Senin, 08 Desember 2008

Tanggapan Cosablu atas Konferensi Interpeace

Sebelum Bang Win Wan Nur membalas ini, perkenankan saya memberikan beberapa masukan.

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari tulisan Bang Win Wan Nur:

Pertama, Bang Win Wan Nur mengakui adanya ketidakadilan terhadap suku Gayo yang diberlakukan oleh orang Aceh Pesisir (demikian sebuatan Bang Win Wan Nur), baik dari segi pemerintahan maupun kebudayaan juga sejarah, hal yang paling membuat terlihat usaha itu adalah ketika penggantian nama Kute Reje menjadi Banda Aceh.

Kedua, kemudian permasalahan ‘minorities within minorities’ atau Bang Win Wan Nur menjelaskannya dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas mak hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal.

Kemudian tambahan dari Edi Kelana yang mencoba untuk mengangkat sukuisme dari Gayo, dengan mengatakan bahwa Gayo adalah pemilik dari Aceh.

Sebenarnya saya masih menunggu tulisan dari Bang Win Wan Nur selanjutnya, karena sudah menjadi kebiasaan dari Beliau dalam setiap penulisannya untuk menyetujui segala hal yang saat ini menjadi permasalahan, namun kemudian Beliau dengan elegan mencoba mempertahankan apa yang selama ini menjadi keyakinannya, untuk tidak setuju dengan pemekaran ALA. Dan hal ini sudah diindikasikan oleh Bang Win Wan Nur dalam akhir tulisannya yang kemudian dicoba diperjelas oleh Edhi.

Baiklah, untuk kesimpulan pertama saya sepenuhnya setuju dengan Win Wan Nur, begitu juga dengan alasan Edi Kelana, amat setuju.

Untuk kesimpulan ke dua, saya hanya bisa berucap setuju juga dengan Win Wan Nur, saya juga mengerti jika Win Wan Nur mengajak kita untuk berpikir bahwa dengan Gayo pisah, maka Jawa juga akan meminta pisah nantinya, atau sering saya katakana sebagai lingkaran setan.

Sebelum saya lanjutkan, sebelumnya saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang menyebabkan banyak dari kaum intelektual Gayo tidak setuju dengan pemekaran, ini merupakan hasil catatan saya ketika mengikuti teleconference dengan muda-mudi Gayo.

Tidak Setuju Pemekaran

Alasan Pertama, Aceh adalah milik Gayo, jadi tidak ada alasan kalau kita memisahkan diri, jujur saja saya juga dulu berpendapat seperti ini, sampai-sampai ama, ine, pak cik dan pun-pun saya tentang dengan hujjah seperti ini. Saya teringat bahwa pernah mengatakan kepada Pun saya, dengan nada keras “Cik, enti anggap lemah urang Gayo ni, kite si empun tempat, hana kati kite mulepas daerah si kite kuasai. Sawah ku ujung langit pe muyang datun te gere perah ijin kin pemekaren ni.” Waktu itu sampai merinding saya mengatakannya, karena ketidaksukaan dengan isu pemekaran ini.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya berpikir keras, kebetulan saya tinggal di Jakarta, bekerja di salah satu Departemen Pemerintah dengan anggaran yang paling tinggi saat ini. Saya juga sering mendampingi atasan saya melakukan kunjungan ke berbagai daerah, dan kebetulan ia senang mengunjungi daerah-daerah yang tertinggal. Saya pernah mengunjungi seluruh wilayah NTT dalam 2 kali kunjungan kerja, saya sangat miris bagaimana daerah kota di NTT lebih bagus dengan kecamatan yang ada di Jawa. Saya juga ke Papua, Kalimantan, Sulawesi dan banyak lagi, sepertinya hampir setiap provinsi di Indonesia saya pernah kunjungi.

Tiba-tiba kesombongan saya itu runtuh, saya baru sadar bahwa sekarang zaman sudah berbeda, sudah tidak ada lagi Raja Gayo yang kita banggakan sebagai penguasa Sumatera, saya seperti sadar baru menginjak bumi, sekarang ini adalah menghadapi kenyataan yang ada untuk memperbaikinya. Pola pikir saya langsung berubah, tiba-tiba saya sadar bahwa dengan daerah saya Gayo pun tidak lebih baik dari daerah-daerah yang saya kunjungi, utamanya kampong halaman saya.

Lantas saya teringat bahwa pada daerah-daerah pemekaran yang saya kunjungi, ternyata ada yang sedemikian maju seperti Banten dan Gorontalo, mereka begitu menggeliat dengan pembangunannya. Begitu juga dengan Bangka Belitung. Belum lagi pada beberapa Kabupaten/Kota seperti di NTT, terlihat bahwa Kabupate/Kota pemekaran tersebut selalu berusaha untuk menggeliat mencapai apa yang mereka perjuangkan dengan adanya pemekaran tersebut. Namun demikian saya juga menyadari ada beberapa daerah yang belum bisa dengan optimal melakukan pembangunan. Saya pun lantas mempelajari kenapa mereka berpisah, ternyata salah satunya adalah karena perbedaan budaya dan kultur, bahkan diantara mereka juga berucap seperti yang Edi Kelana katakan. Seperti saya teringat orang Banten mengatakan bahwa sesungguhnya Jakarta itu dulunya ada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten, seharusnya mejadi milik Banten. Atau ketika orang Betawi berkata dengan sombongnya saya pemilik Jakarta, namun pada umumnya mereka amat tertinggal dari segala aspek kehidupan dibanding dengan orang pendatang ke Jakarta.

Inilah yang saya takutkan bila kita tidak segera melepaskan diri dari tekanan-tekanan, kebebasan kita untuk segera bangkit dan dapat membangun orang Gayo.

Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa pemekaran tidak harus sama dengan wilayah yang dipunyai karena perkembangan zaman, akan tetapi ada juga diakibatkan oleh ikatan-ikatan perbedaan kultur yang memang bila disatukan akan menjadi permasalahan. Kelemahan dari intelektual kita adalah mencoba mengignore ini semua, padahal ini berdampak kepada keamanan dan percepatan pembangunan yang dilakukan, atau dapat dikatakan ‘feel like home’. Allah saja tidak pernah mengatakan kita harus satu akan tetapi lebih untuk saling mengenal.

Saya juga tidak bisa salah bagi orang-orang yang tidak menganggap ini menjadi masalah, tapi seperti yang dituliskan Win Wan Nur bahwa memang kita sudah tertekan, kita merasa ada di rumah orang padahal ada dirumah sendiri, tragis bukan.

Kedua, Pimpinan Daerah, mereka beralasan bahwa pemekaran ini hanya kepentingan segelintir elit politik saja, mereka yang mau menjadi pejabat pada daerah pemekaran.

Untuk alasan yang satu ini saya hanya bisa tertawa, sekarang ini adalah zamannya PILKADA, siapapun yang mau jadi pimpinan silahkan pulang dan berlomba-lomba untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa jadi pemimpin. Bahkan ada sisi baiknya disini, Gubernur dan Wagub serta pejabat-pejabatnya adalah orang Gayo, atau yang mengaku orang Gayo atau yang bisa berbahasa Gayo atau yang berbudaya Gayo. Sudah barang tentu mereka akan lebih focus untuk membangun daerahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan mengenai perebutan kekuasaan disana dari masing-masing suku, rasanya bukan masalah besar, karena kita menggunakan bahasa dan adat yang sama.

Ketiga, otonomis daerah, ada benarnya bahwa sekarang zaman otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota lebih berkuasa atau wewenang, tapi jangan lupakan juga kalau wewenang seorang Gubernur amat besar dalam menyalurkan dana Dekon serta menyampaikan kebijakan-kebijakan dari Pusat. Saya tahu betul, saat ini dalam APBN kami dimarahi oleh DPR, mereka mengatakan sudah tidak diperbolehkan lagi mengalirka dana langsung ke Kabupaten/Kota, semuanya harus ke Provinsi terlebih dahulu. Ini semua akibat anggapan dari Pusat bahwa terlalu jauh tangan Pusat untuk bisa mengawasi Kabupaten/Kota, intinya adalah mencoba untuk membangun kembali kewibawaan dari Provinsi.

Nah, bila ini terjadi alangkah baiknya kalau orang Gayo punya Provinsi sendiri, selama ini jelas kita selalu ketinggalan dari berbagai kebijakan Pusat, bahkan untuk aliran dana saja daerah ALA selalu ketinggalan, ini juga tidak terlepas dari perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang kita dahulu. Kita harus ingat bahwa bila nenek muyang mereka membunuh atau menipu nenek muyang kita tentu aka nada pengaruhnya kepada kita.

Yang terpenting lagi adalah kita bisa mengelola SDA di Gayo yang banyak ini, keamanan di Gayo bukan karena GAM, tapi ada pada orang Gayo sendiri. Kalau GAM berontak lagi kita akan bisa mendongakkan kepala kita, kita punya tentara sendiri. Dan lagi perputaran uang akan lebih banyak di Provinsi ALA.

Keempat, minorities within minorities, hal ini tidak akan mungkin terjadi, rasanya orang Gayo sudah cukup teruji dengan hal ini, dengan karakter terbukanya sejak zaman Kerajaan Linge sampai saat ini. Rasanya tidak ada satu suku pun yang bisa seterbuka suku Gayo, mereka bisa beradptasi dengan Batak, Padang, Jawa, Bugis, China bahkan Aceh sekalipun, walau pun dengan Aceh memang tidak bisa sepenuhnya. Terlebih lagi karakteristik antara Gayo dan Aceh itu jauh berbeda. Karakteristik orang yang berasal dari Melayu tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Tamil.

Saya yakin tidak akan terjadi kalau pemekaran ALA lantas semua orang Aceh kemudian dibunuh, seperti halnya GAM membunuh orang Jawa dan Gayo di Aceh Tengah, ada yang unik dari orang Gayo. Keislaman mereka selalu dinomorsatukan, malu mereka selalu dinomorsatukan. Ini pula yang menyebabkan ketika Daud Beureuh ia berjuang lama di dataran tinggi Gayo, karena ia membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, ini juga yang menyebabkan perjuangan GAM tidak di dukung oleh orang Gayo, karena perjuangan mereka tidak karena kalimat itu, hanya karena ketidakpuasan pada awalnya.

Sebagai contoh, kita lihat bagaimana orang Gayo tidak pernah demo karena harga bensin naik, waktu DOM bahakan pokok langka, mereka semua tenang-tenang saja, inilah keunikkan Gayo yang saya juga agak heran sampai sekarang. Mereka lebih mementingkan perdamaian di Gayo, inilah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Gayo sekarang ini, daripada berafiliasi dengan GAM mereka memilih berafiliasi dengan TNI, mereka sadar dengan sifat dari orang Gayo, bukan seorang pemberontak yang bodoh. Tapi jika diajak dengan kalimat Syahadat, baru bisa dilihat bagaimana orang Gayo marahnya.

Untuk ketakutan kita terhadap suku Jawa yang menguasai daerah Gayo rasanya terlalu berlebih-lebihan, dan ini adalah amat berbahaya apabila dipermasalahkan hingga menimbulkan konflik horizontal. Karena rasanya sekarang ini banyak sudah perkawinan silang antara suku Gayo dan Jawa. Rasanya sudah terlambat atau adalah salah jika tema ini disebarluaskan, karena tidak aka nada artinya. Mereka sudah lama terikat dalam satu penderitaan ketika DOM, setiap aksi atau provokasi yang mencoba mengadudomba mereka hanya akan membuat ketidaknyamanan di Gayo, bahkan bisa jadi kemudian mereka mengatakan ini adalah aksi GAM yang tidak mau melihat Gayo aman dan damai.

Kemudian saya juga bisa katakan bahwa suku Jawa itu bukanlah sebuah suku yang suka melakukan kekerasan atau pemberontakkan seperti halnya suku Aceh, mereka relative lebih bisa tunduk dengan kebudayaan setempat, bila kita dapat memimpin atau memeberikan tempat kepada mereka mereka sepertinya akan menjadi teman yang baik, mereka punya loyalitas atau seperti Bang Win Wan Nur katakan ‘Feodal’. Sedangkan dengan Aceh, saya yakin kita akan selalu bertarung dalam hati kita dengam mereka, karena ini terjadi sejak nenek muyang kita.

Setuju Pemekaran

Alasan pertama, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo. Keyakinan mereka dengan lahirnya pemimpin-pemimpin Gayo yang berasal dari Gayo sudah barang tentu akan lebih memikirkan orang Gayo dengan lebih maksimal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa siapapun Gubernurnya dengan segala macam kejelekkannya bila berasal dari Tanoh Gayo sudah barang tentu akan berpikir untuk orang Gayo, kasarnya untuk urangnya pasti dipikirkannya.

Yang lebih mereka pikirkan lagi adalah timbul-timbul pejabat yang berasal dari Gayo, dan sudah barang tentu ini akan membuat percepatan-percepatan SDM yang harus dilakukan. Seorang Gubernur Gayo tentunya harus mulai berpikir seperti seorang Gubernur mau tidak mau, ia harus mempersiapkan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur, begitu juga dengan pejabat lainnya.

Anak cucu kita akan bangga dengan ini semua, bahkan mereka kemudian bercita-cita menggantikan senior-seniornya, ada peluang besar ke situ. Setiap orang akan bangga dengan Gayonya.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah kita bisa dengan lebih leluasa melakukan penelitian-penelitian tentang sejarah Gayo, dan mengaktualisasikannya sebagai eksistesi orang Gayo, bahkan memperkuat adat Gayo yang menjalankan syariat Islam sejak ratusan tahun lalu.

Sekali lagi untuk orang Jawa, saya akan memperlihatkan sebuah Provinsi Lampung yang notabene hampir 60% jawa, tetap Gubernur mereka orang Lampung asli, inilah salah satu keunikan orang Jawa.

Terlebih lagi suku Gayo adalah salah satu suku yang selalu berhasil perpaduan budaya dengan suku manapun, sebagai contoh di Aceh Barat dan Aceh Selatan bahasa padang tidak hilang dari kehidupan mereka, ini menandakan bahwa Aceh tidak pernah bisa memenangkan budaya mereka terhadap suku Jamnee. Lihat di Gayo, Aceh Tenggara yang merupakan perpaduan Aceh dan Padang, bahasa Padang hilang digantikan dengan bahasa Gayo.

Selain itu, sudah barang tentu pada awal-awal pemerintahan orang Gayo akan memimpin ALA selama beberapa generasi, kita dapat mempersiapkan mereka, generasi Gayo, dengan lebih baik lagi tentunya.

Terakhir, masa yang akan datang, bukan suku lagi yang dipikirkan orang tapi bagaimana semua menjadi sejahtera, Islam menjadi tujuan. SBY yang pernah ke Gayo mengatakan bahwa Gayo adalah Indonesia Mini di Indonesia, maka jadikan Gayo sebagai sebutan bagi orang-orang yang mengikuti adat Gayo dan berbahasa Gayo.

Kedua, percepatan pembangunan, ini kiranya sudah jelas, seperti yang saya jelaskan pada awal tadi, bahwa ke depan untuk otonomi daerah peran daerah tingkat I atau Provinsi akan diperkuat, yang bertujuan memperkuat nasionalisme sekaligus mempermudah untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota yang ada pada regional mereka. Atau bahasa kerennya adalah memperpendek rentang kendali.

Mau tidak mau SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo. Yang saya herankan adalah ketika orang mengatakan bahwa orang Jawa akan membawa kekayaan Gayo ke Jawa, ini adalah sesuatu yang amat bodoh di era otonomi daerah.

Namun, hal itu bisa terjadi apabila Gayo terjadi konflik, kita jangan terprovokasi untuk hal ini. Salah satunya adalah dengan wacana Gayo Merdeka, ini amat berbahaya. Bila kita berkaca kepada Aceh, maka ada wacana bahwa GAM tersebut merupakan sebuah scenario untuk menghabiskan SDA Arun dengan mudah. Bayangkan, sejak Arun dimenangkan USA kemudian timbul pemberontakkan GAM yang sepertinya sama sekali tidak ada upaya yang serius untuk menggagalkan kekayaan alam tersebut di bawa ke USA, jelas sekali yang mendapatkan keuntungan besar dari proyek Arun adalah Exxon. Dalam pemikiran mudah kita, seharusnya target utama GAM adalah tidak berjalannya proyek Arun, kenyataannya sudah hampir habis SDAnya. Jadi adalah wajar ketika kita mengatakan bahwa ada main mata antara GAM, oknum TNI dan USA untuk menjadikan Aceh tidak aman sehingga bisa menggerus habis Arun sekaligus menghabiskan para Tengku yang berbahaya bagi Soeharto.

Begitu juga halnya bila Gayo Merdeka menjadi sebuah perjuangan, ini akan dianggap sebagai kaki tangan GAM. Salah satu tahapan dari Gerakan Gayo Merdeka (baca Kaki Tangan GAM) adalah dengan menjadikan konflik horizontal antara Gayo dan Jawa, dengan mengangkat kesukuan atau Chauvisme Gayo. Bayangkan ketidakamanan yang akan diderita orang Gayo dan tentunya orang Aceh (baca GAM) akan tertawa dengan riang, bahkan oknum TNI akan senang melihatnya, ada proyek penggerusan baru. Ini yang harus kita jaga.

Dengan ALA, semuanya akan menjadi lebih mudah, dengan ALA nasionalisme kita akan mendapatkan penghargaan dari NKRI, kesempatan membangun kita akan lebih besar, karena daerah Gayo terkenal sebagai daerah putih, atau daerah yang mendukung NKRI. Gayo akan aman dan anak cucu kita bisa menggapai cita-citanya.

Ketiga, keamanan, dengan ALA kita akan mempunyai teritori sendiri untuk mengamankan daerah kita, kita akan punya Kodam sendiri. Daerah konflik akan lebih mudah ditangani, GAM akan lebih mudah dibrangus. Rakyat Gayo sudah punya kepercayaan diri untuk menghancurkan GAM, mereka sudah punya kekuatan yang jelas dari TNI.

Bahkan dengan terbelahnya Aceh, maka yang bisa diprediksikan tidak ada lagi konsep Aceh Merdeka oleh GAM, semuanya gugur. Tidak perlu lagi rakyat Gayo menjadi korban dari PERANG BODOH selama puluhan tahun yang membuat rakyat Gayo menderita, terancam, terintimidasi, kekurangan pangan, sandang dan papan, kehilangan kepercayaan diri. Ini semua dapat kita hilangkan dengan pemekaran ini.

Tiga hal ini saja, maka dapat dipastikan Gayo sekarang akan berbeda dengan Gayo 10 tahun yang akan datang, kita akan lihat anak-anak kita menjadi seorang Profesor, kita akan lihat tenaga kerja yang baik, perkebunan yang aman, pendidikan yang maju, perekonomian yang bergerak.

Walau demikian pada 3 tahun pertama, merupakan masa-masa sulit, kita akan diuji dengan kemampuan kita untuk menjaga keamanan, salah satunya adalah GAM yang pasti akan menggagalkan ini, karena Aceh Merdeka akan hilang dari muka bumi ini. Selanjutnya dilanjutkan dengan kemampuan untuk menarik banyak investor, kemampuan untuk mencarikan formulasi yang terbaik sesuai dengan kondisi dataran tinggi Gayo yang tidak merusak alam dan menegakkan syariah Islam.

Kesimpulan

Kepada masyarakat Gayo, utamanya generasi mudanya mari kita berpikir luas dan tidak sempit, dengan ALA kita dapat membangun dengan cepat SDM dan mengelola SDA bagi SDM kita. Kita tidak akan lagi ketakutan dengan PERANG BODOH atau agenda-agenda Aceh Merdeka. Kita bisa membuktikan bahwa ALA bukan hanya mensejahterakan orang Gayo tapi segala suku yang ada di ALA dengan sebaik-baiknya, sebuah Indonesia Mini.

Kita tidak bisa mempercayakan nasib kita kepada GAM atau orang Aceh, kebencian mereka terhadap suku Jawa adalah luar biasa, bila ini kita biarkan maka sama saja kita bunuh diri menciptakan konflik pada daerah kita sendiri yang kemudian kita akan sesali.

Pemberontakkan tidak akan pernah menang sekarang ini, jangan samakan Aceh dengan Kosovo, Kosovo punya Rusia, itupun sulitnya bukan main. Siapa yang mau membela Aceh, Gayo saja tidak bisa mereka rangkul, tentu dunia internasional akan terus mempertanyakan hal ini.

Namun, kita bisa samakan Aceh dengan Tamil di Sri Lanka, dan ini memang nenek muyangnya.

Tapi kita tidak bisa samakan Aceh dengan Khasmir di India, Poso di Fhilipinna, Chencya di Rusia, Moro di Thailand, apalagi Hamas di Palestina. Mereka memperjuangkan nasionalisme dengan menghalalkan darah sesame muslim, sehingga hanya membuat murka di sisi Allah.

Berijin.

1 komentar:

ILMAN mengatakan...

26 Desember 2008 (4 Tahun setelah Gempa dan Tsunami)

Salam ken Bang Win orom rinen-rinenku bewene,

Sebelum saya memberikan komentar mungkin sebaiknya saya memperkenalkan diri terlebih dahulu.
Saya ILMAN lahir dengan saudara kembar saya bernama IMRAN di Banda Aceh, tepatnya di RS. Kesdam Kuta Alam. Dilahirkan oleh seorang ibu yang berasal dari BALE (Uken) dan bapak dari PEGASING (Toa). Pendidikan saya dimulai dari SD & SMP (Takengen), SMU (Sebagian di Takengen dan Tamat di B.Aceh), 1997-1998 kuliah di FMIPA jurusan Matematika Usyiah, setelah setahun menjalani kuliah di MIPA saya merasa tidak sesuai dengan tujuan dan karakter pribadi saya sehingga mencoba UMPTN lagi dan lulus di pilihan kedua di Fak. Teknik Unsyiah Jurusan Teknik Sipil, 1998-2005 (Bidang Hidroteknik). Pernah bekerja untuk beberapa Lembaga/Instansi/Perusahaan dan semuanya bergerak dibidang Pengadaan Barang dan Jasa Konstruksi, baik sebagai PERENCANA/Konsultan, PENGELOLA/Owner, PENGAWAS/Konsultan, ATAU PELAKSANA/Kontraktor.

Setelah membaca semua tulisan yang ada di BLOG ini yang berhubungan dengan isu pemekaran daerah “ALA”, saya yang merasa diri saya orang gayo karena kebetulan kedua orang tua saya adalah suku gayo dan pernah menetap di takengen selama 16 tahun, di Meulaboh 2 tahun, di Calang/Lamno 1 tahun dan sisanya menetap di Banda Aceh sampai sekarang, sebagai salah satu orang gayo yang berasal dari Aceh Tengah saya mencoba menyampaikan hal yang menurut saya perlu bagi sebagian atau semua pemuda-pemudi yang mengaku sebagai orang gayo tetapi tidak banyak mengetahui tentang aceh pesisir yang sebenarnya, baik yang tinggal di Aceh Tengah / Bener Meriah atau diluar daerah tersebut.

Sebelum masuk ke pokok pembicaraan izinkan saya ingin menyampaikan rasa bangga saya kepada orang-orang suku gayo dan suku lain di Aceh Tengah/Bener Meriah yang bermental suka tangan diatas daripada tangan dibawah, yaitu tepatnya 4 tahun yang lalu pada waktu setelah terjadinya gempa bumi dan gelombang tsunami pada 26 Desember 2004, kebetulan hari kedua setelah kejadian bencana yang maha dahsyat itu saya sempat bergabung dengan relawan PKS dan organisasi lainnya dalam menyalurkan bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, dll kepada korban tsunami, saya yang merupakan salah satu korban Tsunami yang dengan izin Allah SWT terselamatkan di atas pohon kelapa yang berada pada ketinggian 5 meter dari muka tanah di Perumnas JEULINGKE - Banda Aceh, disamping kondisi saya yang masih “rapuh” akibat bencana tersebut tetapi saya sangat bahagia merasakan suasana pada saat itu karena tidak ada sikap/tindakan yang bersifat PRIMORDIAL diantara pemberi bantuan dan penerima bantuan, sehingga nuansa persahabatan di tenda-tenda pengungsi, barak-barak pengungsi dan rumah-rumah penduduk yang dijadikan tumpangan sementara para korban tsunami sangat kental terasa, dan kelihatan sekali hanya ada satu tujuan yaitu keinginan saling membantu sesama manusia sebagai mahluk Tuhan tanpa peduli suku dan agama yang dianut oleh korban Tsunami yang akan kita bantu. Banyak sekali bantuan masyarakat Aceh Tengah yang disalurkan ke daerah Aceh pesisir baik itu yang berupa materi ataupun tenaga, baik itu melalui jalur Bireun yang menuju ke Banda Aceh, Pidie dan Aceh Besar ataupun melalui jalur Beutung yang menuju Aceh Barat, Aceh Jaya dan Nagan Raya. Ini merupakan pelajaran berharga bagi saya dan kita semua. Bahwa walaupun berbeda lebih baik BERSAHABAT daripada BERMUSUHAN kecuali bila dizalimi. Karena semua kita ini Cuma kebetulan saja (TAKDIR DARI TUHAN) dilahirkan sebagai orang gayo dan beragama Islam, karena coba tanyakan pada diri kita masing-masing apakah kita memesan Tuhan menjadi suku apa sebelum dilahirkan ke dunia ini? Tentu jawabannya Tidak. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita harus menerima takdir waktu kita dilahirkan cacat atau sempurna, apakah lahir dari orang tua miskin atau kaya, suku gayo atau aceh, atau suku lainnya. Bersyukurlah kita telah dilahirkan didaerah yang tanahnya subur, sejuk, memiliki kulit yang sawoh matang dan mayoritas agamanya Islam. Coba bayangkan kalau kita dilahirkan di Afrika seperti Ethiopia, Liberia, Sudan, Ruwanda, Somalia misalnya, situasi/kondisi disana jauh lebih “pahit” atau sengsara dibanding kita di tanoh gayo, ribuan mereka mengalami kekurangan gizi (Gizi Buruk), kelaparan, perang saudara, bahaya penyakit menular, Tanah yang gersang, kulit hitam legam (kalau kita lihat Gak ada gantengnya sikitpun he..he..he.., sory bagian ini sedikit becanda), Utang negaranya yang mencapai “Puluhan Milyar Dollar Amerika” terpaksa dihapuskan oleh IMF karena tidak akan mungkin terbayar lagi.

Kalau boleh memilih sebelum lahir mungkin saya akan memilih menjadi anaknya Raja Minyak di Timur Tengah (DUBAI) yang pasti hidup akan lebih aman dan nyaman, bukan Sebagai Orang Gayo yang dari dulu sampe sekarang yang hanya sibuk dengan daerah konflik dan masalah persaingan Uken Vs Toa, sadar atau tidak kenyataannya itu masih sangat terasa dalam kehidupan politik khususnya menjelang dan sesudah PEMILU/PILKADA di Aceh Tengah atau mungkin juga di Bener Meriah. Sesama kita orang gayo Takengen/Bener Meriah saja masih belum dewasa dalam hidup berpolitik apalagi nantinya kita menjadi provinsi ALA yang komposisi masyarakatnya lebih beragam, yang nantinya akan ada suku Gayo Takengen/Redelong, Gayo Belang, Alas, Jamee, dll.

Dengan terciptanya Provinsi ALA yang saya ketahui tidak melalui proses yang baik dan benar, Otomatis itu hanya awal dari permusuhan baru yang akan kita ciptakan sendiri, jika tujuan dan konsepnya tidak betul-betul merupakan aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat di semua kabupaten yang akan menjadi cikal bakal wilayah provinsi ALA. Katanya sekarang suku gayo bermusuhan dengan suku aceh atau jawa, apa kita mau menambah lagi daftar permusuhan itu melalui wadah yang namanya ALA ini? Apa kita mau menyaksiskan beberapa perseteruan nantinya, seperti Gayo Takengen Vs Gayo Belang, Gayo Takengen Vs Gayo Bener Meriah, Gayo Takengen Vs Alas, Gayo Takengen Vs Jamee, Gayo Vs “entah etnis apalagi”, hanya gara-gara berebut sebuah kekuasan melalui jalur politik yang berbungkus demokrasi, ingat bung dunia ini hanya perjalanan manusia menuju mati dan akhirnya semua manusia dan semua suku akan berjumpa di akhirat untuk mempertanggung jawabkan masing-masing amalnya dihadapan ALLAH SWT. Saya yakin permusuhan baru ini akan terjadi cuman gara-gara letak ibu kota provinsi dan suku apa Gubernur/Wagub ALA nantinya, Oke mungkin 10-20 tahun pertama oleh karena para pegiat ALA masih hidup dan menjabat posisi puncak pemerintahan ALA bisa mereka kendalikan daerah-daerah ALA dengan aman, tapi puluhan tahun berikutnya dengan berubahnya generasi yang menjabat pimpinan di daerah ALA saya yakin akan dimulainya permusuhan/perang baru. Belum lagi permasalahan perbedaan PAD masing-masing daerah yang sangat bervariasi sekali, dengan sistim otonomi sekarang jangan berharap dana pembangunan bergantung ke pusat (Jakarta). Sudah saatnya memikirkan APBD kabupaten yang berasal dari PAD sendiri yaitu dengan mengolah sumber daya alam sendiri, jangan bermental pengemis yang meminta ke pusat hanya untuk urusan MCK aja.

Bagi rinen-rinen yang berasal-usul dari gayo takengon/bener meriah jangan mudah percaya dan banyak berharap pada para pejabat-pejabat di Takengen dan Bener Meriah akan membuat kebijakan yang pro rakyat kalaupun ada itu hanya bungkusnya aja, isinya akan dimasukkan kekantong pribadinya untuk kemakmuran keluarga dan Team Suksesnya (Kroninya) baik itu dalam bingkai kapupaten sekarang ini maupun Provinsi ALA nantinya. Percayalah hanya sedikit sekali pejabat Gayo yang memikirkan kemakmuran rakyatnya, kalaupun ada itu biasanya pejabat-pejabat kelas bawah yang tidak memiliki kewenangan yang vital dan yang tidak mengelola banyak dana/uang (alias posisi kering). Jangan sok muluk-muluk lah dengan tercipta provinsi ALA maka kita akan sejahtera “Omong Kosong” semua itu. Boleh saja kasih iming-iming besar ke masyarakat gayo kalau kekayaan alam Aceh Tengah dan Bener Meriah sama seperti yang dimiliki oleh Aceh Utara 15 tahun yang lalu (tahun 90-an yang masih memiliki cadangan minyak dan gas yang banyak). Beberapa contoh ketidak becusan PEMDA (Yang isinya sebagian besar adalah orang gayo sendiri) dalam mengelola daerah adalah :
1. Harga Kopi yang tidak stabil, kuantitas dan kualitas tidak bisa ditingkatkan (padahal itu bisa di urus oleh dinas perkebunan yang dulu kepalanya adalah yang terhormat Bapak Ir. Tagore), ngurus kopi aja gak beres gimana mau ngurus ALA yang terbentang dari kilometer 35 sampai ke Singkil dan di ikuti oleh keberagaman suku selain suku gayo Takengen. Kalau mereka memang intelek dan bermoral pasti masalah tersebut bisa diselesaikan.
2. Masalah pembangunan PLTA Peusangan yang sejak tahun 1996 sudah dilakukan pembebasan lahan dan telah dibangun sebagian kecil Gedung infrastrukturnya sampai sekarang belum jelas kelanjutannnya. Kalau pejabat-pejabat waktu itu pro kepada rakyatnya otomatis mereka mematok harga yang wajar terhadap tanah saudara dia sendiri yang sama-sama notabane nya adalah orang gayo dan juga akan mempercepat pembangunan PLTA tersebut dengan cara apapun untuk memenuhi kebutuhan arus listrik sehingga tidak terjadi arus listrik yang hidup-mati-hidup-mati di rumah-rumah penduduk seperti lebih 10 tahun kebelakang ini. Pada waktu itu teringat sekali dalam otak saya, waktu itu bupati Aceh Tengah dijabat oleh Bukhari Isak, dia menghargai tanah warga dia sendiri dengan harga Rp 4000/m2 dikurangi pajak 10% (artinya harga tanah per m2 tidak cukup untuk membeli 1 bambu beras, ini sungguh ironis) sehingga masyarakat berusaha susah payah menanam kopi, pisang, dll, membangun rumah, membuat kolam, dll agar total ganti ruginya bisa membeli tanah di tempat lain.
3. Masalah kekurangan air minum, ini sungguh ironis juga. Sangat nampak sekali ketidakmampuan PEMDA dalam mengurus dia sendiri dan rakyatnya, dengan begitu besar anggaran/dana untuk PDAM dan banyaknya sumber air bersih di wilayah Aceh Tengah (ada danau, ada banyak mata air di gunung-gunung yang debitnya cukup besar dan bisa di andalkan kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan beberapa ribu rakyat Kota Takengen) tetapi air minum bisa langka, ini kan aneh. Diluar sana air laut yang asin dan air limbah bisa diolah menjadi air minum yang penyulinganya jauh lebih sulit dan mahal, kok di Takengen yang memiliki banyak air tawar tapi orangnya dehidrasi.
4. Masih banyak masalah-masalah lain yang terjadi di Aceh Tengah yang tidak mungkin saya uraikan semua disini karena hanya akan menjadi cerita panjang yang tidak berakhir. Itu semua disebabkan oleh pejabat-pejabat dan orang gayo sendiri bukan orang aceh atau suku lainnya.

Untuk serinen-serinen ketahui bukan beberapa orang suku Gayo aja yang punya masalah dengan beberapa orang suku aceh (artinya tidak semua orang gayo dan tidak semua orang aceh yang bermusuhan, melainkan hanya sebagian saja). Didaerah Aceh pesisir, sesama mereka juga memiliki persaingan tidak sehat, misalnya di Aceh Besar, antara orang aceh yang berasal dari sekitar Seulimum, Samahani, Sibreh dan Jantho tidak akur juga dengan orang aceh yang berasal dari sekitar Lhoknga, Lampuuk dan Leupung, sama seperti di takengon ada Uken dan Toa. Contoh lain seperti di Aceh Barat, Orang aceh yang berasal dari Arongan-Lambalek tidak suka dengan orang aceh dari daerah Meurbouo atau Jeuram sehingga munculah Kabupaten baru yaitu nagan Raya. Contoh lain lagi adalah orang Meurdu tidak suka dengan orang Sigli sehingga menyebabkan kabupaten baru yaitu Pidie Jaya. Banyak lagi contoh lain yang menunjukkan sesama suku aceh pesisir sendiri tidak seakur yang serinen bayangkan. Kalau “bibit-bibit” rasa sentimen-sentimen seperti ini kita pelihara dan kita wariskan kepada anak cucu kita, tidak tertutup kemungkinan Aceh tengah juga nanti akan tebelah lagi menjadi Kabupaten Uken dan kabupaten Toa, sehingga kita hanya mengurus masalah pemekaran daerah (CERE atau JAWE), itu-itu aja terus apa nggak ada urusan lain yang lebih penting??? dan apa nggak bosan???.

Coba kita lihat sama-sama pemekaran kabupaten yang terjadi di Aceh yang sudah terjadi sebelumnya, apa latar belakangnya? Bukan untuk kemakmuran rakyatnya, tapi Menurut yang saya rasakan, amati, analisa dan hasil dialog dengan tokoh-tokoh masyarakat setempat dan teman-teman di Banda Aceh yang berasal dari berbagai daerah di NAD, adalah sbb:
1. Tujuan pertama pemekaran adalah setelah daerah tersebut menjadi kabupaten baru maka daerah tersebut akan memiliki APBD sendiri. (Yang konon Katanya untuk pembangunan sehingga masyarakat bisa sejahtera, tetapi sebenarnya sekitar 40% APBD hanyalah sebagai biaya Gaji Pejabat/Pegawai daerah (Biaya Operasional Pemerintahan) dan sisanya untuk proyek pembangunan dan itupun banyak dikorupsi oleh pejabat-pejabat yang tidak bermoral. Dan kadang-kadang yang lebih pantengong lagi adalah gara-gara pejabat yang bodoh, tidak memiliki kompetensi dan kapasitas yang cukup dalam managemen mengelola dana sehingga dana yang sudah capek-capek di usulkan sebelumnya tidak bisa menghabiskannya kemudian dikembalikan lagi ke pusat).
2. Tujuan kedua adalah dengan adanya pemekaran maka akan banyak pejabat-pejabat baru dengan posisi-posisi yang lebih tinggi dari sebelumnya yang gila kekuasaan atau tidak bisa menghidupi diri sendiri dan keluarganya apabila tidak menjadi pejabat (Inilah biasanya yang menjadi motor penggerak mekarnya sebuah daerah).
3. Alasan ketiga adalah kebosanan terhadap orang-orang atau etnis-etnis (Kaum/Pihak) yang itu-itu terus dalam menduduki sebuah jabatan, sehingga ada orang yang iri/dengki menginginkan posisi yang tersebut, walaupun secara kapasitas dirasakan dia tidak mampu untuk posisi tersebut bahkan kenyataannya lebih buruk lagi kondisinya setelah dia mengisi posisi tersebut.
4. Alasan selanjutnya masih banyak lagi dan tidak begitu populer sehingga tidak perlu saya uraikan disini karena nanti hanya membuat kejenuhan yang membaca tulisan ini.

Kembali ke pokok pembicaraan mengenai isu Provinsi ALA, sebagian besar saya setuju dengan argumen Bang Win, kesamaan tersebut mungkin muncul dari kesamaan dari latar belakang pendidikan kami yang sama-sama Anak Teknik Sipil Unsyiah, pengalaman hidup di NAD, baik melalui pergaulan dikampus atau luar kampus. Melalui interaksi langsung dengan orang-orang kampung di pesisir dan pedalaman Aceh pada saat saya melakukan kunjungan lapangan dengan durasi 1 minggu sampai 1 bulan pada tiap lokasi proyek, seperti survey, pengukuran, pelaksanaan, dan pengawasan (Monitoring dan Evaluasi) proyek konstruksi tempat saya bekerja.

Beda antara saya dengan bang Win mungkin dia adalah anak MAPALA Leuseur Unsyiah dan seorang wartawan lepas pada zaman konflik dulu, sedangkan saya tidak, Saya lebih focus pada kegiatan akademis dan kegiatan proyek Perencanaan dan Perancangan Konstruksi (Research, Feasibility Study dan Detail Engineering Desain) yang diserahkan pengerjaannya oleh pihak Lembaga-lembaga pemerintah Aceh ke pihak UNSYIAH. Bedanya lagi antara saya dan bang Win adalah dia pernah mengatakan dalam tulisannya sebelumnya bahwa beliau pernah dibantu mati-matian oleh orang aceh demi membebaskannya dari penjara waktu itu, kalau saya tidak pernah mengalami hal seperti itu, tetapi walaupun saya tidak mengalami hal itu, selama 12 Tahun saya tinggal dan bergaul dengan orang suku aceh pesisir (baik yang berlebel Teuku, Tengku, Said, Cut, Syarifah, atau yang berprofesi sebagai Akademisi, Anggota legeslatif, Pejabat Pemerintah, Pengusaha, Petani, Peternak, dll) dan juga suku-suku lainnya, saya tidak pernah sekalipun disakiti oleh orang suku aceh atau suku-suku lainnya yang bersifat RASIS baik secara fisik ataupun mental. Jadi tidak ada alasan pribadi yang kuat yang dapat membuat saya membenci orang suku Aceh atau suku lainnya. Bahkan mereka banyak yang membantu saya dalam dunia kampus, luar kampus dan dunia kerja yang saya jalani sekarang ini. Yang sangat ironis bahkan saya pernah beberapa kali ditipu oleh orang suku saya sendiri yaitu suku Gayo. Dalam hal ini menurut saya berlaku Teori RELATIVITAS.

Dulu tahun 2000 saya yang bertempat tinggal di Jeulingke pernah mengalami pengalaman lucu dengan sebuah keluarga yang merupakan tetangga dekat saya yang suku Aceh (tepatnya Ibunya asal Aceh Pidie, bapaknya asal Banda Aceh). Sekarang 5 anggota keluarga beliau telah meninggal dunia akibat gelombang tsunami. Pada waktu itu orang ini mengatakan terus terang kepada saya bahwa sebelum mereka mengenal saya dan kembaran saya, mereka agak kurang suka dengan orang suku gayo yang mereka anggap tidak berbaur dengan suku aceh dan suku lainnya, saat itu saya sambil tertawa hanya mengatakan pada mereka bahwa itu semua tergantung pribadi orangnya dan lingkungan sekitarnya. Setelah beberapa bulan kami bergaul akhirnya mereka berubah pikiran tentang pendapat mereka mengenai bahwa orang gayo itu eksklusif dan pikiran negatif lainnya. Saya sadari bahwa mereka berpendapat begitu karena mereka tidak banyak mengenal dunia luar dan tidak bergaul intim dengan orang suku gayo dan suku lainnya, begitu juga sebaliknya orang gayo yang berpendapat negatif tentang orang suku Aceh atau suku lainnya di NAD.

Dengan kapasitas saya sebagai mahasiswa dulu yang aktif dalam kegiatan dalam/luar kampus dalam periode 1997-2001 dan profesi saya sekarang sebagai tenaga konstruksi 2002-2008 (“Tukang Insinyur”, he..he..he.. boleh kan ketawa Bang Win biar gak tegang-tegang kali bacanya ha..ha..ha…..) Dalam rangka kunjungan proyek konstruksi dan sekedar jalan-jalan pada saat liburan cuti dan Liburan RnR, mulai dari tahun 2002-2008 saya juga telah memasuki semua kabupaten di NAD kecuali Simeulue, dengan 4 kategori wilayah menurut saya, yaitu:
1. Pedalaman Aceh (Aceh Tengah, Bener meriah, Gayo Lues dan Aceh tenggara)
2. Pantai Timur-Utara Aceh (Aceh Tamiang, Pemkot Langsa, Aceh Timur, Aceh Utara, Pemkot Lhokseumawe, Aceh Jeumpa, Pidie Jaya, Pidie, Aceh Besar, dan Banda Aceh)
3. Pantai barat-selatan Aceh (Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Pemkot Subussalam)
4. Aceh Kepulauan (Pulau Aceh dan pulau-pulau sekitarnya, Sabang dan Seumeulu).

Yang intinya kalaupun mau pisah dari NAD jangan dengan cara "CERE" tetapi "JAWE", saya kira kita sudah paham dengan maksud kata tersebut karena saya yakin serinen lebih intelek daripada saya jadi tidak perlu dijelaskan lagi. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tujuan dari pemekaran daerah NAD sebagai induk menjadi ALA dan ABAS, iming-imingnya adalah sebuah peningkatan kesejahteraan masyarakat dari yang merasa kekurangan menjadi berkecukupan dalam segala hal. Untuk mencapai hal ini tentunya butuh KONSEP, PERENCANAAN dan PERANCANGAN yang matang dari pihak yang menginginkan pemekaran tersebut, dan untuk menghasilkan perencanaan dan perancangan yang bagus tentu butuh data-data akurat yang langsung dilihat/dirasakan/diambil dari lapangan atau studi literatur yang referensinya jelas dan dapat dipercaya, seperti kita mempercayai sebuah hadits, selanjutnya baru dianalisa. Jangan seperti sebagian serinen-serinen kita, mereka berargumen dengan tidak ada survey dan data/fakta yang jelas, hanya memakai analisa dan Ilusi dalam pikiran serinen. Tolong turun kelapangan bung..... jangan samakan kasus ALA/ABAS dengan Banten atau Gorontalo. Datangi mereka, dialog dengan mereka, lihat/amati sekelilingnya dan rasakan apa yang terjadi sebenarnya.

Seperti Bang win bilang memang tidak hanya daerah Gayo yang tertinggal, daerah-daerah lain yang saya kategorikan diatas juga mengalami ketertinggalan dalam hal pembangunannya apabila kita memasuki ke pelosok-pelosoknya, jangan kalau hanya masih melewati sebuah jalan protokol atau jalan provinsi saja terus kita menilai suatu daerah tertinggal atau tidak, itu cuman kulitnya bung.....

Demikianlah yang bisa saya sampaikan, kalau ada tulisan saya yang salah mohon diberitahukan untuk saya perbaiki kembali pada tulisan selanjutnya dan saya mohon maaf bila ada menyinggung perasaan serinen.


Salam,



ILMAN