Sabtu, 31 Mei 2008

Pantai Kuta

Setibanya di Bali, setelah beristirahat sebentar aku mengajak Gilles dan Flo untuk melihat sunset di pantai Kuta yang terkenal itu. Pantai ini tidak terlalu jauh dari rumah yang kukontrak, kira-kira hanya sejauh Rumah sakit Zainoel Abidin ke Jambo Tape. Kami ke Kuta dengan naik sepeda motor.

Di Pantai kami memarkir motor di pinggir jalan antara Mc.Donald dan Poppies Lane II, ada yang berubah di sini sejak terakhir kali kutinggalkan. dekorasi restoran Mc.Donald Pantai Kuta ini sudah berubah sama sekali, sekarang gayanya lebih modern minimalis dan buka 24 Jam, di sebelahnya antara Poppies Lane I dan Hard Rock sudah ada sebuah Food Court baru yang mirip Rex tapi desain dan tampilannya lebih 'cosmo', letak Food Court yang baru ini tepat di samping Circle-K.

Dari tempat parkir dipinggir jalan kami masuk ke pantai yang dengan jalan dibatasi oleh trotoar dan tembok setinggi dada, kami masuk melalui gerbang kecil yang kedua sisinya dihiasi dengan patung putri duyung. Masuk ke Lokasi pantai kami mulai mencari tempat yang kosong di antara lautan bule berbikini yang berjemur dengan cueknya. Dari tempat kami berdiri, kami melihat sebuah tempat yang teduh di bawah sebuah pohon tepat di depan salah satu box penjual bakso asal Jember yang diijinkan berjualan di sini setelah mengantongi surat izin dari LPD desa Kuta, sebagaimana juga para pedagang acung (sebutan untuk para pedagang souvenir yang berkeliaran di pantai kuta), para tukang massage(pijat), tukang kepang rambut, tukang penyewaan papan surfing, tukang tatto temporary, penjual es krim maupun penjual minuman botol atau kalengan.

Pengelolaan pantai ini memang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Desa Adat Kuta, aparat desa adat inilah yang menertibkan segala kegiatan yang berlangsung di Pantai Kuta. Dulu kawasan pantai ini sempat dikuasai oleh pedagang acung asal Madura yang yang dibekingi oleh aparat militer dari Kompi Senapan Batalyon-741 yang bermarkas di Tuban, salah satu wilayah dalam desa adat Kuta. Saat itu selain merusak keasrian pantai Kuta, ulah pedagang asal Madura ini juga meresahkan para pemilik Toko di sekitar Jalan Legian, karena emperan Toko mereka tanpa izin diserobot oleh para pedagang Madura ini, para pemilik toko tidak berani berbuat apa-apa karena mereka tahu para pedagang Madura ini dibekingi oleh aparat militer.

Tapi setelah kejadian Bom Bali pertama, terjadi 'perang' antara penduduk Kuta dengan orang-orang Madura yang seperti biasa dimanapun memang suka bertindak semau-maunya (ingat kasus sampit). Dalam 'perang' ini penduduk Kutalah yang menang, sehingga sejak itu pula sampai sekarang pantai Kuta dikuasai oleh desa adat Kuta dan sejak itu pula pantai yang paling terkenal di Indonesia ini menjadi sangat tertib. Oleh pengelola pantai para pedagang yang mendapat izin berjualan di pantai ini diwajibkan untuk membersihkan lokasi pantai setiap pagi saat mereka akan mulai berjualan dan juga sore hari ketika mereka selesai berjualan. Agar tidak mengganggu kenyamanan wisatawan, pengelola pantai kuta juga membuat aturan kalau para pedagang acung baru boleh turun menawarkan dagangannya dengan cara langsung mendatangi wisatawan di atas pukul lima sore, sebelum waktu itu, para pedagang hanya boleh menunggu didatangi.

Para pedagang di pantai Kuta ini secara unik terbagi-bagi dalam kelompok etnis berdasarkan jenis dagangannya, tukang kepang rambut, tukang massage dan penjual kain bali hampir pasti adalah ibu-ibu asal Bali. Tukang penyewaan papan surfing hampir pasti orang batak, sehingga kadang duduk di pantai kuta kita serasa sedang duduk di salah satu pojokan jalan Halat di Medan sana, karena para tukang penyewaan papan surfing ini sambil menunggu pelanggan acap berkumpul di bawah pohon dan bermain gitar sambil menyanyikan lagu-lagu Batak. Tukang Bakso pasti asal Jember. Penjual minuman biasanya orang Jawa yang berasal dari Banyuwangi, penjual parfum dan jam tangan bermerek terkenal tapi palsu bisa dipastikan orang Madura. Dari kesemua manusia dan beragam profesi yang mengais rezeki di pantai Kuta, hanya gigolo-gigolo bertubuh kekar dan berkulit legam yang multi etnis. Mereka bisa berasal dari Jawa, Batak atau Ambon tapi bisa dipastikan tidak satupun di antara gigolo-gigolo itu yang orang Bali.

Ketika kami tiba di tempat yang kami lihat tadi, seorang ibu menawarkan tikar untuk disewa seharga lima ribu, Gilles membayarnya lalu kami menggelar tikar dan duduk menyaksikan para surfer yang jumlahnya mungkin ratusan kalau di hitung mulai dari batas Mal Discovery di selatan sampai ke Seminyak di Utara. " Pantainya seperti di Lhok Nga ya Win!", komentar Gilles saat kami sudah duduk beberapa saat di atas tikar sewaan. Memang kalau dilihat pasirnya yang putih dan besarnya ombaknya pantai Kuta ini memang mirip Panai Lhok Nga hanya saja Pantai Kuta ini lebih panjang, tidak dibatasi tebing Goh Leumo, tempat saya dulu bersama teman-teman dari UKM-PA Leuser atau Mapala STIK sering melakukan latihan memanjat.

Saat kami sedang menikmati pemandangan menjelang sore di Kuta, orang-orang yang bermain bola, orang yang jogging sambil menarik tali leher anjingnya, turis lokal yang berfoto-foto dengan latar belakang pantai, atau anak-anak kecil yang bermain pasir. Mata Flo tertumbuk pada pemandangan yang menurutnya aneh "apa itu Win", tanyanya sambil menunjuk ke arah selatan tidak begitu jauh dari kami. Yang dilihat Flo adalah seorang pemangku (imum) berbaju putih dan perlengkapan upacara lengkap memegang dupa yang terbakar dengan khusuk berdo'a diikuti oleh jemaahnya, para pria yang juga berpakaian putih dan para wanita berkebaya. Di depannya terhampar berbagai jenis sesajen dan disekitar mereka berbaring perempuan- perempuan bule berbikini yang sedang berjemur di bawah sinar matahari, yang sedang berusaha mengubah 'pabrik susu' putih mereka menjadi 'pabrik susu' coklat.

Tapi pemandangan itu sama sekali tidak mengusik kekhusukan orang-orang Bali beragama Hindu ini dalam bersembahyang. "Itu orang Bali lagi upacara Flo", terangku...Upacara adalah sebutan orang Bali untuk sembahyang berjamaah mereka. sedangkan istilah sembahyang mereka gunakan saat mereka bersembahyang secara sendiri-sendiri yang rutin mereka lakukan tiga kali sehari. "memang mereka biasa melakukan hal yang seperti ini?", tanya Flo lagi yang masih belum habis pikir menyaksikan pemandangan seperti itu "ya memang itu pemandangan sehari-hari di sini", jawabku...aku menjawab berdasarkan pada pengalamanku, karena aku memang cukup lama tinggal di Bali.

Menurut pengamatanku selama tinggal di Bali, Bali memang unik, karena menurut apa yang kuamati di berbagai belahan dunia yang pernah kukunjungi, jika suatu daerah diserbu oleh pengaruh luar, biasanya masyarakatnya selalu kehilangan identitas asli, masayarakatnya biasanya menjadi tidak percaya diri dengan budayanya sendiri dan mulai meniru-niru budaya luar yang menyerbunya, tapi itu tidak terjadi dengan Bali, ketika serbuan nilai dan budaya luar semakin deras justru semakin jelas pula Bali menampakkan identitas aslinya.

Menurut apa yang kuamati pula, hal ini bisa terjadi karena orang Bali sangat kuat memegang tradisi dan identitas kebaliannya. Orang Bali sangat protektif menjaga kemurnian identitas kebalian mereka. begitu protektifnya sampai-sampai masyarakat Bali tampak seperti masyarakat Autis yang hidup di dunia lain di luar dunia modern yang terus berubah ini. contohnya ya seperti yang dilihat oleh Flo itu tadi.

Struktur sosial masyarakat Bali benar-benar terkucil dari dunia luar, struktur sosial terkecil masyarakat Bali adalah Banjar, semua sistem sosial di Bali berpusat di sana, jika ada yang menikah, melahirkan, meninggal, maka yang akan melakukan upacara untuk si orang tersebut adalah rekan-rekan se banjarnya. Yang menjadi penduduk dalam satu banjar adalah orang yang sudah turun-temurun ada di banjar itu, meskipun dia pindah ke tempat lain, banjarnya tetap banjar tempatnya berasal.

Akibat dari sistem sosial seperti ini banyak orang Bali yang sebenarnya berpikiran terbuka bahkan menamatkan kuliah di luar negeri pada akhirnya terjebak dalam rutinitas berbanjar dan tidak dapat menerapkan ide-idenya, sebab banyaknya kegiatan di Banjar ini seringkali membuat orang Bali tidak lagi punya waktu untuk beraktifitas di luar.

Sulitnya orang Bali beraktifitas lain di luar banjar disebabkan oleh upacara-upacara adat dan keagamaan di Bali yang jumlahnya banyak sekali. Di Bali banyak sekali waktu liburnya soalnya Bali memiliki tiga macam Kalender. Ada kalender masehi, ada kalender tahun Saka dan ada kalender Bali, masing-masing ada hari liburnya...tapi yang paling banyak liburnya adalah kalender Bali, karena seluruh upacara keagamaan di Bali, kecuali Nyepi semuanya dihitung dengan kalender ini. Entah itu upacara yang namanya Odalan, Purnama, Bulan Mati, Kuninganan , Galungan dan lain sebagainya semua dihitung dengan kalender Bali yang setahunnya cuma berisi 6 bulan dan masing-masing bulan berisi 35 hari.

Banyak teman-teman saya orang Bali yang berpikiran progresif yang mengeluh terhadap situasi ini dan mengharapkan adanya terobosan atau penafsiran baru dalam tata cara beragama mereka. Tapi biasanya pada akhirnya teman-teman seperti ini tidak punya pilihan, selain ikut arus utama. Karena kalau tidak ikut kegiatan di banjar, bisa-bisa mereka tidak diakui sebagai penduduk Banjar, padahal bagi orang Bali hidup tanpa banjar adalah bencana, tanpa banjar orang Bali akan terkucil dan menjadi Alien. Lahir tidak ada yang mengupacarai, menikah tidak ada yang mengupacarai bahkan meninggalpun tidak ada yang me’ngabeni’. Mungkin situasi yang dihadapi teman-teman di Bali ini bisa dibandingkan dengan situasi yang dihadapi oleh teman-teman di komunitas Tikar Pandan yang mencoba memberi cara pandang baru dalam beragama di tengah masyarakat Aceh yang dalam beberapa tahun belakangan ini hidup dengan hukum syariat Islam yang merupakan penafsiran ulama yang ditunjuk pemerintah dan di lapangan diaplikasikan dengan penafsiran aparat WH.

Di Bali ada dua macam banjar, banjar adat dan banjar dinas. Banjar adat dikepalai oleh seorang klian (semacam Geuchik) adat, dipilih oleh masyarakat. Sedangkan banjar dinas adalah banjar bentukan pemerintah zaman orde baru dulu yang punya hobi menyeragamkan semua hal yang dikepalai oleh seorang kepala desa yang diakui dan digaji oleh pemerintah.

Karena sikap yang tertutup seperti ini, meskipun lingkungan di sekitarnya adalah lingkungan yang multi nasional, tapi secara umum wawasan orang Bali tidak pernah keluar dari Bali, orang Bali jarang sekali ada yang merantau ke luar dari pulau Bali, yang disebut merantau oleh orang Bali adalah orang yang berasal dari Seulimum tapi tinggal di Banda Aceh.

Dalam hal-hal lain entah itu penyerapan informasi atau berkesenian juga demikian, siaran televisi yang paling banyak ditonton orang di Bali adalah Bali TV, konser musik yang paling banyak didatangi orang di Bali adalah Widi Widiana atau Nanoe Biroe, dua nama tenar penyanyi lokal Bali. Kalau salah satu dari dua penyanyi ini mengadakan konser bisa dipastikan penonton yang hadir bisa sampai ribuan orang. Bahkan poster Nanoe Biroe yang menyebut dirinya sebagai the president of Baduda dapat kita temui dimana-mana, mulai dari tembok rumah, T-shirt sampai di bak Truk kontainer. Sementara kalau yang konser itu adalah musisi nasional (kecuali Slank), jangan harap akan didatangi orang kalau untuk menyaksikannya dipungut karcis, kalaupun ada acara besar seperti Soundrenaline yang spektakuler itu, hampir bisa dipastikan penonton yang datang menonton adalah turis-turis lokal yang sedang berlibur di Bali.

Kecilnya minat orang Bali menyaksikan konser musik non-Bali bisa saya amati berdasarkan pengalaman saya sendiri ketika pada tahun 2005 saya menyaksikan konser Project-Pop bersama artis-artis luar negeri yang diselenggarakan oleh MTV dalam rangka pemilihan VJ MTV hasil MTV VJ Hunt terbaik se Asia di halaman belakang Mal Discovery. Acara ini tidak memungut ticket sama sekali, promosinya juga luar biasa gencar, tapi penontonnya benar-benar hanya segelintir. Begitu sepinya sampai-sampai di sela-sela acara saya bisa ngobrol akrab dengan VJ Daniel dan VJ Rianti yang sebelumnya dengan garingnya cuap-cuap sendiri di panggung tanpa dipedulikan orang.

Selain efek positif terpeliharanya adat dan budaya Bali, sikap seperti ini juga memiliki akses negatif bagi orang Bali, akibat dari sikap yang menutup diri dari dunia luar seringkali mengakibatkan orang Bali sulit bersaing dengan pendatang dari luar. Sehingga pendatang dari luar dapat dengan mudah menjadi kaya di Bali. Kalau kita ke Bali dan melihat warung bakso dan tenda pecel lele, bisa dipastikan itu semua milik orang jawa.

Toko-toko di Kuta dan Legianpun demikian, pemiliknya hampir pasti memang orang Bali tapi penyewa toko yang berjualan di sana, jarang sekali yang orang Bali. Beberapa yang menarik manfaat dari mudahnya berusaha di Bali ini adalah orang-orang Gayo, yang di daerah asalnya sendiri kalah bersaing dengan pedagang asal Minang atau Aceh. Tapi di Bali orang Gayo dengan gagahnya menguasai bisnis sandal manik-manik, vcd bajakan dan kacamata.

Di bawah tahun 2002, kalau anda menemui toko sandal bermanik-manik di seputaran Legian, Poppies, Melasti atau Sahadewa hampir bisa dipastikan Toko Itu adalah milik orang Gayo, belakangan baru usaha itu diikuti oleh orang-orang asal Jawa dan Madura. Sebelum penandatanganan MOU Helsinki ada sekitar seratusan orang Gayo yang tinggal di Bali, namun seiring dengan membaiknya situasi keamanan di Aceh, sekarang banyak pengusaha asal Gayo yang kembali ke tanah asal. Tapi sampai sekarang masih ada beberapa orang Gayo yang tetap bertahan di Bali. Jika kebetulan anda berkunjung ke Kuta dan lewat di jalan Poppies atau Legian dan melihat ada Toko Sandal dengan papan nama bertuliskan Doran Dekar, Adam 12, Rangga, Marly from Bali atau Ikel...sapa saja penjualnya dengan bahasa Gayo, karena saya bisa pastikan toko itu milik orang Gayo.

Saudara saya dari suku Acehpun tidak ketinggalan dalam memanfaatkan situasi ini. Sinshe pengobatan tradisional paling terkenal di Bali adalah Teuku M. Jamil, seorang tabib muda berumur sekitar 35 Tahun asal Meureudu. Saya mengenal beliau saat kami sama-sama menghadiri acara halal-bi halal yang diselenggarakan oleh LAKA cabang Bali sekitar tahun 2003 lalu.

Masih ada ratusan orang Aceh lagi yang tinggal di Bali, semuanya rata-rata bekerja di sektor informal, ada yang memiliki perusahaan pemusnah rayap dengan pelanggan ratusan hotel besar yang bertebaran di Bali, ada yang menjadi pengusaha Handphone. Untuk bertemu dengan orang-orang Aceh di Bali cara termudah adalah dengan mengunjungi warung Mie Aceh di Jalan Sesetan.

Saat matahari perlahan mulai tenggelam dan malam mulai menyelimuti, aku mengajak Gilles dan Flo ke Jimbaran untuk makan ikan bakar, aku mengajak mereka ke restoran yang menjadi sasaran Bom Bali ke dua. Restoran ini terletak tepat dibibir pantai dengan kursi dan meja makan yang ditempatkan di atas pasir pantai. Restoran ini adalah restoran terakhir dari rangkaian restoran ikan bakar di sepanjang pantai ini sepanjang kurang lebih 3 kilometer, restoran ini berbatasan dengan resort four season tempat SBY menginap selama acara UNFCC dulu batas lainnya ada di pasar ikan Kedonganan dekat dengan bandara Ngurah Rai.

Aku mengajak Gilles dan Flo ke sini karena aku kenal baik dengan pemilik restoran ini. Saat terjadi ledakan Bom Bali kedua tahun 2005 dulu aku kebetulan ada di Bali. Aku sempat merekam suasana pasca kejadian di restoran ini aku juga ada di sini saat tempat ini dikunjungi Kapolri beberapa jam sesudah kejadian. Banyak sekali rangkaian peristiwa Bom Bali kedua yang sempat kurekam dengan kameraku bahkan rekamanku di Rumah Sakit Graha Asih dibeli dan ditayangkan berulang-ulang oleh Metro TV.

Di restoran ini aku memesan ikan kakap, cumi dan kerang, sambil menunggu pesanan kami dimasak, Flo dengan iseng menghitung jumlah pesawat di Bandara Ngurah Rai yang take-off dan mendarat tiap lima menit sekali.

Ketika pesanan kami akhirnya siap, kamipun menikmatinya dengan diterangi lilin dan diiringi deburan ombak serta musik dari pengamen berseragam putih hitam yang mengenakan dasi kupu-kupu yang menyanyikan bermacam lagu, mulai dari lagu kenangan sampai top 40 dengan alat musik gitar, bas betot dan perkusi.


Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Tidak ada komentar: