat laptop dan fasilitas IM2 dari Indosat sambil duduk di warung kopi. Yang mereka analisa juga bukan sekedar batu apa dipegang kawan sehingga harus diberi jalan dan batu apa yang dipunyai lawan dan harus dihambat agar tidak bisa keluar. Tapi yang mereka analisa adalah setiap detail isu internasional mulai dari Argentina sampai Afrika Selatan yang kemungkinan bisa mempengaruhi sentimen di pasar uang. Taruhannya juga Dollar betulan.

Sementara itu pemerintahan Irwandi-Nazar masih terlihat gamang dengan peran barunya. Irwandi seperti Lech Walesa ketika memimpin Polandia pasca berhasilnya gerakan Solidarity, terlihat masih kesulitan melepaskan perannya dari seorang pemberontak menjadi orang yang mengurusi negeri. Irwandi tidak terlalu bisa berbasa-basi dengan bawahan. Semua birokrat lama yang berpengalaman yang jauh lebih paham keadaan dan situasi di pemerintahan, semua dia curigai dan dia musuhi. Sehingga tidak jarang kita lihat Irwandi uring-uringan, karena dia tidak percaya yang namanya pendelegasian. Mulai dari menyopiri mobil sampai berhadapan dengan wartawan semua dia urusi sendiri.

Diplomasi Irwandi dengan menteri di Jakarta juga buruk sekali. Hal sekecil apapun oleh Irwandi dilaporkan ke Jusuf Kalla sehingga menimbulkan antipati dari menteri-menteri, padahal menteri-menteri itulah pelaksana taktis, yang mengeluarkan dana dan sebagainya sehingga seharusnya dengan merekalah Irwandi lebih banyak berhubungan, bukan dengan Jusuf Kalla.

Kebijakan pemerintahan di Aceh saat ini juga tidak jelas arah dan prioritasnya. Semua hal berbau 'cet langit' disikat, mulai dari eksplorasi panas bumi sampai konsep lingkungan yang diberi nama Aceh Green yang cuma besar di media tapi tidak pernah jelas seperti apa pelaksanaan konkretnya.

Uang APBA (APBD versi Aceh), semua ditumpuk di provinsi, sehingga sampai akhir tahun 2008 sedikit sekali yang bisa tersalurkan. Akibatnya muncul ketidak puasan di daerah-daerah tingkat dua. Di daerah-daerah yang bupatinya punya agenda politik sendiri seperti di Aceh Tengah dan Bener Meriah, kelemahan Irwandi ini dieksploitasi sampai ke kampung-kampung. Yang oleh mereka digunakan sebagai senjata untuk mendorong berdirinya provinsi Aceh Leuser Antara.

Di Banda Aceh sendiri, Irwandi tampak mulai tersudut dan mulai kehilangan dukungan. Rakyat yang dulu memilihnya dan menaruh harapan besar di pundaknya mulai merasa kecewa. Lalu Irwandi yang mulai mengalami krisis kepercayaan, atas anjuran team asistensinya yang dipimpin oleh Teuku Rafli yang mantan suami Tamara, mulai terbiasa memasang iklan di koran-koran yang menyatakan bahwa dia adalah Gubernur Pilihan Rakyat dan berkali-kali menyebut MoU Helsinki sebagai pegangannya.

Padahal kalau kita analisa dengan pikiran jernih, pegangan Irwandi ini sangat rentan sekali. Sangat bergantung pada niat baik pemerintahan saat ini. Seandainya kepemimpinan Nasional berganti, katakanlah yang paling sial yang nantinya terpilih sebagai presiden adalah Megawati. Yang sejak awal sudah bilang tak akan mau sejengkalpun mendiskusikan soal kedaulatan dengan kelompok separatis. Meskipun dalam pelaksanaan MoU itu ada dukungan internasional, tapi jika Indonesia dipimpin oleh Presiden semacam itu, apakah Irwandi masih bisa dengan gagah mengatakan berpegang pada amanat MoU Helsinki?.

Saat membaca majalah dan koran-koran lama itu saya juga bertanya-tanya dalam hati, seperti apakah Aceh dua tahun lagi?...Apakah di pemilu 2009 ini Partai Lokal bisa meraih kemenangan?. Apakah nanti kalau itu terjadi, kemenangan itu akan benar-benar merupakan solusi?. Saya bertanya begitu karena terus terang dalam hati saya menyimpan kekhawatiran, yang saya takutkan justru kemenangan partai lokal di Aceh nanti akan menjadi bumerang, karena dengan itu tidak akan ada kambing hitam lagi seperti sekarang. Saat itu semua kebijakan adalah tanggung jawab kita, kita tidak lagi bisa menyalahkan Jakarta.

Atau jangan-jangan di depan ini sudah menanti sebuah kejadian luar biasa yang tidak kita perkirakan seperti apa yang terjadi di tahun 1998.

Dan terakhir yang tidak kalah membuat saya penasaran adalah, dua tahun lagi bagaimana perspektif saya, jika saya masih hidup dan membaca kembali tulisan yang saya post sekarang ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Kamis, 22 Januari 2009

Obama dan Hubungan Masa Kecilnya Dengan Relasi Indonesia-Amerika

Sebelum hari pelantikan Obama kemarin, saya membaca sebuah tulisan di facebook yang berisi nada pesimis yang ditulis di profil seorang temanku. Katanya " aku heran sama orang Indonesia yang begitu berharap dengan Obama, padahal padahal dalam hati Obama..Indonesia? sapa elu...:)".

Saya tidak sepakat dengan pendapat teman saya ini, karena menurut saya masa kecilnya di sini jelas meninggalkan pengalaman dan kesan kuat tentang negara ini bagi Obama. Terbukti dari apa yang dia tulis dalam bukunya, dia bercerita tentang Bali, Jakarta dan segala kenakalannya selama tinggal di sini. Apalagi waktu SBY menelpon untuk mengucapkan selamat saat dia resmi terpilih jadi Presiden, apa yang dikatakan Obama pada SBY?..."Gue kangen Nasi Goreng, Bakso dan Rambutan". Jadi jelas teman saya ini salah ketika dia mengatakan "begitu dia jadi Presiden mana dia ingat lagi Indonesia", karena faktanya adalah sebaliknya, Obama tidak pernah lupa Indonesia.

Terus apa implikasi dari kenangan pribadi masa kecil Obama ini terhadap posisi Indonesia di mata Amerika selama masa kepemimpinannya nanti?...Nah kalau ini pertanyaannya, baru jawabannya TIDAK ADA.

Amerika bukanlah tipe negara dakocan yang menjalankan politik luar negerinya berdasarkan pada perasaaan sentil mentil masa kecil presidennya. Sebagai sebuah negara, mereka sudah punya satu peta besar negara-negara yang dibagi dalam skala prioritas dalam menjalankan hubungan internasionalnya. Mulai dari negara yang paling penting seperti Israel, Irak dan Afghanistan sampai ke negara yang paling tidak penting sama sekali semacam Vanuatu dan Tonga.

Siapapun presiden Amerika, dalam mengambil setiap kebijakannya dia tidak akan bisa melepaskan pertimbangan kebijakan luar negerinya dari peta yang sudah ada ini. Secara garis besar, siapapun presiden Amerika, negara-negara yang dianggap teman, musuh sampai yang biasa saja oleh Amerika ya itu-itu saja. Tidak berubah.

Siapapun presidennya, musuh Amerika ya tetap Kuba, Iran dan Korea Utara. Temannya?...untuk di Asia tinggal kita lihat saja dimana Amerika menempatkan pangkalan-pangkalan militernya. Philipina, Korea Selatan dan Jepang. Kalau di Timur tengah ya jelas Israel. Siapapun presiden Amerika, kenyataan ini tidak akan bisa diubah karena kuatnya lobi Yahudi sebagai hasil kuatnya kontrol mereka atas ekonomi Amerika.

Biarpun mungkin secara pribadi seorang Presiden Amerika sangat benci Israel dan yahudi, tapi secara institusi adalah mustahil seorang presiden Amerika untuk mengubah secara ekstrim kebijakan nasional mereka yang pro negara Yahudi di Timur Tengah itu. Kalaupun ada perbedaan antara kebijakan antara satu presiden dengan presiden lain. Itu cuma masalah tingkatan keras dan lunaknya saja. Tapi secara garis besar yang namanya Amerika siapapun presidennya ya Pro Israel.

Untuk negara arab teman-teman Amerika ya bakalan tetap, Mesir, Arab Saudi, Kuwait sama Jordania. Iran dan Suriah dianggap lawannya. Sama Libya udah rada baikan.

Di Eropa jelas sama NATO, sama Rusia yang sekarang udah mulai lagi menyusun kekuatan pasca bubarnya Uni Sovyet, Amerika juga mulai hati-hati dan nggak mau salah perhitungan.

Untuk mengamati pola kebijakan luar negeri Amerika, perlu kita tahu pula kalau Amerika ini adalah sebuah negara yang dijalankan dengan pemikiran filsafat Pragmatisme hasil pemikiran William James dan kawan-kawan. Pragmatis sendiri kurang lebih berarti hanya melakukan apa yang menguntungkan diri sendiri saja. Biarpun di kalangan kaum filsuf, filsafat yang dianut Amerika ini dicibir dan dihina kanan kiri dibilang kampungan lah atau dibilang sebagai pemikiran yang 'menaruh otak di bokong' lah dan dan lain sebagainya. Tapi apa boleh buat, faktanya dengan filsafat kampungan inilah Amerika menguasai dunia.

Dengan semua paparan saya di atas, kalau mau melihat posisi Indonesia di mata Amerika, kita tidak perlu melihat siapa yang menjadi presiden di sana. Karena siapapun presidennya kebijakan luar negeri yang dia ambil tidak akan bisa dilepaskan dari cara pandang Amerika yang seperti yang saya gambarkan itu.

Jadi untuk melihat apa seberapa berartinya Indonesia di mata Amerika, bukan dengan melihat fakta bahwa di masa kecilnya Obama pernah tinggal di Jakarta, melainkan dengan melihat apa untungnya keberadaan Indonesia bagi kepentingan nasional Amerika. Cara pandang yang sama juga berlaku buat Kenya, negara asal Bapak kandung Barack Obama.

Sebagai sekutu misalnya, seperti yang saya katakan, untuk kawasan ini secara tradisional Amerika itu kawan dekatnya ya Australia, Philipina, Korea Selatan dan Jepang.

Memang kalau dilihat dari posisi geografis, posisi Indonesia yang terletak di antara dua samudra dan dua benua ini sangat strategis baik untuk militer apalagi ekonomi. Tapi seperti yang saya katakan di atas tadi, untuk kepentingan militer dalam memanfaatkan posisi strategis kawasan ini Amerika berpartner dengan Philipina. Untuk ekonomi? siapa di kawasan ini yang dianggap paling penting oleh Amerika?...ya Singapura.

Kenapa Singapura?...itu karena meskipun Singapura itu negara kecil yang bahkan bisa tenggelam cukup dengan kita ludahi saja dan orangnyapun berbicara dengan logat bicara yang jauh lebih jelek dibandingkan logat kita. Tapi negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek inilah yang secara empiris bisa memanfaatkan segala keuntungan ekonomi dari strategisnya posisi geografis nusantara ini.

Singapura yang baru 9 Agustus 1965 memerdekakan diri dari Malaysia ini adalah tempat transit paling penting dalam jalur laut dan penerbangan di kawasan Asia Tenggara. Untuk jalur laut malah bisa dikatakan sebagai salah satu tempat transit terpenting di dunia, mengingat Selat Malaka adalah jalur laut tersibuk di dunia.

Sementara Indonesia adalah sebuah nama yang dikenal sebagai negara yang gemar menyia-nyiakan seluruh potensi yang dia punya. Ya potensi alam, potensi melimpahnya penduduk yang seharusnya bisa diolah menjadi pasar yang sangat strategis, dan terutama potensi letak geografisnya yang luar biasa strategis itu.

Mentalitas pengelola negara ini rata-rata seperti Kosasih Bakar, Ceh amatiran yang secara genetik berasal dari Gayo, sama dengan saya. Pengelola negara ini bisa dikatakan adalah sekumpulan ahli yang sangat ahli mencari alasan. Seperti Kosasih Bakar yang ketika saya katakan, andai 30 Tahun yang lalu kita seperti Cina atau Korea selatan yang benar-benar membangun kekuatan hingga sekarang sudah setara eropa dan Cina bahkan Amerikapun bergetar dibuatnya. Yang pertama kali terpikir di kepalanya saat saya mengatakan itu adalah apa yang dipunyai negara-negara yang saya sebutkan tadi tapi tidak dipunyai negara ini...Oh Cina itu tidak dapat disamakan dengan kita, mereka komunis bisa maju karena buruh dibayar murah, Korea itu dibiayai IMF dari awalnya. Indonesia tidak punya itu semua dan dengan alasan seperti itu selesailah semua masalahnya. Ketertinggalan Indonesia sudah bisa dimaklumi.

Seperti Kosasih Bakar, di kepala pengelola negara ini tidak pernah muncul apa yang tidak dipunyai Korea dan Cina tapi bisa ditemukan melimpah di negara ini, misalnya negara ini punya potensi pertanian sedemikian besarnya, garis pantai yang sedemikian panjangnya, posisi geografis yang sedemikian strategisnya dan pasar domestik yang sedemikian besarnya (sekarang ada dalam taraf wacana ditawarkan oleh beberapa partai peserta pemilu, tapi saya sendiri tidak tahu persis seperti apa konsep matang mereka).

Konsekwensi dari mentalitas seperti ini apa?, tidak muncul inisiatif melobi ICAA misalnya untuk menjadikan Jakarta sebagai pusat transit pesawat udara yang melintasi Amerika menuju Eropa dan sebaliknya, Eropa menuju Australia, Timur Jauh menuju Timur Tengah. Tidak ada inisiatif untuk membangun sebuah pelabuhan transit besar di Banda Aceh yang terletak tepat di mulut Selat Malaka. Akibatnya apa?...Semua potensi besar itu akhirnya dimakan habis oleh Singapura.

Sehingga seperti yang saya gambarkan di atas, di kawasan ini, Singapura, negara kecil dengan orang-orang berlogat jelek itulah yang mengambil segala manfaat dari semua keuntungan itu, kita cukup makan ampasnya saja.

Selain potensi geografis, kita juga masih banyak punya potensi lain, diantaranya Hutan, Perikanan dan Pertambangan. Tapi karena kita punya banyak potensi seperti itu dan negara ini adalah negara yang murah hati pula. Sehingga potensi hutan dimakan sama Malaysia, potensi perikanan dimakan sama Thailand dan potensi pertambangan dimakan sama Amerika.

Karena kita cuma bisa mencari-cari apa yang dipunyai oleh orang lain, bukan apa yang kita punya, jadilah tidak dapat memanfaatkan segala potensi kita, akibatnya sejak 30 tahun yang lalu sampai sekarang, kita ya begini-begini saja. Tidak dipandang dalam pergaulan dunia, tidak terlalu serius dianggap oleh bangsa-bangsa lain bahkan dipandang sebelah mata oleh negara sesama Melayu, Malaysia atau Singapura, negara yang cuma sekecil upil kalau dibandingkan dengan kita.

Dengan cara pandang ini jelas kita bisa melihat kalau Indonesia di mata Amerika adalah negara yang biasa-biasa saja. Bukan negara yang terlalu penting buat dirangkul, bukan juga buat dijauhi. Alasannya tidak ada yang terlalu penting di Indonesia ini untuk menjadikannya sebagai pusat perhatian Amerika dalam arti positif seperti Singapura atau dalam arti negatif seperti Myanmar misalnya.

Kalau kita buat peta yang lebih jelas, untuk kawasan Asia tenggara. Negara-negara mana saja yang dianggap penting oleh Amerika. Maka kita akan melihat kalau yang dianggap penting oleh Amerika secara militer adalah Philipina dan Australia, kalau secara ekonomi ya Singapura. Lalu dalam peta yang sama akan kita lihat skala prioritas kebijakan luar negeri Amerika di kawasan ini, secara positif posisi Indonesia juga masih di bawah Thailand, Vietnam dan Malaysia. Tapi Masih di atas Brunei, Laos dan Kamboja dan jauh di atas Myanmar yang junta militernya dimusuhi Amerika yang sebaliknya kalau secara dilihat secara negatif, bisa jadi merupakan salah satu prioritas hubungan luar negeri mereka di kawasan ini.

Di Asia, secara umum yang belakangan menjadi perhatian Amerika dan dianggap strategis untuk ditingkatkan hubungan luar negerinya, jelas Cina dan India yang belakangan ini sangat luar biasa pertumbuhan ekonominya yang didukung jumlah penduduk dengan skala raksasa.

Siapapun yang menjadi Presiden Amerika, prioritas kebijakan luar negeri negara itu tidak akan jauh bergeser dari faktor-faktor yang saya sebutkan itu. Jadi, meskipun mungkin ada sedikit pengaruhnya, tapi adalah tidak relevan mengaitkan masa kecil Obama di Jakarta dengan potensi peningkatan hubungan luar negeri antara Indonesia dan USA secara drastis.

Tapi meskipun terpilihnya Obama sebagai Presiden Amerika tidak akan berpengaruh terlalu signifikan terhadap peningkatan hubungan luar negeri Indonesia-Amerika. Seharusnya orang Indonesia mesti berbesar hati dan berbangga dengan terpilihnya Obama. Karena dengan keberadaannya sekarang sebagai Presiden Amerika. Orang-orang sedunia jadi tahu kalau Bali adalah sebuah bagian dari Indonesia, bukan sebaliknya.

Tapi bagi siapa saja yang dulu sangat bersemangat mendukung Obama di saat pemilihannya, yang berharap dengan terpilihnya dia akan ada perubahan drastis kebijakan Amerika atas Israel-Palestina. Saran saya, sekarang anda sudah boleh menyiapkan beberapa keranjang yang berisi segala macam variasi kata makian baru.

Ini sangat perlu anda siapkan sebab sebentar lagi anda akan segera bosan dengan variasi makian yang itu-itu saja karena dalam waktu-waktu ke depan, kata-kata itu akan banyak sekali anda gunakan. Cacian terhadap Amerika dan presidennya nantinya akan tetap sama saja, tapi dengan mengganti kata 'Bush' yang delapan tahun belakangan ini sangat familiar di telinga kita dengan kata 'OBAMA' tentunya.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Pemuda Peduli Gayo