Selasa, 01 April 2008

Klaim-Klaim Kosong ALA

Belakangan ini, kita terus dibombardir melalui berbagai media oleh
berbagai klaim yang berdasarkan pada tesis ASBUN alias asal bunyi yang
dikeluarkan oleh orang-orang yang menyebut diri mereka 'para pejuang' ALA.

Misalnya seperti Klaim-klaim orang-orang IWAN GAYO CS yang ingin
mendirikan propinsi ALA dengan alasan karena suku Gayo dari dulu
dipinggirkan dan dimarginalkan oleh Aceh, dengan kata lain TESIS IWAN
GAYO CS adalah bahwa ketertinggalan yang terjadi di wilayah calon
propinsi ALA disebabkan karena adanya perlakuan DISKRIMINATIF yang
dilakukan oleh pemerintah Aceh terhadap SUKU GAYO.

Sekilas kalau kita hanya membandingkan 'ketertinggalan' yang terjadi
di wilayah calon propinsi ALA dengan keadaan di seputaran Mesjid
Baiturrahman di Banda Aceh, kita bisa mengatakan tesis itu benar. Tapi
kalau kita mengunjungi berbagai daerah lain seperti Aceh Barat dan
Aceh Selatan yang dihuni oleh suku Aceh juga maka kita langsung dapat
menyaksikan sendiri kalau keadaan TANOH GAYO jauh lebih baik daripada
daerah-daerah yang secara tradisional dihuni oleh etnis Aceh tersebut.

Berdasarkan fakta di atas kita langsung bisa mendapati bahwa Tesis
dari IWAN GAYO CS yang dijadikan dasar untuk membangun opini bahwa
ketertinggalan yang terjadi di wilayah calon propinsi ALA disebabkan
karena adanya perlakuan DISKRIMINATIF yang dilakukan oleh pemerintah
Aceh terhadap SUKU GAYO...MENTAH, dengan mentahnya tesis tersebut
dengan sendirinya alasan untuk mendirikan propinsi ALA akibat adanya
diskriminasi etnis tidak dapat diterima.

Sebagai bukti lain mentahnya argumen atau tesis si PANDIR pengarang
BUKU PINTAR yang telah naik cetak 30 kali ini dapat kita saksikan
ketika kemudian kita ketahui daerah-daerah yang secara tradisional
dihuni oleh etnis Aceh inipun menuntut untuk mendirikan propinsi baru
bernama ABAS.

Lalu sekarang mari kita cermati Tesis kedua, menurut tesis ini
seperti yang pernah diucapkan oleh DR Rahmat Salam yang menjadi Ketua
Komite Persiapan Pemekaran Provinsi Aceh Leuser Antara (KP3 ALA),
propinsi ALA harus berdiri karena ketertinggalan yang terjadi di calon
propinsi ALA terjadi akibat jauhnya rentang kendali yang harus
ditangani oleh pemerintah Aceh yang berpusat di Banda Aceh, dalam
sebuah pernyataannya di sebuah koran Harian Nasional DR Rahmat secara
sangat berlebihan menyebut jarak antara Sabang sampai Singkil adalah
4000 km, sebuah jarak yang bahkan lebih panjang dari panjang
keseluruhan Pulau Sumatra.

Sekali lagi jika kita melihat sepintas keadaan di sekitar Mesjid
Baiturrahman di Banda Aceh dengan sebuah desa di Aceh Tengah,
katakanlah Belang Gele, maka tesis ini ada benarnya.

Tapi coba kita bandingkan Keadaan di sekitar Mesjid Baiturrahman di
Banda Aceh dengan keadaan di desa Limpok yang letaknya persis di
belakang fakultas kedokteran Unsyiah yang bisa dicapai dari pusat kota
Banda Aceh hanya dengan ongkos 100 rupiah naik robur, tapi secara
adminsitrasi termasuk ke dalam wilayah kabupaten Aceh Besar, maka
segera kita dapati bahwa keadaan di Belang Gele masih jauh lebih baik
dibanding keadaan di Limpok yang bahkan penduduknya tidak punya akses
untuk mendapatkan air bersih, sumur-sumur di desa ini yang digunakan
penduduknya sebagai sumber air minum, mencuci dan berbagai kebutuhan
lain mengeluarkan air berwarna kuning.

Kalau kita melihat lebih jauh lagi desa-desa lain di Aceh Besar entah
itu, Tungkop, Sibreh, Samahani, Indrapuri dan desa-desa yang agak jauh
dari jalan raya seperti Jalin, Lutu Laweung, Ceurih, Pulo Aceh dan
lain-lain maka keadaan di tempat-tempat tersebut malah lebih parah
lagi, apalagi jika kita bicara Tangse, Tiro dan Trusep di Pidie atau
Cawang di Aceh Utara sana, malah keadaanya jauh lebih menyedihkan lagi.

Saya dapat mengatakan keadaan di daerah-daerah tersebut lebih parah
daripada keadaan Belang Gele karena saya memang sudah pernah
mengunjungi daerah-daerah tersebut, latar belakang saya sebagai
anggota kelompok Mahasiswa Pecinta Alam Leuser Unsyiah memungkinkan
saya untuk mengunjungi dan bergaul intim dengan masyarakat di berbagai
daerah di pelosok pedalaman Aceh dalam rangka kegiatan atau ekspedisi
yang diselenggarakan oleh UKM-PA LEUSER Unsyiah.

Fakta di atas dengan sendirinya mementahkan Tesis DR Rahmat Salam yang
mengatakan bahwa propinsi ALA harus berdiri karena ketertinggalan yang
terjadi di calon propinsi ALA terjadi akibat jauhnya rentang kendali
yang harus ditangani oleh pemerintah Aceh yang berpusat di Banda Aceh.
Fakta yang saya sampaikan menunjukkan kalau ketertinggalan yang
dialami orang Aceh bersifat menyeluruh, tidak ada kaitannya dengan
diskriminasi etnis maupun jauhnya rentang kendali.

Dari mentahnya kedua Tesis pro pemekaran di atas, kita dapat
menyimpulkan kalau keinginan untuk mendirikan propinsi ALA maupun ABAS
sama sekali tidak ada kaitannya dengan ketertinggalan dalam hal
pembangunan yang terjadi di wilayah kedua calon propinsi tersebut,
buktinya Aceh Besar, Pidie dan Aceh Utara yang juga mengalami
ketertinggalan dalam hal pembangunan tidak ikut-ikutan minta
mendirikan propinsi baru.

Jadi sebenarnya apa penyebab munculnya ide pemekaran di Aceh yang
sedang dalam masa PERUBAHAN BESAR ini?.

Menurut pengamatan kami sebenarnya apa yang terjadi di Tanoh Gayo
sekarang ini hanyalah suatu bentuk pengulangan sejarah yang telah
dimulai sejak manusia pertama ada di bumi, kita kurang jeli
memperhatikan gejala ini disebabkan karena kita orang Gayo yang
dididik di sekolah dengan kurikulum Indonesia, sebagaimana juga halnya
warga Indonesia di daerah lain tidak pernah benar-benar intim dengan
sejarah, karena di sekolah kita hanya disuruh menghapal 'kosmetik'
sejarah, berupa tanggal dan tahun sebuah kejadian, tapi esensi dari
sejarah itu sendiri absen dari pemikiran kita.

Sejarah menunjukkan kepada kita, bahwa dalam setiap PROSES PERUBAHAN
yang terjadi di belahan bumi manapun, selalu muncul sekelompok orang
yang menyulut konflik dan dalam setiap proses perubahan ini selalu
yang berbahaya, yang potensial menimbulkan konflik dan kekacauan
bukanlah orang/kelompok yang sebelum adanya perubahan memang sudah
terpinggirkan, tapi konflik selalu disulut oleh seseorang atau
sekelompok ORANG YANG MENDADAK MENJADI MARGINAL akibat adanya
perubahan tersebut.

Dalam sejarah dunia kita bisa menyaksikan terjadinya perang sipil di
Amerika yang terjadi akibat termarginalkannya para pemilik budak oleh
kebijakan presiden Lincoln yang menghapuskan perbudakan. Atau di
Indonesia pasca kemerdekaan, kekacauan yang dibuat Westerling terjadi
akibat Belanda yang sebelumnya nyaman berkuasa tiba-tiba menjadi
termarginalkan, lebih dekat lagi di Aceh terjadi perang Cumbok akibat
para Ulee Balang yang mendapatkan banyak privilege di masa
pemerintahan Belanda tiba-tiba mendapati diri mereka termarginalkan,
lebih dekat lagi di Tanoh Gayo sendiri banyak kekacauan pasca
kemerdekaan yang disulut oleh raja-raja kecil yang terbiasa mendapat
perlakuan istimewa semasa penjajahan Belanda yang tiba-tiba mendapati
diri mereka terpinggirkan dan kehilangan tempat bergantung, lebih
dekat lagi ke kampung saya sendiri di Isaq, KEJURUN yang biasanya
hidup mewah dari uang pajak yang dikenakan kepada masyarakat atas
restu Belanda membuat kekacauan karena si KEJURUN tiba-tiba
termarginalkan dan kehilangan posisinya yang digantikan oleh
orang-orang Nasioalis.

Dalam masa yang lebih dekat, kejadian yang sama bisa kita saksikan di
masa pasca reformasi di Indonesia, semua orang-orang kuat
bekas Orba yang sekarang termarginalisasi jadi orang biasa seolah
berlomba membuat berbagai manuver politik dan mendeklarasikan kelompok
ini itu yang akibatnya menimbulkan ketegangan bahkan bentrok antar
kelompok di Masyarakat, lihat pula yang terjadi pada Tommy Soeharto si
Pangeran Cendana yang tiba-tiba termarginalkan ini, mengamuk membabi
buta sampai membunuh seorang hakim agung. Lihat pula yang terjadi pada
Eurico Guiterez di Timor-timur dan yang paling Mutakhir apa yang
dialami oleh Mayor Alfreido Reinado, semua yang mereka lakukan adalah
reaksi sebagai akibat perasaan ditinggalkan dan merasa tiba-tiba
menjadi MARGINAL.

Yang terjadi di Tanoh Gayo saat inipun tidak lain hanyalah pola yang
sama seperti yang terjadi di atas, meskipun ide pembentukan propinsi
baru di Aceh ini mulai menggelinding semenjak pertemuan rahasia di
Brastagi, Sumatera Utara, Mei 2001, tapi mengeras dan makin militannya
aksi 'para pejuang' ALA belakangan ini, tidak lain dan tidak bukan
adalah karena 'raja-raja kecil kontemporer' di Tanoh Gayo yang pada
periode sebelum perubahan selalu menjadi anak emas pemerintah pusat
baik sipil maupun militer, setelah penanda tanganan MoU Helsinki
tiba-tiba mendapati diri mereka TERMARGINALKAN, hak-hak dan perlakuan
istimewa yang selama ini mereka dapatkan dari pemerintah pusat baik
sipil maupun militer tiba-tiba hilang, 'raja-raja kecil kontemporer'
ini merasa ditinggalkan.

Berdasarkan uraian di atas maka jelas bahwa Tesis saya yang selalu
konsisten saya sampaikan bahwa alasan utama munculnya 'perjuangan'
mendirikan propinsi ALA ini semata karena para penguasa lama yang
tetap ingin mempertahankan status quo yang mereka nikmati selama ini,
bukanlah sebuah tesis yang mengada-ada, karena seperti yang telah saya
uraikan panjang lebar memang sejarah menunjukkan bahwa tendensi atau
bahkan fakta seperti inilah yang selalu bisa kita saksikan dalam
setiap 'perjuangan' di setiap daerah yang sedang mengalami proses
perubahan.

Reaksi dari perasaan ditinggalkan ini bisa macam-macam tergantung
kadar HARGA DIRI si pelaku, jika orang yang merasa ditinggalkan ini
adalah seorang samurai Jepang berjiwa Bushido maka reaksi mereka atas
keadaan ini adalah Seppuku yaitu Harakiri dengan merobek perut
menggunakan pedang, kalau hal seperti ini terjadi pada Kahar Muzakkar,
Almarhum Teungku Daud Beureuih atau Almarhum Teungku Ilyas Leubee
reaksi mereka adalah berontak angkat senjata melawan pemerintah yang
'meninggalkan' mereka.

Kalau ini terjadi pada 'raja-raja kecil kontemporer' di Tanoh Gayo,
kita bisa saksikan sendiri reaksi mereka hari ini, mereka merengek dan
meraung-raung minta pertanggung jawaban dari pelindung mereka dulu
yang sekarang tiba-tiba meninggalkan mereka, cara mereka merengek
bahkan kadang sebegitu parahnya sampai begitu lucu dan menggelikan
bahkan sulit diterima akal sehat seperti aksi memakai BLANGKON ke
Senayan dan menyebut mayoritas penduduk calon propinsi ALA adalah SUKU
JAWA.

Bahkan saking paniknya orang-orang ini mereka tidak peduli lagi dengan
yang namanya harga diri, mereka yang berangkat ke Jakarta untuk tujuan
memisahkan diri dari Aceh, berangkat untuk menjelek-jelekkan Gubernur
Aceh, akibat kekurangan logistik dan kelaparan malah merengek minta
makan pada orang yang mereka jelek-jelekkan itu.

Kami dari Forum Pemuda Peduli Gayo sangat maklum dengan reaksi yang
mereka tunjukkan ini karena jika manusia bereaksi 'gila' akibat merasa
ditinggalkan memang merupakan hal yang sangat manusiawi, bahkan
menurut penjelasan para psikolog reaksi seperti ini memang adalah
bagian dari karakteristik kita sebagai manusia, yang membedakan
tingkatan 'kegilaan' dalam bereaksi seperti yang telah saya gambarkan
sebelumnya hanyalah perbedaan pada tingkatan atau kadar HARGA DIRI.

Cuma masalahnya sekarang apakah sebagai pemuda Gayo kita rela Orang
Gayo yang sama sekali tidak dirugikan bahkan sangat mungkin akan
diuntungkan oleh adanya perubahan ini mau begitu saja dijadikan BEMPER
oleh para barisan sakit hati ini?

Kami dari Forum Pemuda Peduli Gayo tidak mau, dan kami berharap
siapaun anda pemuda-pemudi Gayo yang masih waras dan mampu berpikir
jernih juga ikut bersuara bersama kami untuk menolak SUKU KITA, ORANG
TUA KITA dijadikan TUMBAL untuk pemenuhan syahwat politik orang-orang
yang termarginalkan oleh PERUBAHAN ini.


Wassalam

Forum Pemuda Peduli Gayo

Win Wan Nur
Ketua

Tidak ada komentar: