Kamis, 06 November 2008

Skenario Lain Seandainya ALA Terbentuk

Belakangan ini sejak saya tidak terlalu aktif di milis, saya melihat kemunculan dua orang miliser yang cukup memberi warna di milis ini, kedua miliser itu bernama Kosasih Bakar dan Lembide Gayo yang keduanya menyuarakan keresahan orang Gayo yang merasa terpinggirkan di Aceh, beberapa argumen mereka cukup berbobot.

Dalam beberapa hal, saya sependapat dengan kedua orang serinen saya ini (kalau benar keduanya adalah orang gayo). Saya sepakat dengan apa yang mereka katakan tentang adanya diskriminasi dalam relasi sosial kesukuan terutama antara Gayo dan Aceh. Saya sepakat dalam hal ini karena saya sendiri pernah tinggal di Banda Aceh selama 13 tahun. Selama masa itu terutama di masa-masa awal keberadaan saya di Banda Aceh. Status saya sebagai suku Gayo seringkali menjadi bahan olok-olok. Pernah juga hubungan saya dengan pacar saya tidak direstui orang tuanya hanya karena saya orang Gayo. Tapi belakangan ketika saya mulai lebih akrab dengan orang Aceh dan sayapun mulai fasih berbahasa Aceh, saya merasakan hubungan itu perlahan-lahan mulai mencair. Mereka sudah tidak pernah lagi melecehkan saya, meskipun dari nama saya yang cuma satu-satunya di dunia ini, teman-teman Aceh saya tetap tahu kalau saya adalah orang Gayo.

Hal kedua yang saya sepakati adalah pernyataan Lembide Gayo tentang adanya rasa ketidak setujuan orang Gayo atas perang yang terjadi di Aceh. Perasaan itu lahir karena orang Gayo beberapa kali merasa dikhianati, misalnya saat Darul Islam dulu, pasukan Gayo yang tengah berjuang mempertaruhkan nyawa dan menunggu bantuan dari pesisir malah mendapati Tgk Daud Beureueh telah menerima tawaran damai. Begitu juga dengan kasus Teungku Ilyas Leubee, meskipun saya yakin Almarhum dan keluarganya tidak berpikiran seperti yang dikatakan Lembide Gayo itu. Tapi harus diakui kalau anggapan atau Ide bahwa Tengku Ilyas Leubee dijadikan tumbal dalam perjuangan banyak berkembang di Tanoh Gayo. Dalam hal ini saya sepakat dengan Lembide Gayo bukan berarti saya menyetujui pandangannya itu. Tapi saya setuju dengan Lembide kalau pandangan seperti itu memang ada dan berkembang di dalam omongan sehari-hari di antara masyarakat di Tanoh Gayo, pandangan yang menimbulkan kekecewaan terhadap Suku Aceh yang selama ini kami anggap sebagai saudara.

Yang tidak saya setujui dari kedua serinen saya ini adalah solusi yang mereka tawarkan untuk memecahkan persoalan itu yaitu MENDIRIKAN PROVINSI BARU.

Saya punya banyak alasan untuk tidak menyetujui SOLUSI seperti itu, alasan utamanya adalah karena solusi seperti itu merupakan solusi dengan type menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Solusi model seperti ini jika kita lihat di sepanjang sejarah peradaban manusia tidak pernah ada sejarahnya bisa menyelesaikan masalah, melainkan menjadikan masalah yang tidak terlalu rumit menjadi sangat rumit.

Bentuk kongkrit dari SOLUSI ini, kedua serinen saya ini menawarkan ALA sebagai alternatif, tapi apakah benar ALA ini akan menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang?...mari kita uji.

Apakah benar ALA bisa menyelesaikan diskriminasi yang bernuansa etnis?...sejujurnya saya sama sekali tidak yakin. Alasannya sebagai berikut :

ALA tidak akan mampu menyelesaikan diskriminasi bernuansa etnis, karena diskriminasi bernuansa etnis dan kelompok seperti ini bukanlah melulu terjadi antara Gayo dan Aceh tapi merupakan fenomena Global. Di bagian manapun di belahan bumi ini yang memiliki komunitas dengan cara pandang atau cara hidup apalagi etnis yang berbeda, diskriminasi semacam ini selalu ada.

Di Medan, orang Medan selalu melecehkan orang Aceh, saya yakin banyak dari kita yang hapal olok-olok khas Medan yang menjadikan orang Aceh sebagai objek.
Di Jakarta, orang Jawalah yang menjadi bahan olok-olok.
Di Surabaya, orang Madura yang menjadi bahan olok-olok.
Di Bali orang Banyuwangi yang menjadi bahan olok-olok
Di Banyuwangi sendiri orang Jember yang dijadikan bahan olok-olok.
Di luar negeri juga begitu, misalnya di Thailand..di Bangkok, orang dari utara (Chiang Mai dan Chiang Rai) selalu dipandang rendah.
Di negara maju semacam Amerika dan Eropapun diskriminasi semacam ini tetap terjadi, di Amerika orang melecehkan dan menganggap rendah orang hispanik dan negro. Di Perancis, orang Paris menjadikan orang Marseille dengan logat selatannya sebagai bahan tertawaan.

Bahkan di Tanoh Gayo sendiri, di Takengen, dulu ketika saya masih kecil oleh orang Gayo asli Takengen sebagai orang Gayo asal Isak saya sering diolok-olok sebagai 'urang Isak pekak-pekak'. Apakah kalau itu juga nanti tetap terjadi saat ALA berdiri saya harus minta Linge memisahkan diri dari ALA dengan Isak sebagai ibukota baru provinsi Linge?

Kalau ALA jadi dibentuk, atas dasar apa kita bisa memastikan kalau nantinya juga tidak terjadi diskriminasi antara Aceh dan Gayo dengan Gayo sebagai pihak aktif?...apakah nantinya kalau ALA berdiri orang Aceh yang sudah terlanjur tinggal di wilayah ALA harus diusir semua?

Jadi menurut saya, solusi untuk masalah ini hanya satu...kita perbanyak dialog antara Gayo, Aceh dan suku-suku lainnya sehingga antara kita terjalin hubungan yang lebih erat, perbedaan dan kesalah pahaman antara kita bisa terjembatani. Mengenai caranya bisa kita bicarakan asalkan ada niat ke arah itu.

Yang kedua, soal perasaan orang Gayo yang merasa dikhianati...ini lebih sulit, meskipun fakta tentang adanya pengkhianatan ini sulit dibuktikan secara empiris. Tapi fakta bahwa perasaan itu ada dalam diri sebagian orang gayo tidak dapat dibantah. Untuk ini Irwandy, Nazar dan orang-orang yang berada di pucuk tertinggi pemerintahan harus memperkuat komunikasi dengan orang Gayo dan meyakinkan orang Gayo kalau anggapan mereka itu tidak benar adanya.

Lalu ada lagi keluhan dari Kosasih tentang perdamaian yang sekarang ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Ini adalah keluhan khas di akar rumput. Meskipun mungkin jika secara umum kita melihat perdamaian ini dan besarnya dana yang menyertainya telah membuat Aceh lebih baik dari sebelumnya. Tapi jika kaca mata yang dipakai adalah kacamata orang yang tidak menikmati secara langsung dana yang menyertai perdamaian itu maka apa yang terlihat akan sangat berbeda. Dari kacamata orang yang tidak menikmati dana-dana tersebut secara langsung yang terlihat adalah seperti apa yang dikatakan Kosasih Bakar. Hanya petinggi-petinggi GAM yang mendapatkan manfaat dari perdamaian.

Untuk inipun solusinya jelas bukan mendirikan provinsi baru, karena kalau provinsi baru juga berdiri nantinya. Tidak ada jaminan hal seperti ini tidak terulang. Buktinya belum jadi provinsi saja, praktek seperti ini sudah terjadi. Contohnya di Takengen, saat Orang Isak jadi Bupati ya orang Isak yang banyak mendapat bagian proyek, saat hari ini orang Bebesen yang jadi Bupati ya orang Bebesen yang dapat bagian proyek, orang Isak gigit jari.

Solusi untuk masalah ini kuncinya ada di para petinggi pemerintahan, bagaimana mereka bisa mendistribusikan kemakmuran itu secara lebih merata. Lalu perlu ada tekanan kuat dari bawah agar di Aceh dibentuk badan super semacam KPK yang bersifat lebih lokal. Sebab harus kita akui, selama ini pengawasan terhadap lalu lintas dana-dana bantuan ini lemah sekali.

Dalam banyak argumen pro ALA, saya sering melihat mereka menggunakan momen rombongan Kepala Desa berblangkon ke Jakarta atau kerumunan Massa yang menuntut berdirinya ALA sebagai cerminan keinginan seluruh rakyat Gayo untuk mendirikan provinsi baru.

Saya sangat tidak sepakat dengan pandangan ini, alasannya; selama ini dalam propaganda pembentukan provinsi ALA, masyarakat hanya disodori satu skenario, masyarakat hanya diberitahukan satu kemungkinan yaitu seandainya ALA berdiri masyarakat akan makmur dan aman. titik. Tidak ada kemungkinan apapun lagi!...Tapi apakah benar hanya ada satu kemungkinan skenario seperti itu kalau ALA jadi dibentuk?...tentu saja tidak.

Ada skenario lain, misalnya kalau ALA berdiri ada kemungkinan konflik kembali pecah, ada kemungkinan pasukan dalam jumlah besar akan didatangkan kembali ke Tanoh Gayo, dalam konflik seperti itu besar kemungkinan penculikan dan pembakaran marak kembali.

Jadi kalau kita ingin tahu keinginan masyarakat Gayo yang sebenarnya menyangkut ALA ini, seharusnya kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam skenario kedua ini juga diinformasikan secara seimbang, agar masyarakat bisa menimbang sendiri kemungkian-kemungkinan itu. Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?.

Untuk mendapatkan pendapat yang sebenarnya dari masyarakat Gayo, kemungkinan-kemungkinan di atas perlu kita sosialisasikan karena secara peluang, jika ALA berdiri DALAM SITUASI PERDAMAIAN YANG MASIH SANGAT RAPUH seperti sekarang ini. Dibandingkan dengan skenario pertama yang selama ini selalu diteriakkan oleh para Propagandis ALA, justru skenario kedua seperti yang saya sebutkan di atas jauh lebih besar kemungkinannya untuk terjadi.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Tidak ada komentar: