Senin, 17 November 2008

Dialog Tentang Aceh di Launching Buku Accord

Tanggal 17 november kemarin saya menghadiri acara peluncuran Buku Accord: Re-konfigurasi Politik: Proses Damai Aceh di Sekretariat APRC (Aceh Peace Resource Centre).

Dua orang teman lama saya, Aguswandi dan Faisal Hadi bersama dengan Judith Large yang seperti Agus dan Faisal juga merupakan salah seorang kontributor dalam buku yang diluncurkan ini.

Ketiga pembicara ini membahas segala permasalahan di Aceh sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Aguswandi membahas sisi politik, Judith Large membahas sisi ekonomi dan Faisal Hadi tentu saja dari sisi penanganan masalah HAM.

Melihat reputasi penyelenggara dan kapasitas pembicara dan peserta yang hadir, sejujurnya saya berharap dalam acara ini saya banyak menemukan informasi-informasi dan solusi-solusi cerdas yang bisa ditawarkan untuk menangani permasalahan-permasalahan di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki.

Tapi, entah mungkin karena alasan keterbatasan waktu atau memang dalam kacamata mereka bertiga permasalahan yang dihadapi Aceh hanya sebegitu. Saya melihat yang dibicarakan oleh ketiga pembicara di depan tidak lebih hanyalah gagasan-gagasan teoritis yang bersifat wacana yang biasa saya dengar sehari-hari di warung kopi.

Ketiga pembicara yang tulisannya dimuat didalam buku yang penerbitannya disponsori oleh Conciliation Resources yang berpusat di London ini sama sekali tidak membicarakan inti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki ini lalu menawarkan solusinya.

Judith Large yang berbicara masalah ekonomi misalnya, ketika berbicara tentang permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh Aceh pasca penandatanganan MoU, Judith masih terpaku pada isu-isu klise model isu KKN yang menurut saya sudah basi untuk sekedar dibicarakan dalam forum semacam ini. Isu ini basi karena isu semacam itu dari dulu di aceh ini hanya tetap menjadi isu tanpa pernah ada kajian permasalahan secara taktis dan langsung ke inti permasalahan dengan lokalitas keacehan. Tidak ada pertanyaan apa penyebab, kenapa dan bagaimana KKN itu bisa terjadi dan mencari solusinya dari jawaban atas pertanyaan itu.

Beberapa waktu yang lalu di acara mengenang seratus hari berpulangnya Ridwan Haji Muchtar, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang teman yang kebetulan bekerja di BRR. Si teman ini bercerita kalau banyaknya masalah dalam penyaluran dana rekonstruksi tidak bisa dilepaskan dari peraturan perundang-undangan keuangan yang tetap memakai Undang-undang konvensional. Padahal jumlah dana yang harus disalurkan sangat luar biasa besar. Undang-undang dan birokrasi konvensional tidak mampu menyalurkan jumlah dana sebesar itu.

Fenomena ini saya analogikan dengan pipa besar yang menyempit ditengah dan kembali membesar di ujung lain. Besarnya dana yang harus disalurkan saya analogikan dengan air yang dialirkan melalui ujung pipa berukuran besar itu. Undangundang keuangan dan birokrasi yang harus dilewati oleh dana-dana itu saya analogikan dengan pipa mengecil di bagian tengah, lalu saluran keluarnya kembai dibesarkan seperti ukuran pipa tempat dana itu masuk. Tentu saja meskipun ukuran pipa keluar itu sama dengan ukuran pipa masuknya tapi karena ditengah ukuran itu sudah sangat kecil. Volume dana yang keluar tidak lebih dari volume dana yang mampu melewati pipa kecil di tengahnya. Yang paling menjengkelkan dari fenomena ini adalah orang yang memperkecil pipa di bagian tengah itu menyalahkan orang Aceh atas ketidakmampuan menyalurkan dana dalam jumlah besar itu. Sehingga dana-dana itu harus kembali ditarik ke pusat.

Ketika fenomena ini saya tanyakan kepada Judith Large , dia hanya memberikan jawaban mengambang yang sama sekali tidak memberikan jawaban apapun atas permasalahan yang terjadi akibat fenomena itu. Lalu untuk menjawab pertanyaan saya, Judith kemudian dibantu oleh seorang dosen ekonomi di Unsyiah yang menurut Aguswandi adalah salah satu tim penyusun ekonomi Aceh. Tapi pak dosen ini malah memberi jawaban yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang saya ajukan.

Aguswandi juga demikian, ketika dia berbicara tentang masalah ide pemecahan propinsi Aceh yang belakangan ini menghangat. Terlihat jelas kalau Aguswandi sama sekali tidak memiliki gambaran yang utuh mengenai apa yang terjadi sesungguhnya dalam permasalahan ini. Seperti juga halnya para pengamat dan pengambil kebijakan soal ide pemecahan Propinsi ini. Aguswandi juga tidak memberikan pemahaman baru apapun selain latah mengamini cerita-cerita warung kopi yang beredar selama ini bahwa ide pembentukan provinsi baru ini didasari oleh masalah ketidak merataan proses pembangunan.

Padahal kalau kita amati yang terjadi sebenarnya dalam permasalahan ide pemisahan provinsi ini adalah adanya perasaan ketersinggungan dan perasaan dianak tirikan di kalangan masyarakat Aceh suku minoritas yang timbul akibat ketidak mampuan pemerintah dan masyarakat Aceh untuk melakukan dialog dengan masyarakat yang berasal dari kultur-kultur minoritas. Sebelum penanda tanganan kesepakatan damai, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Aceh terhadap daerah yang didiami oleh penduduk dari kultur minoritas selalu hanya beradasarkan cara pandang kultur mayoritas. Sama seperti cara pemerintah pusat di Jakarta yang memperlakukan dan membat kebijakan tentang Aceh berdasarkan cara pandang penguasa Jawa terhadap kawulanya yang ternyata tidak cocok diterapkan kepada orang Aceh yang memiliki mentalitas yang sangta berbeda dibandingkan dengan orang Jawa.

Sayangnya setelah kesepakatan damai ditandatangani, cara pandang dan cara pengambilan kebijakan pemerintah terhadap daerah yang didiami oleh penduduk dari kultur minoritas tetap tidak berubah, malah bisa dikatakan memburuk.

Sejak lama, dalam masyarakat kultur minoritas di Aceh ini sebenarnya ada kecenderungan dari oleh pemerintah Aceh yang didominasi oleh suku Aceh pesisir untuk menganak tirikan suku minoritas. Perasaan ini persis seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh terhadap dominasi Jawa.

Jika dulu perilaku seperti ini sudah ada maka sekarangpun perilaku ini belum berubah kalau tidak bisa dikatakan makin parah. Saya katakan makin parah karena dulu sebelum penandatanganan kesepakatan Damai dalam berbicara dengan masyarakat dari suku minoritas Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh selalu berbiacara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh suku-suku minritas itu. Tapi sekarang, Irwandi sebagai Gubernur dan Nazar sebagai wakil gubernur, ketika berbicara dengan masyarakat Aceh tanpa memandang yang dihadapi berasal dari suku apa. Mereka hanya mau berbicara dalam bahasa Aceh.

Perilaku ini seperti ini jelas kontra produktif terhadap penyelesaian isu-isu perpecahan semacam ini. Karena sikap seperti yang ditunjukkan oleh Irwandi dan Nazar ini sama seperti menyiramkan bensin ke api. Mungkin Irwandi dan Nazar percaya diri bersikap seperti itu karena mereka berdua tahu persis kalau Pemisahan itu tidak mungkin bisa terjadi selama mereka masih menjabat dan SBY masih menjadi presiden. Tapi meskipun secara hukum dan administrasi Aceh tidak akan pernah terpisahkan, dengan model pendekatan seperti yang dilakukan Irwandi dan Nazar ini pemisahan Aceh secara kultural akan semakin cepat terjadi.

Dalam diskusi ini Aguswandi sama sekali tidak menyinggung hal-hal seperti ini dan ketika permasalahan ini saya tanyakanpun Aguswandi yang dibantu oleh Judith Large hanya memberikan jawaban mengambang yang mengesankan kalau mereka berdua sama sekali tidak memahami masalah yang sebenarnya.

Ketika berbicara masalah HAM Faisal Hadi juga setali tiga uang dengan kedua rekannya yang berbicara seperti sedang menghafal text book. Faisal berbicara tentang ide besar pembentukan landasan yang kuat untuk perdamaian Aceh. Faisal juga mengatakan tentang perlunya masuk lebih dalam ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM.

Tapi ketika saya bertanya kongkritnya seperti apa landasan yang kuat itu dan sedalam apa kita bisa masuk ke dalam pengusutan kasus-kasus HAM ini tanpa mengganggu proses perdamaian yang sudah tercapai saat ini. Faisal Hadi teman baik yang juga abang leting saya di Teknik ini tidak menjawab sama sekali.

Wassalam
Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Tidak ada komentar: