Selasa, 01 April 2008

Bowen : Sejarah Hancurnya EDET Gayo

Salah seorang Rakan terbaikku, Subayu Loren menanyakan sebuah pertanyaan jujur yang menanyakan akan kemana perjuangan FPPG ini diarahkan, saya sangat memaklumi pertanyaan rekanku Subayu Loren ini yang bertanya di tengah realitas kekinian Aceh dimana IDEALISME seolah tidak lagi memiliki ruang untuk bergerak.

Ketika aksi yang berdasarakn pada aksi nurani sudah sangat langka dan menjadi barang yang wajib dilindungi agar tidak punah, salah seorang sahabat terbaik yang bernama Subayu Loren ini tentu saja khawatir kalau arah yang ingin dituju oleh forum ini akan tidak berbeda dengan arah yang di tuju ALA saat ini.

Karena kakhawatiran ini saya pikir bukan hanya merupakan kekhawatiran Sahabatku Subayu, tapi juga merupakan kekhawatiran hampir semua masyarakat Gayo yang akibat menyaksikan kenyataan sehari-hari menjadi pesimis dengan apapun yang berbau idealisme, akibat parahnya kepalsuan yang dipamerkan terang-terangan setiap hari, subjektifitas orang gayo dipenuhi dengan rasa curiga.

Untuk memperjelas posisi saya dalam gerakan ini maka sayapun memutuskan untuk membuka identitas saya lebih jauh supaya rekan-rekan yang terpisah jauh secara fisik dapat lebih mengenal diri saya secara lebih jauh dan bisa merasakan kedekatan emosi sesama orang gayo maupun orang Aceh.

Untuk itu saya menulis tulisan di bawah ini :

Rakan Subayu dari dua tulisanmu aku sangat terharu melihat kamu begitu menghargai dan menghormati gurumu, aku sangat yakin gurumu itu adalah seorang yang sangat bijkasana sehingga pikiran-pikiran mulianya bisa sebegitu mempengaruhi seluruh cara pandang seorang Subayu Loren.

Pesan dari gurumu itu "Siapapun yang mati dalam ashobiyah, dia mati dalam kesesatan" juga adalah pesan yang sangat sering kudengar dan sekali lagi akupun sangat setuju, dengan pendapat ini.

Soal klaim keturunan juga demikian, saya setuju sepenuhnya dengan Rakanku Subayu yang menatakan ini merupakan salah satu dari "cacat dalam" diri masyarakat Gayo kita sekarang. Telah menggerogoti dengan sangat keji jiwa masyarakat Gayo kini sehingga lupa diri, sayapun sangat setuju.

Tapi meskipun sangat setuju seperti biasa ketika menemui kata-kata semacam Ashobiyah, kesesatan, keturunan dan lain-lain, sayapun selalu tidak pernah langsung puas hanya dengan memahami permukaannya, karena saya tidak memandang kata-kata tersebut sebagai satu bentuk material yang nyata, yang langsung memiliki nilai ketika berdiri sendiri. Karena itulah ketika menemui kata-kata seperti yang Rakanku Subayu sebutkan aku selalu mencoba mencari NILAI ASLI dari kata-kata yang Rakanku Subayu sebutkan, dalam pandangan saya semua kata-kata itu baru terlihat NILAI ASLI nya, hanya ketika semua kata tersebut dilekatkan pada aspek lain yang lebih nyata.

Berdasarkan pandangan inilah aku mencoba memhami makhluk manusia berdasarkan dua aspek dasar pembentuknya "aspek kebinatangannya" dan "aspek kemanusiaan", dalam bahasa Freud meskipun maknanya tidak persis sama disebut "ID" dan "SUPEREGO". Melalui pembagian seperti ini aku mencoba memahami dari aspek Manusia manakah ashobiyah itu berasal. dari aspek kemanusiaan GAYO yang mana pula "cacat dalam" diri masyarakat Gayo kita sekarang, berasal.

Setelah dipecah seperti ini, saya tidak lagi melihat manusia secara gebyah uyah, tapi secara lebih parsial, berdasarkan telaah seperti inilah saya menemukan fakta bahwa ternyata segala cacat diri, segala kesesatan dalam Kegayoan kita semua berasal dari "Aspek Kebinatangan" Kegayoan kita, sementara itu dari "aspek Kemanusiaan" GAYO kita dari dulu sampai sekarang adalah GAYO kita adalah GAYO yang mulia.

Berdasarkan pembagian manusia atas dua aspek ini pula saya ingin mengatakan pada rakan-rakanku semua, ketika saya mengatakan DARAH yang mengalir di Nadi kita orang GAYO adalah DARAH para Pang perkasa, maka ketika itu saya bukanlah sedang berbicara tentang darah "kebinatangan" kita yang diklasifikasikan dengan huruf A, B , O atau AB, bukan saudaraku, tapi ketika saya sedang berbicara seperti itu DARAH yang saya maksud adalah DARAH RUHANIAH yang berupa SEMANGAT yang mengalir di setiap urat nadi kita. SEMANGAT para PANG itu bukan diturunkan melalui "Aspek Kebinatangan" MUYANG DATU kita, melainkan melalui "ASPEK KEMANUSIAANNYA"...warisan "ASPEK KEMANUSIAAN" suku kita inilah yang menjadi tanggung jawab kita PEMUDA GAYO untuk kita lanjutkan kelestariannya kepada anak cucu kita hingga akhir zaman.

Rakanku Subayu kamu sangat beruntung punya seorang Guru yang bijaksana, sehingga kamu bisa bertukar pikiran secara cerdas antara sesama makhluk, hal yang tidak terjadi pada diriku, guruku kebanyakan adalah buku-buku yang hanya bisa mengajariku satu arah tanpa aku punya kesempatan bertanya apa yang tidak kumengerti, tapi meskipun begitu bukan berarti aku tidak memiliki satu Sosok Manusia yang sangat aku hargai yang kemudian mempengaruhi seluruh alam pikiran dan pandangan hidupku.

Aku juga memiliki sosok seperti gurumu itu Rakanku Subayu, bahkan sosok ini pulalah yang mendorong aku untuk kembali ke dunia pergerakan ini yang dulu sudah lama sekali kutinggalkan.

Perlu sahabatku Subayu ketahui, sejak berbulan-bulan yang lalu banyak sekali teman-teman masa pergerakan dulu yang menelponku untuk mengajakku kembali ke dunia yang pernah kugeluti dulu, tapi selalu kutolak, bahkan jujur saja selama ini aku pernah tidak peduli melihat tingkah polah orang-orang ALA yang semakin keterlaluan ini, aku menganggap itu semua bukanlah urusanku, apalagi sekarang aku sudah hidup tenang dengan anak dan istriku di tempat yang damai dan tentram, tanpa harus dipusingkan dengan permasalahan ekonomi keluarga maupun segala kusut masai persoalan politik di tanah kelahiran.

Tapi tahukah anda Rakanku Subayu apa yang akhirnya membuat aku memutuskan untuk kembali?. Itu adalah Buku Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, karangan John Bowen pemberian Adrien untukku, sebuah tulisan Bowen di halaman 113 dan 114 di buku itu telah membuatku tersentak, tulisan itu begitu menggugah semangat dan pikiranku yang akhirnya membuatku memutuskan untuk kembali untuk menyelesaikan PR yang dulu belum sempat aku selesaikan.

Di halaman 113 dan 114 buku Sumatran Politics and Poetics Gayo History 1900-1989, Bowen dengan gayanya yang khas menceritakan kisah seorang Tokoh ulama modernis bernama Tengku Asaluddin yang merupakan orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di kampung halaman saya Isaq, sang ulama modernis ini di masa tuanya merasa begitu sedih dan kecewa melihat hasil kerja dan perjuangannya dimanfaatkan secara salah oleh rekan-rekan seperjuangannya (uniknya kisah ini seperti fotokopi dari kisah hidupku sendiri).

Tengku Asaluddin, yang menjadi nara sumber Bowen di buku ini adalah seorang idealis sejati yang berjuang sampai akhir untuk membawa rakyat Gayo ke Era Baru yang diharapkan akan membawa pencerahan bagi seluruh manusia Gayo, beliau berjuang untuk memperkenalkan pembaharuan Islam demi kemaslahatan umat di kampung kami, beliau berjuang demi mememerdekakan apa yang dia kira sebagai negaranya demi membawa pencerahan bagi masyarakat Gayo yang sangat beliau cintai, dan pada akhirnya alam baru yang beliau cita-citakan memang tercapai.

Tapi setelah Era Baru itu tercapai, apakah kemudian Gayo menjadi seperti yang dicita-citakan Tengku Asaluddin?...Di Bukunya itu Bowen menulis ironi yang dialami oleh seorang idealis bernama Tengku Assaluddin, seorang ulama modernis asal Kute Rayang Isaq ini.

Ketika Era Baru tercapai, Tanoh Gayo langsung dikuasai oleh kaum Nasionalis di Bawah pimpinan Abdul Wahab di sisi pemerintahan dan kaum islam modernis dibawah pimpinan Tengku Abdul Jalil yang adalah sahabat dekat Tengku Asaluddin, tapi dalam beberapa hal mereka berdua sangat berbeda pandangan.

Tengku Asaluddin yang ikut aktif berjuang untuk mencapai Era Baru, menyaksikan stelah Era Baru ini tercapai betapa kedua kekuatan di Era Baru ini kemudian bersatu padu menghancurkan sesuatu yang sangat dicintai oleh Tengku Asaluddin "EDET GAYO", kedua kekuatan di Era Baru ini bersatu padu memisahkan kehidupan orang GAYO dari EDET nya, meskipun sebenarnya tujuan kedua kutub berlawanan ini sangatlah berbeda, kepentingan atas penghancuran EDET itu juga berbeda.

Orang-orang Nasionalis berpandangan kalau EDET GAYO adalah representasi dari penjajah karena jaman dulu raja-raja Gayo memang dikenal dekat dengan Belanda. Kaum Nasionalis berpadangan seperti ini karena Raja-raja di Gayo yang wilayah kekuasaan dan pengaruhnya seringkali tidak lebih besar dari satu kecamatan, malah beberapa cuma sebesar satu kampung, pada masa penjajahan umumnya bekerjasama dengan Belanda dan menikmati hak-hak istimewa untuk diri dan keluarganya. Makanya dalam pandangan kaum nasionalis waktu itu, menghancurkan EDET sama artinya dengan menghancurkan kekuasaan raja-raja lokal yang pro Belanda itu, karena itulah EDET harus diperangi.

Sementara dalam pandangan para ulama pembaharu, EDET GAYO adalah representasi dari bid’ah, takhayul dan khurafat, karena alasan itulah EDET harus dibasmi. Alhasil dua kutub yang sebenarnya sangat berbeda ini pada akhirnya menemukan satu penghalang yang sama yang menghalangi tercapainya tujuan mereka masing-masing.

Penghalang itu bernama EDET GAYO, sehingga dua kekuatan paling besar dalam struktur masyarakat Gayo inipun berkolaborasi dan secara dahsyat menghancurkan penghalang tujuan mereka tersebut. Lalu budaya Gayopun digempur dan dihancurkan oleh negara yang berkolaborasi dengan agama. Akibatnya jelas EDET GAYO langsung remuk dengan sukses dan hasilnya bisa kita nikmati sebagai Generasi Gayo yang hidup di milenium ketiga ini.

Banyak nada-nada tidak puas terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan ulama berkuasa waktu itu. Ada beberapa suara yang bilang, "Edet male i tekaren, male ijadin ken kaming ke kite ni, murip gere mu edet", Tapi suara-suara protes seperti itu tenggelam dalam euforia perubahan dan tulinya pemegang kekuasaan, baik dari sisi agama melalui gerakan pembaruan islam maupun dari sisi kebangsaan dengan cara pandang kaum nasionalis yang anti imperialisme.”

Salah satu nada penentangan itu datang dari Tengku Asaluddin, beliau mengatakan, aksi penghapusan EDET ini terjadi semata akibat cara pandang yang salah terhadap EDET. Dalam pandangan tokoh-tokoh penghapus EDET ini, seolah EDET dan agama adalah dua elemen yang bertolak belakang yang harus dipisahkan dengan tegas. Padahal menurut Tengku Asaluddin para pemegang kekuasaan baik negara maupun agama ini hanya bisa melihat sisi sempit EDET yang digunakan sebagai alat penindas oleh raja-raja lokal yang bekerja sama dengan Belanda. ataupun EDET yang merupakan sumber bid’ah, takhayul dan khurafat. Mereka sama sekali tidak dapat melihat segala nilai positif dan nilai-nilai penting yang terkandung dalam EDET.

Dalam menggambarkan kesalahan cara pandang yang mendikotomi antara EDET dan agama ini, Tengku Asaluddin mencontohkan pada aktifitas keagamaan pemotongan hewan kurban pada hari raya Idul Adha. Kata Tengku Asaluddin "coba lihat waktu kita mengurbankan kerbau, itu perintah agama, tapi supaya perintah agama itu bisa kita laksanakan, supaya kerbau itu bisa dipotong, kita membutuhkan tali untuk mengikat kakinya. Tanpa tali, kerbau itu tidak bisa dituntun. Kerbau itu akan meronta dan melawan" lalu Tengku Asaluddin melanjutkan " Begitu juga dalam kehidupan beragama kita sehari-hari, dalam menjalankan perintah Agama kita pun membutuhkan ‘tali’ untuk ‘menuntun’ dan ‘mengikat’ kita untuk tetap berada di jalur perintah agama. Dalam kehidupan sehari-hari, ‘tali’ itu adalah EDET yang berfungsi untuk melindungi dan membela Islam".

Sayangnya saat itu tidak ada milis seperti ini yang dapat dijadikan oleh Tengku Asaluddin untuk beradu wacana, akibatnya semua pendapat dan cara pandang Tengku Asaluddin hanya tersimpan dalam memorinya sendiri, ketika beliau mencoba untuk mendiskusikan pendapatnya kepada teman-temannya di Isaq, tidak seorangpun yang mampu mengimbangi wawasan beliau, mencoba mendiskusikannya dengan sahabatnya Tengku Abdul Jalil juga tidak ada gunanya, karena si sahabat yang sudah menjadi ulama berkuasa ini sudah terlalu yakin dengan keputusannya dan sama sekali tidak mau menghiraukan pendapat sahabat lamanya. sehingga satu-satunya jalan bagi Tengku Asaluddin untuk menyampaikan pikiran-pikirannya hanyalah dengan menjadikan cerita hancurnya EDET GAYO yang sangat dihargainya ini sebagai cerita pengantar tidur kepada cucunya yang sejak kecil tinggal bersamanya.

Di masa tuanya, Tengku Asaluddin yang pernah menjadi kepala kantor agama di Isaq di masa awal kemerdekaan, Setelah pensiun dari jabatannya, dengan hati teriris menyaksikan penggantinya menikahkan sepasang pengantin yang berasal dari desa yang sama sebagai simbol berakhirnya penerapan hukum EDET di kampung kami Isaq untuk digantikan dengan pemberlakuan hukum agama secara konsekuen yang lebih sesuai dengan alam kemerdekaan.

Di masa-masa akhir hayatnya, Tengku Asaluddin menyaksikan revolusi yang terjadi di semua kampung-kampung Gayo sebagai buah dari pembaruan yang dulu beliau perjuangkan, di masa-masa akhir hayatnya, Tengku Asaluddin menyaksikan betapa GAYO yang sangat dicintainya jadi begitu berbeda dengan GAYO yang beliau kenal dulu.

Jika dulu di masa Tengku Asaluddin muda, orang satu kampung itu seolah muhrim, semua saling menjaga. Nggak ada ceritanya orang pacaran dalam satu kampung, tapi di masa tuanya Tengku Asaluddin menyaksikan hasil akhir dari perjuangannya membawa PEMBARUAN dulu, beberu bebujang sara kampung betipak lagu kude, jema kedepeten gere ne kemel, beberu nik nge biasa.

Begitulah kisah tentang kehidupan seorang manusia bernamaTengku Asaluddin yang merupakan satu dari milyaran makhluk manusia yang pernah selintas hadir di bumi Allah ini, kisah yang ditulis oleh John Richard Bowen, Profesor antropologi dari Washington University in Saint Louis di halaman 113-114 buku Sumatran Politics and Poetics Gayo History 1900-1989, karyanya.

Mungkin rakanku Subayu bertanya-tanya, kenapa tulisan biasa seperti di buku Bowen ini bisa mempengaruhi saya sebegitu dalamnya?...silahkan melanjutkan membaca cerita berikut ini.

Tengku Asaluddin telah meninggalkan kita semua pada bulan November 2001, segala aspek ke-Homo sapiens-annya telah terkubur bersama jasadnya, tapi untuk melanjutkan eksistensi ke-Homo sapiens-annya di planet bumi yang terus berubah ini, Tengku Asaluddin menurunkan 11 orang anak, sepuluh yang hidup sampai dewasa dan sembilan orang anaknya sempat menikah dan memberi beliau cucu sebanyak 29 orang dan dari ke 29 kumpunya ini beliau memiliki 9 orang cicit, jadi total dari dari aspek ke-Homo sapiens-annya Tengku Asaluddin memiliki 49 orang keturunan, 46 orang diantaranya masih hidup bersama kita sampai hari ini.

Tapi dari aspek KEMANUSIAANNYA, beliau hanya memiliki satu keturunan yaitu CUCU LAKI-LAKI PERTAMANYA, yang dulu sangat beliau nantikan kelahirannya.

Ketika cucu pertamanya ini lahir Tengku Asaluddin sedang berada di Banda Aceh, tapi begitu beliau mendengar kelahiran cucu pertamanya ini, hari itu juga Tengku Asaluddin kembali ke Takengon, membeli dua ekor kambing di Bireun sebagai Aqiqah buat cucu yang dinantikannya itu, sepanjang perjalanan dari Banda Aceh menuju Takengon pikiran Tengku Asaluddin hanya dipenuhi berbagai macam kata yang akan dia rangkai untuk dilekatkan sebagai nama pada cucu tercintanya, sampai akhirnya beliau merasa sangat puas ketika menemukan sebuah nama yang sebelumnya sama sekali belum pernah dipakai oleh satu manusiapun di muka bumi ini, sebuah nama yang sangat puitis, LAKI-LAKI KECIL YANG DILIPUTI CAHAYA, atau WIN WAN NUR dalam bahasa Gayo.

Ketika Tengku Asaluddin menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit Datu Beru Kebayakan, pada bulan November 2001. Di atas Paha cucu pertamanya inilah kepala Tengku Asaluddin berbaring, di atas paha cucu pertamanya ini pulalah kepala Tengku Asaluddin terbaring di sepanjang perjalanan dalam ambulans yang membawa jasad beliau ke tempat tinggal terakhirnya semasa hidup, Panti Asuhan Budi Luhur yang juga ikut beliau bidani kelahirannya. Tempat beliau menghabiskan masa tuanya sebagai Imam di mersah Panti Asuhan ini, memberi pelajaran mengaji kepada anak-anak yatim di sana.

Rakanku Subayu, yang anda baca di layar komputer anda saat ini adalah tulisan dari Cucu pertama Tengku Asaluddin yang lebih dari 30 tahun yang lalu kelahirannya begitu beliau nanti-nantikan, yang di masa kecilnya selalu mendengarkan cerita pengantar tidur yang tidak pernah benar-benar dia pahami makna dan semangatnya sampai puluhan tahun kemudian si cucu ini kembali akrab dengan cerita yang sama, setelah cerita pengantar tidur semasa kecilnya itu dia baca di halaman 113-114 Buku Sumatran Politics and Poetics, karangan John Bowen pemberian Adrien. Cerita itu membawa si Cucu ini kembali ke kenangan masa kecilnya bersama Almarhum Kakeknya, dan melalui tulisan Bowen ini pula si Cucu ini seperti merasakan seluruh semangat dan idealisme murni almarhum kakeknya hidup kembali, mengalir deras di setiap urat nadi cucunya ini.

Orang yang tulisannya saat ini dibaca oleh Rakanku Subayu inilah satu-satunya keturunan yang Tengku Asaluddin miliki dari aspek KEMANUSIAANNYA, satu satunya pewaris aspek KEMANUSIAAN Tengku Asaluddin dari 49 keturunan dari aspek ke-Homo sapiens-an beliau, yang akan dan bertanggung jawab untuk melestarikan eksistensi KEMANUSIAAN Tengku Asaluddin, keturunannya inilah yang akan berjuang sekuat tenaga menyelesaikan urusan Tengku Asaluddin yang belum sempat beliau selesaikan sampai akhir hayatnya, keturunannya inilah yang akan berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan EDET GAYO yang sangat dicintai oleh Tengku Asaluddin ke tempat yang semestinya.

Rakanku Subayu, manusia tidak pernah bisa mengelak dari SEJARAH karena kita ini, kamu, saya dan rekan-rekan lain di milis ini sebenarnya cuma ‘buah‘ dari sebuah ‘pohon besar’ tata nilai yang bibitnya disemai ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu oleh nenek moyang kita.

SEJARAH pula dengan caranya sendiri dengan cara yang unik yang sangat sulit dijelaskan dengan logika, telah menempatkan Kakek dan Cucu yang terpisah dua generasi ini dalam suatu situasi sejarah yang sama, menjalani pola sejarah hidup yang sama, dan keduanya pada umur yang relatif sama pula dihadapkan pada situasi perubahan yang sama yang terjadi di tanah kelahiran yang sama-sama mereka cintai, situasi yang sama-sama mereka sadari pula jika salah mengambil langkah pada fase ini, maka anak cuculah yang akan menanggung akibatnya.

Tapi diantara sekian banyak kemiripan kisah hidup antara Cucu dan Kakeknya ini ada satu faktor pembeda yang sangat besar, pada masa hidup cucunya ini, cucu Tengku Asaluddin yang hdiup di milenium ketiga ini punya pilihan lain selain memaksakan diri menceritakan buah pikiran kepada rekan-rekan sekampung di Isaq sana, yang karena kekurang beruntungan memiliki keterbatasan dalam mencerna informasi hanya bisa mengangguk-angguk saja tanpa mampu memberi bantuan apalagi solusi, sehingga hasil diskusipun hanya menimbulkan frustasi, si cucu ini pun tidak harus menunggu punya cucu untuk menceritakan semua kisah ini.

Tidak seperti kakeknya, Win Wan Nur cucu dari Tengku Asaluddin ini sangat terbantu oleh perkembangan teknologi informasi sehingga dia memiliki peluang untuk menyampaikan ide-idenya kepada rekan-rekan yang sepikiran, menyampaikan kebenaran ini pada rekan-rekan yang tanpa pamrih menyebarkannya kepada seluruh Masyarakat Gayo, suku kecil yang dia cintai sebagaimana juga kakeknya dulupun begitu.

Setelah Rakanku Subayu mengetahui cerita ini saya harap Rakanku Subayu bisa menilai sendiri apa sebenarnya yang paling berharga yang dimiliki oleh GAYO suku kecil kita ini, dan apa sebenarnya yang mau dibela di GAYO ini, selanjutnya silahkan Rakanku Subayu memutuskan sendiri apakah Rakanku Subayu merasa layak untuk meneruskan perjuangan ini bersama saya, atau sebaliknya setelah membaca cerita yang kusampaikan ini lalu Rakanku Subayu memutuskan untuk berhenti sampai di sini.

Silahkan Rakanku Subayu Loren memutuskan dengan hati jernih.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: