Senin, 08 Desember 2008

Jawaban atas Tanggapan Cossablu Soal Interpeace

Makin lama saya membaca tulisan-tulisan serinen saya Kosasih, semakin
banyak saya menemukan kesamaan antara kami. Saya dapat merasakan
kecintaan serinen saya Kosasih yang bahkan tidak lahir dan tidak
pernah menetap di Gayo ini terhadap Gayo. Meskipun secara ide besar,
seperti Edhie Kelana, saya juga tetap tidak setuju dengan serinen
Kosasih bahwa ALA bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi
oleh orang Gayo.

Besarnya rasa cinta serinen Kosasih terhadap Gayo ini misalnya dapat
dilihat dalam tulisan serinen Kosasih yang mengomentari tulisan saya
tentang Isu ALA di Konferensi Interpeace. Ada banyak alasan logis yang
dikemukakan serinen Kosasih mengenai pentingnya pembentukan ALA dan
terus terang saya setuju dengan garis besar argumen serinen saya
Kosasih secara garis besar, tapi bukan pada detail. Saya tidak setuju
dengan detailnya karena seperti biasa data-data dan argumen yang
dikemukakan oleh serinen Kosasih seringkali 'ngelantur' dan 'prematur'
serta tidak berbasis fakta. Data-data dan argumen Yang diajukan
serinen Kosasih saya sebut PREMATUR karena terlalu banyak faktor
penting yang tidak diperhitungkan oleh serinen Kosasih ketika
memaparkan impiannya.

Supaya serinen Kosasih tidak berprasangka kepada saya, perlu saya
jelaskan kalau saya tidaklah sepenuhnya menolak ide pemisahan
Provinsi. Saya sepenuhnya mengerti kalau pembentukan sebuah
administrasi pemerintahan berdasarkan kelompok etnis adalah
kecenderungan dari setiap etnis manapun di dunia. Suatu etnis yang
bisa mencapai tingkat peradaban (SDM) yang setara dengan etnis yang
lebih besar yang menguasai wilayahnya memang cenderung untuk
memisahkan diri. Contohnya bisa kita lihat dari seluruh negara di
Eropa, selain Swiss, Belgia dan Luksemburg bisa dikatakan seluruh
negara eropa adalah 'etnostate'.

Sebagai orang Gayo, seperti yang saya ulas dalam tulisan saya tentang
Konferensi Interpeace. Sayapun mengakui adanya rasa tertekan sebagai
minoritas. Ada tekanan, ada represi dan ada arogansi suku Aceh yang
ditujukan terhadap kita suku Gayo dan suku-suku minoritas lainnya. Dan
terus terang pula seandainya ide tentang ALA seperti yang serinen
dukung itu diajukan dengan konsep yang rasional dan matang. Saya
sendiri akan berdiri bersama serinen di barisan terdepan untuk
memperjuangkan terbentuknya provinsi impian ini. Sementara jika
dikaitkan dengan ide pemisahan Provinsi, saya sendiri sama sekali
tidak punya satu konsep matang apapun untuk saat ini.

Saat saya berada di Takengan beberapa waktu yang lalu saya sempat
wawancarai Tengku Ali Jadun di rumah beliau di pasar pagi. Soal ide
ALA saya sepenuhnya sependapat dengan beliau. Kalaupun harus pisah
Tengku Ali Jadun dan juga saya menginginkan pisahnya Gayo dengan Aceh
itu adalah pisah yang seperti istilah yang diungkapkan oleh Tengku Ali
Jadun, pisahnya adalah pisah 'JAWE' bukan pisah 'CERE'.

Ada perbedaan besar dalam dua cara berpisah ini, serinen.

JAWE adalah pisah dengan alasan rasional, JAWE adalah pisah yang
merupakan keharusan untuk mencapai kemandirian. Kalau pisah dengan
cara JAWE maka apa yang Serinen Kosasih sampaikan seperti "SDM Gayo
akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar,
memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah
SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan
dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo" . Akan bisa kita capai.

Sebaliknya dengan CERE, ini adalah cara berpisah yang EMOSIONAL,
perpisahan model ini hampir selalu meninggalkan rasa sakit dan
permusuhan. Pisah dengan cara seperti ini disamping menghabiskan
energi di masa pembentukan, sampai kapanpun kita bakal terus dihantui
permasalahan kebencian dan permusuhan. Alih-alih membangun SDM Gayo
yang maju, pisah dengan cara ini akan membuat kita orang Gayo akan
terus ribut sesama kita sendiri di dalam dan dimusuhi oleh etnis Aceh
di luar.

Akan ada banyak permasalahan sosial rumit yang akan terjadi kalau
serinen berkeras tetap membentuk ALA secara emosional.

Diantaranya coba saya uraikan :

Benar kalau ALA terbentuk orang Gayo bisa melepaskan ketergantungan
dari Aceh dengan lebih berafiliasi ke Medan. Tapi bagaimana nasib
lebih dari 6000 Orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh?, apakah mereka
akan serinen biarkan sebagai tumbal untuk dijadikan sasaran kemarahan
dan bulan-bulanan orang Aceh atas pilihan PISAH serinen yang emosional
itu?. Apakah untuk itu supaya tidak dijadikan tumbal solusinya mereka
harus serinen pindahkan secara massal ke Medan atau sekalian ke
Takengen dan Redelong?.

Kemudian pertanyaannya lagi apakah dengan dipindahkan itu mereka itu
semuanya akan merasa nyaman dengan suasana Medan yang rasis dan
barbar?. Pertanyaan ini perlu saya ajukan karena selama saya berada di
Banda Aceh ini saya menemui banyak sekali orang Gayo yang sudah merasa
nyaman berbaur dengan Orang Aceh dan merasa nyaman berada dalam relasi
sosial yang setara secara individu.

Seiring dengan mencuatnya isu ALA yang dipropagandakan dengan
nada-nada penuh kebencian seperti yang serinen lakukan ini. Banyak
diantara 6000-an orang Gayo ini yang merasa sangat terganggu relasi
sosialnya dengan rekan-rekan etnis Aceh yang merupakan teman bergaul
mereka sehari-hari.

Permasalahan seperti ini yang saya lihat sama sekali tidak ada
sedikitpun dalam benak serinen lalu dijadikan bahan pertimbangan oleh
serinen dan pendukung ALA lainnya yang mengaku sebagai intelektual
Gayo dalam mengambil sebuah tindakan.

Kalau saya, saya bisa memaklumi alasannya kenapa hal seperti ini tidak
pernah terlintas dalam benak serinen, itu karena serinen dan
rekan-rekan pendukung ALA yang mengaku intelek lainnya hampir semuanya
berbasis pendidikan tinggi di luar Aceh. Jadi serinen dan pendukung
ALA lainnya sama sekali tidak bisa merasakan permasalahan orang Gayo
yang sehari-harinya tinggal dan bergaul dalam komunitas besar etnis Aceh.

Cuma masalahnya tidak semua orang bisa memaklumi dan mengerti latar
belakang orang seperti serinen dan para pendukung ALA lainnya.
Sekarang ada indikasi orang Aceh menganggap stereotip Orang Gayo
adalah yang seperti serinen itu. Dan saya lihat dari
postingan-postingan serinen selama ini. Stereotip bahwa seluruh Orang
Gayo adalah orang yang berpandangan seperti KOSASIH inilah yang ingin
serinen bangun. Belakangan ini pula saya melihat ada kesan dan opini
yang ingin diciptakankan bahwa Orang Gayo hanya bisa disebut intelek
kalau dia mendukung ALA a.k.a menempuh pendidikan tinggi di luar Aceh.

Padahal faktanya ada banyak orang Gayo yang juga memiliki latar
belakang pendidikan tinggi. Bukan cuma serinen dan orang-orang Gayo
yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di luar Aceh. Ada
ribuan orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di
Aceh. Dan bisa saya pastikan tingkat intelektual mereka tidak lebih
rendah dibandingkan tingkat intelektual serinen dan pendukung ALA
lainnya yang mendapatkan pendidikan tinggi di luar Aceh. Dan
merekapun tidak sama seperti Stereotip Orang Gayo yang sedang serinen
bangun. Dan satu lagi seperti saya mereka juga merasakan permasalahan
yang sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan serinen itu.

Pertanyaan lain, jika ALA serinen bentuk secara emosional begini,
salah satunya karena seperti serinen Kosasih yang sangat membenci GAM.
Lalu kalau bagaimana dengan nasib orang Gayo yang secara kultural
adalah pendukung setia GAM. FAKTA, ada beberapa kampung di Gayo yang
selama konflik dimasukkan ke dalam daftar hitam. Bahkan sebelum ALA
terbentukpun ketika Bener Meriah dikomandani seorang Bupati yang
merupakan Ikon perjuangan ALA. Orang-orang Gayo di kampung ini sudah
merasa sangat tertekan dan merasa dianak tirikan. Lalu, kalau provinsi
ALA yang sangat anti GAM nantinya terbentuk bagaimana nasib
orang-orang yang tinggal di kampung ini?. Apakah kalau ALA yang
sangat anti GAM ini terbentuk orang seperti serinen Kosasih yang lahir
dan besar di Jawa akan mengusir mereka dari Tanoh Gayo, dari kampung
halaman mereka tempat mereka dan seluruh nenek moyang mereka tinggal
turun temurun?.

Atau apakah oleh serinen Kosasih yang lahir dan besar di Jawa serta
tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini. Mereka yang hidup dan mencari
nafkah di Gayo ini akan kembali diperlakukan seperti di masa konflik
dulu? dijemput satu persatu dari rumah dan dihari berikutnya disuruh
diambil oleh sanak keluarga mereka dalam kondisi tubuh babak belur,
kadang tercabik-cabik dan sudah menjadi mayat?.

Lalu bagaimana pula kalau mereka resisten, tidak bersedia dengan
ikhlas dijemput paksa begitu saja tanpa perlawanan dan kemudian
meminta bantuan ke Aceh, mempersenjatai diri dan kemudian menyerang
balik Orang Gayo pendukung ALA atau orang Jawa?. Detail-detail
berdasarkan fakta nyata seperti ini tidak pernah sama sekali saya
lihat dipikirkan oleh semua 'pejuang' ALA yang mengaku intelek.

Kalau ALA dibentuk dengan cara penuh kebencian seperti yang serinen
promosikan sekarang ini, yang saya khawatirkan serinen. Bukannya
impian serinen tentang Gayo yang sejahtera, Gayo yang makmur dan
impian muluk lainnya yang kita dapatkan. Tapi justru PERANG BODOH yang
tidak berkesudahan.

Karena itulah serinen, saya dalam kapasitas saya sebagai ketua Forum
Pemuda Peduli Gayo, yang dari nama forumnya saja ada kata PEDULI.
Yang artinya forum ini kami bentuk karena kepedulian kami terhadap
Gayo. Apa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang membawa
kemaslahatan bagi orang Gayo. Bukan yang membawa kemudharatan.

Jadi kembali sebagai kesimpulan akhir tulisan saya yang panjang dan
bisa jadi membosankan bagi sebagian orang ini. Sebagai orang yang
PEDULI Gayo, saya bukanlah sepenuhnya dalam posisi menolak pembentukan
Provinsi baru yang akan bisa mengakomodir kepentingan seluruh orang Gayo.

Jika serinenku yang lahir dan besar di Jawa serta tidak pernah menetap
di Tanoh Gayo ini melihat sampai sejauh ini saya tidak sepakat dengan
ide pembentukan ALA. Perlu serinenku yang lahir dan besar di Jawa
serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ketahui, itu adalah karena
SAYA YANG LAHIR, BESAR, TUMBUH, MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI APA
YANG TERJADI DI TANOH GAYO melihat ada banyak resiko yang tidak perlu
yang akan terjadi kalau Provinsi yang serinen cita-citakan ini
dibentuk SEKARANG.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

NB : Sedikit koreksi buat serinen Kosasih, Kosovo bukan bagian dari
Rusia tapi Sebia, secara geografis itu sangat jauh serinen. Poso itu
di Sulawesi bukan di Philipina. Yang di Philiphina itu MORO, bukan di
Thailand. Betul di Thailand juga ada konflik di provinsi-provinsi
selatan yang berbasis Melayu, seperti Pattani, Narathiwat dan Yala.

Tapi konflik di Thailand itu tidak sepenuhnya berbasis agama melainkan
wilayah. Tiga Provinsi di selatan Thailand yang saya sebutkan di atas
secara kultural dan sejarah merupakan bagian dari Malaysia. Putra
Mahkota kerajaan Pattani bernama Tengku Ismail Denudom yang sekarang
tinggal di pengasingan dalam suatu bincang-bincang saat makan siang
pernah mengatakan kepada saya kalau di Pattani, selain melayu muslim
juga ada sekelompok suku Melayu Tua yang bukan muslim yang juga ikut
bergabung dengan Melayu muslim Pattani menuntut pemisahan dari
Thailand. Jadi bukan hanya Melayu yang islam yang ingin memisahkan diri.

Di Thailand, juga ada sebuah provinsi di Selatan bernama Songkla yang
juga bekas kerajaan melayu dan sampai sekarang tatap dihuni oleh
mayoritas Melayu-muslim yang tidak ikut dalam tuntutan memisahkan diri
ini. Itu terjadi karena memang secara kultural dan sejarah mereka
bukan bagian dari Malaysia. Padahal jumlah penduduk melayu-muslim di
provinsi ini lebih besar dibandingkan Narathiwat dan Yala.

Kalau dikaitkan dengan konflik antara muslim dan penduduk non-muslim,
benar Aceh tidak bisa disamakan dengan Kashmir, Chechnya, Moro. Tapi
kalau isunya negara mayoritas Islam dan penduduk islam, Aceh juga
tidak bisa serinen samakan dengan pemberontakan Tamil di Sri Lanka.
Karena ada dua masalah di sana, pertama Tamil yang ingin memisahkan
diri dari Sri Lanka bukan Islam, Kedua pemberontakan Macan Tamil
itupun seperti Chechnya, Isu utamanya perbedaan agama dan budaya
antara Tamil yang Hindu dengan Sri lanka yang Buddha.

Kalau konteksnya pemberontakan wilayah islam terhadap negara yang
berpenduduk mayoritas Islam juga, Aceh bisa serinen kaitkan dengan Ide
pemisahan diri Kurdi dari Irak dan Turki atau pemberontakan
kelompok-kelompok mujahiddin di Afghanistan. Serta
pemberontakan-pemberontakan lain di Kazakhtan, Uzbekistan dan
negara-negara Asia Tengah lainnya.

Tidak ada komentar: