Rabu, 18 Februari 2009

Berbuat Tidak Harus Berorientasi Pada Hasil

Saat saya menulis surat terbuka untuk Irwandi, seorang teman berkomentar "Aku suka sama tulisan kee ni Win, tapi siapa yang bisa menjamin tulisan kee ni bisa sampe ke Meja Irwandi?". begitu kata teman saya ini. Intinya, sebenarnya teman saya ini ingin mengatakan 'ngapain susah-susah nulis kalau sudah tahu hasilnya tidak terlalu bisa diharapkan'.

Dulu saat saya juga mulai menulis segala macam argumen untuk menolak ide pendirian provinsi ALA, seorang teman lain juga mengatakan hal yang kurang lebih sama, "buat apa kee susah-susah menolak, sementara orang-orang yang ingin mendirikan Provinsi ALA sudah terkonsolidasi sedemikian kuatnya, sudah membangun jaringan yang sangat kuat baik di pusat maupun di Gayo sendiri. Sudah begitu mereka didukung oleh dana yang kuat pula". Pokoknya si teman ini ingin mengatakan kalau apa yang saya lakukan itu adalah sesuatu yang sia-sia.

Menurut saya sendiri, apa yang dikatakan oleh kedua teman saya ini adalah bagian dari cara pandang keduanya dalam melihat dunia. Cara pandang yang berbeda dengan cara pandang saya sendiri. Kedua teman saya ini memandang dunia dengan cara pandang mainstream yang berlaku di dunia modern saat ini yang sangat dipengaruhi oleh filsafat pragmatisme-nya Amerika. Setiap usaha yang dilakukan harus mendapatkan hasil yang setimpal.

Sementara saya sendiri sudah lama sekali meninggalkan cara pandang seperti itu. Ketika berbuat sesuatu, saya sudah tidak pernah lagi memikirkan apa hasil dari usaha yang saya lakukan itu nantinya. Dalam melakukan sesuatu, bagi saya yang penting adalah apa yang saya lakukan itu BENAR menurut kriteria saya. Dan apa yang saya anggap benar itu akan saya lakukan dengan sebaik-baiknya dan saya nikmati prosesnya. Soal hasil, terlalu banyak faktor yang mempengaruhinya, banyak dari faktor-faktor itu yang tidak bisa kita perkirakan sebelumnya. Jadi soal hasil saya terbiasa menyerahkan kepada takdir saja. Soal proses, baru itu urusan saya.

Dalam membesarkan anak misalnya. Saya sama sekali tidak peduli nanti sudah besar anak saya mau jadi apa. Yang terpenting bagi saya saat ini adalah memberikan pendidikan dan kasih sayang yang terbaik buat dia. Apakah dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik itu nantinya anak saya pasti jadi lebih baik dari anak-anak lain yang mendapatkan pendidikan dan kasih sayang tidak sebaik dia?...tidak ada yang menjamin. Sayapun tidak pernah mempedulikan itu, yang jelas tugas saya saat ini memberikan pendidikan dan kasih sayang terbaik buat dia, soal hasil nanti biar takdir yang menetukannya.

Saat menulis surat terbuka terhadap Irwandi atau ketika saya menyatakan penentangan secara terbuka terhadap ide pembentukan provinsi ALA. Saya juga didasari oleh cara pandang yang sama. Saya hanya melakukan apa yang memang seharusnya saya lakukan. Soal hasil saya tidak mempedulikan.

Soal ini, Logika yang saya anut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan logika yang digunakan kedua teman saya. Jika mereka mengatakan buat apa menulis dan capek-capek menentang kalau sudah tau akan gagal. Saya berpikir, kalau sudah berbuat saja sudah hampir pasti gagal apalagi kalau kita diam menunggu nasib dan tidak berbuat apa-apa.

Jadi ketika menulis surat terbuka pada Irwandi, saya tahu persis kalau adalah tidak mungkin surat itu bisa mengubah langsung cara pandang Irwandi yang makin lama makin kelihatan mental inlandernya yang minder terhadap orang asing berkulit putih dan berambut pirang. Yang setiap titahnya dituruti oleh Irwandi dengan takzimnya seperti titah para dewa. Irwandi jelas tidak pernah menyadari kalau para bule penasehatnya itu cuma bisa berpikir dalam batas pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional.

Bule-bule di sekitar Irwandi itu sebenarnya sama seperti para Ekonom IMF ketika mereka membuat teori ekonomi, teori yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Pengalaman yang khas ini menggantung di belakang pikiran mereka, terproyeksi keluar melalui teorinya seolah-olah situasi pengalaman itu sendiri sifatnya 'universal'. Orang Amerika misalnya, rata-rata taat hukum dan katakan saja punya sikap ABC terhadap bisnis; jadi waktu orang Amerika berpikir ekonomi, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'taat hukum' & 'sikap ABC'tadi MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Kedua sikap itu adalah sikap masyarakat Amerika sana yang sudah begitu dari dulu secara terberi.

Ketika Irwandi menggunakan kecerdasan para penasehat asingnya itu dalam soal pengelolaan hutanpun ya sama saja. Ketika para penasehat Irwandi membuat teori kehutanan, teori kehutanan yang mereka buat jelas tidak bisa dilepaskan dari pengalaman mereka sendiri yang sebetulnya khas dan sangat situasional. Dalam pikiran mereka mana terpikir orang di pinggir hutan yang hidup dari menebang satu dua batang kayu, dalam pikiran mereka tidak terbayangkan kalau satu batang pohonpun tidak boleh ditebang, akan banyak orang yang hidup di sekitar hutan yang keparan. Jadi waktu orang asing penasehat Irwandi berpikir soal hutan, tanpa sadar mereka sebetulnya telah memperhitungkan sikap 'kesadaran atas global warming', 'hutan tropis adalah paru-paru dunia' & 'sikap ABC lainnya' yang MESKIPUN tidak secara nyata menyebutnya. Sebenarnya itu adalah sikap masyarakat mereka di negerinya sana yang sudah begitu secara terberi.

Karena itulah banyak kebijakan Irwandi yang tidak membumi, dan konsep Aceh Green-nya ditertawakan orang di kanan-kiri.

Sama dengan teori-teori yang dipakai para pegiat ALA di Jakarta sana. Ketika membayangkan penyelesaian seperti apa yang cocok untuk diterapkan di Aceh. Mereka yang sejenis dengan Kosasih yang membuat teori-teori itu, tidak pernah benar-benar merasakan apa yang terjadi di Aceh. Inilah yang mendasari keluarnya teori 'PERANG BODOH' yang legendaris itu. Itu terjadi karena tanpa sadar mereka mendasarkan segala teorinya pada sikap dan kesadaran masyarakat di Jakarta dan pulau jawa sana, yang memang sudah begitu dari dulu secara terberi. Karena itu pulalah segala macam argumen dan teori mereka tidak membumi.

Masalahnya orang-orang yang berpikiran seperti inilah yang mayoritas memegang kendali di negeri ini. Orang-orang waras yang bisa menilai segala sesuatu dengan jernih, sebisa mungkin dijauhkan dari sekitar mereka, karena keberadaan orang-orang seperti ini akan merusak rencana yang mereka pikir baik dan mereka pikir sudah sama sekali tidak ada cacat celanya.

Tapi meskipun sudah begitu keadaannya, tidak ada alasan buat saya untuk berhenti menyampaikan ide dan pemikiran saya. Tidak ada alasan bagi saya untuk berhenti melawan mereka, meski saya tahu peluang saya untuk menang kecil sekali.

Bagi saya, meskipun saya gagal kali ini. Itu sama sekali bukan masalah besar. Yang penting saya tidak tinggal diam melihat proses kehancuran suku dan bangsa saya. Kalaupun kali ini saya tidak berhasil, paling tidak nanti saya bisa memperlihatkan pada anak dan cucu saya. Kalau dalam proses kehancuran yang dialami oleh suku dan bangsanya itu saya tidak tinggal diam saja. Saya sudah berusaha. Dan mudah-mudahan nanti anak cucu saya bisa terinspirasi dan melanjutkan apa yang sudah saya lakukan hari ini.

Wassalam

Win Wan Nur

Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Tidak ada komentar: