Rabu, 10 Desember 2008

Sebuah Pandangan Atas Pertanyaan Edhie Gayo

Salam Edhie...

Sebeleme kutiro ma'af karena sepenguduken ni aku gere pernah mubaca arsip ni milis, biasae aku mune-post sara tulisen langsung renye tanpa mubaca mulo informasi sana si ara berkembang wan ni milis ni.

Berijin atas apresiasi ni kam...tapi sebetule sana si kusawahen i konferensi manea dele si merupakan informasi si ku serap ari diskusi nte i wan ni milis ni, jadi nume murni pemikiran ku pelin. Jadi ike Bravo kene kam, keta Bravo ken kam pe penduduk ni milis ni bewene, termasuk Edhie sendiri.

Memang benar sekali dari dulu kita tidak pernah cocok dengan suku Aceh, ada banyak permasalahan antara kita dengan mereka seperti yang saya uraikan dalam tulisan saya. Tapi anehnya ( ironisnya? ) ketika berhadapan dengan orang luar (setidaknya pada zaman dulu) kita tetap merasa bersatu dengan Aceh. Mengenai hal ini misalnya dapat dilihat dari tulisan Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya 'The Gajoland and Its Inhabitants' yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Budiman. S yang diterbitkan oleh INIS (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies) pada tahun 1996. Kalau mau membaca lebih mendalam nanti saya bisa pinjamkan bukunya.

Dalam buku yang penulisannya oleh Snouck dimaksudkan untuk membuat sebuah analisa yang sebenar-benarnya tentang hubungan antara Aceh-Gayo untuk pemerintah Belanda supaya mereka bisa menaklukkan Aceh. Pada halaman 87 buku terbitan INIS ini tertulis "Suku Gayo Tetap Merasa Bersatu Dengan Aceh". Di halaman yang sama Snouck juga menceritakan tentang seorang 'Pang' asal Redelong yang bernama Tengku Tapa yang memiliki banyak pengikut orang Aceh asal pantai timur yang bertahun-tahun membuat repot pasukan Belanda sampai beliau kemudian gugur di Pasee.

Berdasarkan informasi yang ditulis Snocuk ini saya berpikir sepertinya anan-awan kita dulu merasa, Aceh meskipun menyebalkan tapi cukup berguna juga untuk kita. Salah satunya mungkin untuk dijadikan benteng atau saringan untuk menghambat pengaruh buruk dari luar menghantam kita.

Dalam kaitan dengan Aceh yang dijadikan benteng itu bisa kita lihat dalam sebuah postingan tentang kristenisasi yang saya baca di arsip milis ini beberapa waktu yang lalu. Dalam web milik salah satu organisasi Dakwah Kristen terbesar di dunia (bethany) itu dengan jelas mereka katakan Gayo adalah target paling empuk untuk sasaran kristenisasi di Aceh. Dalam website itu pula mereka sendiri dengan jujur mengatakan angkat tangan terhadap orang Aceh yang keras kepala yang tetap memilih hidup dalam kuasa gelap dan sama sekali tidak mau menerima cahaya terang kasih Yesus. Dalam web itu dikatakan, saat menjalankan misi di Aceh, para misionaris mereka selalu ditolak bahkan diusir meskipun telah mencoba berkali-kali. Dalam website itu pula para 'mubaligh' kristen itu mengakui kalau akan jauh lebih mudah menyebarkan kasih Yesus di Gayo, seandainya Gayo dipisahkan dari Aceh yang menurut mereka bersifat barbar dan keras kepala serta sangat menyebalkan itu. Entah karena sudah diposting di milis ini atau karena memang sudah masanya expired sekarang website itu saya lihat sudah tidak aktif lagi. Tapi salinan isi websitenya masih bisa kita baca di arsip milis ini.

Kepentingan lain adalah Hutan, sekarang ini di Indonesia hanya tinggal di Papua dan Aceh saja hutannya yang relatif lebih baik. Banyak mafia kayu yang telah menghabiskan kayu di Riau dan Kalimantan yang sekarang sedang menjadikan Aceh sebagai sasaran berikutnya. Para Mafia Kayu itu juga sama seperti para 'mubaligh' kristen. Untuk memperoleh izin menebangi hutan mereka merasa jauh lebih mudah bernegosiasi dengan Gayo daripada dengan Aceh yang menurut mereka sombong, arogan dan seringkali sok tahu itu.

Hal-hal di ataslah mungkin merupakan salah satu dari beberapa bahan pemikiran Muyang Datu kita dulu untuk tetap merasa bersatu dengan Aceh yang menyebalkan itu adalah sebuah pilihan yang lebih baik. Sepertinya Muyang Datu kita dulu berpikir pilihan ini adalah pilihan yang lebih baik daripada memberontak untuk memisahkan diri. Karena sepertinya Muyang Datu kita berpikir sifat menyebalkan yang dimiliki oleh Aceh itu bisa bermanfaat juga buat kita orang Gayo yang sangat terbuka bahkan cenderung tanpa saringan menerima setiap budaya dari luar.

Masalahnya, Aceh itu bukan hanya menyebalkan bagi orang luar yang ingin menguasai daerah kita tapi mereka juga sama menyebalkannya buat kita penguni asli daerah ini. Dan inilah inti masalahnya Aceh itu menyebalkan.

Karena inti permasalahannya adalah itu, maka saya sendiri daripada melebar kemana-mana menghabiskan energi saya cenderung memilih untuk langsung menghantam inti permasalahan itu. Yaitu bagaimana mengurangi tingkat ke'menyebalkan' orang Aceh. Salah satu caranya adalah dengan memberi tahu kepada orang Aceh bahwa apa yang mereka lakukan itu menyebalkan. Beberapa dari mereka mungkin resisten tapi beberapa seperti Humam Hamid dengan jujur mengakui dan kemudian berniat untuk ikut bersama kita untuk mengurangi tingkat ke'menyebalkan' orang Aceh.

Masalah ke dalam, maksudnya ke dalam diri kita sendiri orang Gayo adalah, kita sendiri tidak benar-benar tahu apa mau kita. Kita tidak memiliki suatu forum yang bisa menampung aspirasi kita. Malah sering kita bahkan sama sekali tidak mengerti apa yang menjadi aspirasi kita. Apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Hal ini bisa kita lihat dari skala prioritas pembangunan kita. Contohnya seperti yang pernah Edhie tulis, masalah besar yang kita punyai di Gayo adalah pendidikan. Tapi dalam prioritas pembangunan pemerintah memilih mendahulukan membangun jalan dua jalur dari Paya Tumpi, membangun Lapangan Terbang, membelah Burni Pereben atau membuat jalan ke Pantan Terong ketimbang membuat sebuah pelatihan untuk penyiapan muatan lokal di sekolah-sekolah.

Masalah lain adalah rendahnya tingkat penguasaan bahasa Inggris di kalangan sarjana Gayo. Hal ini pernah dikeluhkan kepada saya oleh Dawan Gayo, seorang teman kita yang sekarang menjabat sebagai Ketua Bapel BRA di tingkat provinsi. Satu saat teman kita ini mendapat permintaan dari Pemda Aceh untuk mencarikan sarjana-sarjana Gayo untuk mendapat Beasiswa S2 di luar negeri. Tapi sayangnya tawaran ini tidak dapat dipenuhi dengan optimal oleh teman kita ini karena kesulitan mencari sarjana Gayo yang punya kemampuan Bahasa Inggris yang memadai untuk mengambil S2 di luar negeri.

Saya sendiri melihat ada dua masalah di sana, pertama kurangnya sarjana Gayo yang menguasai bahasa Inggris dan kedua kita tidak memiliki sebuah badan atau organisasi yang bisa dijadikan tempat bertanya atau berkomunikasi jika ada sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan Gayo. Pemda jelas tidak bisa diandalkan. Saya melihat ketiadaan organisasi semacam ini pula yang menjadi kesulitan teman kita Dawan Gayo untuk mencari kandidat penerima beasiswa asal Gayo saat ada tawaran baik seperti yang dia dapatkan itu. Teman kita ini hanya memiliki akses kepada orang-orang yang dia kenal secara pribadi, tidak lebih dari itu.

Selama ini ketika berhadapan dengan Aceh, kita orang Gayo sering tidak tahu apa yang akan kita tuntut, apa yang sebenarnya kita harapkan karena kita sendiri memang kurang sekali mengenali diri dan permasalahan kita sendiri.

Karena itulah saya dan teman-teman yang lain terpikir untuk membentuk forum kita ini. Idealisme awalnya adalah kami berharap Forum ini nantinya bisa kita jadikan sebagai wadah untuk mengumpulkan segala informasi tentang Gayo dan bisa kita jadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan suku-suku lain di Aceh terutama dengan Suku Aceh sendiri yang banyak berpengaruh dalam membuat kebijakan di provinsi ini.

Begitulah kira-kira formula yang sempat terpikirkan oleh saya, tapi saya percaya ada banyak pemikiran lain dari serinen-serinen yang lain yang juga sama seperti saya sangat mencintai Tanoh Gayo warisan muyang datunte. Karena itu marilah kita bakukan forum ini dan kita jadikan forum ini sebagai tempat kita mensintesa seluruh pemikiran baik kita tentang Gayo.

Wassalam

Win Wan Nur

Tidak ada komentar: