Jumat, 11 April 2008

Dialog Dengan Pemuja Jawa

Di Milis Pantau Komunitas saya melakukan diskusi dengan seseorang yang mengaku bernama Roy Abimanyu yang ide-idenya sangat dipenuhi semangat orde baru yang mengagungkan jawa dan anti keragaman, Roy Abimanyu sangat tidak bisa menerima ada orang yang mengurai sisi budaya Jawa yang tidak ingin dia ketahui, karena itu dengan bahasa provokatif yang pasif yang menyerang tapi menempatkan diri sebagai korban, dia menyerang tulisan saya tentang pernyataan menolak ALA sebagai tulisan yang berdasarkan prasangka dan sikap stereotip, yang kemudian setelah diurai dengan benar ternyata dia sendirilah yang dalam pandangannya berdasarkan sikap stereotip yang semata hanya berdasarkan PRASANGKA BURUK terhadap saya dan ORANG GAYO dan PRASANGKA BAIK terhadap JAWA.. kemudian Roy mencoba mengarahkan saya ke dialog berbau antropologi dan kemudian terbukti pula, ternyata dia pun sangat tidak menguasai bidang ilmu ini.

Berikut materi lengkap diskusi kami.

Roy : Bung Win Wan Nur, Saya cuma mendasarkan reasoning yang anda pakai, dan dari dasar itu saya berkomentar atas kalimat-kalimat yang anda pakai. Misalnya: "Jawa tidak militan", "Ini cuma persoalan raja kecil yang tersingkir."

Win Wan Nur : Bung Roy, Sebelumnya saya mohon maaf telah menggunakan bahasa yang tidak sepantasnya ketika menanggapi komentar anda yang lalu, harap anda maklum bahwa pilihan bahasa yang saya gunakan ketika saya menjawab komentar anda yang lalu, sebenarnya tidak lain hanyalah strategi komunikasi saya agar maksud saya bisa dipahami dengan jelas oleh konstituen saya.

Perlu anda pahami bahwa situasi psikologis yang dialami oleh masyarakat saya saat ini adalah adanya rasa INFERIORITAS AKUT, terhadap Jawa, karena alasan itulah kepada masyarakat saya, saya merasa perlu menunjukkan sisi lain bahwa kalau dalam satu sisi Jawa unggul, itu sebenarnya hanya dari satu sudut pandang, padahal kalau dipandang dari sudut lain Jawa juga memiliki kelemahan...inilah yang ingin saya tonjolkan.

Strategi komunikasi yang saya pilih ketika menjawab komentar anda semata berasal dari asumsi saya yang salah, ketika melihat cara pemahaman anda yang sangat dangkal terhadap isu ALA, saya langsung berkesimpulan bahwa anda bukan di Aceh karena saya lihat semua pendapat anda hanya berdasarkan pada teori yang kaku, anda sama sekali tidak paham situasi Aceh sebenarnya (kesimpulan ini tetap belum berubah meskipun sekarang saya sudah tahu anda ada di Banda Aceh), saya sangat sering berdiskusi dengan orang Non-Aceh yang hanya mengenal Aceh dari tulisan di milis, tapi kemudian langsung bersikap seperti anda yang tanpa memiliki pemahaman yang jelas sudah berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif yang memancing emosi.

Kenapa strategi komunikasi seperti itu yang saya pilih, ini karena mayoritas konstituen saya kurang beruntung dalam hal kemampuan memahami beberapa gaya komunikasi, sehingga kebanyanyakn konstituen saya tidak memiliki kemampuan untuk bisa memahami gaya berkomunikasi seperti milik anda yang untuk menyampaikan sedikit informasi dilakukan dengan cara berbelit-belit dan berliku liku berbungkus sopan santun dan basa basi yang seringkali bukan hanya mubazir tapi malah sering anda gunakan untuk memprovokasi secara pasif dengan menempatkan diri seolah-olah sebagai korban, mengaburkan inti permasalahan yang dibicarakan, memutar balikkan fakta atau menyamarkan kedangkalan informasi yang anda sampaikan . Karena itulah dalam mendeskripsikan pendapat anda dan tanggapan saya atas pendapat anda itu saya memilih gaya komunikasi yang TERUS TERANG.

Tapi perkembangan terbaru yang saya lihat, dengan langkah tepat yang dilakukan Irwandi saya melihat arah penyelesaian Isu ALA ini mulai mengarah ke jalur yang sama-sama kita harapkan yaitu pendekatan kekeluargaan, maka dengan perkembangan terbaru ini saya melihat konstituen sayapun tampaknya tidak lagi terlalu membutuhkan informasi yang TERUS TERANG dari diskusi saya dengan anda hari ini, jadi selanjutnya saya tidak berkebaratan untuk berkomunikasi dengan cara anda.

Baiklah sekarang kita kembali ke pokok bahasan kita.

Roy : Pertama, soal stereotip. Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa? Anda bisa sebut PKI, DI/TII, PRD, Jamaah Islamiyah. Semuanya punya kader orang Jawa dan semuanya punya "masa tempur" yang panjang. Kalau soal "disiram peluru", anda mungkin belum mendengar pengepungan Kandang Menjangan (markas kopassus) oleh warga (yangmayoritas Jawa dan tak punya senjata), "pertempuran" Semanggi I dan II di mana fakta lapangan justru menunjukkan jumlah mahasiswa yang bertempur lebih
sedikit daripada warga setempat yang terlibat "pertempuran", dan saya yakin ada juga Jawanya tidak punya senjata ataupun struktur bersenjata seperti GAM. Atau anda mau dengar cerita ketika kantor Golkar Jatim dibakar massa Gus Dur? Sama juga, "disiram peluru" tapi masih ngelawan.

Win Wan Nur : Soal stereotip dan pertanyaan anda "Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa?"... pertanyaan anda ini tentu mudah sekali dijawab oleh siapapun juga yang bisa berpikir, pertanyaan anda itu bisa terjadi karena memang Jawalah yang paling punya akses terhadap Informasi, bahkan Jawa pulalah yang menjadi tempat pertama yang mendapat segala informasi dibanding daerah manapun di Nusantara, INFORMASI dari luar itulah yang menimbulkan semangat militansi itu BUKAN hasil konstruksi sosial BUDAYA JAWA. Sama juga seperti kasus-kasus lain yang anda sebut, itu hanya sebuah aksi insidental akibat beredarnya satu Informasi, sama sekali bukan terjadi karena adanya sikap militansi dalam diri orang Jawa yang dibentuk oleh konstruksi sosial, sebab seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya NILAI LUHUR BUDAYA JAWA tidak membentuk manusia yang memiliki sifat militan. Karena itulah sikap militansi di Jawa itu hanya bisa terlihat di permukaan saja, tidak mengakar.

Roy : Posisi saya bukan bermaksud membela Jawa

Win Wan Nur : Pada dasarnya sayapun tidak bermaksud menyerang Jawa, saya hanya menilai Jawa secara jujur. Kalau dalam tulisan sebelumnya saya terlihat seperti menyerang Jawa, itu semata terjadi karena Provokasi yang anda lakukan yang mengharuskan saya menjawab seperti itu.

Roy : Tapi saya agak risih mendengar: "karena konstruksi sosial Orang Jawa yang dibangun berdasarkan nilai-nilailuhur yang ada dalam budaya Jawa memang menciptakan manusia dengan kulturyang bangga menjadi seorang abdi dalem memang telah membuat orang Jawa tidak memiliki sifat militansi."

Win Wan Nur : Terus terang saya melihat penyebab dari risih-nya anda mendengar fakta jujur yang saya sampaikan tentang Jawa itu semata disebabkan karena secara psikologis anda sendiri memang sudah tidak netral dalam memandang Jawa, sebelum menerima pandangan OBJEKTIF saya, pikiran anda sudah lebih dulu anda isi dengan berbagai doktrin dan stereotip dalam konotasi positif tentang Jawa. Sebelum menerima informasi dari saya, kepala anda telah terlebih dahulu anda penuhi dengan segala informasi yang baik-baik tentang Jawa dan sebelum anda menerima menerima informasi dari saya, anda dengan sadar telah membentuk satu sikap resistensi terhadap segala sesuatu yang menurut anda Buruk dalam kaitannya dengan Jawa.

Roy : Kalau anda menggunakan term sosiologi "konstruksi sosial", saya rasa ini tidak bisa dianalogikan dengan bangunan (konstruksi) yang fondasinya sesuatu yang pasti. Karena "social constructs" sepengetahuan saya bukan berdasarkan nilai-nilai, tetapi dari praktik-praktik yang di kemudian hari dianggap "wajar" atau "benar".

Win Wan Nur : Saya bersepakat dengan anda soal pengertian "social constructs" dalam beberpa hal, tapi agak berbeda dalam hal lain, saya tidak pernah menganalogikan "konstruksi sosial"dengan bangunan (konstruksi) yang fondasinya sesuatu yang pasti , kesimpulan salah anda terhadap saya ini murni berdasarkan pada PRASANGKA BURUK anda terhadap saya, berbeda dengan pandangan anda yang mengebiri salah satu faktor "konstruksi sosial" yang tampaknya sengaja anda hindari, bagi saya "social constructs" itu berdasarkan pada nilai-nilai yang dalam bentuk kongkrit bisa dilihat dalam praktik-praktik yang di kemudian hari dianggap "wajar" atau "benar".

Saya sangat memahami ini makanya sebelum sampai pada kesimpulan bahwa "orang Jawa tidak memiliki sifat militansi", berkebalikan dengan PRASANGKA BURUK anda, saya sebenarnya sudah terlebih dahulu mendalami Budaya dan karakter Orang Jawa.

Dalam usaha ini saya mencoba memahami karakter orang jawa dengan mempelajari cerita-cerita atau legenda yang diceritakan turun temurun yang membentuk karakter seorang manusia Jawa, kurang lebih seperti cerita Malin Kundang di Minang yang diciptakan untuk melanggengkan kultur Matrilineal di Minang dan terbukti efektif untuk menjaga kultur itu tetap eksis sampai hari ini.

Saya memahami Jawa dengan mencoba memahami 'Wayang Purwa' yang merupakan mitologi asli Jawa, yang sudah eksis jauh sebelum kedatangan Hindu ataupun Buddha, yang nilai-nilai di dalam lakonnya terbukti tetap mempengaruhi kepribadian orang Jawa sampai hari ini.

Semua agama mulai dari Hindu, Buddha sampai Islam yang berkembang di Jawa tidak lepas dari sinkretisme mitologi ini, sinkretisme agama-agama ini adalah bercampurnya ide-ide ketiga agama tersebut dengan dengan mitologi asli Jawa tadi, makanya sampai hari inipun kita bisa menyaksikan sinkretisme dalam lakon-lakon Mahabarata dan Ramayana yang diimport dari India.

Dalam dua lakon terkenal asal India itu dalam versi Jawa , empat tokoh 'asli' dari Jawa jaman pra-Hindu tetap eksis, Tokoh sentral dari empat tokoh asli itu adalah Semar. Semar ini tidak punya orang tua karena dia lahirnya dari telor, dia juga tidak punya Istri tapi dia punya tiga anak Gareng, Petruk dan Bagong, keempatnya dikenal sebagai punakawan.

Dalam Mitologi Jawa, keempat Punakawan ini badut tapi sekaligus dewa, mereka ini kelakuannya sangat tidak sophisticated, meski mereka selalu eksis di dalam 'inner circle'-nya para elit, para Punakawan ini secara superior 'menjaga' para priyayi junjungan mereka dari bahaya tapi sekaligus secara inferior 'melayani' si priyayi.

Dalam pergelaran wayang purwa, mereka ini disukai oleh audiens tapi tidak ada satu pun dari si audiens itu yang sudi diidentifikasi atau
mengidentifikasikan diri mereka dengan keempatnya (siapa yang MAU jadi seperti si gemblung Semar, si hidung bulat Gareng, Petruk si Hidung panjang dan si pentet Bagong.)

Orang Jawa sendiri justru senang kalau diidentifikasikan sebagai salah satu priyayi di antara Pandawa Lima; bilang 'kowe kayak Arjuno' itu identik dengan bilang 'kowe ngganteng'; bilang 'kowe kayak Bimo' itu identik dengan bilang 'kowe kuat lan sehat'. Tapi dibilang 'kowe kayak Semar,Petruk, Gareng dan Bagong' sendiri adalah penghinaan.

Tapi semua orang Jawa sendiri rata-rata sepakat dengan sifat positifnya si Semar, yaitu 'bijak' padahal hidupnya si Semar sendiri gonta-ganti majikan terus. Implikasi sikap seperti ini terhadap orang Jawapun jelas, yaitu 'yang bijak itu berarti tidak fanatik/fixed dalam mengikuti sesuatu/seseorang'. Dan itu memang mentalitas tipikalnya masyarakat Jawa yang tidak mengenal militansi, dan rata-rata juga tidak setia.

Maka sekarang coba saudaraku Roy melihat Semar dan ketiga anaknya sebagai prototype masyarakat Jawa, maka andapun segera melihat dan segera mengerti kalau CARA-nya si Semar untuk survive adalah sebagai cara serta metode untuk survive ala Jawa.

Seperti Semar dalam moralitas mitologi itu, orang Jawapun dianjurkan untuk tidak fanatik terhadap satu priyayi, bahkan pindah-pindah kesetiaan pun diijinkan karena itu seperti Semar juga, mereka diajari cara untuk bisa survive dalam menghadapi bahaya besar perang Baratayuda.

Perkembangan ini bisa melibatkan proses penundukkan (dengan kekerasan), tekanan, bargaining, dan sekian banyak interaksi sosial yang terjadi baik secara fisik maupun mental.

Kuatnya pengaruh mitologi ala wayang Purwo ini terhadap orang Jawa modern secara gamblang dapat kita saksikan pada selera humor orang Jawa hari ini yang tidak berubah sejak zaman Pra-Hindu dulu.

Orang Jawa itu selera humornya tidak berubah dari sejak jamannya Semar diciptakan, yang saya maksud di sini 'cara' mereka memancing tawa, selalu dengan cara-cara bertingkah laku atau berdandan secara abnormal. Kalau abnormalnya para punakawan jelas kelihatan dari penampilan fisik mereka, sedangkan abnormalnya pelawak Jawa bisa dilihat seperti abnormalnya Tessi yang aslinya pria itu tapi tampil dan dandan pake daster misalnya yang jelas-jelas abnormal, atau Dono yang suka sekali memamerkan abnormalitas gimannya (gigi
mancung) buat mengundang tawa, begitu juga para pemain Srimulat lainnya entah itu Mamiek yang rambutnya dicat maksa, atau Gogon dengan model pangkas anehnya, asmuni dengan kumis sejumput, gepeng dengan kumis dua titik dan seterusnya, dan yang terakhir bukti tidak berubahnya selera humor orang Jawa sejak jamannya Semar diciptakan bisa dilihat dari fenomena meledaknya talk show empat matanya TUKUL ARWANA yang sukses karena menjual Abnormalitas tampang jelek dan gaya TUKUL yang sangat tidak sophisticated. PERSIS PUNAKAWAN.

Karena itulah Bung Roy, salah satunya berdasarkan atas pemahaman inilah maka saya berani mengatakan ORANG JAWA DASARNYATIDAK PUNYA MILITANSI, tentu bukan hanya faktor itu saja yang membuat saya sampai di kesimpulan Orang jawa tidak punya sifat militansi, ada banyak fakta-fakta lain yang saya temukan yang menguatkan kesimpulan saya tersebut, yang kalau saya tulis semua mungkin bisa dijadikan sebuah buku.

Roy : Norma, atau nilai-nilai, adalah bagian dari konstruksi sosial.

Win Wan Nur : Pernyataan anda ini betentangan dengan pernyataan anda sebelumya yang mengatakan "social constructs" sepengetahuan saya bukan berdasarkan nilai-nilai", pernyataan anda yang plintat-plintut ini adalah bukti lain kalau anda sebenarnya sama sekali tidak memahami apa yang anda tulis, cuma bahasanya saja yang anda buat mbulet dan melingkar-lingkar.

Roy : Karena itu, justru "nilai-nilai luhur budaya Jawa" yang merupakan konstruksi sosial. Sejauh mana ini merepresentasikan "Jawa" sebagai identitas, dipercayai sebagai karakter identitas "Jawa" dalam "imaginaries" orang Jawa dan non Jawa atas "Jawa", sejauh itulah representasi ini menjadi stereotip.

Win Wan Nur : Sejauh apa "nilai-nilai luhur budaya Jawa" merepresentasikan "Jawa" sebagai identitas di atas sudah saya jelaskan dengan gamblang. Dan kesimpulan saya tersebut seperti yang telah saya buktikan sama sekali bukan didasari atas prasangka, melainkan murni berdasarkan pengamatan Jujur saya atas Jawa, juga sama sekali bukan berdasarkan imajinasi seorang Non-Jawa apalagi kebencian terhadap Jawa. sebagaimana yang anda bayangkan dengan PRASANGKA BURUK ANDA terhadap saya.

Roy : Dan ketika membaca kalimat anda: "Konstruksi sosial yang telah menciptakan karakter Khas dalam diri masing-masing suku inilah yang menjadi alasan, kenapa Orang Minang atau Orang Cina selalu lebih sukses menjadi pedagang dibandingkan suku lain, konstruksi sosial ini pula yang membuat orang suku Jawa selalu menjadi yang paling sukses berkarir sebagai pembantu rumah tangga di belahan dunia manapun." Ini adalah contoh stereotip.

Win Wan Nur : Anda mengatakan itu contoh stereotip adalah karena ketika menilai pernyataan saya "raw data" yang anda miliki dalam memahami Jawa, Minang dan Cina sangat berbeda dengan "raw data" yang saya miliki, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Saya berani bilang seperti itu, karena saya sangat paham alasan kenapa laki-laki Minang cenderung pergi merantau, saya sangat paham kenapa laki-laki minang selalu punya motivasi yang lebih kuat dibanding suku manapun di Nusantara ini untuk sukses di perantauan, itu karena saya mempelajari faktor-faktor penyusun konstruksi sosial yang membentuk mereka. Saya juga tahu persis kenapa Orang Cina perantauan (Huaqiao) selalu cenderung lebih sukses dibanding suku manapun dalam hal apapun, baik itu perdagangan, pendidikan, musik bahkan Olah raga, saya tahu itu karena saya memahami orang Cina bukan cuma dari kulit luarnya, saya memahami kondisi psikologis orang Cina perantauan (Huaqiao), karena saya mempelajari filsafat yang membentuk kepribadian mereka, saya mempelajari budaya dan nilai-nilai yang membentuk kepribadian mereka, begitu juga dengan Jawa, saya memahami Jawa bukan cuma dari kulit luarnya.

Dasar yang kuat inilah yang menyebabkan semua pernyataan yang saya keluarkan selalu OBJEKTIF, itu karena semua pendapat itu didasarkan pada alasan yang kuat dan LOGIS, sebaliknya pendapat anda sangat rapuh karena hanya didasari oleh Prasangka, Stereotip dan Pemahaman yang sangat dangkal terhadap konstruksi sosial pembentuk masyarakat itu, inilah sebabnya kenapa pendapat yang anda keluarkan selalu hanya berupa tuduhan-tuduhan tidak jelas yang memancing emosi pembacanya.

Roy : Maaf saja, ini seperti membaca manual tentang masyarakat Indonesia yang diterbitkan almarhum Kolonel Juanda.

Win Wan Nur : Saya juga minta maaf karena tidak tahu pernah ada manual tentang masyarakat Indonesia yang diterbitkan almarhum Kolonel Juanda dan maaf juga ketika saya membaca bermacam pernyataan anda, saya kok merasa seperti sedang membaca propaganda Orde Baru yang sangat memuja dan mengagungkan Budaya Jawa yang Adi Luhung dan anti keberagaman itu.

Roy : Mungkin saya perlu jelaskan, dalam definisinya, prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Hanya saja, fakta itu digeneralisasi kemudiandijadikan identitas, adjektif atas semua orang yang berada dalam "golongan" tersebut. Saya yakin anda bisa mencari definisi yang paling tepat tentang stereotip, dan saya yakin definisi-definisi yang ada mencakup tentang "fakta yang digeneralisasi". Karena itu saya bisa berani bilang, orang Jawa bukan cuma abdi dalem, tapi juga ada yang jadi gali, kader komunis, teroris, dan manusia-manusia lainnya yang beratribut "militan".

Win Wan Nur : Saya sangat setuju dengan definisi anda, dan dasar pengambilan kesimpulan saya sangat jauh berbeda dengan definisi stereotip yang anda gambarkan.

Roy : Kedua, soal "interpretasi kolonial dan etnografi". Saya kira anda benar dalam menjelaskan bagaimana orang mengidentifikasi dirinya sebagai Aceh,Jawa, Sunda, Ambon, dst, di masa kini.

Win Wan Nur : jadi bisa dikatakan kita sepakat dalam hal ini.

Roy : Namun saya bicara tentang bagaimana mereka membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal. Adalah ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia.

Win wan Nur : Nah pernyataan anda ini adalah contoh yang paling tepat atas definisi anda bahwa prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Hanya saja, fakta itu digeneralisasi kemudiandijadikan identitas, adjektif atas semua orang yang berada dalam "golongan" tersebut.

Coba perhatikan dengan seksama cara anda mengambil kesimpulan di atas sini bukankah ini persis seperti definisi STEREOTIP yang anda gambarkan, perhatikan penilaian anda atas fakta bahwa prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Bukankah, fakta 'ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa' yang kemudian anda gunakan sebagai dasar untuk menyebut hasil kerja mereka secara general tidak valid" hasil dari sikap stereotip yang anda pakai dalam mengambil kesimpulan ini hanyalah pernyataan yang mengumbar kebencian dengan mengatakan "Adalah ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia" yang dengan dasar kebencian itu pula anda menolak seluruh kebenaran dalam hasil kerja mereka.

Nah kelihatan kan saya yang terbiasa mengambikl kesimpulan berdasarkan anggapan stereotip tapi sebaliknya terbukti, bahwa ternyata anda sendirilah yang sangat terbiasa mengambil kesimpulan dengan dasar Prasangka dan sikap stereotip seperti yang anda definisikan dan telah anda praktekkan dengan sempuran.

Berdasarkan fakta ini pula, saya kemudian menganggap kalau tuduhan anda kepada saya tentang basis pengambilan kesimpulan saya yang stereotip, sebenarnya hanyalah refleksi dari pikiran anda sendiri, yang tidak bisa keluar dari subjektifitas anda, yang merasa jika anda terbiasa berpikir stereotip tentu orang lain yang berdiskusi dengan andapun demikian....terbukti subjektifitas anda ini salah.

Maka pernyataan anda selanjutnya tentang "bagaimana suku-suku itu membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal" otomatis tidak bisa diterima secara objektif karena terbukti pernyataan itu adalah subjektifitas anda sendiri.

Untuk membuktikan omongan anda itu cuma subjektifitas anda yang berdasarkan pandangan stereotip anda terhadap ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa, maka berdasarkan bangunan pikiran anda yang penuh prasangka itu tolong jelaskan pada saya, apakah menyingkirnya orang Gayo ke pegunungan akibat kedatangan bangsa-bangsa dari luar yang membentuk suku bangsa baru bernama Aceh, bukan sebagai satu bentuk kesadaran membedakan diri dengan etnis/suku lain, juga bagaimana terpisahnya Gayo dan Karo yang akar budayanya sama dan sama-sama proto melayu juga bukan sebagai satu bentuk kesadaran membedakan diri dengan etnis/suku lain?

Roy : Orang yang tinggal di Bogor, Purwakarta, Bandung dst dikategorikan Sunda, orang yang tinggal di semarang, solo, dst
dikategorikan jawa. Padahal kesamaannya lebih di bahasa, sementara adat-istiadatnya ternyata berbeda-beda, sistem politiknya juga berbeda-beda. Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut, banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20, yang kurang lebih berarti terpengaruh oleh penggolongan-penggolongan kolonial. Sebagai contoh, tak banyak orang yang tahu bahwa Tari Kecak adalah hasil koreografi abad 20, orang lebih banyak langsung mengkategorikan sebagai "tradisi" bali.

Win Wan Nur : Maaf kalau di sini saya terpaksa mengatakan bahwa pernyataan anda yang semakin dipenuhi prasangka dan pandangan STEREOTIP terhadap kolonial ini semakin mengaburkan objektifitas anda dalam berpikir dan maaf lagi kalau saya mengatakan pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL.

Bung Roy, upaya penglasifikasian manusia berdasarkan kategori etnik tidaklah sesederhana dan senaif prasangka anda yang anda gambarkan secara polos dalam pernyataan anda di atas. berdasarkan klasifikasi secara Antropologis yang benar, dalam pengklasifikasian manusia berdasarkan kategori etnik setidaknya harus ada tujuh faktor yang perlu dijadikan bahan pertimbangan yaitu : Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Ekonomi, Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Kesenian dan terakhir Sistem Religi.

Dalam urut-urutan proses melakukan klasifikasi etnik secara Antropologis inipun urutannya tidak boleh dibuat seenaknya dan segampangnya saja seperti yang anda lakukan, pengklasifikasian yang benar selalu dimulai dari yang paling nyata ke yang paling Abstrak, artinya dalam mengklasifikasikan suatu suku bangsa itu unsur yang paling pertama diurai selalu dimulai dari BAHASA lalu dilanjutkan dengan Sistem teknologi dan diakhiri dengan Sistem Religi, Jadi unsur kesenian yang seolah-olah perannya tampak begitu penting dalam pengklasifikasian versi anda yang penuh prasangka itu dalam pengklasifikasian Antropologis yang normal dan BENAR ada diurutan ke ENAM alias nomor dua terakhir.

Anda benar tentang Kecak itu, sebagaimana juga Kebaya yang sering dianggap hasil budaya Jawa juga sebenarnya merupakan hasil rancangan dari desainer eropa di abad ke 20. dan sebagaimana halnya Kecak, Kebayapun hanyalah ada di urutan ke ENAM dalam cara pengklasifikasian etnis yang benar.

Roy : Makanya, saya bilang, belum tentu 2000 tahun yang lalu ada orang Gayo di tanah Gayo. Di Eropa saja, setelah PD II rasanya tidak ada ahli sejarah berani mengatakan misalnya orang Jerman sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu di "tanah" Jerman.

Win Wan Nur : Saya tetap tidak mengerti maksud anda meletakkan angka 2000 tahun di sini, apa korelasi angka ini dengan Klaim kami SUKU GAYO atas TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI, saya sama sekali tidak paham angka 2000 tahun itu anda gunakan sebagai patokan apa.

Roy : Prancis sendiri sampai sekarang kesulitan apakah mereka bisa mengklaim wilayah-wilayah Galic sebagai asal muasal mereka, ketika
kebudayaan yang melahirkan kerajaan Perancis pertama kalinya bukanlah berasal dari suku-suku Galia.

Win Wan Nur : Makanya saya katakan pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL, membaca uraian anda yang sedangkal ini jelas sekali meskipun anda dengan penuh percaya diri bahkan sejak awal telah mengintimidasi dan menggoda saya dengan bersikap seolah-olah anda ini sangat paham tentang antropologi, tapi segera dengan jelas pula terlihat kalau ASLINYA anda tidak tahu apa-apa tentang Antropologi.

Jadi selanjutnya untuk melanjutkan diskusi kita ini, supaya diskusi ini lebih berkualitas tolong anda tingkatkanlah kualitas 'raw data" anda, sebelum berdiskusi kembali dengan saya tentang tema ini sebaiknya anda baca dululah buku antropologi yang paling dasar, paling enggak baca dululah Pengantar Ilmu Antropologi-nya Koentjaraningrat, bukunya ada kok di perpustakaan Unsyiah.

Bung Roy, kalau anda mempelajari dasar Antropologi, anda akan mudah memahami kalau apa yang melahirkan budaya Perancis yang membingungkan anda itu adalah sebuah proses biasa yang dalam istilah Antropologi disebut ASIMILASI, proses seperti ini pulalah yang telah membentuk SUKU BANGSA ACEH. dalam proses ini golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif dalam waktu yang lama sehingga membentuk satu ciri kebudayaan campuran yang kemudian membuat satu ciri kebudayaan baru yang khas, melalui proses inilah Bangsa Perancis dan Bangsa Aceh tercipta, proses asimilasi dalam bentuk yang lebih sederhana dan skala lebih kecil karena melibatkan lebih sedikit suku bangsa dapat anda saksikan di daerah yang secara geografis berada di perbatasan antara dua wilayah Budaya...Misalnya Cirebon yang merupakan perbatasan antara wilayah geografis Sunda dengan Wilayah Geografis Jawa, di sana anda bisa melihat adanya sebuah kebudayaan campuran hasil asimilasi antara Sunda dan Jawa yang menyangkut ketujuh aspek seperti yang telah saya uraikan sebelumnya.

Roy : Ide klaim kewilayahan sebagai hak yang terkait identitas pengelompokan masyarakat tertentu sebenarnya ide yang cukup baru.

Win Wan Nur : Maaf kalau sekali lagi saya terpaksa mengatakan pernyataan anda ini hanyalah pernyataan kosong yang berdasarkan prasangka , bukan Fakta, karena faktanya bahkan di zaman Fir'aun pun Musa sudah mengklaim Palestina sebagai tanahnya Bani Israel.

Roy : lebih banyak terinspirasi oleh narasi nasionalisme yang mulai marak di abad 17. Dan apalagi di nusantara ini, catatan tertulis tidak dimiliki oleh semua etnis/suku yang ada.

Win Wan Nur : Lagi-lagi anda hanya mendasarkan Klaim anda atas dasar PRASANGKA, abad ke 17 mana ada orang Aceh yang mengenal narasi nasionalisme ala Eropa, di Indonesiapun Narasi nasionalisme baru dikenal di awal Abad ke 20, tapi pada sekitar abad itupun meski tidak tercatat dalam sejarah tertulis sudah ada klaim-klaim atas tanah berdasarkan siapa yang lebih dahulu tinggal di sana, meskipun tidak tertulis tapi akibat dari konflik ini masih terasakan di Takengon hingga sekarang, yaitu Konflik UKEN-TOA.

Roy : Kalau anda lihat kalimat saya: "Sebenarnya, tidak ada yang bisa mengklaim pemilik sah sebuah tanah, dimanapun juga, hanya karena merasa sudah berada di tempat tersebut secara turun menurun." Saya di sini mau menunjukkan, penguasaan atas tanah yang turun temurun juga bukan tidak mungkin melalui penaklukan pemilik sah sebelumnya, yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja.

Win Wan Nur : Sekilas pernyataan anda memang ada benarnya, tapi berkebalikan dengan pendapat anda dengan bukti adanya penguasaan turun temurun itu adalah bukti nyata kalau TANAH tersebut adalah MILIK SAH suku bangsa yang menguasainya saat itu, keabsahan KLAIM MILIK SAH suku tersebut tidak berkurang meskipun bukan tidak mungkin KLAIM itu didapat melalui penaklukan pemilik sah sebelumnya,yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja.

Bung Roy, perlu anda pahami yang terjadi di Tanoh Gayo saat saya menulis jawaban atas komentar anda sebelumnya adalah sebuah usaha penaklukan oleh SUKU JAWA terhadap pemilik sah TANOH GAYO saat ini yaitu ORANG GAYO. Sama seperti yang dilakukan oleh Australia terhadap Aborigin, sama pseperti yang dilakukan Belanda Terhadap Indonesia.

Dan kalaupun spekulasi anda tentang kemungkinan Tanoh Gayo adalah hasil taklukan kami terhadap pemilik sah sebelumnya yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja, anda juga tentu tidak sebegitu naifnya berspekulasi kalau pemilik sah sebelumnya itu memberikan tanahnya dengan Sukarela kepada nenek moyang kami. Kalau spekulasi anda benar, tentu andapun menyadari kalau untuk mendapatkan Tanah ini Nenek Moyang kami tentu bertarung dan memperjuangkannya dengan susah payah.

Dengan memahami logika seperti ini andapun tentu mengerti, ketika kami merasa TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI itu mau dikuasai para pendatang dari Jawa, ya kamipun pemilik sah TANOH GAYO saat ini, mana mungkin mau menyerahkan tanah kami dengan Sukarela, saya yakin anda sangat mengerti tentang hal ini, karena kalau logika dasar seperti inipun terlalu sulit anda pahami, tentu saja akan sulit pula bagi kita untuk melanjutkan diskusi ini.

Roy : Ini sekaligus sebuah pertanyaan: Apakah ada yang berhak mengusir para keturunan transmigran Jawa, karena mereka bukan
"pemilik sah" tanah tersebut?

Win Wan Nur : Tentu saja ada, ya kami orang ACEH yang berhak melakukannya, hal itu berhak kami lakukan kalau kami merasa keturunan transmigran Jawa yang bukan "pemilik sah" tanah GAYO tersebut mulai berlaku kurang ajar terhadap kami PEMILIK SAH TANOH GAYO, ketika mereka dengan pongahnya menghadap Priyayi di tanah leluhur mereka sana dengan mengenakan BLANGKON, mengaku sudah jadi Mayoritas di TANAH KAMI dan mengklaim TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI sebagai Tanah mereka dan dengan lancang minta mendirikan provinsi baru dengan menggunakan bahasa KROMO INGGIL yang dalam budaya Jawa dipakai sebagai sikap menyerah dan mecerminkan sikap INFERIORITAS TOTAL.

Meskipun tentu saja IDE pengusiran seperti yang anda provokasi-kan ini adalah hal terakhir yang kami pilih, sejauh ini kami masih beranggapan, saudara-saudara Jawa kami tersebut hanya terprovokasi oleh Raja-raja kecil yang terancam kehilangan keuasaan.

Roy : Atau apakah ada yang berhak mengusir keturunan Tionghoa dari Indonesia karena mereka adalah pendatang?

Win Wan Nur : Ya tentu saja ada, bahkan sudah pernah dilakukan oleh Soekarno dan Seoharto dulu, di masa Soekarno mereka diusir ketika mereka tidak mau memilih jadi WNI dan di masa Soeharto mereka diusir ketika mereka diangap tidak mau melebur dengan suku bangsa asli pemilik SAH Bumi Nusantara ini.

Di luar Indonesia ada juga negara yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat negara sendiri di Tanah yang mereka Datangi...contohnya adalah NEGARA SINGAPURA, Australia dan Selandia Baru, di ketiga negara tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran yang tidak bebas menjalankan adat budaya maupun agama mereka, kami ORANG GAYO tentu saja tidak mau bernasib seperti para penduduk asli itu.

Di Indonesiapun juga begitu ada beberapa tempat yang yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat kekuasaan sendiri di Tanah yang mereka datangi, contohnya Medan, Lampung dan Pontianak di ketiga daerah tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran, tapi kadang pembiaran seperti ini berakhir dengan Tragis seperti yang terjadi di SAMPIT, kejadian tragis di sana terjadi karena penduduk asli yang terus ditekan para pendatang dalam segala segi baik politik, ekonomi maupun sosial akhirnya tidak tahan dan meledaklah sebuah tragedi yang tentu sangat tidak kita inginkan terjadi di Bumi Aceh tercinta.

Roy : Soal Indonesia dan Belanda, seingat saya diskursusnya adalah "merdeka" dan elaborasi paling jauh tentang klaim kewilayahan yang populer, ya lagu Indonesia Raya ("...tanah airku, tanah tumpah darahku."). Dan yang mengelaborasi kedua hal ini, sangat terpengaruh oleh nasionalisme eropa. Jadi bukan soal klaim tanah, tapi yang diangkat adalah soal pembebasan nasional.

Win Wan Nur : Pernyataan anda makin lama makin mirip propganda Orde Baru, kalau bukan KLAIM atas TANAH, tanpa perlu memperdulikan kedua hal ini, sangat terpengaruh oleh nasionalisme eropa yang memang sama sekali nggak ada kaitan apapun dengan tuilisan tentang Klaim ini, maksud dari lirik "...tanah airku, tanah tumpah darahku." itu apa?

Roy : Ini jelas berbeda dengan soal asli dan pendatang...

Win Wan Nur : Apa bedanya?, kalau ini urusannya bukan soal asli dan pendatang, kenapa Belanda harus diusir?

Roy : Yang terakhir, saya memang gak tinggal di Tanah Gayo, saya tinggal di Banda Aceh. Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik.

Win Wan Nur : Memang sebaiknya inilah yang anda lakukan dan pelajari sedikit tentang antropologi, supaya analisa yang keluar dari pikiran anda itu lebih berkualitas, bukan cuma pernyataan-pernyataan yang penuh tuduhan dan prasangka seperti ini.

Roy : Bukan cuma bisa mengkritisi secara konseptual saja terhadap cara pandang anda (secara tertulis) atas masalah ALA dan
aktor-aktornya sangat dipenuhi stereotip dan spekulasi kasar.

Win Wan Nur : Tepat sekali itulah masalah anda, semua cara pandang anda (secara tertulis) atas masalah ALA dan aktor-aktornya sangat dipenuhi stereotip dan spekulasi kasar yang hampir seluruhnya berdasarkan pada PRASANGKA baik itu prasangka buruk terhadap saya dan Kolonialis yang sangat anda benci itu maupun PRASANGKA BAIK yang sangat berlebihan terhadap JAWA.

Roy : Anda terlalu beranggapan bahwa ini akibat raja-raja kecil, insting saya (bisa juga salah) mengatakan ada problem lain, seperti misalnya persepsi terjepit/terancam di kalangan etnis Jawa.

Win Wan Nur : Itu bukan anggapan saya Bung Roy, tapi itu adalah FAKTA, problem lain memang ada, problem diskriminasi etnis Aceh terhadap Gayo memang ada, tapi ini adalah hal wajar yang terjadi di daerah manapun, bahkan antar Fakultaspun dalam sebuah Universitas terjadi diskriminasi semacam ini, bahkan dalam satu ruangan kelas bahkan dalam satu keluarga, cuma semua problem lain menurut Insting anda itu, selama ini bukanlah PROBLEM, problem lain itu menjadi PROBLEM hanya karena dikipasi oleh raja-raja kecil tadi.

Persepsi terjepit/terancam di kalangan etnis Jawa juga ada karena dikompori oleh raja-raja kecil itu, makanya ketika Irwandi menawarkan solusi simpatik bukannya konfrontatif pasca aksi berblangkon ke Senayan kemarin, para pion etnis Jawa ini seperti mendapat guyuran air segar di tengah gurun.

Bisa anda bayangkan kondisi psikologis para kades itu saat ini, sekarang Pion-pion ALA ini secara moral dan psikologis sedang berada dalam titik terendah akibat HARGA DIRI yang telah mereka jual sedemikian murah ternyata sama sekali tidak menarik di mata para pejabat di Jakarta sana.

Saat berangkat dari Takengon dengan penuh rasa bangga dan harapan besar, merasa diri mereka adalah pejuang keutuhan NKRI, para kepala Desa ini membayangkan di Jakarta akan disambut bak Pahlawan tapi yang kenyataan yang mereka dapatkan ternyata berbanding terbalik dengan bayangan mereka sebelum berangkat, di Jakarta mereka malah ditolak mentah-mentah oleh Mendagri. ketika mereka kelaparan di Jakarta pun para kepala desa yang merasa diri mereka adalah para pejuang keutuhan NKRI ini mendapati, tidak ada pejabat NKRI yang mempedulikan nasib mereka.

Dalam situasi seperti ini Langkah konfrontatif dari Irwandilah yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang sangat berkepentingan di balik ALA ini, mereka berharap langkah konfrontatif dari Irwandi akan memnacing kemarahan pion-pion yang sedng terpuruk ini, kemudian timbul kerusuhan dan mereka punya alasan untuk minta Jakarta untuk mengirimkan tentara buat melindungi Pion-pion mereka. Sayangnya dalam permainan catur ini Irwandi tampaknya jauh lebih cerdas dibanding Raja-raja kecil ALA ini, Irwandi tidak terpancing dengan strategi Raja-raja kecil ALA ini, langkah yang diambil Irwandi justru semakin memojokkan posisi mereka. Dan kelihatan sekali kalau sekarang
kalau raja-raja kecil itu mulai panik.

Roy : Para raja kecil yang terjungkal itu memang bisa bagi-bagi uang, tapi uang belum tentu alasan satu-satunya orang bergabung dengan milisi, demo kepala desa ke Jakarta, ataupun terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang.

Win Wan Nur : Khusus untuk pernyataan ini, ini anda tuliskan asli berdasarkan atas PRASANGKA BURUK ANDA terhadap saya, saya sama sekali tidak pernah bilang Uang jadi alasan satu-satunya orang bergabung dengan milisi, demo kepala desa ke Jakarta, ataupun terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang, tolong tunjukkan satu kalimat saya yang menyatakan itu.

Menurut saya faktor terpenting bagai Kepala desa dan milisi itu justru bukan uang tapi karena raja-raja kecil itu memberikan rasa aman kepada para Milisi, kepala Desa maupun orang yang terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang, dan sebaliknya memberikan ancaman kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka, buktinya ya anda lihat sendiri dalam kasus Atu Lintang, kalau saat ini anda tinggal di Takengon, anda akan bisa merasakan sendiri bagaimana terancamnya orang yang tidak setuju ALA di sana, di Takengon tidak seorangpun yang berani terang-terangan mengatakan menolak ALA, karena kekuatan terbesar raja-raja kecil ini justru bukan uang tapi ANCAMAN.

Ancaman yang sedemikian besar Ini pula yang menjadi alasan kenapa teman-teman lain di FPPG memilih untuk bermain di belakang layar, ini pula yang menjadi alasan kenapa di FPPG cuma saya satu-satunya yang secara terbuka dengan identitas asli menyatakan menolak ALA.

Roy : Sekali waktu, mungkin anda di Banda Aceh, kita bisa banyak berdiskusi/berdebat di Solong.

Win Wan Nur : Dengan senang hati, kalau kebetulan saya ada di Banda Aceh, saya akan menemui anda dan berdiskusi di Solong tapi tentu saja hal itu hanya mungkin kita lakukan setelah anda memperkaya "raw data" anda dulu agar diskusi yang kita lakukan bisa menjadi sebuah diskusi yang berkualitas, bukan DEBAT KUSIR.

Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Tidak ada komentar: