Selasa, 08 April 2008

Ke Sok Tahuan orang Jakarta Tentang Aceh

Saya membaca sebuah balasan terhadap Postingan saya di Milis Pantau Komunitas, balasan ini berasal dari seorang yang mengaku bernama Roy, yang mengatakan semua analisa saya dalam isu ala ini berdasarkan pada Prasangka dan pandangan Sterotip.

Berikut tulisan itu

Saya kira anda telah melakukan penilaian stereotip terhadap suku Jawa. Anda
bisa menjelaskan amuk massa di Solo? Atau bonek Surabaya? Atau pembantaian
massal di Jawa yang menghabiskan ratusan ribu sampai jutaan orang?

Sebenarnya, tidak ada yang bisa mengklaim pemilik sah sebuah tanah, di
manapun juga, hanya karena merasa sudah berada di tempat tersebut secara
turun menurun. Tidak ada yang benar-benar tahu, bahwa orang Gayo sudah
berada di Tanah Gayo sejak 2000 tahun, atau orang Jawa di Pulau Jawa, atau
orang Papua di tanah Papua. Ingatan kolektif kita cuma sampai 500-800 tahun,
sisanya "disumbangkan" oleh sejarawan Belanda, Perancis, dan dari
negeri-negeri lainnya. Tanah yang kita pijak juga tidak selalu berada dalam
posisi yang sama, puluhan ribu atau jutaan tahun yang lalu. Identitas
kesukuan di Indonesia bahkan lebih temporer lagi, sebagian malah hasil
kreasi "etnografi" Belanda, karena tidak semua komunitas di Indonesia
memiliki identitas, kebudayaan, dan kontinuitas yang sama.

Apa yang disebut sebagai suku Jawa, Sunda, Aceh, dan seterusnya, adalah
terjemahan kolonial, yang mencoba memilah-milah untuk mengenali masyarakat
yang ia tundukkan, berdasarkan kemiripan-kemiripan identitas, terutama
bahasa dan tradisi. Dan itu dilakukan di zaman ketika ilmu sosial belum
berkembang seperti sekarang, ketika perkembangan filsafat dan cabang-cabang
ilmu pengetahuan lainnya juga belum melewati tahap seperti jaman sekarang.

Jadi, sebelum kita bisa membuang prasangka atau stereotip terhadap
aktor-aktor politik yang kini bertarung di seputar isu ALA, akan sulit
mendapatkan gambaran yang jelas atas apa yang sesungguhnya terjadi. Paling
maksimum, meskipun saya boleh bersepakat dengan kesimpulan anda soal raja
kecil tersingkir sekalipun, saya hanya bisa katakana: Ini masih spekulasi
kasar.

Roy
www.geopolitik.org

Untuk menjawab Ke Sok Tahuan ini sayapun membalas seperti di bawah ini

Halo Bung Roy, salam kenal...

Saya sangat terkesan membaca tulisan anda yang disampaikan dengan cara yang sangat menarik, hanya sangat disayangkan keseluruhan isi tulisan anda yang begitu menarik ini 100% NGAWUR TOTAL...karenanya saya minta maaf jika terpaksa harus menjawab tulisan NGAWUR anda ini secara panjang lebar, saya terpaksa melakukan ini supaya bisa memberi anda penjelasan yang paling dasar dan gambaran yang lebih jelas mengenai situasi daerah kami sebab jelas sekali pemahaman anda terhadap sejarah maupun logika sangat parah. Yang berakibat pada munculnya pernyataan SOK TAU yang anda post di milis ini.

Pernyataan anda yang dimulai dengan kata SAYA KIRA ketika menyatakan FAKTA yang saya tulis bahwa suku Jawa tidak punya militansi itu sebagai STEREOTIP, sepenuhnya adalah subjektifitas anda sendiri, subjektifitas yang tidak berdasar pada fakta objektif. Saya melihat anda ini sengaja memakai istilah STEREOTIP sebuah kata berkonotasi negatif dengan maksud mengacaukan opini pembaca milis ini terhadap fakta real yang saya sampaikan seolah-olah apa yang saya sampaikan tentang sifat suku Jawa itu hanya didasarkan pada prasangka.

Bung Roy, pernyataan anda ini ngawur total, pernyataan saya tentang suku Jawa yang tidak punya militansi itu bukanlah sebuah STEREOTIP yang hanya didasarkan pada prasangka, sebaliknya itu adalah FAKTA karena konstruksi sosial Orang Jawa yang dibangun berdasarkan nilai-nilai luhur yang ada dalam budaya Jawa memang menciptakan manusia dengan kultur yang bangga menjadi seorang abdi dalem memang telah membuat orang Jawa tidak memiliki sifat militansi.

Kalau soal kerusuhan di Solo dan gejala Bonekisme itu sih bukan militansi, itu cuma sejenis reaksi anak manja yang dibiarkan sehingga membesar, coba itu perusuh Solo dan Bonek-bonek Surabaya itu disiram dengan peluru seperti yang dilakukan TNI di Aceh, saya jamin itu kerusuhan langsung berenti dan orang Jawa langsung ketakutan setengah mati. dan Bonek-bonek itupun langsung jadi sok manis dan memuja-muja penembak temannya, persis seperti situasi sehabis ribuan anggota PKI disembelih di depan umum dulu.

Dalam sebuah tulisan saya di milis lain, saya pernah menulis tentang perbedaan Manusia sebagai Binatang dan Manusia sebagai Manusia.

Saya katakan di milis itu, bahwa sebagai Makhluk Manusia, kita hidup dengan dua aspek sekaligus, aspek kebinatangan dan aspek kemanusiaan.

Yang menjadi pembahasan di dalam ilmu biologi adalah100% aspek kebinatangan manusia ini, yang dimasukkan dalam pembagian kelompok makhluk hidup berdasarkan taksonominya Mendel yang mengelompokkan manusia ke dalam ordo primata , Genus Homo dan Spesies Homo sapiens juga adalah aspek kebinatangan manusia ini, yang menjadi kontroversi dalam teori evolusinya Darwin pun tidak lain adalah aspek kebinatangan kita ini.

Pada aspek kebinatangan ini semua manusia adalah sama, dalam artian sama-sama terbentuk dari darah, daging dan tulang, sama-sama merasa lapar, sama-sama merasakan . Karena kesamaan di sisi kebinatangan inilah orang Gayo yang butuh darah bisa ditransfusi dengan darah orang Aceh, Batak, Korea, Bule bahkan Yahudi sekalipun, semua bisa dilakukan bukanlah karena orang Aceh, orang Gayo, Batak, Korea, Bule bahkan Yahudi sekalipun sama-sama "MANUSIA" tapi karena mereka semua sama-sama "BINATANG", sama-sama Homo sapiens.

Sebagai "binatang" karena konstruksi fisik kita sama, maka semua manusia yang sama-sama Homo sapiens bisa merasakan manisnya gula danasinnya garam. sama seperti Homo sapiens lain. Semua aspek kebinatangan, selanjutnya supaya lebih halus saya sebut saja aspek "KE-HOMO SAPIENS-AN" Manusia itu adalah aspek yang "terberi" atau terbawa begitu saja dari lahir. Aspek ini diturunkan dari generasi ke generasi secara genetis. aspek inilah yang membuat kita merasa haus, lapar, marah, panas, dingin sakit dan lain sebagainya.

Semetara itu "Aspek kemanusiaan" bukanlah aspek yang "terberi" atau terbawa begitu saja dari lahir. "Aspek kemanusiaan" itu 100% hasil produksi masyarakat, hasil konstruksi sosial. Aspek inilah yang membuat manusia bangga sebagai raja, bangga sebagai imuwan, bangga sebagai insinyur, bangga punya mobil, bangga punya istri cantik dan lain-lain.

Aspek ini membuat manusia satu berbeda dengan manusia lain, "Aspek kemanusiaan" inilah yang membuat ada pembedaan manusia semacam "Manusia Aceh", "Manusia Gayo", "Manusia Jawa", "Manusia Pancasila", "Manusia Kapitalis", "Manusia Komunis", "Manusia Islam" atau "Manusia Yahudi".

Kami bisa menjadi Manusia Aceh karena lingkungan kamilah yang membuat kami menjadi orang Aceh.

Kami yang sejak kecil diajarkan nilai-nilai ke Acehan, ketika kami kecil sebelum tidur kami dinina bobokan dengan hikayat Prang Sabi, dalam pergaulan sehari-haripun merasakan nilai-nilai ke Acehan yang mengagungkan harga diri dan sehari-hari pula kami mendengarkan SEJARAH para pendahulu kami yang tidak pernah mau menyerah pada Belanda yang kami sebut KAFIR biarpun harus berperang sampai habis harta benda dan keturunan, otomatis menjadi orang Aceh. Sebagai orang Aceh kami tumbuh dalam semua nilai-nilai itu dan tanpa sadar kamipun mengidentifikasikan diri kami dengan pendahulu kami berdasarkan apa yang kami ketahui berdasarkan SEJARAH...sehingga jadilah kami MANUSIA ACEH.

Cara pembentukan manusia Jawa, manusia Cina, manusia Minang dan manusia apapun juga persis sama seperti itu, itulah yang saya sebut sebagai konstruksi sosial.

Konstruksi sosial yang telah menciptakan karakter Khas dalam diri masing-masing suku inilah yang menjadi alasan, kenapa Orang Minang atau Orang Cina selalu lebih sukses menjadi pedagang dibandingkan suku lain, konstruksi sosial ini pula yang membuat orang suku Jawa selalu menjadi yang paling sukses berkarir sebagai pembantu rumah tangga di belahan dunia manapun.

Pernyataan anda yang Apa yang disebut sebagai suku Jawa, Sunda, Aceh, dan seterusnya, adalah terjemahan kolonial, kreasi "etnografi" Belanda yang mencoba memilah-milah untuk mengenali masyarakat jelas NGAWUR TOTAL.

Fakta sejarah membuktikan bahwa suku-suku yang anda sebut itu sudah eksis dan memiliki budaya yang berbeda jauh sebelum Belanda mengenal Asia Tenggara, malah berkebalikan dengan pernyataan anda yang mengatakan adanya suku-suku itu adalah hasil terjemahan kolonial untuk memilah-milah, justru kolonialis Belandalah satu-satunya faktor yang menjadi PEREKAT antara suku Aceh dengan Jawa.

Coba saja Sumatra waktu itu dijajah Inggris seperti Malaysia, maka mana ada jalannya sekarang kami menjadi bagian dari Indonesia, karena pengalaman kami di sini jelas tidak bakal sama dengan anda di Jawa yang dijajah Belanda.

Berlawanan dengan pernyataan bodoh anda itu, fakta sebenarnya adalah pemisahan suku-suku ini sudah ada sejak dulu, sejak ingatan kolektif kita ada, tidak perlu ada yang tahu apakah 2000 tahun yang lalu Gayo sudah ada di sini apa belum, tapi yang jelas sepanjang ingatan kolektif kita ada Gayo sudah berbeda dengan Jawa yang jauh lebih dulu tinggal di Tanoh Gayo adalah Orang Gayo bukan Orang Jawa, malah adanya angka 2000 tahund alam tulisan anda inilah yang aneh, bisa tolong dijelaskan atas dasar dan maksud apa anda meletakkan angka 2000 di situ?

Pembedaan suku-suku inipun sama sekali nggak ada urusan sama ilmu sosial yang belum berkembang, yang ada kaitannya dengan berkembangnya Ilmu sosial adalah anda sendiri, Anda dengan pemahaman separah ini layak diklasifikasikan sebagai MANUSIA PRIMITIF jika dinilai dengan perkembangan Ilmu sosial semaju sekarang ini.

Selanjutnya pernyataan anda tentang tidak seorangpun yang berhak mengklaim tanah sebagai miliknya adalah sebuah pernyataan yang lebih NGAWUR lagi, sebuah pernyataan yang sama sekali berlawanan dengan fakta dan logika manusia waras manapun.

Buktinya Ngawurnya pernyataan anda bisa di lihat dari negara ini, Indonesia ini jadi sebuah negara apa bukan karena KLAIM bahwa tanah ini bukan milik Belanda yang pernah jadi penguasa di sini?.

Kalau memakai logika Anda, kenapa Belanda diusir dari sini?, bukankah merekapun sebenarnya berhak atas tanah ini, karena toh ini bukan tanah milik Indonesia, bahkan Ide keindonesiaan sendiripun baru ada setelah Belanda ada di negeri ini.

Tapi kalau anda tetap mau ngotot bilang pernyataan anda itu benar, tolong tunjukkan satu saja negara di dunia ini yang mendirikan negaranya bukan karena KLAIM atas tanah yang didiami?

Lalu lagi-lagi anda dengan ngawur ketika anda mengatakan tidak akan menemukan solusi konflik di Gayo sebelum membuang prasangka dan stereotip terhadap aktor-aktor politik yang bermain di seputar isu ALA.

Dengan pernyataan ini anda cuma menunjukkan kalau anda ini sudah Ngawur sok tau pula, saya tanyakan pada anda tahu apa sih anda tentang aktor-aktor politik yang bermain di seputar isu ALA itu?, apa anda mengenal mereka secara pribadi?, apa anda tahu rekam jejak mereka, anda tahu siapa orang tuanya, anda tahu kultur seperti apa yang membesarkan mereka?

Bung Roy, kota tempat kami tinggal bukanlah sebuah kota yang kompleks dan sedemikian plural seperti Jakarta, seperti yang anda bayangkan saat menganalisa tulisan saya.

Kota kami hanyalah sebuah kota kecil yang semua warganya saling kenal, kota kami jika kebetulan di jalan kami bertemu satu wajah baru yang bukan warga kota kami,kami langsung tahu itu bukan warga kota kami.

Tempat ngumpul di tempat kami juga sangat terbatas. Keterbatasan ini membuat saya sering duduk minum kopi di warung dan meja yang sama dengan aktor-aktor politik yang bermain di seputar isu ALA ini, saya tahu persis rekam jejak mereka, siapa keluarga mereka, saya tahu persis bagaimana cara mereka berpolitik, saya tahu persis siapa pendukung mereka.

Semua analisa saya mengenai mereka adalah analisa berdasarkan fakta-fakta yang valid, jadi kalau boleh saya ingin bertanya atas dasar apa anda yang hanya mengenal Aceh dari tulisan-tulisan di milis berani mengatakan analisa saya tersebut adalah spekulasi?

Saya menanti jawaban yang lebih cerdas dari anda.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Tidak ada komentar: