Jumat, 19 Desember 2008

Desa Waq Selama dan Pasca Konflik

Desa Waq di Pondok Sayur adalah sebuah desa yang unik. Orang Gayo yang tinggal di desa yang terletak di salah satu kabupaten di Tanoh Gayo ini, dalam skala yang lokal adalah minoritas dibandingkan suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekelilingnya. Desa yang mayoritas penduduknya suku Gayo ini seolah dikepung oleh empat desa lain yang memiliki penduduk mayoritas suku Jawa. Di Utara, Desa waq berbatasan dengan Desa Geresek. Di timur, Desa waq berbatasan dengan desa Mupakat Jadi yang dipimpin oleh kepala desa bernama Tukiran, salah satu dari puluhan kepala desa yang berdemo ke Jakarta beberapa waktu yang lalu. Saat itu nama Tukiran sempat populer karena namanya di blow berbagai media ketika atas nama kepala-kepala desa yang lain dia berbicara di gedung DPR Senayan menuntut pembentukan provinsi ALA. Di Selatan, Desa Waq berbatasan dengan Desa Panji Mulia I dan di Barat dengan desa Panji.

Semasa konflik, Desa Waq ini termasuk salah satu dari beberapa desa di Tanoh Gayo yang dikategorikan sebagai daerah 'hitam'. Desa ini disinyalir sebagai tempat tinggal beberapa tokoh GAM Linge yang berpengaruh pada masa itu. Sehingga di masa konflik, desa ini bisa dikatakan merupakan salah satu desa Gayo yang paling menderita.

Semua berawal dari sebuah peristiwa ketika dua orang suku Jawa yang berasal dari Desa Geresek ditemukan tewas di dalam hutan. Menurut seorang warga Desa waq yang saya wawancarai, kedua orang suku Jawa yang tewas itu terbunuh saat menenteng senjata api rakitan. Pembunuhan terhadap kedua orang suku Jawa itu disinyalir dilakukan oleh GAM.

Kejadian terbunuhnya dua orang suku Jawa warga Desa Geresek itu langsung mengundang perhatian. Tidak berapa lama setelah kejadian, aparat keamanan dikirim ke desa itu untuk mempelajari situasi dan kemudian memutuskan untuk mendirikan pos pengamanan di desa tetangga desa Waq tersebut. Bukan hanya desa Geresek tapi juga tiga desa yang lain. Dan dari sinilah penderitaan warga Desa Waq bermula.

Sama seperti warga Desa Waq, dalam konflik ini orang-orang suku Jawa yang tinggal di sekeliling Desa Waq juga diliputi rasa ketakutan atas keselamatan diri mereka. Tapi mereka merasa terlindungi dengan keberadaan aparat keamanan yang ditempatkan di desa mereka. Entah karena merasa terlindungi atau karena apa. Menurut warga desa Waq. Sejak kehadiran aparat di desa mereka, orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq mulai bersikap arogan terhadap suku Gayo.

Sejak keberadaan aparat keamanan di Desa mereka, orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq seringkali tanpa alasan yang jelas memukuli orang Gayo warga Desa Waq. Ada kesan kalau mereka menganggap seluruh warga Desa Waq adalah sekumpulan pemberontak yang sama sekali tidak memiliki hak untuk hidup di wilayah administrasi negara yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tahun 1945 ini. Ini bisa saya simpulkan berdasarkan penuturan warga desa Waq yang pernah menjadi korban pemukulan atau perampasan oleh warga desa tetangga mereka. Saat itu warga Desa Waq yang mereka pukuli diteriaki sebagai pemberontak, yang diikuti dengan berbagai kata caci maki lainnya sambil mengatasnamakan negara. Berdasarkan informasi dari penuturan beberapa warga Desa Waq yang saya wawancarai. Saya menangkap, ada kesan patriotisme dalam diri orang-orang suku Jawa yang tinggal disekeliling desa Waq ini ketika mereka melakukan penindasan terhadap warga Desa Waq.

Sepertinya karena adanya kesan patriotisme ini pulalah orang-orang Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq juga sering ikut dalam operasi penumpasan pemberontak yang dilakukan oleh aparat keamanan yang menjaga desa mereka. Dalam operasi itu mereka menunjukkan rumah orang-orang Gayo yang dicurigai sebagai pendukung GAM. Kadang mereka juga ikut bersama aparat memburu (Bisa diartikan secara harfiah) orang Gayo yang dijadikan target. Bahkan masih menurut warga Desa Waq, pada masa itu tidak jarang orang Jawa tetangga mereka juga ikut menyiksa sampai mati orang Gayo yang dicurigai sebagai anggota atau pendukung GAM.

Sementara itu orang-orang Gayo warga Desa Waq sendiri tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti. Ketidakmampuan Orang Gayo warga Desa Waq dalam memberi perlawanan ini membuat orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka semakin merasa berkuasa. Buah kopi di kebun warga Desa waq yang merupakan sumber penghasilan mereka dengan leluasa dipetik oleh orang-orang suku Jawa yang tinggal desa tetangga mereka itu. Mereka juga tidak segan mengambil hak milik warga Desa waq. Toko kelontong milik seorang warga suku Aceh yang berdagang di Desa Waq mereka jarah secara terbuka. Begitu merasa berkuasanya orang-orang suku Jawa ini di masa konflik sampai-sampai lapangan Sepak Bola milik warga desa Waq juga berani mereka kuasai. Malah sekarang lapangan sepak bola itu sudah mereka jual.

Pada masa itu setiap malam hari tiba, warga Desa waq selalu dilanda ketakutan mencekam. Waktu itu sehabis shalat maghrib Warga Desa Waq akan segera masuk ke rumah dan mengunci pintu rumah mereka rapat-rapat tanpa berani untuk keluar. Lalu di dalam rumah, setiap detik mereka berdo'a dan berharap-harap cemas jangan sampai ada ketukan di pintu rumah mereka. Bagi warga Desa waq, setiap kali matahari menghilang dari cakrawala dan udara berubah menjadi semakin dingin, seolah-olah malaikat maut turun dan dengan santai berjalan mengelilingi desa mereka, melewati setiap rumah satu persatu dan memilih dengan acak sesuka hati rumah mana saja yang ingin dia datangi.

Di masa konflik itu, ketukan pintu di malam hari adalah horor yang sehoror-horornya bagi warga Desa Waq. Pada masa itu, bagi mereka ketukan di malam hari berarti kematian telah menghampiri salah seorang anggota keluarga yang mereka cintai. Ketukan di malam hari berarti ada aparat yang datang bersama orang-orang suku Jawa warga desa tetangga mereka yang mencari salah satu anggota keluarga mereka yang disinyalir sebagai anggota atau simpatisan GAM. Dan kalau saat didatangi itu anggota keluarga yang dimaksud ditemukan berada di rumah. Tangisan dan raunganpun akan segera pecah di rumah tersebut. Karena ketika si anggota keluarga tersebut dibawa oleh aparat maka berarti saat itu pulalah terakhir kalinya mereka bisa menyaksikan anggota keluarga yang mereka cintai itu dalam kondisi bernyawa. Keesokan harinya ketika matahari kembali terbit dan alam kembali terang benderang, bisa dipastikan anggota keluarga yang dijemput tersebut akan ditemukan dalam kondisi babak belur dan sudah menjadi mayat.

Pada setiap keluarga di Desa Waq yang beruntung tidak mendapat ketukan di malam hari. Sedikit kelegaan muncul setiap kali pagi menjelang. Tapi rasa was-was dan ketakutan kembali datang ketika malam tiba.

Begitu mencekamnya suasana malam di Desa waq pada masa itu sehingga sampai hari inipun warga Desa Waq seringkali masih merasa cemas dan ketakutan jika pada malam hari warga desa ini mendengar suara ketukan di pintu rumah mereka.

Pada masa itu pemuda adalah komponen yang paling dicurigai sebagai anggota atau simpatisan GAM dan menjadi target utama operasi yang dilakukan oleh aparat dan suku Jawa warga desa tetangga Desa Waq. Sehingga waktu itu sangatlah berbahaya bagi seorang pemuda untuk berada di desa Waq. Akibat dari situasi seperti ini. Setelah banyak pemuda Desa Waq yang tewas menjadi korban. Semua pemuda desa Waq yang tersisa mengungsi ke luar daerah bahkan ke luar pulau Sumatra.

Keadaan ini sempat menimbulkan masalah tersendiri bagi Desa Waq. Karena sebagaimana halnya yang terjadi di desa-desa lain di Tanoh Gayo. Di Desa Waq inipun pemuda selalu memegang peranan penting dalam setiap hajatan yang diselenggarakan di desa ini. Entah itu hajatan perkawinan, kelahiran sampai orang meninggal. Karena pada masa itu di Desa Waq sudah tidak ada lagi pemuda yang tinggal. Pernah suatu waktu ketika ada warga desa Waq yang meninggal, warga desa ini kesulitan mencari penggali kubur.

Sekarang, setelah perdamaian berhasil dicapai, suasana di desa ini menjadi jauh lebih tenang dan wargapun tidak lagi dihinggapi rasa ketakutan. Pemuda-pemuda desa ini yang dulu melarikan diri telah kembali ke kampungnya dan Desa Waqpun kembali ramai.

Suasana tenang dan damai tanpa rasa was-was dan ketkutan itu dapat saya rasakan sendiri ketika proses wawancara ini berlangsung. Wawancara ini saya lakukan sekitar jam 12 malam dalam dinginnya udara pegunungan, di dapur bertiang bambu dan beratap seng yang terbuka tanpa dinding yang khusus dibuat untuk pesta pernikahan yang saya hadiri ini. Di dapur yang terletak tepat di tepi kebun kopi di bagian belakang rumah ini. Saya bersama sekitar sepuluhan pemuda Desa Waq yang semuanya (termasuk saya) menutupi tubuh dengan kain sarung, berdiang menghangatkan badan di depan tungku, mengobrol sambil minum kopi.

Pemuda-pemuda Desa Waq yang saya ajak mengobrol itu menceritakan dengan gamblang bagaimana pengalaman mereka menyelamatkan diri semasa konflik. Ada yang selamat kerena sempat menjatuhkan diri ke dalam jurang ketika sedang dikejar aparat. Ada yang sempat lari ke luar dalam mobil pick up dengan menyembunyikan diri di bawah tumpukan sayur dan macam-macam pengakuan lagi.

Mendengar pengakuan mereka dan cara mereka menyelamatkan diri saya mendapat gambaran kalau pada masa konflik yang belum terlalu lama terjadi itu tentu tidak sedikit teman-teman mereka yang tewas menjadi korban. Ketika perihal itu saya tanyakan. Seorang pemuda yang duduk paling dekat dengan tungku menyebutkan beberapa nama. "Subhan, Azhari..." katanya menyebut nama-nama temannya yang tewas sambil menggunakan jari tangannya untuk menghitung. Dia menyebutkan paling tidak ada 20 orang temannya yang tewas saat itu. Beberapa diantaranya sempat dia saksikan sendiri saat dijemput oleh aparat yang dibantu oleh warga desa tetangganya dan dia sendiri pula yang mengambil jenazah temannya itu tidak berapa lama berselang setelah diambil aparat.

Dia menceritakan saat itu seorang temannya tertangkap dsi saiang hari. Temannya itu dinaikkan ke mobil yang dipenuhi aparat dan warga desa tetangga mereka. Melihat itu karena tahu apa yang akan terjadi kalau temannya itu sempat dibawa. Dia bersama puluhan warga Desa waq yang lain yang menyaksikan kejadian itu menghalang-halangi mobil aparat yang akan membawa teman mereka ke suatu tempat itu. Tapi usaha mereka tidak berhasil. "Biarkan kami lewat, teman kalian cuma sebentar kami bawa", begitu kata si pemuda ini menirukan ucapan salah seorang aparat yang membawa teman mereka waktu itu.

Beberapa jam kemudian si aparat yang sama mendatangi mereka dan mengatakan urusannya dengan teman mereka sudah selesai dan si aparat menyuruh mereka menjemput temannya di sebuah tempat yang dia sebutkan. Merekapun bergegas ke tempat yang disebutkan oleh si aparat tadi. Ketika si pemuda yang saya wawancarai ini bersama beberapa warga Desa Waq lainnya sampai di tempat yang disebut si aparat. Mereka menemukan teman mereka yang tadi mesih segar saat dibawa dalam mobil sekarang sudah menjadi mayat dengan perut terbelah dan usus terburai.

Dari cerita-cerita yang saya dapatkan dari semua warga Desa waq yang sempat saya ajak ngobrol. Secara umum, pada masa itu orang-orang suku Jawa yang tinggal di desa-desa sekeliling Desa Waq bisa dikatakan semuanya bersikap arogan dan menunjukkan rasa permusuhan terhadap orang Gayo. Sehingga ada kesan konflik yang sebenarnya konflik vertikal ini telah berevolusi menjadi konflik antar etnis.

Tapi menurut pemuda warga Desa Waq yang saya wawancarai ini anggapan tersebut tidaklah sepenuhnya benar. Karena meskipun secara umum pada masa konflik itu sikap orang Jawa yang tinggal di desa-desa di sekeliling Desa waq terhadap orang Gayo adalah seperti yang saya gambarkan di atas. Tapi ada juga sekelompok orang suku Jawa yang juga tinggal bertetangga dengan Desa Waq yang tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap orang Gayo.

Orang-orang Jawa ini bahkan beberapa kali membantu menyembunyikan dan menyelamatkan Orang Gayo yang sedang dicari dan diburu oleh orang Jawa dari desa lain. Pemuda yang saya wawancarai ini adalah salah satu saksi hidup peristiwa seperti itu. Dia bercerita kalau waktu itu dia sedang dikejar oleh aparat bersama orang-orang suku Jawa bersenjata rakitan sampai satu saat dia terpojok. Saat dia terpojok itu, dia bertemu dengan orang Jawa yang kebunnya berbatasan dengan kebun miliknya. Melihat situasi seperti itu. Oleh tetangganya yang orang Jawa ini dia disembunyikan di salah satu kolong dapur di rumah kebun milik tetangganya itu. Ketika aparat dan orang-orang Jawa yang mengejarnya bertemu dengan orang Jawa tetangganya ini. Si Tetangga ini mengatakan kalau si pemuda Gayo ini lari ke arah sungai. Aparat dan orang-orang suku jawa bersenjata rakitan yang memburunya mengejar ke arah yang ditunjukkan oleh si orang Jawa yang menyembunyikannya dan dia pun selamat.

Menurut si pemuda yang diselamatkan oleh orang Jawa tetangganya ini. Orang Jawa yang bersikap baik pada orang Gayo ini adalah warga Desa Geresek yang langsung berbatasan dengan Desa Waq. Masih menurut si pemuda yang saya wawancarai ini. Sebenarnya desa Geresek dibagi dua. Kedua desa Geresek itu dibatasi oleh sebuah alur sungai kecil. Satu bagian berbatasan langsung dengan Desa Waq, satu bagian lagi di sisi sungai bagian lain. Orang-orang Jawa yang tinggal di bagian Desa Geresek di sisi sungai dekat Desa Waq inilah yang bersikap bersahabat itu. Sementara warga desa Geresek di sebelah lain alur sungai sebaliknya sangat membenci warga Desa Waq karena dari desa inilah kedua orang Jawa yang ditemukan meninggal seperti yang saya ceritakan di atas berasal.

Sikap bersahabat orang Jawa dan Orang Gayo ini bisa saya saksikan sendiri pula pada malam itu di saat kami sedang mengobrol di dapur ini. Di saat kami sedang asyik mengobrol. Dari dalam kebun kopi yang gelap seorang pemuda suku Jawa datang. Dia masuk ke dapur, mencari tempat duduk lalu dengan santai ikut bergabung, mengobrol dan berdiang di dekat tungku bersama kami. Pemuda yang baru datang ini saya kenali sebagai suku Jawa karena ketika berbicara dalam bahasa Gayo, saya mendengar ada tekanan yang sangat khas Jawa pada pengucapan huruf 'P' dan 'B' dalam setiap kata yang dia ucapkan.

Sekarang setelah konflik berlalu. Seperti yang saya gambarkan di atas, orang Gayo warga Desa Waq tetap menunjukkan sikap bersahabat terhadap suku Jawa tetangga mereka yang dulu pada masa konflik juga menunjukkan sikap bersahabat kepada mereka. Tapi tidak demikian halnya pada orang-orang suku Jawa yang di masa konflik dulu menindas dan menzalimi mereka.

Pada masa damai ini, para pemuda yang dulu diburu dan dijadikan sasaran kekerasan oleh orang-orang suku Jawa tetangganya ini kembali bertemu dengan orang-orang yang dulu ikut memburu dan menyiksa mereka. Perjumpaan ini seringkali tidak bisa dihindari karena beberapa desa yang dihuni suku Jawa tersebut hanya memiliki akses jalan melalui Desa Waq untuk bisa mencapai kota-kota terdekat. Jadi intensitas pertemuan mereka cukup sering terjadi.

Beberapa dari pemuda desa Waq yang saya wawancarai ini sangat mengenali orang-orang suku jawa tetangga mereka yang semasa konflik dulu ikut memukulinya, bahkan membunuh teman dan saudaranya. Dan sekarang sering melintas di desa mereka.

Ketika pertemuan semacam itu terjadi. Menurut pemuda yang saya wawancarai ini, biasanya orang Jawa yang dulu memburu mereka itu selalu menundukkan kepala berusaha menyembunyikan wajah. Tampak sekali kalau mereka merasa was-was dan ketakutan.

Sepertinya rasa was-was dan ketakutan yang dialami oleh orang-orang suku Jawa yang dulu berlaku semena-mena terhadap orang Gayo adalah karena sekarang setelah perdamaian berhasil dicapai. Mereka merasa di posisi yang lemah. Aparat keamanan non organik yang dulu ditempatkan di desa mereka. Sesuai dengan amanat MoU Helsinki sekarang sudah ditarik.Sekarang mereka merasa telah kehilangan pelindung. Sepertinya dalam diri mereka mulai muncul rasa takut kalau-kalau warga desa Waq yang dulu mereka tindas dan mereka perlakukan semena-mena akan membalas dendam. Apalagi ketika mereka melewati Desa Waq, para pemuda desa ini seringkali memandangi mereka dengan pandangan sinis dan sikap menantang. Ketakutan dan rasa was-was merekapun semakin menjadi-jadi.

Tapi untungnya sejauh ini selama masa damai tidak pernah terjadi bentrok antar kelompok etnis yang berbeda ini. Sejauh ini selama masa damai, bentrokan terbuka tidak pernah terjadi karena saya melihat warga Desa Waq yang dulu sangat menderita akibat ulah orang-orang suku Jawa tetangga mereka itu tidak berani gegabah membalas perlakuan yang mereka terima dulu. Ada kesan yang saya dapatkan kalau warga Desa Waq ini begitu trauma dengan konflik yang dulu sempat terjadi di desa mereka. Sehingga ada kekhawatiran dalam diri warga Desa Waq kalau mereka membalas dendam hal itu akan kembali dijadikan alasan untuk mengundang kehadiran aparat ke desa-desa tetangga mereka.

Begitulah gambaran yang saya dapatkan mengenai keadaan desa Waq yang posisinya sangat unik ini, dalam tulisan berikutnya saya akan menceritakan pandangan warga desa ini tentang ide pembentukan provinsi ALA. Dan di lain waktu saya akan menuliskan pula pengalaman saya mengunjungi desa lain yang letaknya tidak terlalu jauh dari Desa Waq yang berkebalikan dengan Desa waq yang merasa terancam dengan keberadaan aparat TNI, desa ini justru merasa terancam dengan keberadaan GAM.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Rabu, 10 Desember 2008

Teritit-Pondok Sayur dan Pernikahan Seorang Pejabat

Pada hari keduaku di Takengen, aku mengunjungi Bener Meriah sekalian untuk menghadiri pernikahan seorang teman lama. Mungkin karena datang dari jauh, kehadiranku cukup diapresiasi oleh temanku ini. Aku diajak ikut dalam rombongan pengantin yang membawanya dari Takengen menuju ke Desa Waq Pondok Sayur, kampung teman ini, dimana pesta pernikahannya dilaksanakan. Untuk menuju Pondok Sayur ada dua alternatif jalan, melalui Teritit atau Pante Raya. Kami memilih lewat Teritit, melalui jalan yang sudah sangat aku kenal.

Dulu aku sering melewati jalan ini untuk menuju ke Isaq Busur di dekat Simpang Tiga, keluargaku memiliki sawah di sana. Dari Teritit sampai ke Tingkem, aku perhatikan belum ada hal yang terlalu istimewa yang terjadi di Bener Meriah sejak kabupaten ini dimekarkan. Pemandangan kanan kiri jalan di sepanjang perjalanan ini tetap didominasi oleh kebun kopi diselingi persawahan yang ditanami palawija atau padi. Kami juga melewati kampung-kampung khas dataran tinggi Gayo dengan rumah-rumah berdinding papan kayu yang tidak dicat, beratap seng yang berwarna kecoklatan akibat karat.

Di halaman depan beberapa rumah yang tampak bersih terlihat hamparan biji kopi arabika yang dijemur di atas tikar kain goni dengan seorang perempuan 'berupuh panyang' yang kadang sambil menggendong bayi di punggungnya sedang menggaruk biji-biji kopi yang dijemur. Pemandangan yang persis sama seperti apa yang ada di dalam kepingan memori tentang jalan ini yang tertanam di kepalaku. Aku mengenali biji kopi yang dijemur di halaman rumah-rumah yang kami lewati itu sebagai kopi arabika dengan melihat warna hamparan biji kopi yang dijemur itu yang didominasi oleh warna putih gading yang merupakan warna kulit tanduk biji kopi arabika dan sedikit bercak hitam yang merupakan sisa kulit merah yang tidak bersih terbuang saat penggilingan gelondong.

Perubahan mencolok baru terlihat ketika kami memasuki wilayah ibukota Bener Meriah, Simpang Tiga Redelung. Ada banyak bangunan baru yang dibangun sebagai gedung pemerintahan di sana. Bangunan-bangunan megah itu dibangun di atas lahan yang luas di antara persawahan dan kebun kopi.

Memasuki Kota Simpang Tiga Redelung dengan bermobil, serasa seperti sedang berada di Kota Bandung. Guncangan-guncangan sporadis yang aku rasakan saat berada di atas mobil yang membawaku ke Pondok Sayur ini menunjukkan adanya kesamaan bentuk permukaan jalan antara jalanan di ibukota Kabupaten Bener Meriah ini dengan permukaan jalan-jalan di ibukota Provinsi Jawa Barat. Sama-sama dipenuhi lobang menganga akibat kurang dirawat.

Selain perubahan mencolok dengan adanya bangunan-bangunan baru gedung pemerintahan, bangunan-bangunan di dalam kota Simpang Tiga Redelung masih tetap sama seperti dulu. Didominasi oleh bangunan-bangunan ruko berdinding papan kayu berlantai dua. Bedanya sekarang di ruko-ruko itu terlihat aktivitas jual beli yang ramai. Berbeda dengan Simpang Tiga Redelung, ibukota Kecamatan Bukit yang dulu kuingat nyaris seperti kota mati. Sangat berbeda dengan Pondok Baru yang merupakan ibukota kecamatan Bandar yang merupakan kota kedua terbesar di dataran tinggi Gayo setelah Takengen.

Keluar dari Kota Simpang Tiga Redelung kami melintasi desa Bale yang juga cukup familiar bagiku. Dulu waktu kecil aku cukup sering berkunjung ke sini karena aku punya seorang kerabat yang tinggal di desa ini. Kami terus melewati simpang Isaq Busur, melintasi Wih ni Konyel tempat kerabatku yang tinggal di desa Bale tadi pernah punya kebun kopi. Yang paling kuingat dari kebun kopi ini adalah pohon jambu air yang dulu ketika aku masih kecil selalu kupanjat setiap musim berbuah. Pohon jambu itu tumbuh di sisi kebun yang curam dekat alur sungai kecil yang memisahkan kebun milik kerabatku ini dengan kebun sebelah. Tapi sekarang kulihat di atas tanah bekas kebun kopi milik kerabatku ini telah dibangun sebuah pabrik kopi berukuran raksasa untuk skala Pondok Sayur.

Tidak lama kemudian kamipun tiba di desa Waq, desa kelahiran temanku yang menikah ini yang jaraknya sekitar 3 kilometer dari Simpang Tiga Redelung. Sepanjang jalan menuju ke rumah temanku ini berjejer puluhan karangan bunga dengan ucapan 'selamat menempuh hidup baru' yang datang dari berbagai kalangan baik itu institusi pribadi, partai politik sampai institusi pemerintahan.

Di Aceh Tengah dan Bener Meriah, biasanya kalau dalam satu acara pernikahan ada banyak karangan bunga. Ttu menandakan kalau yang menikah itu adalah anak dari seoarng pejabat penting. Tapi banyaknya karangan bunga yang berjejer berisi ucapan selamat atas pernikahan temanku ini bukan karena temanku ini anak seorang pejabat penting. Orang tua temanku ini hanyalah seorang seorang guru SD sekaligus seorang petani kecil. Tapi temanku yang tidak sempat menamatkan kuliahnya di Universitas Gajah Putih Takengen tapi bergelar MSc (Master Semasa Conflict) ini sendirilah yang sekarang merupakan pejabat tinggi di salah satu institusi penting tingkat provinsi yang dibentuk pasca penanda tanganan MoU Helsinki.

Jika memakaii cara pandang lama dalam melihat seorang pejabat. Kondisi rumah temanku ini, akan terlihat sangat janggal untuk ukuran rumah seorang pejabat tinggi di sebuah institusi penting tingkat provinsi. Orang yang terbiasa melihat mewah dan menterengnya rumah seorang pejabat pimpro di dinas PU kabupaten yang mengelola proyek dengan nilai beberapa milyar pasti akan terkejut melihat rumah temanku yang dalam kapasitasnya sebagai pejabat tinggi di institusi tempatnya bekerja bertanggung jawab mengelola dana sedikitnya 300 Milyar rupiah per tahun. Aneh, karena setelah beberapa tahun menjabat teman ini hanya memiliki sebuah rumah berbentuk ruko, berdinding papan kayu tanpa cat, beratap seng kecoklatan karena karat. Aku taksir nilai dari seluruh bangunan rumah temanku yang sudah sangat lama dibangun oleh orang tuanya ini tidak lebih dari 20 juta rupiah. Bentuk dan kondisi rumah ini persis sama dengan rumah-rumah lain di sekitarnya dan rumah-rumah yang kulihat di pinggir jalan selama perjalanan dari Teritit sampai ke desa ini. Sama sekali tidak ada indikasi khusus yang menunjukkan bahwa rumah ini adalah rumah seorang pejabat tinggi.

Kondisi ini terasa lebih janggal lagi karena saya tahu di Banda Acehpun si teman ini tinggal di sebuah rumah bantuan untuk korban tsunami yang dia sewa seharga 7,5 juta per tahun dari si pemilik rumah. Rumah tempat tinggal temanku yang pejabat tinggi ini berbentuk rumah panggung dengan dua kamar berdinding kayu, terletak di pinggir kali yang diepanjang sisinya terlihat pemandangan bagian belakang rumah-rumah penduduk yang menjorok ke kali. Setiap siang dan sore hari aku bisa menyaksikan perempuan-perempuan yang mencuci piring atau pakaian tepat di seberang kali yang tidak terlalu lebar di sebelah rumah temanku ini. Tanah urug di halaman depan rumah berwarna hijau daun yang disewa temanku di Banda Aceh ini becek seperti kubangan saat musim hujan tiba.

Turun dari mobil, rombongan kami disambut oleh keluarga teman ini. Berdiri di antara anggota keluarga temanku ini, tampak beberapa pejabat penting dari kabupaten Bener Meriah dan pejabat tinggi tingkat kabupaten dari institusi yang dipimpin temanku ini di tingkat provinsi. Kemudian acara pesta pernikahan inipun berlangsung. Dimulai dari sambutan tari guel, prosesi melengkan dan seterusnya. Pesta berlangsung sampai larut malam dengan pementasan seni Saman Gayo dan Didong Jalu.

Lamanya prosesi pesta ini serta bervariasinya kalangan yang hadir dalam acara pesta pernikahan temanku ini segera kumanfaatkan untuk mempelajari situasi yang sebenarnya terjadi di Bener Meriah berkaitan dengan Isu pemekaran provinsi ALA (Aceh Leuser Antara). Sepanjang prosesi pernikahan ini aku mewawancarai berbagai kalangan. Mulai dari warga biasa penduduk kampung Waq ini. Orang Jawa dari desa sebelah yang melihat ramainya acara pesta datang untuk berjualan gulali. Pedagang suku Aceh yang membuka toko kelontong di seberang jalan sampai intelektual Bener Meriah pimpinan sebuah LSM yang juga hadir dalam acara ini. Tidak lupa aku juga menyempatkan diri untuk mengunjungi daerah antara Bener Kelipah dan Ramung Kengkang yang dikenal sebagai basis utama pendukung ALA untuk menanyakan sendiri dan merasakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi daerah ini sebenarnya, seperti apa pandangan dan pendapat mereka terhadap isu pemekaran yang cukup heboh belakangan ini.

Hasil wawancara serta situasi dan kondisi daerah dan masyarakat Bener Meriah berkaitan dengan isu ALA akan aku tuliskan dalam kesempatan lain.

Wassalam

Win Wan Nu

Sebuah Pandangan Atas Pertanyaan Edhie Gayo

Salam Edhie...

Sebeleme kutiro ma'af karena sepenguduken ni aku gere pernah mubaca arsip ni milis, biasae aku mune-post sara tulisen langsung renye tanpa mubaca mulo informasi sana si ara berkembang wan ni milis ni.

Berijin atas apresiasi ni kam...tapi sebetule sana si kusawahen i konferensi manea dele si merupakan informasi si ku serap ari diskusi nte i wan ni milis ni, jadi nume murni pemikiran ku pelin. Jadi ike Bravo kene kam, keta Bravo ken kam pe penduduk ni milis ni bewene, termasuk Edhie sendiri.

Memang benar sekali dari dulu kita tidak pernah cocok dengan suku Aceh, ada banyak permasalahan antara kita dengan mereka seperti yang saya uraikan dalam tulisan saya. Tapi anehnya ( ironisnya? ) ketika berhadapan dengan orang luar (setidaknya pada zaman dulu) kita tetap merasa bersatu dengan Aceh. Mengenai hal ini misalnya dapat dilihat dari tulisan Christian Snouck Hurgronje dalam bukunya 'The Gajoland and Its Inhabitants' yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Budiman. S yang diterbitkan oleh INIS (Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies) pada tahun 1996. Kalau mau membaca lebih mendalam nanti saya bisa pinjamkan bukunya.

Dalam buku yang penulisannya oleh Snouck dimaksudkan untuk membuat sebuah analisa yang sebenar-benarnya tentang hubungan antara Aceh-Gayo untuk pemerintah Belanda supaya mereka bisa menaklukkan Aceh. Pada halaman 87 buku terbitan INIS ini tertulis "Suku Gayo Tetap Merasa Bersatu Dengan Aceh". Di halaman yang sama Snouck juga menceritakan tentang seorang 'Pang' asal Redelong yang bernama Tengku Tapa yang memiliki banyak pengikut orang Aceh asal pantai timur yang bertahun-tahun membuat repot pasukan Belanda sampai beliau kemudian gugur di Pasee.

Berdasarkan informasi yang ditulis Snocuk ini saya berpikir sepertinya anan-awan kita dulu merasa, Aceh meskipun menyebalkan tapi cukup berguna juga untuk kita. Salah satunya mungkin untuk dijadikan benteng atau saringan untuk menghambat pengaruh buruk dari luar menghantam kita.

Dalam kaitan dengan Aceh yang dijadikan benteng itu bisa kita lihat dalam sebuah postingan tentang kristenisasi yang saya baca di arsip milis ini beberapa waktu yang lalu. Dalam web milik salah satu organisasi Dakwah Kristen terbesar di dunia (bethany) itu dengan jelas mereka katakan Gayo adalah target paling empuk untuk sasaran kristenisasi di Aceh. Dalam website itu pula mereka sendiri dengan jujur mengatakan angkat tangan terhadap orang Aceh yang keras kepala yang tetap memilih hidup dalam kuasa gelap dan sama sekali tidak mau menerima cahaya terang kasih Yesus. Dalam web itu dikatakan, saat menjalankan misi di Aceh, para misionaris mereka selalu ditolak bahkan diusir meskipun telah mencoba berkali-kali. Dalam website itu pula para 'mubaligh' kristen itu mengakui kalau akan jauh lebih mudah menyebarkan kasih Yesus di Gayo, seandainya Gayo dipisahkan dari Aceh yang menurut mereka bersifat barbar dan keras kepala serta sangat menyebalkan itu. Entah karena sudah diposting di milis ini atau karena memang sudah masanya expired sekarang website itu saya lihat sudah tidak aktif lagi. Tapi salinan isi websitenya masih bisa kita baca di arsip milis ini.

Kepentingan lain adalah Hutan, sekarang ini di Indonesia hanya tinggal di Papua dan Aceh saja hutannya yang relatif lebih baik. Banyak mafia kayu yang telah menghabiskan kayu di Riau dan Kalimantan yang sekarang sedang menjadikan Aceh sebagai sasaran berikutnya. Para Mafia Kayu itu juga sama seperti para 'mubaligh' kristen. Untuk memperoleh izin menebangi hutan mereka merasa jauh lebih mudah bernegosiasi dengan Gayo daripada dengan Aceh yang menurut mereka sombong, arogan dan seringkali sok tahu itu.

Hal-hal di ataslah mungkin merupakan salah satu dari beberapa bahan pemikiran Muyang Datu kita dulu untuk tetap merasa bersatu dengan Aceh yang menyebalkan itu adalah sebuah pilihan yang lebih baik. Sepertinya Muyang Datu kita dulu berpikir pilihan ini adalah pilihan yang lebih baik daripada memberontak untuk memisahkan diri. Karena sepertinya Muyang Datu kita berpikir sifat menyebalkan yang dimiliki oleh Aceh itu bisa bermanfaat juga buat kita orang Gayo yang sangat terbuka bahkan cenderung tanpa saringan menerima setiap budaya dari luar.

Masalahnya, Aceh itu bukan hanya menyebalkan bagi orang luar yang ingin menguasai daerah kita tapi mereka juga sama menyebalkannya buat kita penguni asli daerah ini. Dan inilah inti masalahnya Aceh itu menyebalkan.

Karena inti permasalahannya adalah itu, maka saya sendiri daripada melebar kemana-mana menghabiskan energi saya cenderung memilih untuk langsung menghantam inti permasalahan itu. Yaitu bagaimana mengurangi tingkat ke'menyebalkan' orang Aceh. Salah satu caranya adalah dengan memberi tahu kepada orang Aceh bahwa apa yang mereka lakukan itu menyebalkan. Beberapa dari mereka mungkin resisten tapi beberapa seperti Humam Hamid dengan jujur mengakui dan kemudian berniat untuk ikut bersama kita untuk mengurangi tingkat ke'menyebalkan' orang Aceh.

Masalah ke dalam, maksudnya ke dalam diri kita sendiri orang Gayo adalah, kita sendiri tidak benar-benar tahu apa mau kita. Kita tidak memiliki suatu forum yang bisa menampung aspirasi kita. Malah sering kita bahkan sama sekali tidak mengerti apa yang menjadi aspirasi kita. Apa yang sebenarnya kita butuhkan.

Hal ini bisa kita lihat dari skala prioritas pembangunan kita. Contohnya seperti yang pernah Edhie tulis, masalah besar yang kita punyai di Gayo adalah pendidikan. Tapi dalam prioritas pembangunan pemerintah memilih mendahulukan membangun jalan dua jalur dari Paya Tumpi, membangun Lapangan Terbang, membelah Burni Pereben atau membuat jalan ke Pantan Terong ketimbang membuat sebuah pelatihan untuk penyiapan muatan lokal di sekolah-sekolah.

Masalah lain adalah rendahnya tingkat penguasaan bahasa Inggris di kalangan sarjana Gayo. Hal ini pernah dikeluhkan kepada saya oleh Dawan Gayo, seorang teman kita yang sekarang menjabat sebagai Ketua Bapel BRA di tingkat provinsi. Satu saat teman kita ini mendapat permintaan dari Pemda Aceh untuk mencarikan sarjana-sarjana Gayo untuk mendapat Beasiswa S2 di luar negeri. Tapi sayangnya tawaran ini tidak dapat dipenuhi dengan optimal oleh teman kita ini karena kesulitan mencari sarjana Gayo yang punya kemampuan Bahasa Inggris yang memadai untuk mengambil S2 di luar negeri.

Saya sendiri melihat ada dua masalah di sana, pertama kurangnya sarjana Gayo yang menguasai bahasa Inggris dan kedua kita tidak memiliki sebuah badan atau organisasi yang bisa dijadikan tempat bertanya atau berkomunikasi jika ada sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan Gayo. Pemda jelas tidak bisa diandalkan. Saya melihat ketiadaan organisasi semacam ini pula yang menjadi kesulitan teman kita Dawan Gayo untuk mencari kandidat penerima beasiswa asal Gayo saat ada tawaran baik seperti yang dia dapatkan itu. Teman kita ini hanya memiliki akses kepada orang-orang yang dia kenal secara pribadi, tidak lebih dari itu.

Selama ini ketika berhadapan dengan Aceh, kita orang Gayo sering tidak tahu apa yang akan kita tuntut, apa yang sebenarnya kita harapkan karena kita sendiri memang kurang sekali mengenali diri dan permasalahan kita sendiri.

Karena itulah saya dan teman-teman yang lain terpikir untuk membentuk forum kita ini. Idealisme awalnya adalah kami berharap Forum ini nantinya bisa kita jadikan sebagai wadah untuk mengumpulkan segala informasi tentang Gayo dan bisa kita jadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan suku-suku lain di Aceh terutama dengan Suku Aceh sendiri yang banyak berpengaruh dalam membuat kebijakan di provinsi ini.

Begitulah kira-kira formula yang sempat terpikirkan oleh saya, tapi saya percaya ada banyak pemikiran lain dari serinen-serinen yang lain yang juga sama seperti saya sangat mencintai Tanoh Gayo warisan muyang datunte. Karena itu marilah kita bakukan forum ini dan kita jadikan forum ini sebagai tempat kita mensintesa seluruh pemikiran baik kita tentang Gayo.

Wassalam

Win Wan Nur

Pertanyaan Edhie Gayo Atas Konferensi Interpeace

Bravo bang Win Wan Nur..
Kusewahen rasa salutku ken pemikiran ni abang....

saya sangat tertarik dengan penuturan Bang Nur, ini fakta yang sudah terjadi sejak dulu, kenapa saya katakan sejak dulu, saya menggunakan ukuran ketika perihal relasi antara suku aceh dan gayo kepada kakek - kakek dan nenek-nenek yang ada di Tanoh Gayo, mengatakan bahwa dari dulu kita memang tidak pernah cocok dengan Urang Aceh, saya pikir argumentasi para pendahulu kita dulu ada benarnya juga, hal ini terlihat dari peminggirin suku Gayo dari seluruh aspek kehidupan di Aceh mulai dari Pendidikan, pemerintahan sampai kepada budaya pun mereka dengan percaya diri hadir sebagai plagiator seni dan sebagai penguasa tunggal daerah, terkesan bahwa selain suku aceh adalah pendatang (hal ini juga kami dengar langsung dari Alm. Prof Dr. Abdullah Ibrahim (sejarawan UGM) yang notabene suku Aceh), ini sama saja memutarbalikkan fakta yang mengatakan bahwa SUKU PENDALAMAN merupakan suku asli suatu daerah. saya pikir kasusnya sama dengan apa yang terjadi di lampung yang jadi korban adalah masyarakat lampung tengah, juga seperti betawi.

fakta ini kemudian dijadikan oleh orang - orang ALA untuk "menyakinkan" masyarakat gayo untuk melakukan pemisahan dengan NAD, pun pada perjalanan "perjuangan" mereka tidak begitu mendapatkan simpati dari seluruh masyarakat Gayo.

Akar masalahnya sebenarnya adalah ketidakadilan dan penindasan dari segala aspek yang dilakukan oleh suku mayoritas (aceh) terhadap 8 suku minoritas yang ada di Aceh. pertanyaannya kemudian apakah ada jaminan ketika ALA terbentuk suku minoritas bisa serta merta merubah keadaan menjadi lebih baik? sulit bagi saya untuk mengatakan YA.

Sebenarnya ketika kita sudah mengetahui akar masalahnya kita bisa melakukan sesuatu untuk mewujudkan marwah gayo di luar Aceh bahkan Internasional, tapi sejujurnya saya juga belum menemukan formula yang pas untuk bangkit dari ketertindasan suku mayoritas dalam hal ini aceh. nah untuk itu saya ingin menggali pemikiran bang win wan nur, karena abang seperti yang saya kutip dibawah ini pernyataan abang tentang penyelesaian masalahnyapun tidak bisa lepas dari bingkai ini

Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang
terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within
minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan
dari bingkai ini.

karena kami yang selama ini ada di Tanoh Gayo merasakan betapa, kerawang, saman telah mengoyak hati kami, ketika kami berada di yogyapun dalam kurun waktu 1995-2006 , yang ditonjolkan selalu saman dengan diberi embel-embel inong jadi nama tarian SAMAN INONG dari ACEH. belum lagi kebijakan yang diskriminatif, atas nama Gayo nomor dua saja, terlebih saat ini ada kerawang aceh seperti yang dikatakan oleh bang win wan nur, tambahan dari saya, ukiran kerawang aceh sering pula menghiasi gedung-gedung sebagai ornamen gedung untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa ini lho ciri khas aceh, padahal itu jelas-jelas gayo PUWE. jadi seolah-olah seperti gedung-gedung pemerintahan yang ada di sumatra barat.

berejen bang atas penjelasanne, mokot di nge kite tertindas wan segala aspek kehidupan, cume kurasa pisah rum NAD nume jeweben cerdas,, tolong bang, mungkin ara formula si lebih elegan, berejen atas penjelesanne..


regards,,

edhie gayo

Senin, 08 Desember 2008

Tanggapan Cosablu atas Konferensi Interpeace

Sebelum Bang Win Wan Nur membalas ini, perkenankan saya memberikan beberapa masukan.

Ada beberapa hal yang bisa disimpulkan dari tulisan Bang Win Wan Nur:

Pertama, Bang Win Wan Nur mengakui adanya ketidakadilan terhadap suku Gayo yang diberlakukan oleh orang Aceh Pesisir (demikian sebuatan Bang Win Wan Nur), baik dari segi pemerintahan maupun kebudayaan juga sejarah, hal yang paling membuat terlihat usaha itu adalah ketika penggantian nama Kute Reje menjadi Banda Aceh.

Kedua, kemudian permasalahan ‘minorities within minorities’ atau Bang Win Wan Nur menjelaskannya dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas mak hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal.

Kemudian tambahan dari Edi Kelana yang mencoba untuk mengangkat sukuisme dari Gayo, dengan mengatakan bahwa Gayo adalah pemilik dari Aceh.

Sebenarnya saya masih menunggu tulisan dari Bang Win Wan Nur selanjutnya, karena sudah menjadi kebiasaan dari Beliau dalam setiap penulisannya untuk menyetujui segala hal yang saat ini menjadi permasalahan, namun kemudian Beliau dengan elegan mencoba mempertahankan apa yang selama ini menjadi keyakinannya, untuk tidak setuju dengan pemekaran ALA. Dan hal ini sudah diindikasikan oleh Bang Win Wan Nur dalam akhir tulisannya yang kemudian dicoba diperjelas oleh Edhi.

Baiklah, untuk kesimpulan pertama saya sepenuhnya setuju dengan Win Wan Nur, begitu juga dengan alasan Edi Kelana, amat setuju.

Untuk kesimpulan ke dua, saya hanya bisa berucap setuju juga dengan Win Wan Nur, saya juga mengerti jika Win Wan Nur mengajak kita untuk berpikir bahwa dengan Gayo pisah, maka Jawa juga akan meminta pisah nantinya, atau sering saya katakana sebagai lingkaran setan.

Sebelum saya lanjutkan, sebelumnya saya hanya ingin menyampaikan beberapa hal yang menyebabkan banyak dari kaum intelektual Gayo tidak setuju dengan pemekaran, ini merupakan hasil catatan saya ketika mengikuti teleconference dengan muda-mudi Gayo.

Tidak Setuju Pemekaran

Alasan Pertama, Aceh adalah milik Gayo, jadi tidak ada alasan kalau kita memisahkan diri, jujur saja saya juga dulu berpendapat seperti ini, sampai-sampai ama, ine, pak cik dan pun-pun saya tentang dengan hujjah seperti ini. Saya teringat bahwa pernah mengatakan kepada Pun saya, dengan nada keras “Cik, enti anggap lemah urang Gayo ni, kite si empun tempat, hana kati kite mulepas daerah si kite kuasai. Sawah ku ujung langit pe muyang datun te gere perah ijin kin pemekaren ni.” Waktu itu sampai merinding saya mengatakannya, karena ketidaksukaan dengan isu pemekaran ini.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu saya berpikir keras, kebetulan saya tinggal di Jakarta, bekerja di salah satu Departemen Pemerintah dengan anggaran yang paling tinggi saat ini. Saya juga sering mendampingi atasan saya melakukan kunjungan ke berbagai daerah, dan kebetulan ia senang mengunjungi daerah-daerah yang tertinggal. Saya pernah mengunjungi seluruh wilayah NTT dalam 2 kali kunjungan kerja, saya sangat miris bagaimana daerah kota di NTT lebih bagus dengan kecamatan yang ada di Jawa. Saya juga ke Papua, Kalimantan, Sulawesi dan banyak lagi, sepertinya hampir setiap provinsi di Indonesia saya pernah kunjungi.

Tiba-tiba kesombongan saya itu runtuh, saya baru sadar bahwa sekarang zaman sudah berbeda, sudah tidak ada lagi Raja Gayo yang kita banggakan sebagai penguasa Sumatera, saya seperti sadar baru menginjak bumi, sekarang ini adalah menghadapi kenyataan yang ada untuk memperbaikinya. Pola pikir saya langsung berubah, tiba-tiba saya sadar bahwa dengan daerah saya Gayo pun tidak lebih baik dari daerah-daerah yang saya kunjungi, utamanya kampong halaman saya.

Lantas saya teringat bahwa pada daerah-daerah pemekaran yang saya kunjungi, ternyata ada yang sedemikian maju seperti Banten dan Gorontalo, mereka begitu menggeliat dengan pembangunannya. Begitu juga dengan Bangka Belitung. Belum lagi pada beberapa Kabupaten/Kota seperti di NTT, terlihat bahwa Kabupate/Kota pemekaran tersebut selalu berusaha untuk menggeliat mencapai apa yang mereka perjuangkan dengan adanya pemekaran tersebut. Namun demikian saya juga menyadari ada beberapa daerah yang belum bisa dengan optimal melakukan pembangunan. Saya pun lantas mempelajari kenapa mereka berpisah, ternyata salah satunya adalah karena perbedaan budaya dan kultur, bahkan diantara mereka juga berucap seperti yang Edi Kelana katakan. Seperti saya teringat orang Banten mengatakan bahwa sesungguhnya Jakarta itu dulunya ada di bawah kekuasaan Kerajaan Banten, seharusnya mejadi milik Banten. Atau ketika orang Betawi berkata dengan sombongnya saya pemilik Jakarta, namun pada umumnya mereka amat tertinggal dari segala aspek kehidupan dibanding dengan orang pendatang ke Jakarta.

Inilah yang saya takutkan bila kita tidak segera melepaskan diri dari tekanan-tekanan, kebebasan kita untuk segera bangkit dan dapat membangun orang Gayo.

Lantas saya mengambil kesimpulan bahwa pemekaran tidak harus sama dengan wilayah yang dipunyai karena perkembangan zaman, akan tetapi ada juga diakibatkan oleh ikatan-ikatan perbedaan kultur yang memang bila disatukan akan menjadi permasalahan. Kelemahan dari intelektual kita adalah mencoba mengignore ini semua, padahal ini berdampak kepada keamanan dan percepatan pembangunan yang dilakukan, atau dapat dikatakan ‘feel like home’. Allah saja tidak pernah mengatakan kita harus satu akan tetapi lebih untuk saling mengenal.

Saya juga tidak bisa salah bagi orang-orang yang tidak menganggap ini menjadi masalah, tapi seperti yang dituliskan Win Wan Nur bahwa memang kita sudah tertekan, kita merasa ada di rumah orang padahal ada dirumah sendiri, tragis bukan.

Kedua, Pimpinan Daerah, mereka beralasan bahwa pemekaran ini hanya kepentingan segelintir elit politik saja, mereka yang mau menjadi pejabat pada daerah pemekaran.

Untuk alasan yang satu ini saya hanya bisa tertawa, sekarang ini adalah zamannya PILKADA, siapapun yang mau jadi pimpinan silahkan pulang dan berlomba-lomba untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka bisa jadi pemimpin. Bahkan ada sisi baiknya disini, Gubernur dan Wagub serta pejabat-pejabatnya adalah orang Gayo, atau yang mengaku orang Gayo atau yang bisa berbahasa Gayo atau yang berbudaya Gayo. Sudah barang tentu mereka akan lebih focus untuk membangun daerahnya sendiri dengan sebaik-baiknya.

Sedangkan mengenai perebutan kekuasaan disana dari masing-masing suku, rasanya bukan masalah besar, karena kita menggunakan bahasa dan adat yang sama.

Ketiga, otonomis daerah, ada benarnya bahwa sekarang zaman otonomi daerah Pemerintah Kabupaten/Kota lebih berkuasa atau wewenang, tapi jangan lupakan juga kalau wewenang seorang Gubernur amat besar dalam menyalurkan dana Dekon serta menyampaikan kebijakan-kebijakan dari Pusat. Saya tahu betul, saat ini dalam APBN kami dimarahi oleh DPR, mereka mengatakan sudah tidak diperbolehkan lagi mengalirka dana langsung ke Kabupaten/Kota, semuanya harus ke Provinsi terlebih dahulu. Ini semua akibat anggapan dari Pusat bahwa terlalu jauh tangan Pusat untuk bisa mengawasi Kabupaten/Kota, intinya adalah mencoba untuk membangun kembali kewibawaan dari Provinsi.

Nah, bila ini terjadi alangkah baiknya kalau orang Gayo punya Provinsi sendiri, selama ini jelas kita selalu ketinggalan dari berbagai kebijakan Pusat, bahkan untuk aliran dana saja daerah ALA selalu ketinggalan, ini juga tidak terlepas dari perseteruan tradisional sejak zaman nenek muyang kita dahulu. Kita harus ingat bahwa bila nenek muyang mereka membunuh atau menipu nenek muyang kita tentu aka nada pengaruhnya kepada kita.

Yang terpenting lagi adalah kita bisa mengelola SDA di Gayo yang banyak ini, keamanan di Gayo bukan karena GAM, tapi ada pada orang Gayo sendiri. Kalau GAM berontak lagi kita akan bisa mendongakkan kepala kita, kita punya tentara sendiri. Dan lagi perputaran uang akan lebih banyak di Provinsi ALA.

Keempat, minorities within minorities, hal ini tidak akan mungkin terjadi, rasanya orang Gayo sudah cukup teruji dengan hal ini, dengan karakter terbukanya sejak zaman Kerajaan Linge sampai saat ini. Rasanya tidak ada satu suku pun yang bisa seterbuka suku Gayo, mereka bisa beradptasi dengan Batak, Padang, Jawa, Bugis, China bahkan Aceh sekalipun, walau pun dengan Aceh memang tidak bisa sepenuhnya. Terlebih lagi karakteristik antara Gayo dan Aceh itu jauh berbeda. Karakteristik orang yang berasal dari Melayu tentu berbeda dengan orang yang berasal dari Tamil.

Saya yakin tidak akan terjadi kalau pemekaran ALA lantas semua orang Aceh kemudian dibunuh, seperti halnya GAM membunuh orang Jawa dan Gayo di Aceh Tengah, ada yang unik dari orang Gayo. Keislaman mereka selalu dinomorsatukan, malu mereka selalu dinomorsatukan. Ini pula yang menyebabkan ketika Daud Beureuh ia berjuang lama di dataran tinggi Gayo, karena ia membawa kalimat Laa Ilaha Illallah, ini juga yang menyebabkan perjuangan GAM tidak di dukung oleh orang Gayo, karena perjuangan mereka tidak karena kalimat itu, hanya karena ketidakpuasan pada awalnya.

Sebagai contoh, kita lihat bagaimana orang Gayo tidak pernah demo karena harga bensin naik, waktu DOM bahakan pokok langka, mereka semua tenang-tenang saja, inilah keunikkan Gayo yang saya juga agak heran sampai sekarang. Mereka lebih mementingkan perdamaian di Gayo, inilah yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh Gayo sekarang ini, daripada berafiliasi dengan GAM mereka memilih berafiliasi dengan TNI, mereka sadar dengan sifat dari orang Gayo, bukan seorang pemberontak yang bodoh. Tapi jika diajak dengan kalimat Syahadat, baru bisa dilihat bagaimana orang Gayo marahnya.

Untuk ketakutan kita terhadap suku Jawa yang menguasai daerah Gayo rasanya terlalu berlebih-lebihan, dan ini adalah amat berbahaya apabila dipermasalahkan hingga menimbulkan konflik horizontal. Karena rasanya sekarang ini banyak sudah perkawinan silang antara suku Gayo dan Jawa. Rasanya sudah terlambat atau adalah salah jika tema ini disebarluaskan, karena tidak aka nada artinya. Mereka sudah lama terikat dalam satu penderitaan ketika DOM, setiap aksi atau provokasi yang mencoba mengadudomba mereka hanya akan membuat ketidaknyamanan di Gayo, bahkan bisa jadi kemudian mereka mengatakan ini adalah aksi GAM yang tidak mau melihat Gayo aman dan damai.

Kemudian saya juga bisa katakan bahwa suku Jawa itu bukanlah sebuah suku yang suka melakukan kekerasan atau pemberontakkan seperti halnya suku Aceh, mereka relative lebih bisa tunduk dengan kebudayaan setempat, bila kita dapat memimpin atau memeberikan tempat kepada mereka mereka sepertinya akan menjadi teman yang baik, mereka punya loyalitas atau seperti Bang Win Wan Nur katakan ‘Feodal’. Sedangkan dengan Aceh, saya yakin kita akan selalu bertarung dalam hati kita dengam mereka, karena ini terjadi sejak nenek muyang kita.

Setuju Pemekaran

Alasan pertama, bisa mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo. Keyakinan mereka dengan lahirnya pemimpin-pemimpin Gayo yang berasal dari Gayo sudah barang tentu akan lebih memikirkan orang Gayo dengan lebih maksimal. Mereka mempunyai keyakinan bahwa siapapun Gubernurnya dengan segala macam kejelekkannya bila berasal dari Tanoh Gayo sudah barang tentu akan berpikir untuk orang Gayo, kasarnya untuk urangnya pasti dipikirkannya.

Yang lebih mereka pikirkan lagi adalah timbul-timbul pejabat yang berasal dari Gayo, dan sudah barang tentu ini akan membuat percepatan-percepatan SDM yang harus dilakukan. Seorang Gubernur Gayo tentunya harus mulai berpikir seperti seorang Gubernur mau tidak mau, ia harus mempersiapkan kapasitasnya sebagai seorang Gubernur, begitu juga dengan pejabat lainnya.

Anak cucu kita akan bangga dengan ini semua, bahkan mereka kemudian bercita-cita menggantikan senior-seniornya, ada peluang besar ke situ. Setiap orang akan bangga dengan Gayonya.

Yang lebih menguntungkan lagi adalah kita bisa dengan lebih leluasa melakukan penelitian-penelitian tentang sejarah Gayo, dan mengaktualisasikannya sebagai eksistesi orang Gayo, bahkan memperkuat adat Gayo yang menjalankan syariat Islam sejak ratusan tahun lalu.

Sekali lagi untuk orang Jawa, saya akan memperlihatkan sebuah Provinsi Lampung yang notabene hampir 60% jawa, tetap Gubernur mereka orang Lampung asli, inilah salah satu keunikan orang Jawa.

Terlebih lagi suku Gayo adalah salah satu suku yang selalu berhasil perpaduan budaya dengan suku manapun, sebagai contoh di Aceh Barat dan Aceh Selatan bahasa padang tidak hilang dari kehidupan mereka, ini menandakan bahwa Aceh tidak pernah bisa memenangkan budaya mereka terhadap suku Jamnee. Lihat di Gayo, Aceh Tenggara yang merupakan perpaduan Aceh dan Padang, bahasa Padang hilang digantikan dengan bahasa Gayo.

Selain itu, sudah barang tentu pada awal-awal pemerintahan orang Gayo akan memimpin ALA selama beberapa generasi, kita dapat mempersiapkan mereka, generasi Gayo, dengan lebih baik lagi tentunya.

Terakhir, masa yang akan datang, bukan suku lagi yang dipikirkan orang tapi bagaimana semua menjadi sejahtera, Islam menjadi tujuan. SBY yang pernah ke Gayo mengatakan bahwa Gayo adalah Indonesia Mini di Indonesia, maka jadikan Gayo sebagai sebutan bagi orang-orang yang mengikuti adat Gayo dan berbahasa Gayo.

Kedua, percepatan pembangunan, ini kiranya sudah jelas, seperti yang saya jelaskan pada awal tadi, bahwa ke depan untuk otonomi daerah peran daerah tingkat I atau Provinsi akan diperkuat, yang bertujuan memperkuat nasionalisme sekaligus mempermudah untuk melakukan pengawasan terhadap Kabupaten/Kota yang ada pada regional mereka. Atau bahasa kerennya adalah memperpendek rentang kendali.

Mau tidak mau SDM Gayo akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar, memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo. Yang saya herankan adalah ketika orang mengatakan bahwa orang Jawa akan membawa kekayaan Gayo ke Jawa, ini adalah sesuatu yang amat bodoh di era otonomi daerah.

Namun, hal itu bisa terjadi apabila Gayo terjadi konflik, kita jangan terprovokasi untuk hal ini. Salah satunya adalah dengan wacana Gayo Merdeka, ini amat berbahaya. Bila kita berkaca kepada Aceh, maka ada wacana bahwa GAM tersebut merupakan sebuah scenario untuk menghabiskan SDA Arun dengan mudah. Bayangkan, sejak Arun dimenangkan USA kemudian timbul pemberontakkan GAM yang sepertinya sama sekali tidak ada upaya yang serius untuk menggagalkan kekayaan alam tersebut di bawa ke USA, jelas sekali yang mendapatkan keuntungan besar dari proyek Arun adalah Exxon. Dalam pemikiran mudah kita, seharusnya target utama GAM adalah tidak berjalannya proyek Arun, kenyataannya sudah hampir habis SDAnya. Jadi adalah wajar ketika kita mengatakan bahwa ada main mata antara GAM, oknum TNI dan USA untuk menjadikan Aceh tidak aman sehingga bisa menggerus habis Arun sekaligus menghabiskan para Tengku yang berbahaya bagi Soeharto.

Begitu juga halnya bila Gayo Merdeka menjadi sebuah perjuangan, ini akan dianggap sebagai kaki tangan GAM. Salah satu tahapan dari Gerakan Gayo Merdeka (baca Kaki Tangan GAM) adalah dengan menjadikan konflik horizontal antara Gayo dan Jawa, dengan mengangkat kesukuan atau Chauvisme Gayo. Bayangkan ketidakamanan yang akan diderita orang Gayo dan tentunya orang Aceh (baca GAM) akan tertawa dengan riang, bahkan oknum TNI akan senang melihatnya, ada proyek penggerusan baru. Ini yang harus kita jaga.

Dengan ALA, semuanya akan menjadi lebih mudah, dengan ALA nasionalisme kita akan mendapatkan penghargaan dari NKRI, kesempatan membangun kita akan lebih besar, karena daerah Gayo terkenal sebagai daerah putih, atau daerah yang mendukung NKRI. Gayo akan aman dan anak cucu kita bisa menggapai cita-citanya.

Ketiga, keamanan, dengan ALA kita akan mempunyai teritori sendiri untuk mengamankan daerah kita, kita akan punya Kodam sendiri. Daerah konflik akan lebih mudah ditangani, GAM akan lebih mudah dibrangus. Rakyat Gayo sudah punya kepercayaan diri untuk menghancurkan GAM, mereka sudah punya kekuatan yang jelas dari TNI.

Bahkan dengan terbelahnya Aceh, maka yang bisa diprediksikan tidak ada lagi konsep Aceh Merdeka oleh GAM, semuanya gugur. Tidak perlu lagi rakyat Gayo menjadi korban dari PERANG BODOH selama puluhan tahun yang membuat rakyat Gayo menderita, terancam, terintimidasi, kekurangan pangan, sandang dan papan, kehilangan kepercayaan diri. Ini semua dapat kita hilangkan dengan pemekaran ini.

Tiga hal ini saja, maka dapat dipastikan Gayo sekarang akan berbeda dengan Gayo 10 tahun yang akan datang, kita akan lihat anak-anak kita menjadi seorang Profesor, kita akan lihat tenaga kerja yang baik, perkebunan yang aman, pendidikan yang maju, perekonomian yang bergerak.

Walau demikian pada 3 tahun pertama, merupakan masa-masa sulit, kita akan diuji dengan kemampuan kita untuk menjaga keamanan, salah satunya adalah GAM yang pasti akan menggagalkan ini, karena Aceh Merdeka akan hilang dari muka bumi ini. Selanjutnya dilanjutkan dengan kemampuan untuk menarik banyak investor, kemampuan untuk mencarikan formulasi yang terbaik sesuai dengan kondisi dataran tinggi Gayo yang tidak merusak alam dan menegakkan syariah Islam.

Kesimpulan

Kepada masyarakat Gayo, utamanya generasi mudanya mari kita berpikir luas dan tidak sempit, dengan ALA kita dapat membangun dengan cepat SDM dan mengelola SDA bagi SDM kita. Kita tidak akan lagi ketakutan dengan PERANG BODOH atau agenda-agenda Aceh Merdeka. Kita bisa membuktikan bahwa ALA bukan hanya mensejahterakan orang Gayo tapi segala suku yang ada di ALA dengan sebaik-baiknya, sebuah Indonesia Mini.

Kita tidak bisa mempercayakan nasib kita kepada GAM atau orang Aceh, kebencian mereka terhadap suku Jawa adalah luar biasa, bila ini kita biarkan maka sama saja kita bunuh diri menciptakan konflik pada daerah kita sendiri yang kemudian kita akan sesali.

Pemberontakkan tidak akan pernah menang sekarang ini, jangan samakan Aceh dengan Kosovo, Kosovo punya Rusia, itupun sulitnya bukan main. Siapa yang mau membela Aceh, Gayo saja tidak bisa mereka rangkul, tentu dunia internasional akan terus mempertanyakan hal ini.

Namun, kita bisa samakan Aceh dengan Tamil di Sri Lanka, dan ini memang nenek muyangnya.

Tapi kita tidak bisa samakan Aceh dengan Khasmir di India, Poso di Fhilipinna, Chencya di Rusia, Moro di Thailand, apalagi Hamas di Palestina. Mereka memperjuangkan nasionalisme dengan menghalalkan darah sesame muslim, sehingga hanya membuat murka di sisi Allah.

Berijin.

Jawaban atas Tanggapan Cossablu Soal Interpeace

Makin lama saya membaca tulisan-tulisan serinen saya Kosasih, semakin
banyak saya menemukan kesamaan antara kami. Saya dapat merasakan
kecintaan serinen saya Kosasih yang bahkan tidak lahir dan tidak
pernah menetap di Gayo ini terhadap Gayo. Meskipun secara ide besar,
seperti Edhie Kelana, saya juga tetap tidak setuju dengan serinen
Kosasih bahwa ALA bisa menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi
oleh orang Gayo.

Besarnya rasa cinta serinen Kosasih terhadap Gayo ini misalnya dapat
dilihat dalam tulisan serinen Kosasih yang mengomentari tulisan saya
tentang Isu ALA di Konferensi Interpeace. Ada banyak alasan logis yang
dikemukakan serinen Kosasih mengenai pentingnya pembentukan ALA dan
terus terang saya setuju dengan garis besar argumen serinen saya
Kosasih secara garis besar, tapi bukan pada detail. Saya tidak setuju
dengan detailnya karena seperti biasa data-data dan argumen yang
dikemukakan oleh serinen Kosasih seringkali 'ngelantur' dan 'prematur'
serta tidak berbasis fakta. Data-data dan argumen Yang diajukan
serinen Kosasih saya sebut PREMATUR karena terlalu banyak faktor
penting yang tidak diperhitungkan oleh serinen Kosasih ketika
memaparkan impiannya.

Supaya serinen Kosasih tidak berprasangka kepada saya, perlu saya
jelaskan kalau saya tidaklah sepenuhnya menolak ide pemisahan
Provinsi. Saya sepenuhnya mengerti kalau pembentukan sebuah
administrasi pemerintahan berdasarkan kelompok etnis adalah
kecenderungan dari setiap etnis manapun di dunia. Suatu etnis yang
bisa mencapai tingkat peradaban (SDM) yang setara dengan etnis yang
lebih besar yang menguasai wilayahnya memang cenderung untuk
memisahkan diri. Contohnya bisa kita lihat dari seluruh negara di
Eropa, selain Swiss, Belgia dan Luksemburg bisa dikatakan seluruh
negara eropa adalah 'etnostate'.

Sebagai orang Gayo, seperti yang saya ulas dalam tulisan saya tentang
Konferensi Interpeace. Sayapun mengakui adanya rasa tertekan sebagai
minoritas. Ada tekanan, ada represi dan ada arogansi suku Aceh yang
ditujukan terhadap kita suku Gayo dan suku-suku minoritas lainnya. Dan
terus terang pula seandainya ide tentang ALA seperti yang serinen
dukung itu diajukan dengan konsep yang rasional dan matang. Saya
sendiri akan berdiri bersama serinen di barisan terdepan untuk
memperjuangkan terbentuknya provinsi impian ini. Sementara jika
dikaitkan dengan ide pemisahan Provinsi, saya sendiri sama sekali
tidak punya satu konsep matang apapun untuk saat ini.

Saat saya berada di Takengan beberapa waktu yang lalu saya sempat
wawancarai Tengku Ali Jadun di rumah beliau di pasar pagi. Soal ide
ALA saya sepenuhnya sependapat dengan beliau. Kalaupun harus pisah
Tengku Ali Jadun dan juga saya menginginkan pisahnya Gayo dengan Aceh
itu adalah pisah yang seperti istilah yang diungkapkan oleh Tengku Ali
Jadun, pisahnya adalah pisah 'JAWE' bukan pisah 'CERE'.

Ada perbedaan besar dalam dua cara berpisah ini, serinen.

JAWE adalah pisah dengan alasan rasional, JAWE adalah pisah yang
merupakan keharusan untuk mencapai kemandirian. Kalau pisah dengan
cara JAWE maka apa yang Serinen Kosasih sampaikan seperti "SDM Gayo
akan maju, baik dengan cara transfer knowledge dengan pihak luar,
memperkuat pendidikan, membangun budaya lokal. Yang terpenting adalah
SDA dataran tinggi Gayo bisa dikelola penuh oleh orang Gayo dan
dipergunakan untuk kemashalatan orang Gayo" . Akan bisa kita capai.

Sebaliknya dengan CERE, ini adalah cara berpisah yang EMOSIONAL,
perpisahan model ini hampir selalu meninggalkan rasa sakit dan
permusuhan. Pisah dengan cara seperti ini disamping menghabiskan
energi di masa pembentukan, sampai kapanpun kita bakal terus dihantui
permasalahan kebencian dan permusuhan. Alih-alih membangun SDM Gayo
yang maju, pisah dengan cara ini akan membuat kita orang Gayo akan
terus ribut sesama kita sendiri di dalam dan dimusuhi oleh etnis Aceh
di luar.

Akan ada banyak permasalahan sosial rumit yang akan terjadi kalau
serinen berkeras tetap membentuk ALA secara emosional.

Diantaranya coba saya uraikan :

Benar kalau ALA terbentuk orang Gayo bisa melepaskan ketergantungan
dari Aceh dengan lebih berafiliasi ke Medan. Tapi bagaimana nasib
lebih dari 6000 Orang Gayo yang tinggal di Banda Aceh?, apakah mereka
akan serinen biarkan sebagai tumbal untuk dijadikan sasaran kemarahan
dan bulan-bulanan orang Aceh atas pilihan PISAH serinen yang emosional
itu?. Apakah untuk itu supaya tidak dijadikan tumbal solusinya mereka
harus serinen pindahkan secara massal ke Medan atau sekalian ke
Takengen dan Redelong?.

Kemudian pertanyaannya lagi apakah dengan dipindahkan itu mereka itu
semuanya akan merasa nyaman dengan suasana Medan yang rasis dan
barbar?. Pertanyaan ini perlu saya ajukan karena selama saya berada di
Banda Aceh ini saya menemui banyak sekali orang Gayo yang sudah merasa
nyaman berbaur dengan Orang Aceh dan merasa nyaman berada dalam relasi
sosial yang setara secara individu.

Seiring dengan mencuatnya isu ALA yang dipropagandakan dengan
nada-nada penuh kebencian seperti yang serinen lakukan ini. Banyak
diantara 6000-an orang Gayo ini yang merasa sangat terganggu relasi
sosialnya dengan rekan-rekan etnis Aceh yang merupakan teman bergaul
mereka sehari-hari.

Permasalahan seperti ini yang saya lihat sama sekali tidak ada
sedikitpun dalam benak serinen lalu dijadikan bahan pertimbangan oleh
serinen dan pendukung ALA lainnya yang mengaku sebagai intelektual
Gayo dalam mengambil sebuah tindakan.

Kalau saya, saya bisa memaklumi alasannya kenapa hal seperti ini tidak
pernah terlintas dalam benak serinen, itu karena serinen dan
rekan-rekan pendukung ALA yang mengaku intelek lainnya hampir semuanya
berbasis pendidikan tinggi di luar Aceh. Jadi serinen dan pendukung
ALA lainnya sama sekali tidak bisa merasakan permasalahan orang Gayo
yang sehari-harinya tinggal dan bergaul dalam komunitas besar etnis Aceh.

Cuma masalahnya tidak semua orang bisa memaklumi dan mengerti latar
belakang orang seperti serinen dan para pendukung ALA lainnya.
Sekarang ada indikasi orang Aceh menganggap stereotip Orang Gayo
adalah yang seperti serinen itu. Dan saya lihat dari
postingan-postingan serinen selama ini. Stereotip bahwa seluruh Orang
Gayo adalah orang yang berpandangan seperti KOSASIH inilah yang ingin
serinen bangun. Belakangan ini pula saya melihat ada kesan dan opini
yang ingin diciptakankan bahwa Orang Gayo hanya bisa disebut intelek
kalau dia mendukung ALA a.k.a menempuh pendidikan tinggi di luar Aceh.

Padahal faktanya ada banyak orang Gayo yang juga memiliki latar
belakang pendidikan tinggi. Bukan cuma serinen dan orang-orang Gayo
yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di luar Aceh. Ada
ribuan orang Gayo yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi di
Aceh. Dan bisa saya pastikan tingkat intelektual mereka tidak lebih
rendah dibandingkan tingkat intelektual serinen dan pendukung ALA
lainnya yang mendapatkan pendidikan tinggi di luar Aceh. Dan
merekapun tidak sama seperti Stereotip Orang Gayo yang sedang serinen
bangun. Dan satu lagi seperti saya mereka juga merasakan permasalahan
yang sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan serinen itu.

Pertanyaan lain, jika ALA serinen bentuk secara emosional begini,
salah satunya karena seperti serinen Kosasih yang sangat membenci GAM.
Lalu kalau bagaimana dengan nasib orang Gayo yang secara kultural
adalah pendukung setia GAM. FAKTA, ada beberapa kampung di Gayo yang
selama konflik dimasukkan ke dalam daftar hitam. Bahkan sebelum ALA
terbentukpun ketika Bener Meriah dikomandani seorang Bupati yang
merupakan Ikon perjuangan ALA. Orang-orang Gayo di kampung ini sudah
merasa sangat tertekan dan merasa dianak tirikan. Lalu, kalau provinsi
ALA yang sangat anti GAM nantinya terbentuk bagaimana nasib
orang-orang yang tinggal di kampung ini?. Apakah kalau ALA yang
sangat anti GAM ini terbentuk orang seperti serinen Kosasih yang lahir
dan besar di Jawa akan mengusir mereka dari Tanoh Gayo, dari kampung
halaman mereka tempat mereka dan seluruh nenek moyang mereka tinggal
turun temurun?.

Atau apakah oleh serinen Kosasih yang lahir dan besar di Jawa serta
tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ini. Mereka yang hidup dan mencari
nafkah di Gayo ini akan kembali diperlakukan seperti di masa konflik
dulu? dijemput satu persatu dari rumah dan dihari berikutnya disuruh
diambil oleh sanak keluarga mereka dalam kondisi tubuh babak belur,
kadang tercabik-cabik dan sudah menjadi mayat?.

Lalu bagaimana pula kalau mereka resisten, tidak bersedia dengan
ikhlas dijemput paksa begitu saja tanpa perlawanan dan kemudian
meminta bantuan ke Aceh, mempersenjatai diri dan kemudian menyerang
balik Orang Gayo pendukung ALA atau orang Jawa?. Detail-detail
berdasarkan fakta nyata seperti ini tidak pernah sama sekali saya
lihat dipikirkan oleh semua 'pejuang' ALA yang mengaku intelek.

Kalau ALA dibentuk dengan cara penuh kebencian seperti yang serinen
promosikan sekarang ini, yang saya khawatirkan serinen. Bukannya
impian serinen tentang Gayo yang sejahtera, Gayo yang makmur dan
impian muluk lainnya yang kita dapatkan. Tapi justru PERANG BODOH yang
tidak berkesudahan.

Karena itulah serinen, saya dalam kapasitas saya sebagai ketua Forum
Pemuda Peduli Gayo, yang dari nama forumnya saja ada kata PEDULI.
Yang artinya forum ini kami bentuk karena kepedulian kami terhadap
Gayo. Apa yang kami perjuangkan adalah sesuatu yang membawa
kemaslahatan bagi orang Gayo. Bukan yang membawa kemudharatan.

Jadi kembali sebagai kesimpulan akhir tulisan saya yang panjang dan
bisa jadi membosankan bagi sebagian orang ini. Sebagai orang yang
PEDULI Gayo, saya bukanlah sepenuhnya dalam posisi menolak pembentukan
Provinsi baru yang akan bisa mengakomodir kepentingan seluruh orang Gayo.

Jika serinenku yang lahir dan besar di Jawa serta tidak pernah menetap
di Tanoh Gayo ini melihat sampai sejauh ini saya tidak sepakat dengan
ide pembentukan ALA. Perlu serinenku yang lahir dan besar di Jawa
serta tidak pernah menetap di Tanoh Gayo ketahui, itu adalah karena
SAYA YANG LAHIR, BESAR, TUMBUH, MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI APA
YANG TERJADI DI TANOH GAYO melihat ada banyak resiko yang tidak perlu
yang akan terjadi kalau Provinsi yang serinen cita-citakan ini
dibentuk SEKARANG.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

NB : Sedikit koreksi buat serinen Kosasih, Kosovo bukan bagian dari
Rusia tapi Sebia, secara geografis itu sangat jauh serinen. Poso itu
di Sulawesi bukan di Philipina. Yang di Philiphina itu MORO, bukan di
Thailand. Betul di Thailand juga ada konflik di provinsi-provinsi
selatan yang berbasis Melayu, seperti Pattani, Narathiwat dan Yala.

Tapi konflik di Thailand itu tidak sepenuhnya berbasis agama melainkan
wilayah. Tiga Provinsi di selatan Thailand yang saya sebutkan di atas
secara kultural dan sejarah merupakan bagian dari Malaysia. Putra
Mahkota kerajaan Pattani bernama Tengku Ismail Denudom yang sekarang
tinggal di pengasingan dalam suatu bincang-bincang saat makan siang
pernah mengatakan kepada saya kalau di Pattani, selain melayu muslim
juga ada sekelompok suku Melayu Tua yang bukan muslim yang juga ikut
bergabung dengan Melayu muslim Pattani menuntut pemisahan dari
Thailand. Jadi bukan hanya Melayu yang islam yang ingin memisahkan diri.

Di Thailand, juga ada sebuah provinsi di Selatan bernama Songkla yang
juga bekas kerajaan melayu dan sampai sekarang tatap dihuni oleh
mayoritas Melayu-muslim yang tidak ikut dalam tuntutan memisahkan diri
ini. Itu terjadi karena memang secara kultural dan sejarah mereka
bukan bagian dari Malaysia. Padahal jumlah penduduk melayu-muslim di
provinsi ini lebih besar dibandingkan Narathiwat dan Yala.

Kalau dikaitkan dengan konflik antara muslim dan penduduk non-muslim,
benar Aceh tidak bisa disamakan dengan Kashmir, Chechnya, Moro. Tapi
kalau isunya negara mayoritas Islam dan penduduk islam, Aceh juga
tidak bisa serinen samakan dengan pemberontakan Tamil di Sri Lanka.
Karena ada dua masalah di sana, pertama Tamil yang ingin memisahkan
diri dari Sri Lanka bukan Islam, Kedua pemberontakan Macan Tamil
itupun seperti Chechnya, Isu utamanya perbedaan agama dan budaya
antara Tamil yang Hindu dengan Sri lanka yang Buddha.

Kalau konteksnya pemberontakan wilayah islam terhadap negara yang
berpenduduk mayoritas Islam juga, Aceh bisa serinen kaitkan dengan Ide
pemisahan diri Kurdi dari Irak dan Turki atau pemberontakan
kelompok-kelompok mujahiddin di Afghanistan. Serta
pemberontakan-pemberontakan lain di Kazakhtan, Uzbekistan dan
negara-negara Asia Tengah lainnya.

Minggu, 07 Desember 2008

Bener Meriah dan Identitas Kegayoan yang Terbelah

Saat saya kembali ke Takengen, saya mendapati Aceh Tengah kabupaten tempat saya berasal kini telah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah yang beribukota Takengen dan kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.

Ada satu kejanggalan yang saya rasakan berkenaan dengan keberadaan kabupaten baru yang bernama Bener Meriah ini. Kejanggalan itu saya rasakan baik saat saya berada di Aceh Tengah maupun di Bener Meriah sendiri. Saya merasakan ada suasana yang berbeda di Tanoh Gayo sekarang dibandingkan dengan ketika saya masih sering pulang dulu.
Dulu, sebelum ada Bener Meriah semua orang Gayo yang tinggal atau yang berasal dari seluruh wilayah kabupaten Aceh Tengah yang meliputi Kilometer 35 sampai Ise-ise, dari Rusip sampai Samarkilang. Semuanya memiliki kesadaran sebagai sebuah komunitas Gayo yang sama. Kalau sedang berada di luar Aceh Tengah, semua mengaku 'Urang Takengen'. dan diidentifikasi oleh orang luar Aceh Tengah sebagai ‘Orang Takengon’. Kesadaran inilah yang membentuk identitas kegayoan saya.

Sekarang, saya merasakan di antara masyarakat dua kabupaten ini mulai muncul semacam rasa keterpisahan secara sosiologis dan psikologis. Kesan yang saya tangkap, sekarang ini dalam diri orang Aceh Tengah dan Bener Meriah yang meskipun sama-sama orang Gayo tapi secara perlahan-lahan dalam individu Gayo yang tinggal di wilayah yang sekarang dipisahkan secara administratif ini mulai muncul kesadaran untuk mengasosiasikan identitas kelompok masing-masing sebagai 'kami' dan 'mereka'. Secara perlahan-lahan pula saya lihat sekarang sudah mulai muncul bibit-bibit rivalitas antara penduduk dua kabupaten ini. Salah satu indikasi dari munculnya fenomena ini bisa diperhatikan dalam kalimat-kalimat yang diucapkan para ceh didong jalu yang sekarang mendefinisikan ‘kami’ dan ‘kalian’ sekarang sudah dalam skala kabupaten bukan lagi kampung.

Sebelum Bener Meriah dimekarkan, sebenarnya sudah ada komunitas Gayo yang terlebih dahulu diasingkan dari komunitas besarnya dengan cara dipisahkan secara administratif. Mereka adalah Orang Gayo Lues dan Orang Gayo Serbejadi. Meskipun sama-sama Gayo dan berbicara dalam bahasa yang sama dengan saya dan orang-orang Gayo Aceh Tengah. Tapi kedua kelompok suku Gayo yang tinggal di luar wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah ini tidak termasuk kategori 'kami' dalam kesadaran kegayoan orang Gayo Aceh Tengah, termasuk saya. Padahal dalam tubuh saya sendiri mengalir darah keturunan Gayo Lues yang saya dapatkan dari Datu Anan (Ibu dari kakek) saya.

Dulu sekali sebenarnya Gayo Lues masuk dalam kategori ‘kami’. Tapi pembentukan Kabupaten Aceh Tenggara yang dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah melalui UU 4/1974 yang dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 1974. Telah mencabut kesadaran kegayoan Orang Gayo Aceh Tengah terhadap Gayo Lues. UU 4/1974 itu mencabut akar kegayoan saya dari tanah asal Datu Anan saya, tepat 20 hari sebelum saya lahir.

Saat Gayo Lues masih merupakan bagian dari Aceh Tengah dan Takengen menjadi ibu kotanya. Di Takengen banyak sekali komunitas pelajar asal Gayo Lues yang bersekolah. Pelajar asal Gayo Lues ini bahkan sampai punya satu asrama khusus berlokasi di Dedalu dekat rumah orang tua saya. Panti Asuhan Budi Luhur yang saat itu dikelola oleh almarhum kakek saya juga banyak dihuni oleh anak-anak yang berasal dari Gayo Lues.
Pada saat itu orang Gayo Aceh Tengah masih menganggap orang Gayo Lues sebagai 'kami'. Tidak seperti orang Gayo Serbejadi yang sejak awal kemerdekaan tinggal di wilayah administrasi kabupaten Aceh Timur yang cerita tentang keberadaan mereka nyaris seperti dongeng dalam sudut pandang orang-orang Gayo di Takengen.

Tapi sejak Gayo Lues dimasukkan ke dalam wilayah Aceh Tenggara, Orang Gayo Lues jadi jarang sekali berhubungan dengan Takengen.
Ketika saya lahir, Gayo Lues sudah bukan bagian dari kabupaten Aceh Tengah. Orang Gayo Lues yang bersekolah di Takengen meskipun ada tapi sudah sangat sedikit. Saat itu mereka lebih banyak yang bersekolah di Kuta Cane yang merupakan ibukota kabupaten Aceh Tenggara.
Kegiatan pertandingan olah raga, pentas seni Gayo, Didong dan aktivitas budaya apapun yang berkaitan dengan Gayo yang diselenggarakan di kabupaten Aceh Tengah sama sekali tidak pernah melibatkan Orang Gayo Lues. Akibatnya interaksi Orang Gayo Aceh Tengah dengan Orang Gayo Lues menjadi sangat jarang. Sehingga sedikit demi sedikit Gayo Lues menjelma menjadi identitas Gayo yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Begitu berjaraknya Gayo Aceh Tengah dan Gayo Lues, sampai-sampai Tari Saman Gayo yang merupakan kesenian khas Gayo yang banyak dimainkan oleh Orang Gayo Lues menjadi seni yang asing bagi kami orang Gayo Aceh Tengah. Demikian pula dengan Didong Jalu, kesenian yang sering kami mainkan di Aceh Tengah menjelma menjadi sebuah seni yang asing di mata orang Gayo Lues dan Serbejadi.

Memang ketika sedang berada di luar Tanoh Gayo. Orang Gayo Lues dan Orang Gayo asal Aceh Tengah merasa mereka adalah saudara. Tapi hubungan persaudaraan itu bisa dikatakan seperti hubungan antar sepupu. Bukan hubungan antar saudara kandung. Ada kedekatan tapi sekaligus ada jarak psikologis yang memisahkan kedua kelompok suku Gayo ini.

Contoh dari adanya jarak psikologis ini adalah ketika saya tinggal di Banda Aceh. Di kota ini saya banyak memiliki kenalan orang Gayo Lues. Tapi meskipun akrab, ketika berada di antara komunitas teman-teman asal Gayo Lues ini saya tidak merasa senyaman saat berada dalam komunitas Orang Gayo asal Aceh Tengah. Saat berada dalam komunitas Orang Gayo Lues ada banyak materi pembicaraan mereka yang tidak saya fahami yang membuat saya merasa sebagai orang luar. Pembicaraan yang membuat saya merasa sebagi orang asing itu biasanya berkaitan dengan daerah asal dengan segala permasalahannya. Entah itu pembicaraan tentang bupati, pacuan kuda atau kegiatan kesenian yang mereka lakukan, rencana kegiatan amal yang akan dilakukan saat liburan nanti dan sebagainya. Semua pembicaraan itu terdengar asing di telinga saya dan membuat saya merasa tidak berhak untuk melibatkan diri di dalamnya.

Hal seperti inilah yang sekarang mulai terjadi dalam hubungan antara Aceh Tengah dan Bener Meriah. Contohnya saya lihat ketika seorang adik sepupu saya ditabrak oleh seorang pengendara motor asal Simpang Tiga Redelong.

Dulu kalau kejadian seperti itu terjadi lalu kita tanyakan siapa pelakunya. Orang Takengen pasti menyebut 'Orang Simpang Tiga' yang secara psikologis dianggap sebagai 'kita'. Biasanya pula untuk menyelesaikan masalah seperti ini juga lebih mudah untuk dilakukan secara kekeluargaan. Berbeda misalnya jika pelakunya adalah orang 'Bireuen' yang dikategorikan sebagai ‘mereka’.

Tapi sekarang situasinya berbeda, orang Redelong yang menabraknya oleh adik sepupu saya disebut sebagai 'Orang Bener Meriah' yang oleh sepupu saya ini dipahami sebagai 'mereka'.

Munculnya perasaan sebagai 'kita' dan 'mereka' ini tidak hanya terjadi pada kalangan remaja seperti sepupu saya. Sentimen perpecahan semacam ini saya lihat mulai melanda semua kalangan.

Ketika berada di Takengen saya sempat mewawancarai seorang ulama berpengaruh yang sekarang menjabat ketua MPU Aceh Tengah. Beliau berasal dari Teritit, sekitar 10 Kilometer dari Takengen tapi sekarang setelah pemekaran masuk ke dalam wilayah Bener Meriah.
Wawancara itu saya lakukan di rumah beliau di Pasar Pagi.

Saat sedang mengobrol dengan saya, ulama yang sangat saya hormati ini menerima panggilan telepon dari seorang kerabat beliau di Jakarta. Dalam omongan via telepon yang mereka lakukan. Saya mendengar mereka berdua berbicara tentang penjualan tanah sebuah yayasan di Jakarta yang uangnya akan digunakan untuk membangun yayasan yang sama di Bener Meriah. Secara umum tidak ada yang terlalu istimewa dalam obrolan mereka. Tapi ada satu kalimat dalam obrolan mereka yang dilakukan dalam bahasa Gayo yang membuat saya yang Orang Gayo merasa bukan bagian dari mereka.

Saya tiba-tiba merasa menjadi orang asing. Ketika mendengar Tengku yang saya wawancarai ini berkata kepada lawan bicaranya. Yang artinya kurang lebih begini “Apa yang kamu lakukan itu baik sekali, karena memang siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk membangun daerah kita kalau bukan kita sendiri orang Bener Meriah”.

Saya merasa asing karena saya yang lahir di Takengen dengan Bapak yang berasal dari Isaq dan Ibu dari Temung Penanti yang kedua wilayahnya masuk dalam wilayah admistrasi kabupaten Aceh Tengah tidak termasuk dalam ‘kita’ yang mereka bicarakan. Saya yang bukan ‘Orang Bener Meriah’ tidak termasuk dalam kategori orang yang bisa diharapkan oleh ulama yang saya hormati ini untuk membangun daerah ‘kita’.

Apa yang bisa saya simpulkan dari percakapan antara Tengku yang saya hormati ini dengan kerabatnya di Jakarta yang berasal dari Teritit seperti yang saya ungkapkan di atas adalah; pemekaran sebuah wilayah Gayo tidak hanya membelah identitas kegayoan orang Gayo yang tinggal di wilayah yang dimekarkan. Tapi pemekaran wilayah juga ikut membelah identitas kegayoan Orang Gayo yang tinggal di luar Tanoh Gayo.

Sebagaimana dulunya Orang Gayo Deret dan Gayo Lut seperti saya mengasosiasikan diri sebagai Orang Takengen dan Orang Gayo Lues mengasosiasikan diri sebagai Orang Belang Kejeren. Tidak lama lagi orang Teritit sampai Tiga Lima akan menyebut diri mereka sebagai Orang Redelong.

Saya dan Orang Gayo Aceh Tengah lainnya akan tetap disebut dan mengaku sebagai Orang Takengen, tapi dengan kesadaran sebagai individu yang merupakan bagian dari komunitas besar Orang Takengen dengan jumlah anggota yang tinggal setengah dari populasi sebelumnya.


Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com

Jumat, 05 Desember 2008

Takengen Setelah 10 Tahun

Dua hari setelah acara konferensi di Hermes Palace saya berangkat ke Takengen, kota kelahiran saya yang sudah cukup lama tidak pernah saya kunjungi.

Tidak banyak yang berubah dari Kota ini, kecuali jalan dua jalur dari Paya Tumpi menuju pusat kota ditambah dengan lampu lalu lintas di simpang empat dan simpang Polres. Selebihnya pusat Kota Takengen, secara fisik bisa dikatakan masih persis sama seperti saat saya masih SD dulu.

Di sekitar pasar pagi saya lihat rumah-rumahnya tetap rumah papan dua tingkat berbentuk ruko sebagaimana yang pernah saya ingat saat saya pertama kali bisa mengingat. Sedikit perubahan baru terasa saat saya melintas daerah sekitar pasar Inpres. Ada banyak bangunan ruko yang baru dibangun di sana ditambah dengan keberadaan sebuah restoran mahal berkelas nasional yang rasa makanannya sama sekali tidak jelas dan sama sekali tidak istimewa. Gurami Goreng Asam manis di Restoran ini rasanya hambar sehingga butuh sedikit perjuangan dan sedikit kenangan terhadap bayi kurang Gizi di NTB sana untuk bisa menghabiskannya. Jika rasa Gurami Asam manis di restoran ini saya bandingkan dengan rasa gulai bandeng di warung Yusra Baru di Simpang Lima. Perbandingannya seperti rasa gula jawa berbading rasa coklat bulat Home Made bersertifikat buatan Swiss yang berlapis lima dengan tiap lapis masing-masing memiliki variasi rasa yang berbeda.

Yang lain jika bisa dikatakan sebagai perubahan adalah penampilan mesjid raya Ruhama yang sekarang jadi terlihat aneh dengan kubah-kubah baru berwarna emas yang bukannya membuat mesjid ini tampak lebih indah justru sebaliknya membuatnya jadi terlihat norak dan 'nggak matching' dengan lingkungan sekitarnya.

Selain perubahan negatif pada penampilan Mesjid Ruhama, saya juga melihat sebuah perubahan lain pada wajah kota ini yang sangat saya sesalkan. Perubahan ini sangat saya sesalkan karena tidak seperti perubahan penampilan mesjid Ruhama yang suatu saat bisa saja diubah kembali jika Takengen beruntung dipimpin oleh Bupati yang punya cita rasa seni, perubahan yang satu ini adalah cacat permanen terhadap wajah cantik kota Takengen. Cacat permanen yang dibuat sendiri dengan sengaja dan berbiaya mahal pula.

Dulu Kota Takengen dikenal sebagai kota dataran tinggi yang indah, kota yang dikelingi gunung-gunung yang ditumbuhi hutan pinus alami yang keindahannya menyatu dengan lansekap kota ini. Salah satu di antara gunung-gunung yang menyatu membentuk kecantikan alami kota Takengen itu adalah Bur ni Pereben yang terletak tepat di belakang rumah saya. Gunung ini dulu pernah ditanami pohon pinus yang membentuk aksara yang akan terbaca sebagai kata GAYO. Tapi sayangnya pohon pinus yang membentuk kata GAYO itu tidak pernah besar karena selalu terbakar di musim kemarau.

Sekarang Bur ni Pereben, gunung yang merupakan salah satu latar belakang dan ciri utama kota Takengen ini terlihat jelek sekali. Bur ni Pereben terlihat jelek karena di gunung ini Pemerintah Aceh Tengah membangun jalan yang sama sekali tidak jelas peruntukannya. Jalan itu dibangun tepat di bagian tengah antara kaki dan puncak gunung ini, tepat menghadap Kota Takengen melintang dari Bale sampai ke ujung desa Dedalu. Jalan yang dibangun entah untuk manfaat apa ini membuat penampilan gunung cantik ini tampak cacat sehingga merusak seluruh aspek keindahan kota Takengen. Akibat dari cacat yang sengaja dibuat pada 'wajah' Bur ni Pereben ini, kota Takengon yang cantik sekarang terlihat seperti Luna Maya dengan codet besar melintang di pipi.

Di gunung lain yang letaknya tepat di seberang gunung ber'codet' ini. Di sisi lain danau Laut Tawar di daerah Kebayakan sekitar Mendale, tampak bendera merah putih ukuran besar yang sepertinya dibuat dari beton. Bendera ini dibuat dengan sangat baik dan dapat dilihat dari seluruh bagian Kota Tekengen.

Meskipun ada beberapa perubahan negatif pada fisik kota ini tapi perubahan-perubahan itu tidak cukup signifikan untuk sampai membuat saya merasa merasa asing sebagaimana yang terjadi pada saya ketika saya tiba di Banda Aceh, kota yang membesarkan saya menjadi manusia dewasa. Apa yang saya rasakan di Takengen terbalik dengan apa yang saya rasakan di Banda Aceh.

Di Banda Aceh saya merasa asing dengan tampilan baru kotanya tapi tidak dengan orang-orangnya. Saya tidak merasa asing karena ketika saya mulai berbicara dengan orang-orang Banda Aceh, saya langsung dapat merasakan semangat yang sama seperti yang saya rasakan dulu ketika saya masih menjadi penduduk resmi kota ini. Meskipun secara materi apa yang diomongkan sudah berbeda dengan beberapa tahun yang lalu tapi saya dapat melebur dengan orang-orang Banda Aceh langsung pada saat itu juga, meskipun orang yang saya ajak mengobrol itu belum pernah saya kenal sebelumnya.

Berkebalikan dengan Takengen, saya merasa sangat familiar dengan tampilan fisik kotanya tapi langsung merasa asing ketika saya mulai berbicara dengan penduduk kota kelahiran saya ini. Ketika berbicara dalam bahasa Gayo dengan mereka, terutama dengan kalangan mudanya. Saya langsung merasakan ada perubahan yang asing dalam cara, nada bicara dan istilah-istilah yang mereka gunakan.

Saya yang terlahir dengan bahasa ibu 'Gayo' tentu saja sangat fasih berbahasa Gayo karena bahasa inilah bahasa yang pertama kali saya kenal dalam hidup saya. Tapi selama kurun waktu 10 tahun belakangan ini bahasa Gayo yang saya gunakan sama sekali tidak mengalami perkembangan, karena dalam kurun waktu itu bisa dikatakan saya terisolasi penuh dari komunitas utama penutur bahasa Gayo. Ketika sekarang, saya penutur asli bahasa Gayo yang mengenal bahasa Gayo versi lama tiba-tiba masuk kembali ke dalam komunitas utama penutur bahasa Gayo di Kota Takengen ini. Secara ajaib tiba-tiba saya merasa sedikit asing dengan bahasa ibu saya ketika bahasa itu dituturkan oleh orang Gayo lain yang menetap di tempat asli bahasa ini berkembang.

Saat berbicara dengan orang-orang Takengen saya menemukan banyak kata-kata janggal serapan dari bahasa Melayu versi Indonesia dalam kosa kata bahasa Gayo mereka, kosa kata yang dulu sama sekali tidak pernah saya kenal.

Kosa kata baru itu misalnya kata 'kayak e' yang merupakan terjemahan dari bahasa Indonesia 'sepertinya'. Dulu saat saya masih berada dalam komunitas ini, saya dan orang orang Gayo lainnya menggunakan kata 'nampak e' untuk terjemahan kata ini. Sebagaimana halnya ketika saya masih sering pulang ke Takengen dulu, sampai sekarangpun saya masih tetap menggunakan istilah 'nampak e' ketika konteks ini saya gunakan saat saya berbicara dalam bahasa Gayo dan semua orang gayo yang saya kenal juga menggunakan kata itu. Tapi sekarang, pilihan kata yang saya gunakan ini terdengar janggal di telinga orang Gayo yang tinggal di Takengen. Sayapun juga demikian, saya merasa janggal dengan kata baru yang mereka gunakan, yaitu 'kayak e' yang merupakan peng'gayo'an dari kata bahasa Melayu versi Indonesia 'Kayaknya'.

Masih banyak kosa kata baru lainnya yang sekarang umum mereka gunakan tapi dulu tidak pernah saya kenal. Kata-kata itu misalnya untuk mengatakan besarnya, sekarang beberapa orang Gayo yang saya temui mengatakan 'besar e', bukan lagi 'kul e' yang merupakan kosa kata asli bahasa Gayo. Demikian juga untuk pemakaian istilah dalam kata-kata lain seperti kata 'duduk' dan 'teman' misalnya. Sekarang anak muda di Takengen saya lihat cenderung lebih suka menggunakan kata serapan dari bahasa melayu tersebut ketimbang kosa kata asli bahasa Gayo 'kunul' dan 'pong'.

Kejanggalan lain yang saya rasakan ketika berada di Takengen adalah ketika saya menyaksikan pergaulan antara muda-mudi di kota ini. Saya amati kalau sekarang pergaulan antar jenis anak-anak muda Takengen sudah jauh lebih bebas dan terbuka dibandingkan pergaulan muda-mudi pada saat saya masih seumuran mereka dulu. Perbedaan itu tampak sangat mencolok ketika saya memperhatikan perilaku dan penampilan gadis-gadis muda kota Takengen. Sangat berbeda jika dibandingkan dengan penampilan dan perilaku umum gadis-gadis muda di masa saya masih ABG dulu.

Ada dua perbedaan mencolok yang saya lihat; pertama dibandingkan dengan gadis-gadis muda pada masa saya, gadis-gadis muda Takengen sekarang terlihat jauh lebih tidak malu-malu menunjukkan kemesraan terhadap pasangan ABG mereka di depan umum, perilaku mereka sekilas sangat mirip seperti perilaku ABG-ABG dalam Sinetron yang diputar di berbagai saluran TV swasta. Perbedaan kedua, yang sangat jelas terlihat ada pada penampilan fisik. Tidak seperti gadis-gadis muda di masa saya ABG dulu yang rata-rata keindahan rambutnya bisa bebas kita nikmati, sekarang kepala gadis-gadis muda kota Takengen yang enerjik itu semuanya ditutupi jilbab atau kerudung.

Begitulah kesan awal kunjungan saya sebagai orang yang lahir dan tumbuh besar di Takengen dan sekaligus penutur asli bahasa Gayo terhadap kota terbesar di tanah Gayo ini.

Wassalam

Win Wan Nur