Selasa, 25 November 2008

Represi Kultural, Minorities Within Minorities dan Isu ALA

Tanggal 19 November yang lalu, bertempat di Hotel Hermes Palace, saya mengikuti konferensi internasional yang diprakakarsai oleh Interpeace dan ASEM networks. Konferensi yang diberi tema “Locals, “Outsiders” and Conflict ini salah satu tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi baru dan analisa yang solid tentang bagaimana komunitas lokal dan komunitas pendatang mempengaruhi dinamika perdamaian dan konflik.

Berbeda dengan diskusi di acara peluncuran buku yang saya hadiri dua hari sebelumnya, dalam konferensi yang dihadiri oleh banyak ahli dari berbagai negara dengan membawa informasi dan pengalaman masing-masing dalam memetakan dan menangani konflik ini saya menemukan banyak informasi baru yang dapat digunakan untuk memetakan dan menemukan solusi yang tepat untuk menangani situasi perpolitikan Aceh saat ini.

Khusus untuk memahami permasalahan yang terjadi di kampung halaman saya berkaitan dengan isu ALA. Saya merasa sangat tertarik pada makalah dari dua pembicara dalam konferensi ini. Pertama makalah dari pembicara asal Aceh, Dr.Humam Hamid yang dan yang kedua adalah makalah dari pembicara asal Barcelona, Dr.Jordi Urgell.

Dalam makalahnya dia beri judul ‘Dynamics of Ethnic Relationships in Aceh’ Dr.Humam mengatakan bahwa berkembangnya isu diskriminasi etnis di Aceh belakangan ini tidak bisa dilepaskan dari sikap pemerintah dan masyarakat Aceh pesisir yang merupakan etnis dominan di provinsi ini yang kurang menghormati budaya etnis minoritas yang juga merupakan penduduk asli provinsi Aceh.

Makalah Dr.Humam ini menarik bagi saya karena ide-ide yang ditulis Dr.Humam dalam makalahnya banyak yang sejalan dengan pandangan saya selama ini. Misalnya dalam berbagai tulisan yang saya post di blog saya www.winwannur.blogspot.com dan www.gayocare.blogspot.com, saya selalu membedakan antara Aceh sebagai sebuah wilayah dan Aceh sebagai sebuah etnis. Aceh sebagai etnis adalah Orang Aceh yang tinggal di pesisir, sedangkan Aceh sebagai sebuah wilayah adalah Aceh yang dihuni oleh 9 macam etnis penduduk asli.

Seperti yang sering saya nyatakan dalam berbagai tulisan saya. Dalam makalahnya Dr.Humam juga menjelaskan hal yang sama. Sayangnya menurut Dr.Humam kenyataan ini tidak disadari atau pura-pura tidak disadari oleh etnis Aceh dan juga pemerintah Aceh yang didominasi oleh orang Aceh yang berasal dari etnis Aceh.

Dalam kultur yang plural seperti di Aceh ini idealnya etnis-etnis minoritas yang juga merupakan penghuni asli wilayah Aceh diberi ruang yang cukup untuk mengekspresikan diri baik secara politik, ekonomi maupun budaya.

Saya sangat setuju dengan pandangan Dr.Humam karena kenyataannya dominasi suku Aceh dalam setiap aspek kehidupan di provinsi ini memang sangat terasa. Bahkan dalam hal berkesenianpun. Ketika orang Aceh memperkenalkan kesenian Aceh ke dunia luar, baik dalam maupun luar negeri. Yang selalu ditonjolkan adalah kesenian Aceh pesisir. Seolah-olah semua kesenian yang ada di Aceh ini hanyalah kesenian milik Aceh pesisir. Padahal kesenian etnis lain juga banyak yang tidak kalah menariknya. Misalnya dalam seni tari selain Seudati yang merupakan tari klasik Aceh pesisir dan berbagai tarian Aceh pesisir kreasi baru lainnya. Sebenarnya di Aceh ada banyak tarian klasik dari suku lain misalnya Saman Gayo, Tari Bines dan Tari Guel yang berasal dari Gayo. Saya yakin ada banyak tarian asli Aceh lain milik suku Tamiang, Singkil, Kluet, Aneuk Jamee dan lain-lain, tapi semua jarang sekali ditampilkan sehingga orang luar hanya mengenal kesenian Aceh hanyalah kesenian Aceh pesisir.

Orang Gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di provinsi ini setelah ertnis Aceh seringkali merasa mereka direpresi oleh suku Aceh secara kultural. Banyak orang Gayo yang merasa eksistensi kultural mereka diabaikan oleh orang Aceh. Tapi di sisi lain orang Gayo melihat beberapa karya budaya mereka dibajak dan diakui sebagai karya budaya milik suku Aceh. Misalnya banyak seni tari Aceh kreasi baru sebenarnya adalah tarian modifikasi dari tarian klasik milik suku Gayo terutama tari Saman Gayo. Tapi oleh seniman yang menciptakannya tarian hasil modifikasi itu dinamai dengan berbagai nama khas Aceh pesisir tanpa sedikitpun menjelaskan bahwa tarian itu adalah hasil adaptasi dari tari Gayo klasik yang bernama tari Saman. Karena tidak ada penjelasan, para penonton yang menikmati tarian itu merasa seolah-olah bahwa tarian yang mereka saksikan dengan penuh kekaguman itu adalah tarian klasik Aceh pesisir. Ini sangat menyakitkan bagi orang Gayo.

Hal yang sama juga terjadi dengan karya seni bordir khas orang Gayo yang disebut Kerawang Gayo. Karya seni Kerawang Gayo ini adalah karya cipta kebanggaan orang Gayo. Motif-motif bordirannya yang khas dapat kita lihat dalam sertiap pakaian adat orang Gayo. Tapi ketika belakangan orang-orang Aceh pesisir mulai mempelajari teknik pembuatan kerawang dan mulai memproduksi kerajinan kerawang. Merekapun mulai memperkenalkannya karya seni ini sebagai Kerawang Aceh. Sama seperti dalam hal tarian dalam hal inipun orang Gayo yang minoritas merasa dirampok.

Kebetulan dalam konferensi ini panitia menghadirkan pertunjukan tarian Aceh sebagai selingan saat jeda menjelang coffee break pertama. Salah satu tari yang ditampilkan adalah tarian Aceh kreasi baru yang banyak menampilkan gerakan-gerakan Saman Gayo dalam koreografinya. Dalam sesi tanya jawab dan diskusi, saat saya menanggapi pemaparan makalah Dr. Humam. Tarian yang ditampilkan ini langsung saya angkat sebagai salah satu contoh kurangnya penghormatan terhadap budaya minoritas.

Dalam forum yang dihadiri oleh peserta dari berbagai negara ini saya katakan bahwa tarian itu adalah salah satu bentuk pembajakan terhadap karya seni milik suku minoritas oleh suku mayoritas. Ketika menyebut kata pembajakan dalam forum ini saya menggunakan kata ‘hijack’ bukan ‘piracy’. Kata ini saya pilih karena saya menganggap kata ‘hijack’ lebih tepat untuk menggambarkan kasarnya aktivitas pembajakan kultural yang dilakukan oleh suku Aceh terhadap karya seni orang Gayo ini.

Pernyataan saya itu sepenuhnya diamini oleh Dr.Humam. Beliau sama sekali tidak menampik apa yang saya paparkan, malah beliau menambahkan kalau selama ini memang banyak hambatan kultural dan dominasi etnis Aceh pesisir yang membuat etnis-etnis minoritas di provinsi ini merasa asing di tanah mereka sendiri.

Setelah hal itu saya ungkapkan di forum ini, banyak peserta konferensi dari luar negeri yang mendekati saya untuk menanyakan lebih jauh tentang tari Saman Gayo yang gerakan-gerakannya dibajak oleh tari Aceh yang kami saksikan tadi dan dengan senang hati saya jelaskan. Sayangnya tidak semua konferensi internasional tentang Aceh atau pertunjukan seni Aceh dihadiri oleh orang Gayo.

Perasaan-perasan negatif yang dirasakan oleh etnis minoritas seperti ini, jika terus dibiarkan terjadi di provinsi yang pernah lama berada dalam situasi konflik ini tidak bisa tidak, pasti akan menghadirkan konflik baru antara mayoritas dengan minoritas. Bibit-bibit konflik ini sudah mulai disemai dengan cara mengeksploitir isu dominasi suku Aceh atas suku Gayo oleh orang-orang yang menamakan dirinya pejuang ALA.

Sebenarnya situasi seperti yang kita alami di Aceh sekarang ini adalah situasi yang jamak terjadi di wilayah dunia manapun yang pernah mengalami konflik vertikal.

Dr.Jordi Urgell dari School for a Culture of Peace, Autonomous University of Barcelona yang juga menjadi pembicara dalam konferensi yang saya hadiri ini. Dalam makalahnya yang dia beri judul ‘Minorities Within Minorities in South East Asia’, mengatakan bahwa dalam banyak konflik antara pusat yang mayoritas dengan daerah yang merupakan minoritas yang terjadi di berbagai belahan dunia. Banyak dari konflik itu terjadi disebabkan oleh cara pemerintah sebuah negara yang memperlakukan kelompok minoritas dengan cara pikir dan pola perlakuan ala kelompok mayoritas di negara tersebut.

Tapi ketika konflik terselesaikan dengan memberi keleluasaan dan kekuasaan yang lebih besar kepada kelompok yang minoritas secara nasional. Hal ini seringkali dirasa sebagai ancaman oleh kelompok yang merupakan minoritas secara lokal (minorities within minorities). Konflik sering terjadi karena kelompok yang merupakan minoritas secara nasional yang kini menjadi mayoritas secara lokal melalui kekuasaan yang lebih besar yang baru mereka dapatkan memperlakukan minorities within minorities ini seperti mereka dulu diperlakukan oleh kelompok mayoritas nasional sehingga minorities within minorities merasa terancam eksistensinya.

Perlakuan ini misalnya bisa dilihat dari sikap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh di depan publik yang sering tidak menunjukkan rasa hormat kepada suku-suku Aceh minoritas. Sikap itu mereka tunjukkan dengan perilaku berbahasa mereka yang hanya mau berbahasa Aceh kepada orang Aceh mana saja yang menjadi lawan bicara mereka, tidak peduli asal-usul sukunya.

Situasi seperti ini seringkali membuat minorities within minorities merasa lebih terjamin eksistensinya ketika kelompok yang minoritas secara nasional ini masih dalam posisi minoritas.

Fenomena inilah yang terjadi di Aceh sekarang, jadi isu ALA yang terjadi sekarangpun harus kita lihat dari kacamata minorities within minorities ini dan penyelesaian masalahnyapun tidak bisa kita lepaskan dari bingkai ini.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Senin, 17 November 2008

Dialog Tentang Aceh di Launching Buku Accord

Tanggal 17 november kemarin saya menghadiri acara peluncuran Buku Accord: Re-konfigurasi Politik: Proses Damai Aceh di Sekretariat APRC (Aceh Peace Resource Centre).

Dua orang teman lama saya, Aguswandi dan Faisal Hadi bersama dengan Judith Large yang seperti Agus dan Faisal juga merupakan salah seorang kontributor dalam buku yang diluncurkan ini.

Ketiga pembicara ini membahas segala permasalahan di Aceh sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Aguswandi membahas sisi politik, Judith Large membahas sisi ekonomi dan Faisal Hadi tentu saja dari sisi penanganan masalah HAM.

Melihat reputasi penyelenggara dan kapasitas pembicara dan peserta yang hadir, sejujurnya saya berharap dalam acara ini saya banyak menemukan informasi-informasi dan solusi-solusi cerdas yang bisa ditawarkan untuk menangani permasalahan-permasalahan di Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki.

Tapi, entah mungkin karena alasan keterbatasan waktu atau memang dalam kacamata mereka bertiga permasalahan yang dihadapi Aceh hanya sebegitu. Saya melihat yang dibicarakan oleh ketiga pembicara di depan tidak lebih hanyalah gagasan-gagasan teoritis yang bersifat wacana yang biasa saya dengar sehari-hari di warung kopi.

Ketiga pembicara yang tulisannya dimuat didalam buku yang penerbitannya disponsori oleh Conciliation Resources yang berpusat di London ini sama sekali tidak membicarakan inti permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki ini lalu menawarkan solusinya.

Judith Large yang berbicara masalah ekonomi misalnya, ketika berbicara tentang permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh Aceh pasca penandatanganan MoU, Judith masih terpaku pada isu-isu klise model isu KKN yang menurut saya sudah basi untuk sekedar dibicarakan dalam forum semacam ini. Isu ini basi karena isu semacam itu dari dulu di aceh ini hanya tetap menjadi isu tanpa pernah ada kajian permasalahan secara taktis dan langsung ke inti permasalahan dengan lokalitas keacehan. Tidak ada pertanyaan apa penyebab, kenapa dan bagaimana KKN itu bisa terjadi dan mencari solusinya dari jawaban atas pertanyaan itu.

Beberapa waktu yang lalu di acara mengenang seratus hari berpulangnya Ridwan Haji Muchtar, saya sempat berbincang-bincang dengan seorang teman yang kebetulan bekerja di BRR. Si teman ini bercerita kalau banyaknya masalah dalam penyaluran dana rekonstruksi tidak bisa dilepaskan dari peraturan perundang-undangan keuangan yang tetap memakai Undang-undang konvensional. Padahal jumlah dana yang harus disalurkan sangat luar biasa besar. Undang-undang dan birokrasi konvensional tidak mampu menyalurkan jumlah dana sebesar itu.

Fenomena ini saya analogikan dengan pipa besar yang menyempit ditengah dan kembali membesar di ujung lain. Besarnya dana yang harus disalurkan saya analogikan dengan air yang dialirkan melalui ujung pipa berukuran besar itu. Undangundang keuangan dan birokrasi yang harus dilewati oleh dana-dana itu saya analogikan dengan pipa mengecil di bagian tengah, lalu saluran keluarnya kembai dibesarkan seperti ukuran pipa tempat dana itu masuk. Tentu saja meskipun ukuran pipa keluar itu sama dengan ukuran pipa masuknya tapi karena ditengah ukuran itu sudah sangat kecil. Volume dana yang keluar tidak lebih dari volume dana yang mampu melewati pipa kecil di tengahnya. Yang paling menjengkelkan dari fenomena ini adalah orang yang memperkecil pipa di bagian tengah itu menyalahkan orang Aceh atas ketidakmampuan menyalurkan dana dalam jumlah besar itu. Sehingga dana-dana itu harus kembali ditarik ke pusat.

Ketika fenomena ini saya tanyakan kepada Judith Large , dia hanya memberikan jawaban mengambang yang sama sekali tidak memberikan jawaban apapun atas permasalahan yang terjadi akibat fenomena itu. Lalu untuk menjawab pertanyaan saya, Judith kemudian dibantu oleh seorang dosen ekonomi di Unsyiah yang menurut Aguswandi adalah salah satu tim penyusun ekonomi Aceh. Tapi pak dosen ini malah memberi jawaban yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pertanyaan yang saya ajukan.

Aguswandi juga demikian, ketika dia berbicara tentang masalah ide pemecahan propinsi Aceh yang belakangan ini menghangat. Terlihat jelas kalau Aguswandi sama sekali tidak memiliki gambaran yang utuh mengenai apa yang terjadi sesungguhnya dalam permasalahan ini. Seperti juga halnya para pengamat dan pengambil kebijakan soal ide pemecahan Propinsi ini. Aguswandi juga tidak memberikan pemahaman baru apapun selain latah mengamini cerita-cerita warung kopi yang beredar selama ini bahwa ide pembentukan provinsi baru ini didasari oleh masalah ketidak merataan proses pembangunan.

Padahal kalau kita amati yang terjadi sebenarnya dalam permasalahan ide pemisahan provinsi ini adalah adanya perasaan ketersinggungan dan perasaan dianak tirikan di kalangan masyarakat Aceh suku minoritas yang timbul akibat ketidak mampuan pemerintah dan masyarakat Aceh untuk melakukan dialog dengan masyarakat yang berasal dari kultur-kultur minoritas. Sebelum penanda tanganan kesepakatan damai, kebijakan yang diambil oleh pemerintah Aceh terhadap daerah yang didiami oleh penduduk dari kultur minoritas selalu hanya beradasarkan cara pandang kultur mayoritas. Sama seperti cara pemerintah pusat di Jakarta yang memperlakukan dan membat kebijakan tentang Aceh berdasarkan cara pandang penguasa Jawa terhadap kawulanya yang ternyata tidak cocok diterapkan kepada orang Aceh yang memiliki mentalitas yang sangta berbeda dibandingkan dengan orang Jawa.

Sayangnya setelah kesepakatan damai ditandatangani, cara pandang dan cara pengambilan kebijakan pemerintah terhadap daerah yang didiami oleh penduduk dari kultur minoritas tetap tidak berubah, malah bisa dikatakan memburuk.

Sejak lama, dalam masyarakat kultur minoritas di Aceh ini sebenarnya ada kecenderungan dari oleh pemerintah Aceh yang didominasi oleh suku Aceh pesisir untuk menganak tirikan suku minoritas. Perasaan ini persis seperti yang dirasakan oleh masyarakat Aceh terhadap dominasi Jawa.

Jika dulu perilaku seperti ini sudah ada maka sekarangpun perilaku ini belum berubah kalau tidak bisa dikatakan makin parah. Saya katakan makin parah karena dulu sebelum penandatanganan kesepakatan Damai dalam berbicara dengan masyarakat dari suku minoritas Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh selalu berbiacara dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh suku-suku minritas itu. Tapi sekarang, Irwandi sebagai Gubernur dan Nazar sebagai wakil gubernur, ketika berbicara dengan masyarakat Aceh tanpa memandang yang dihadapi berasal dari suku apa. Mereka hanya mau berbicara dalam bahasa Aceh.

Perilaku ini seperti ini jelas kontra produktif terhadap penyelesaian isu-isu perpecahan semacam ini. Karena sikap seperti yang ditunjukkan oleh Irwandi dan Nazar ini sama seperti menyiramkan bensin ke api. Mungkin Irwandi dan Nazar percaya diri bersikap seperti itu karena mereka berdua tahu persis kalau Pemisahan itu tidak mungkin bisa terjadi selama mereka masih menjabat dan SBY masih menjadi presiden. Tapi meskipun secara hukum dan administrasi Aceh tidak akan pernah terpisahkan, dengan model pendekatan seperti yang dilakukan Irwandi dan Nazar ini pemisahan Aceh secara kultural akan semakin cepat terjadi.

Dalam diskusi ini Aguswandi sama sekali tidak menyinggung hal-hal seperti ini dan ketika permasalahan ini saya tanyakanpun Aguswandi yang dibantu oleh Judith Large hanya memberikan jawaban mengambang yang mengesankan kalau mereka berdua sama sekali tidak memahami masalah yang sebenarnya.

Ketika berbicara masalah HAM Faisal Hadi juga setali tiga uang dengan kedua rekannya yang berbicara seperti sedang menghafal text book. Faisal berbicara tentang ide besar pembentukan landasan yang kuat untuk perdamaian Aceh. Faisal juga mengatakan tentang perlunya masuk lebih dalam ke dalam persoalan-persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM.

Tapi ketika saya bertanya kongkritnya seperti apa landasan yang kuat itu dan sedalam apa kita bisa masuk ke dalam pengusutan kasus-kasus HAM ini tanpa mengganggu proses perdamaian yang sudah tercapai saat ini. Faisal Hadi teman baik yang juga abang leting saya di Teknik ini tidak menjawab sama sekali.

Wassalam
Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Kamis, 06 November 2008

Bantahan atas Skenario Cossablu

Serinen Kosasih yang baik, sayapun senang sekali dengan keberadaan orang seperti anda di dalam jajaran pendukung ALA. Saya senang karena akhirnya ada juga pendukung ALA yang bisa diajak berpikir dengan kepala dingin. Selama ini di jajaran ALA saya hanya menemui orang-orang yang hanya memakai kacamata kuda. Sama sekali tidak peduli dengan cara pandang lain diluar apa yang mereka percayai. Orang yang mengatakan halal darahnya bagi orang Gayo yang menolak ALA.

Dari penuturan serinen saya seperti melihat diri saya sendiri dalam diri serinen. Ada ketulusan dan kecintaan yang begitu besar terhadap Gayo.
Hanya cara pandang kita dalam melihat apa yang terbaik bagi Gayo sangat berbeda. Dari tulisan-tulisan saudara saya melihat perbedaan ini ada karena perbedaan dalam jumlah referensi yang kita punya ketika kita menilai.

Terima kasih juga serinen telah menjelaskan latar belakang serinen dan karena itu dengan sepenuh hati saya mohon ma'af karena pernah meragukan ke'Gayo'an Serinen Kosasih. Soal saya Gayo atau bukan, saya juga mengerti keraguan serinen karena dunia tempat kita saling mengenal ini adalah dunia Maya dimana orang bisa mengaku apa saja. Tapi perlu serinen ketahui kalau nama yang saya pakai di milis ini adalah nama asli saya yang tentu saja sangat Gayo. Kalau serinen mau lebih yakin saya Gayo atau bukan, serinen boleh google nama saya . Atau kalau serinen yang bergabung di barisan pendukung ALA dan mungkin sering berinteraksi dengan tokoh ALA semacam Cik Sukur Kobat yang saya kenal cukup dekat, serinen bisa menanyakan pada beliau Win Wan Nur itu orang Gayo atau bukan. Mungkin juga serinen mengenal Zulfan Diara, sahabat saya yang juga sangat pro ALA, saudara juga boleh menanyakan soal saya Gayo atau bukan pada dia.

Soal keraguan saya atas status Ke'Gayo'an serinen. Agar selanjutnya tidak menjadi ganjalan, perlu serinen ketahui kalau keraguan saya itu muncul karena saya merasa sangat asing dengan beberapa cara pandang serinen yang sangat tidak Gayo. Salah satunya tentu cara pandang serinen dalam menafsirkan dan memahami teks Qur'an dan Hadits sehingga sampai pada kesimpulan bahwa Ulil Amri orang Gayo itu adalah Pemerintah RI yang berdomisili di pulau Jawa.

Saya yang lahir dan besar di Gayo dan memahami teks-teks Agama berdasarkan cara pandang tengku-tengku di Gayo yang merupakan penerus Tengku Silang atau Tengku Jali terus terang merasa sangat asing dengan cara serinen memaknai teks-teks agama itu. Teks agama meskipun sumbernya satu, tapi cara orang memaknainya sangat subjektif (kalau serinen mau berdiskusi khusus soal ini, kita bisa membuka thread lain. Kita bisa mendiskusikan bagaimana berbedanya cara orang Islam di Asia tenggara dengan orang di Maroko dalam memahami teks agama yang sama). Cara pandang itu sangat bergantung pada kondisi geografi, sejarah, mentalitas dan budaya yang tumbuh di tempat-tempat tersebut, tergantung pada latar belakang dan mentalitas yang berkembang di tempat orang yang menafsirkan teks-teks itu.

Dalam banyak literatur antropologi yang bisa kita lihat. Mulai dari penelitian Hurgronje sampai Bowen. Gayo selalu digambarkan sebagai masyarakat dengan karakter REPUBLIK yang merupakan lawan kata FEODAL. Artinya orang Gayo tidak mengenal yang namanya TUNDUK TOTAL terhadap manusia lain, dalam hal ini kita sangat mirip dengan Aceh. Karakter Gayo yang seperti ini terlihat dalam semua aspek kehidupan orang Gayo termasuk terlihat dalam karakter ulama-ulama yang tumbuh di Gayo yang tercermin dalam setiap penafsiran mereka terhadap teks-teks agama. Baik Tengku Jali atau Tengku Silang dan juga penerus-penerus mereka juga tentu saja tumbuh dalam mentalitas seperti ini, sehingga penafsiran bahwa Ulil Amri orang Gayo itu adalah Pemerintah RI yang berdomisili di Pulau Jawa seperti penafsiran serinen yang menunjukkan ketertundukan total itu tidak akan pernah bisa kita temui dalam penafsiran seoarang Ulama Gayo. Karena itulah saya yang lahir dan tumbuh besar di Gayo dan tumbuh dalam mentalitas seperti ini pula merasa asing dengan tafsiran serinen yang sama sekali tidak mencerminkan mentalitas GAYO dan kemudian meragukan kegayoan serinen.

Tapi keraguan saya ini telah terjawab di balasan serinen kali ini yang menjelaskan latar belakang serinen yang ternyata memang sangat bertolak belakang dengan saya. Jika serinen lahir, besar, menikah dan bekerja bukan di Aceh, akan tetapi kedua orang tua berasal dari Gayo. Saya sebaliknya saya lahir dan besar di Gayo serta kuliah di Banda Aceh. Persamaan kita ada pada kedua orang tua yang berasal dari Gayo sehingga secara genetik kita berdua adalah GAYO. Kakek saya dari pihak Ayah berasal dari Isak dan nenek dari Bale. Ayah saya dan adik-adiknya tumbuh dalam nilai-nilai yang dianut oleh nenek saya yang berasal dari Bale itu. Sehingga Ayah saya dan keluarga besar saya dari pihak Ayah semuanya bermental UKEN. Preferensi agama mengikuti cara pandang Tengku Jali. Ibu saya berasal dari Temung Penanti yang merupakan wilayah Ciq, baik kakek maupun nenek saya dari pihak ibu saya keduanya orang Ciq sehingga nilai-nilai yang mereka anut dan mentalitas dalam keluarga ibu saya sangat TOA. Preferensi agama mengikuti cara pandang Tengku Silang. Saya yang sejak kecil terbiasa menginap di tempat kakek dari pihak ayah atau kakek dari pihak ibu tumbuh dalam kedua nilai itu.

Di Gayo saya pernah tinggal di Isak, Fajar Harapan ( tidak jauh dari bandar lampahan) dan tentu saja Takengen. Jadi saya yang secara genetik adalah Gayo tumbuh besar dalam nilai-nilai Gayo dan ketika dewasa mentalitas yang membentuk saya adalah mentalitas GAYO. Jika anda tidak pernah didoktrin untuk membenci siapapun. Sayapun begitu, tapi sebagaimana orang Gayo umumnya, meskipun tidak di doktrin saya tumbuh dalam sentimen negatif terhadap orang Aceh.

Waktu saya masih SD di SD Negeri Karang Jadi di Fajar Harapan, sekitar 3/4 isi kelas saya adalah orang Gayo, sisanya Jawa (inilah sebabnya kenapa sampai hari ini saya sangat fasih berbahasa Jawa) sama sekali tidak ada orang Aceh. Suatu hari kami SD kami yang kekurangan guru kedatangan guru baru dari pesisir. Guru kami yang bernama Ibu Meram ini juga membawa serta seroang keponakannya yang sekelas dengan saya. Keponakan Ibu Meram ini bahasa Indonesianya sangat belepotan dengan aksen Aceh. Aksennya itu tentu mengundang tertawaan kami semua, dia selalu kami olok-olok dengan olok-olok khas Gayo terhadap orang Aceh. Sehingga keponakan guru kami ini selalu menangis setiap pergi sekolah, sampai Ibu Meram pernah masuk ke kelas kami dan dalam emosinya mengatakan "Kalau kalian mentertawakan orang Aceh seperti ini, minta sana sama kepala sekolah cari Guru yang cuma orang Gayo".

Untuk memahami kenapa rasa sentimen negatif ini muncul perlu kita lihat relasi sosial keseharian antara Gayo dan Aceh. Di Gayo orang Aceh umumnya bekerja sebagai pedagang, relasi yang terjadi antara orang Gayo dengan orang Aceh umumnya adalah relasi antara pedagang dan pembeli. Relasi yang tidak terlalu akrab, ada jarak di sana karena perbedaan kepentingan, Aceh yang penjual menginginkan harga yang tinggi sementara Gayo yang pembeli menginginkan harga yang rendah. Perbedaan profesi dan kepentingan inilah yang membuat Gayo dan Aceh jarang melebur di dalam pergaulan sosial di desa-desa di Gayo.

Alasan itu pulalah yang menyebabkan meskipun secara mentalitas kita sama dengan Aceh tapi dalam keseharian kita di Gayo lebih akrab dengan orang Jawa. Itu karena orang Jawa di Gayo sama seperti kita, bekerja sebagai petani. Sentimen negatif terhadap suku Aceh di Gayo juga tidak bisa kita lepaskan dari relasi ini. Ketika berhadapan dengan Aceh, Gayo dan Jawa mempunyai kepentingan yang sama, sama-sama menginginkan harga murah. Di Gayo, sebenarnya sentimen seperti ini juga tumbuh terhadap orang Padang dan Cina yang dalam relasi sosial dengan orang Gayo dan Jawa polanya juga sama seperti terhadap Aceh. Orang Aceh ketiban sial karena dengan orang Aceh relasi ini juga dibumbui dengan persaingan politik. Karena secara struktural Aceh Tengah berada dalam wilayah provinsi Aceh, bukan Sumatera Barat atau Cina.

Serinen, soal penghilangan sejarah orang Gayo. Seperti juga serinenku sayapun sangat prihatin pada penghilangan sejarah orang Gayo itu. Tapi adalah sangat tidak beralasan jika serinen menyalahkan orang Aceh atas penghilangan sejarah itu. Orang Aceh mungkin juga sedikit ikut memiliki andil atas hilangnya sejarah itu, tapi tanggung jawab terbesar ada pada kita sendiri orang Gayo. Karena memang yang paling bertanggung jawab atas hilangnya sejarah itu adalah kita sendiri orang Gayo. Dan sekarang kita Orang Gayo pula yang harus bertanggung jawab mengembalikan sejarah yang benar suku kita ini.

Mungkin sulit bagi serinen Kosasih yang sangat cinta Gayo tapi tidak pernah tinggal di Gayo dalam memahami apa yang saya katakan ini, karena serinen tidak tumbuh dalam dinamika dan semangat yang berkembang di Gayo. Tapi fakta yang terjadi di Gayo tanah asal serinen adalah seperti yang saya ceritakan di bawah ini.

Pada masa Belanda, kita orang Gayo dipecah belah. Belanda menempatkan reje-reje feodal untuk menjadi penguasa di Gayo dan memberi hak bagi mereka untuk menarik pajak dari awan-anan kita sekaligus juga menindas awan-anan kita. Oleh Belanda, reje-reje itu diberi kuasa atas dasar edet dan kebiasaan zaman dulu yang berlaku di tanoh Gayo. Akibatnya pada awal kemerdekaan, ketika Belanda tidak lagi ada di Takengen. Awan-anan kita ramai-ramai menggembosi kekuasaan para reje feodal itu. Ironisnya dalam penggembosan itu, awan-anan kita ikut menolak semua penerapan edet Gayo dalam kehidupan sehari-hari, karena saat itu edet diidentikkan dengan kekuasan FEODAL dan bertentangan dengan semangat nasionalisme yang berkembang saat itu. Pada masa itu orang yang tidak setuju dengan edet disebut Modern.

Cara pandang ini terus berkembang sampai hari ini, saat saya masih bersekolah di Takengen. Saya bisa merasakan sendiri semangat itu, bagaimana teman-teman saya yang merasa modern ketika dalam keluarga berbicara dalam bahasa melayu (dalam skala Nasional sindrom ini kira-kira seperti sinrom Cinta Laura yang berkembang belakangan ini) . Orang seperti saya yang di rumah berbahasa Gayo oleh lingkungan saya dianggap kampungan. 'Pun', 'ngah' atau 'Kil' saya, merasa malu dengan panggilan yang sangat GAYOWI itu, mereka lebih suka bahkan memaksa untuk dipanggil Cik dan Bibik yang terdengar lebih Melayu.

Pada masa awal kemerdekaan itu pula nama-nama tempat di Gayo banyak yang dimelayukan, Contohnya ya Takengen menjadi Takengon, Bebesen pernah menjadi Bobasan meskipun tidak berlanjut, Kebet menjadi KOBAT. Sisa-sisa semangat 'modernisasi' Gayo zaman itu masih bisa kita lihat pada nama Cik Sukur KOBAT.

Begitulah semangat 'modernisasi' yang berkembang di tanah warisan muyang datu kita pasca kemerdekaan serinenku Kosasih. Dengan semangat yang sangat anti GAYO seperti itu menjadi semangat dominan, ketika orang Gayo lebih bangga berbahasa melayu ketimbang bahasa Gayo, orang Gayo merasa lebih bangga mengenal sejarah buatan Soekarno daripada sejarah asli muyang datu kita. Bagaimana kita bisa menyalahkan orang lain atas hilangnya sejarah asli kita?....Bukankah naif dan memalukan sekali kalau sekarang kita malah menuntut Orang Aceh yang tidak tahu apa-apa untuk mengembalikan sejarah kita yang benar yang telah lalai kita jaga itu?. Tuntutan salah alamat kita ini terdengar lebih aneh lagi kalau kita melihat fakta bahwa yang menulis sejarah resmi di Indonesia inipun bukanlah orang Aceh melainkan para cendekiawan yang tinggal di pulau tempat serinen Kosasih lahir. Jadi kalaupun serinen tidak mau mengakui kalau hilangnya sejarah itu adalah karena kesalahan orang Gayo sendiri dan harus menyalahkan orang lain atas hilangnya sejarah kita. Maka Orang lain yang lebih pantas serinen tuntut atas hilangnya sejarah Gayo itu adalah pemerintah Republik Indonesia para cendekiawan yang tinggal di pulau tempat serinen Kosasih berdomisili sekarang.

Kalau serinenku Kosasih merasa sangat tahu seperti apa pahit getirnya konflik di Gayo. Serinen, percayalah bahwa kami yang tinggal di dalam konflik seperti yang serinen gambarkan itu jauh lebih mengerti pahit getir dan perihnya konflik itu ketimbang serinen yang hanya membaca dari berita. Jika serinen membaca berita tentang konflik itu di tanah Jawa yang permai. Saya mengalami sendiri bagaimana was-was dan gugupnya saat pulang ke Takengen harus menghadapi puluhan pos pemeriksaan di sepanjang jalan. Kadang bis diberhentikan TNI, kadang oleh GAM, jika pada saat pemerikasaan itu kita sedikit saja salah bersikap apalagi salah menjawab pertanyaan yang tidak sesuai dengan maunya si pemeriksa. Anggota GAM atau Anggota TNI yang dalam kondisi lelah dan fasiltas minim tapi tetap diwajibkan oleh atasan mereka melakukan pemeriksaan itu tidak jarang kehilanga kontrol dan langsung menghajar wajah kita dengan popor senjata. Apalagi kalau habis terjadi kontak senjata, tanpa tanya lagi jika kita melewati pos TNI tanpa tanya KTP atau apa langsung semua laki-laki di dalam bis disuruh turun dipukuli dan diinjak-injak. Dalam suasana seperti itu, salah seorang kerabat saya dalam perjalanan pulang dari Banda Aceh ke Takengen dibunuh oleh GAM di sebuah daerah di Pidie hanya karena Cik saya ini berambut cepak seperti tentara dan karena dia orang Gayo tidak bisa berbahasa Aceh. Sepupu saya yang lain dimasukkan ke penjara dan dipukuli sampai babak belur hanya karena saat TNI melakukan operasi mencari GAM dia sedang berada di luar rumah, menanam tomat di dekat dengan desa yang dicap sebagai basis GAM. Seorang teman saya yang stress karena diputus pacarnya nekat jalan malam-malam, suatu pagi kami temukan mayatnya dengan bekas peluru di kepala.

Jadi serinen, saya bukan hanya tahu tapi MENGALAMI DAN MERASAKAN SENDIRI apa yang serinen katakan. Saya selalu selamat dalam setiap pemeriksaan baik oleh GAM maupun TNI karena keuntungan yang saya punya. Saya fasih berbahasa Jawa dan sangat mengenal banyak daerah terpencil di pulau Jawa yang kadang merupakan daerah asal anggota TNI atau Brimob yang memeriksa saya. Kemudian saya juga fasih berbahasa Aceh dan juga mengenal banyak sekali desa-desa di pedalaman Aceh sehingga saya tidak pernah punya masalah saat diperiksa oleh GAM. Tapi yang punya keberuntungan seperti saya tidak banyak.

Jika anda mengetahui berbagai berita tentang Aceh dari kata orang dan membaca serta menonton dari berbagai media. Kalau saya tidak hanya membaca atau menonton, tapi sejak tahun 2000 saya bekerja di berbagai media, mulai dari New Yorker, Berliner Zeitung sampai Reuters. Pada masa itu saya banyak menjelajah dan melakukan wawancara ke berbagai pelosok daerah konflik. Melalui wawancara itu, saya dapat merasakan sendiri betapa tertekannya perasaan seorang Brimob muda yang baru saja lulus SMA tiba-tiba harus berada di medan perang yang sama sekali tidak dia kenal. Saya bisa merasakan sendiri bagaimana perasaan seorang tentara dengan uang saku 7000 rupiah sehari harus berjaga siang malam di pojok hutan terpencil, dengan siaga penuh setiap hari dengan resiko kemungkinan mati terjadi setiap saat. Saat bekerja di media ini pula saya banyak mengetahui adanya wartawan bodrex, adanya wartawan embeded adanya wartawan yang dibayar untuk membuat berita sesuai pesan sponsor.

Kalau serinen menanyakan pernahkan anda semua bayangkan bagaimana petani Gayo kesulitan untuk memasarkan hasil kopinya ?...pada masa itu saya justru sedang memulai bisnis kopi saya. Setiap hari saya dilanda kecemasan apakah kopi milik saya selamat sampai ke Medan, apakah nanti di jalan tidak dibakar orang.

Pada masa itu pula saya berkesempatan melakukan wawancara dengan beberapa panglima GAM beserta pasukannya, diantaranya Tengku Hamzah, pimpinan pasukan Gajah Keng, GAM Aceh Besar ditengah belantara Aceh Besar yang katanya tidak jauh dari markas mereka. Juga Tengku Darwis Jeunib di sebuah kawasan hutan di Plimbang. Saat melakukan wawancara itu saya tidak hanya berbicara pada pimpinan mereka tapi juga kepada anggota pasukan yang ada di sana. Saya bertanya motivasi apa yang membuat mereka bergabung dengan GAM. Dari pembicaraan itu saya dapat menangkap adanya dendam yang sudah kait-mengkait dalam urusan konflik yang berkepanjangan ini. Ada banyak alasan yang membuat mereka bergabung dengan GAM, ada yang mengatakan bapaknya yang tanpa salah apapun pulang dari sawah ditembak TNI hanya karena sebelumnya ada anggota TNI yang tertembak dalam kontak senjata, ada yang mengatakan orang tuanya disembelih di depan mata mereka.

Lalu di beberapa daerah yang berdekatan dengan pemukiman suku Jawa, mereka mengatakan banyak suku Jawa yang dipakai oleh TNI sebagai TPO atau tenaga pembantu operasi, orang ini telah menyebabkan orang tuanya meninggal sehingga dia dendam pada orang jawa. Sementara ketika saya mewawancarai orang jawa sendiri mereka mengaku posisi mereka terjepit, mereka dipaksa membantu TNI dan tidak bisa menolak, ketika mereka membantu mereka dimusuhi GAM. Saya juga pernah bertemu dengan seorang tentara di Simeulue yang mengaku masuk tentara karena dendam akibat bapaknya dibunuh GAM di depan matanya.

Saya juga pernah mewawancarai berbagai elemen di Aceh mengenai konflik ini, ada Pak Nurdin orang RATA , korban penyiksaan yang mendirikan lembaga yang menampung korban penyiksaan selama konflik baik penyiksaan yang dilakukan oleh TNI maupun GAM. Saya juga sempat mewawancarai Abu Yus ketua DPRD saat itu. Ke kantor Polda mewawancarai komandan operasinya sampai ke ketua Henry Dunant Center yang saat itu menjadi lembaga mediasi serta banyak tokoh lagi.

Jadi serinen, saya sangat memahami betapa rumitnya sudah permasalahan yang disebabkan oleh konflik ini. Situasi dendam yang terjadi ini sudah kait-mengkait dan rumit sekali serinenku. Tapi kalau kita menelusuri lebih jauh asal mula dendam yang saling kait-mengkait itu sampai ke sumber asalnya, maka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa tanggung jawab terbesar terhadap kusut masainya permasalahan dendam yang saling kait-mengkait tak berkesudahan ini ada pada pengelola negara ini yang tidak mampu melakukan dialog dan lebih memilih untuk menanggulangi masalah dengan senjata. Ketika dialog terjadi dan telah disepakatipun dalam sejarah bisa kita lihat pengelola negara ini sering tidak jujur dan mengkhianati janji yang telah mereka buat sendiri. Ingat status Daerah Istimewa Aceh yang hanya istimewa di kertas. Contoh lain, ketika dalam kampanye, Megawati menyebut diri Cut Nyak dan berjanji tidak akan ada lagi darah yang tumpah di Aceh kalau dia jadi Presiden. Tapi kenyataanya apa?.. ketika dia menjabat presiden, malah si 'cut nyak' ini menerapkan kebijakan garis keras yang menyebabkan terjadinya PERANG yang serinen sebut BODOH dan telah mengakibatkan hal-hal yang serinen sebutkan.

DENDAM inilah yang sekarang harus kita putus serinen. Cara memutus dendam ini adalah dengan mulai membangun saling pengertian antara kita orang Gayo dengan seluruh komponen yang ada di Aceh ini.

Tentang Jawa, saya lumayan banyak tahu sejarah, peradaban dan budaya mereka yang sangat tinggi. Tapi saya juga tahu persis ada banyak kebiasaan dan budaya khas mereka yang sangat tidak cocok diterapkan di tempat kita karena sangat bertentangan. Kalau ingin mendiskusikan ini mari kita buka juga Thread lain.

Saya sama sekali tidak menolak apa yang dikatakan Snouck Hurgronje tentang suku Gayo seperti yang serinen katakan. Penyebab adanya kedekatan dengan suku Jawa juga sudah saya ulas alasannya. Saya juga setuju dengan serinen yang mengatakan Buku ini dapat dijadikan sebagai rujukan teman-teman orang Gayo yang ingin tahu adat istiadat orang Gayo.

Tapi sebelum mempercayai mentah-mentah apa yang dikatakan Hurgronje, perlu juga diingat kalau faktanya adalah Hurgronje sama sekali tidak pernah menginjakkan kakinya di bumi Gayo. Semua informasi yang dia tulis dalam penelitiannya adalah berdasarkan dari Informasi yang dia dapat dari Nyaq Putih, pemuda Gayo yang berasal dari kampung saya di Isak yang dia temui di pantai barat Aceh saat Nyaq Putih sedang memperdalam agama islam pada seorang ulama di sana. Informan kedua Hurgronje berkaitan dengan Gayo bernama Aman ratus dari Gayo Lues.

Untuk melakukan studi tentang Gayo, Hurgronje membuat Kuisioner yang diberikan kepada staf-staf Belanda yang ditempatkan di berbagai daerah, dia mengumpulkan informasi topografi dari ekspedisi militer yang ditemani oleh Nyaq Putih untuk mewawacarai lusinan orang Gayo. Nah dari informasi inilah Hurgronje berkesimpulan bahwa orang Gayo itu sebagai "True Republicans". Alias orang Republik Sejati dalam pengertian, orang Gayo bisa dikatakan secara pribadi tidak tunduk pada hirarki politik lokal. Menurut Hurgronje orang Gayo di suatu daerah sama sekali tidak takut berbicara tentang hal-hal yang bertentangan dengan pendapat Reje setempat. Artinya orang Gayo tidak memiliki sifat ketertundukan mutlak seperti halnya Abdi dalem di Kesultanan Yogyakarta. Ringkasnya Hurgronje mengatakan GAYO jauh dari sikap FEODAL. Inilah yang sangat kontras membedakan kita dengan JAWA. Peryataan Hurgronje ini bisa serinen baca di kompilasi tulisan Hurgronje yang dia beri judul Gayoland and Its Inhabitants atau dalam bahasa aslinya Het Gajoland en Zijne Bewoners (1903:xv-xvi)

Serinen, saya tinggal di Banda Aceh dan sangat sering pulang ke Gayo pada masa berkembangnya Ide GALAKSI dulu. Argumen yang diajukan saat itu adalah tidak meratanya pembangunan dan Gayo merasa didiskriminasi padahal argumen Galaksi itu sangat lemah karena faktanya saat itu semua daerah di Aceh mengalami hal seperti yang kita alami.

Pada masa itu saya yang bergabung dengan UKM PA Leuser Unsyiah sangat sering mengadakan berbagai ekspedisi ke pelosok-pelosok Aceh. Saya menyaksikan sendiri bagaimana kalau apa yang dikatakan diskriminasi pembangunan terhadap Gayo itu ternyata terjadi di semua pelosok Aceh. Di berbagai daerah di Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, saya menemui banyak sekali perkampungan yang sangat menyedihkan. Saya sering bertemu dengan orang yang tinggal di gubuk berdinding dan beratap rumbia yang terpaksa sehari-hari makan sagu karena tidak mampu membeli beras. Hal seperti ini sama sekali tidak pernah saya temukan di Gayo yang juga berbagai pelosoknya telah saya jelajahi. Mulai dari pelosok-pelosok daerah Lane, Waq, Penarun samapi ke perkebunan kopi di Belantara Berawang Dewal sana. Satu yang sama temukan secara umum kehidupan masyarakat kita yang paling parah sekalipun, dalam banyak hal masih jauh lebih baik dari peghidupan banyak saudara-saudara kita di pelosok Aceh.

Soal pengakuan penduduk asli Aceh adalah Gayo, saya pikir tidak ada (setidaknya pemerintah) yang tidak mengakui ini. Beberapa kali dalam wawancara yang saya baca Irwandi mengatakan penduduk asli Aceh adalah Gayo bahkan saya baca di detik.com Irwandi di juga mengatakan hal itu ketika bertemu delegasi suku Ache di Paraguay.

Soal sejarah dan penghormatan pada para Pahlawan, terus terang saya malu ketika serinen menyalahkan orang Aceh sebagai penyebab pahlawan Gayo tidak dihormati. Karena dari yang saya lihat justru kita sendiri yang perlu merenung apakah kita sudah menghormati pahlawan-pahlawan Gayo.

Serinen, setelah saya bersekolah di SD Karang Jadi sampai kelas III, kelas IV saya pindah ke Takengen dan saya bersekolah di SD Negeri No.1 Takengon (saya tulis Takengon karena resminya nama sekolah saya memang seperti itu). Tahun 1985, saat saya kelas V, kuburan Belanda yang terletak di samping bangunan sekolah saya yang merupakan monumen dan saksi bisu yang menunjukkan kepahlawanan muyang datu kita dalam berperang dibongkar. Saya sendiri bersama teman-teman saya yang menyaksikan pembongkaran itu. Lalu di atas tanah bekas kuburan belanda itu dibangun gedung perluasan sekolah kami. Saat ini gedung itu menjadi SD Negeri No. 8 Takengon. Sama sekali tidak ada lagi kuburan Belanda. Saat ini saat saya kembali ke Tekengen dengan anak saya. Kepada anak saya, saya tidak bisa lagi menunjukkan bukti kalau dulu muyang datu kita adalah para pahlawan yang begitu gagah perkasa melawan Belanda. Karena bukti keperkasaan muyang datu kita itu sekarang telah berbentuk gedung sekoalah biasa yang sama sekali tidak lagi menunjukkan bekas bahwa di sana dulunya terkubur Belanda-belanda korban kegagahan perjuangan muyang datu kita.

Yang menarik dari pembongkaran itu adalah. Saat itu sama sekali tidak ada protes dari cendekiawan Gayo, tidak ada demo dan tidak ada penentangan yang berarti yang membuat keputusan untuk membongkar kuburan Belanda itu dibatalkan. Takengen selama proses pembongkaran itu sangat tenang, tidak ada yang peduli pada penghapusan bukti sejarah yang sedang berlangsung itu. Saya yang masih kelas V SD pun saat itu tidak protes, saya malah bergabung dengan teman-teman saya yang menonton dengan penuh rasa ingin tahu, melihat ada kerangka yang dimakamkan dalam posisi jongkok, ada kuburan anak-anak yang seluruh bagian tubuhnya sudah jadi tanah tapi sandal karet milik jasad itu masih awet dan dibawa pulang oleh si penggali kubur untuk dipakai anaknya.

Jadi berdasarkan fakta ini, saya tanyakan kepada serinen, dengan perilaku seperti ini bagaimana kita bisa dengan tanpa rasa malu mengatakan bahwa orang Aceh lah yang menyebabkan pahlawan-pahlawan kita tidak dihormati?

Sejarah kepahlawanan juga demikian, gugatan serinen adalah gugatan salah alamat. Bukan orang Aceh yang harus serinen gugat soal tidak terdengarnya sejarah kepahlawanan Gayo. Tapi tanyakan sudah sejauh mana usaha kita orang Gayo untuk membuat sejarah para Pahlawan kita itu terdengar. Kalaupun serinen mau menggugat pihak lain, seharusnya yang serinen gugat adalah pemerintah RI, karena Pemerintah RI lah yang punya otoritas penuh untuk menulis sejarah resmi dan menetukan Pahlawan Nasional. Bukan orang Aceh. Pemerintah RI pula yang seharusnya serinen gugat soal pemahaman sejarah yang tidak benar seperti yang serinen alami. Misalnya seperti kesalahan pemahaman serinen yang mengatakan bahwa Tengku Chik Di Tiro adalah pahlawan pembela NKRI. Faktanya seumur hidupnya Tengku Chik Di Tiro tidak pernah bersentuhan dengan ide NKRI, negara yang kita tinggali ini yang baru berdiri beberapa puluh tahun setelah kematian beliau.

Serinen, kalau serinen katakan saya meragukan para pegiat ALA saya akui itu benar. Kenapa saya ragu?...sudah saya jelaskan di atas. Karena maaf serinen, para pegiat ALA sejauh ini saya lihat tidak lebih seperti sekumpulan anak manja yang cengeng, yang tidak pernah merasa salah. Mau mendirikan provinsi seolah seperti mau mengajak orang main patok lele, tanpa perlu memiliki argumen kuat. Dalam argumennya sejauh ini yang saya lihat para pegiat ALA hanya bisa mengajukan alasan yang kekanak-kanakan dan selalu menyalahkan orang lain atas akibat dari kesalahan yang mereka buat sendiri. Saya ragu karena sejauh ini saya lihat semua argumen-argumen pegiat ALA hanyalah argumen-argumen emosional yang sangat dangkal dalam pemetaan masalah. Masalah yang mereka katakan masalah sangat berat itu sebenarnya hanyalah masalah-masalah yang sangat bisa kita selesaikan dengan dialog.

Kalau saya dikatakan mengancam apa yang saya ancam?...Saya hanya menggambarkan fakta yang ada saat ini. Kalau saya katakan perdamaian ini masih sangat rapuh itulah kenyataannya. Kalau saya katakan seandainya ALA berdiri dalam kondisi keamanan yang seperti ini maka konflik akan kembali pecah, itulah kenyataannya. Tidak ada kata ancaman apapun.

Kalau menurut serinen itu ancaman, tolong berikan argumen berdasarkan data-data yang ada yang bisa meyakinkan kami orang Gayo bahwa kejadian seperti yang saya gambarkan pasti tidak akan terjadi. Tolong serinen tunjukkan argumen yang bisa membuktika bahwa ALA sama sekali tidak akan mengundang reaksi negatif dari pihak-pihak yang sebelumnya bertikai. Sehingga bisa kembali memicu perang.

Soal Kades yang ke Jakarta itu saya merasa tidak perlu mengklarifikasi berapa Jawa dan berapa Gayonya, karena seperti serinen sayapun tahu pasti yang dominan dalam rombongan itu adalah orang Gayo. Tapi kenapa Blangkon yang saya tekankan adalah karena memang Blangkon itulah yang di blow oleh sejumlah media untuk mempengaruhi opini massa bahwa di tanoh Gayo itu ada sekelompok keturuan Jawa yang harus dilindungi. Karena itu harus dibuatkan provinsi baru. Jadi yang terbaca oleh saya dalam perjuangan ALA ini jadi JEWE TER ARAP.

Saya tahu ini mungkin bagian dari strategi politik pejuang ALA untuk menarik simpati anggota DPP RI yang sebagian besar adalah orang Jawa, dan menurut etika politik pegiat ALA hal seperti itu sepertinya sah-sah saja. Tapi perlu serinen ketahui kalau strategi semacam ini sangat melukai perasaan orang Gayo yang merasa tanoh Gayo adalah warisan nenek moyangnya, bagi mereka adalah penghinaan besar ketika dalam memutuskan masa depan daerah kita sendiri justru Jawa yang dikedepankan.

Soal skenario, untuk menentukan langkah ke depan tentu saja harus ada banyak skenario dan kemungkinan, apalagi langkah yang mau diambil ini adalah hal yang sangat krusial seperti yang serinen lakukan. Yang saya pahami mendirikan provinsi baru itu bukanlah seperti main patok lele yang jika kita salah memetakan keadaan resikonya hanya gantian jaga. Yang saya pahami, sebelum memutuskan mendirikan sebuah provinsi baru ada banyak dimensi yang perlu dipertimbangkan, diperlukan banyak kajian, baik ekonomis maupun sosiologis. Ingat ujar-ujaran tetua kita ' Maju sara langkah surut sara jengkal', artinya setiap langkah maju kita itu harus benar-benar diperhitungkan dengan matang.

Skenario yang saya katakan di e-mail sebelumnya itu adalah skenario yang 99,99% pasti terjadi seandainya ALA jadi terbentuk. kenapa begitu?...karena perdamaian yang kita nikmati belum lama ini masih sangat rapuh. Masih banyak luka yang belum sembuh. Karena itulah ketika anda dan para pejuang ALA dalam melakukan sosialisasi sama sekali mengesampingkan kemungkinan ini dan malah seperti sengaja menyembunyikan kemungkinan yang 99,99% pasti terjadi ini dari audiens anda. Jelas hal itu membuat saya menjadi sangat ragu dengan kematangan rencana dan tujuan utama dari pendirian provinsi baru ini.

Skenario lain adalah terjadinya kecemburuan antar daerah yang selama inipun sebenarnya dalam sejarahnya selalu terjadi konflik kepentingan. Gayo dengan Alas misalnya. Dulu Gayo Lues pisah dari Aceh Tenggara, meskipun dalam alasan pendiriannya tidak disebutkan tapi secara de fakto. Gayo lues dibentuk adalah karena kekecewaan orang Gayo lues karena yang menjadi Bupati Aceh Tenggara selalu orang Alas. Saya sama sekali tidak melihat ada strategi matang dari para Pejuang ALA untuk mengantisipasi kemungkinan kembalinya terjadi konflik Alas-Gayo ini seandainya Provinsi ALA nanti terbentuk. Belum lagi kita bicara Singkil yang sepanjang sejarahnya tidak pernah memiliki hubungan emosional apapun dengan Gayo.

Soal ucapan saya “Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?”. yang serinen permasalahkan itu, itu bukan hanya untuk TNI. Tapi itu adalah gambaran seperti apa keadaan dalam konflik, seperti yang serinen baca di 'media' dan serinen dengar 'dari orang' itu tapi saya alami sendiri di Tanoh Gayo. Kalau serinen mau menambahkan pertanyaan itu dengan "Kenapa juga tidak ditanyakan kepada rakyat Gayo siapkah anda kembali merakit senjata untuk melawan pemberontak ?", silahkan juga ditambahkan pertanyaan itu.

Saya merasa perlu menanyakan itu juga sama sekali bukan untuk memancing keberanian orang Gayo apalagi menganggap lemah orang Gayo.
Tujuan saya mengajukan pertanyaan itu adalah untuk mengetahui apakah orang Gayo siap kembali berada dalam situasi perang yang serinen katakan BODOH itu hanya untuk memperjuangkan hal yang sebenarnya sangat bisa kita dialogkan. Apakah orang Gayo merasa layak dibawa kembali ke dalam suasana mencekam seperti itu hanya demi memperjuangkan PEPESAN KOSONG bernama ALA?.

Kenapa ALA saya sebut pepesan kosong?...karena ALA sama sekali tidak menawarkan konsep apapun yang berbeda dengan apa yang sudah ada sekarang. ALA sama sekali tidak pernah membicarakan CARA memajukan orang Gayo kalau ALA sudah berdiri. Yang ditawarkan ALA sampai saat ini hanya KEYAKINAN yang berdasarkan pada fantasi kekanak-kanakan para pegiatnya bahwa Gayo tertinggal karena Aceh tidak suka Gayo maju.

Yang saya tahu otonomi daerah sekarang berpusat di kabupaten. Pengelolaan yang benar di tingkat Kabupaten semacam Jembrana atau Sragen di Solo sangat efektif untuk membuat satu daerah maju. Sementara saya tidak melihat kalau Pemda Aceh Tengah dan Bener Meriah serta Gayo Lues sudah demikian baik dan sempurnanya mengelola daerah kita. Sebagaimana Gede Winasa mengelola Jembrana.

Saya sama sekali tidak melihat Pemda Aceh Tengah mampu membuat Aceh Tengah seperti Jembrana. Saya sama sekali tidak melihat Pemda Aceh Tengah mampu membuat Aceh Tengah bebas korupsi dan perkoncoan. Keberpihakan pada kelompok tertentu masih jelas terlihat dalam setiap kebijakan pemerintah baik di Aceh Tengah maupun Bener Meriah.

Melihat bukti empiris seperti itu bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya tidak ada diskriminasi antar kelompok. Bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya seluruh orang Gayo dan orang Jawa di daerah kita diperlakukan dengan setara. Bagaimana saya bisa percaya kalau ALA berdiri nantinya, tidak ada lagi kolusi antara pejabat dan pengusaha untuk menebangi hutan demi kepentingan pribadi.

Tapi yang digambarkan oleh para pegiat ALA adalah seolah semua yang dilakukan pemerintah di Tanoh Gayo sudah sedemikian sempurnanya Sau-satunya alasan kenapa orang Gayo tetap terpuruk adalah karena Aceh selalu menghalang-halangi niat baik pemerintah di Tanoh Gayo untuk memakmurkan warganya. Satu-satunya alasan kenapa Gayo tetap terpuruk adalah karena Aceh begitu bencinya pada Gayo.

Jadi kalau serinen mempertanyakan kecintaan orang Gayo yang menolak ALA terhadap Gayo. Kami yang menolak ALA juga sebenarnya jauh lebih heran dan selalu bertanya-tanya, Cinta jenis macam apa sebenarnya yang dimiliki oleh para pegiat ALA seperti serinen yang tidak pernah tinggal di Gayo ini terhadap Gayo hingga hanya demi pepesan kosong bernama Provinsi ALA yang konsepnya sangat tidak jelas dan cenderung kekanak-kanakan itupun orang-orang seperti serinen bahkan tega menyeret orang Gayo kembali kedalam PERANG BODOH seperti yang selalu serinen sebutkan.

Serinen sudah menjelaskan sendiri alasan kenapa Gorontalo pisah dari Sulawesi Utara, ternyata memang ada perbedaan disitu, orang Gorontalo itu kebanyakan muslim. Sedangkan Aceh dan Gayo tidak. Kita sama-sama Muslim. Tidak ada perbedaan mendasar antara Aceh dengan Gayo seperti perbedaan mendasar antara Jawa dan Gayo seperti dalam tulisan Hurgronje. ( Jawa = Feodal , Gayo = Republik).

Serinen melihat perbedaan antara Aceh dan Gayo ini sedemikian tajamnya tidak lain hanyalah dikarenakan serinen dan banyak orang Gayo yang hanya mengenal Aceh dari kata orang. Sebelum tinggal di Banda Aceh saya sendiri masuk dalam kategori Orang Gayo jenis ini. Orang Aceh dalam benak saya saat itu adalah orang yang sombong, pemberontak dan bengis. Tapi ketika saya bergaul sendiri dengan orang Aceh, menjelajahi banyak pelosok Aceh saya menemukan betapa miripnya orang Aceh dengan orang Gayo.

Dulu sayapun berpikiran orang Aceh pasti anti Gayo, tapi ketika saya berinteraksi dengan lebih banyak orang Aceh saya tahu itu tidak benar. Ketika saya masuk ke berbagai perkampungan Aceh, termasuk sarang GAM di Kandang Lhokseumawe sana saya menemukan betapa ramahnya mereka, di kampung-kampung Aceh itu rumah manapun bisa kita ketuk dan kita pasti disuguhi minum. Keramahan merekapun sama sekali tidak berubah ketika mereka tahu bahwa saya orang Gayo.

Untuk saya sendiri, pernah warga satu kampung di Aceh Besar, rela mempertaruhkan keselamatan mereka untuk melindungi saya yang Gayo ini. Kejadiannya pada tahun 1994 saat saya ditahan di penjara Kodim karena dituduh bersalah telah mendampingi warga Kuta Baro yang berdemo ke DPRD akibat lahan mereka diserobot PT Indonusa Indrapuri milik pengusaha Aceh bernama Ibrahim Risjad. Saat itu warga Kuta Baro yang 100% orang Aceh itu, mau berdiri berpanas-panas sepanjang hari di bawah ancaman senjata menuntut saya yang orang Gayo ini dilepaskan dari tahanan Kodim.

Sejauh ini, asumsi-asumsi yang disampaikan oleh para pegiat ALA tentang orang Aceh tidak lain hanyalah asumsi yang hanya didapat dari 'kata orang' dan 'media', sementara para pegiat ALA sendiri tidak pernah benar-benar merasakan langsung denyut nadi kehidupan di desa-desa pelosok Aceh. Semua asumsi itu berdasarkan praduga.

Aceh begitu buruk dalam pandangan para pegiat ALA, tidak lain seperti yang saya katakan adalah akibat dari fakta bahwa para pegiat ALA rata-rata adalah para aktivis yang sama sekali tidak pernah benar-benar berinteraksi dengan masyarakat Aceh. Pegiat ALA didominasi oleh orang-orang Gayo yang kuliah di Medan atau di pulau Jawa atau seperti serinen Kosasih yang bahkan sama sekali tidak pernah tinggal di Aceh, yang hanya mengenal Aceh dari 'Media' dan 'kata orang'.

Latar belakang yang tidak terlalu mengenal Aceh ini misalnya bisa dilihat pada latar belakang tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dan dikenal sebagai pendukukung kuat ALA. Tokoh-tokoh itu seperti Cik Sukur Kobat dan Cik Tagore yang saya kenal baik sebagai pioneer pembentuk Ikatan Mahasiswa Gayo, IMAGA di Medan. Begitu juga sahabat saya Zulfan Diara yang juga adalah tokoh penting dalam sejarah Imaga.

Bukan kebetulan kalau aktivis mahasiswa Gayo yang dulu berdemo diluar hotel garuda saat terjadi pembicaraan tentang pembentukan provinsi ALA rata-rata adalah mahasiswa Gayo yang kuliah di Banda Aceh. Mereka berdemo karena mereka tahu persis bahwa Aceh tidaklah seburuk yang digambarkan oleh para pegiat ALA.

Serinen, kalau memang diskriminasi yang dilakukan orang Aceh terhadap Gayo sedemikian parahnya seperti digambarkan oleh serinen Kosasih. Maka seharusnya kamilah aktivis-aktivis Gayo yang kuliah di Banda Aceh yang paling bersemangat meng goalkan ALA. Logikanya, kalau memang sikap orang Aceh terhadap Gayo sedemikian buruknya. Bukankah orang seperti saya yang sehari-hari bergaul dengan orang Aceh yang paling merasakannya dan seharusnya paling benci pada orang Aceh dan paling menginginkan Gayo pisah dari Aceh?

Tapi faktanya kan tidak demikian, justru orang Gayo seperti saya dan beberapa teman aktivis Gayo yang pernah lama tinggal di Aceh dan benar-benar mengenal adat dan budaya Aceh, yang benar-benar tahu seperti apa orang Aceh yang justru merasa terpanggil untuk menolak ALA.

Serinen Kosasih, dalam hidup saya, takdir membuat saya tinggal di banyak tempat. Selain di Gayo, saya pernah tinggal di Banda Aceh, Medan, Bangkok, Bandung, Bali dan Jakarta. Dari kesemua tempat yang pernah saya tinggali itu, hanya Bali dan Banda Aceh yang membuat saya selalu ingin kembali. Bali membuat saya rindu dengan kebebasan dan keindahan yang ditawarkannya, sedangkan Banda Aceh membuat saya rindu kepada orang-orangnya. Di Banda Aceh saya memiliki banyak teman orang Aceh yang telah menganggap saya seperti saudara sedarah. Di Banda Aceh saya memiliki banyak kerabat Aceh yang sama sekali tidak memiliki pertalian darah dengan saya tapi mau melindungi saya dengan taruhan nyawa.

Karena itu serinen, kalau sekarang serinen merasa bahwa kesimpulan serinen tentang orang Aceh itu adalah satu-satunya kesimpulan yang benar, meskipun kesimpulan itu seperti serinen akui, serinen dapat hanya berdasarkan 'kata orang' dan 'media'. Maka sekarang saya sarankan tambahlah referensi serinen. Supaya kesimpulan serinen ini tidak menjadi fitnah, cobalah sekali-sekali pulang.

Karena kata serinen, sekarang kehidupan serinen sekarang lumayan dan sayapun sama. Cuma bedanya untuk bisa seperti sekarang saya sama sekali tidak pernah mendapat bantuan secara langsung dari orang Aceh Pesisir yang mantan tanduk GAM. Jadi karena kita sudah berpenghasilan lumayan, marilah kita sisihkan sedikit penghasilan kita. Saya mengajak serinen pulang untuk menyaksikan sendiri seperti apa kondisi di daerah kita. Nanti serinen bisa saya ajak mengunjungi desa-desa di Aceh dan merasakan sendiri kalau Orang Aceh tidaklah seburuk yang serinen gambarkan.

Saya mengajukan ajakan ini karena saya melihat ada kesamaan serinen dengan saya, seperti juga saya, serinen pun hanya ingin rakyat Gayo maju. Karena kecintaan saya yang besar terhadap Gayo inilah saya tidak ingin orang Gayo mengalami kembali situasi sulit dan mencekam seperti yang saya alami di masa konflik dulu. Itulah sebabnya saya dan teman-teman membentuk forum ini. Ajakan ini penting saya sampaikan pada serinen Kosasih, karena selama ini saya lihat serinen begitu tulus memperjuangkan sesuatu yang sangat sensitif dan sangat berpotensi menyeret kembali Gayo yang serinenku cintai ke dalam konflik yang berkepanjangan yang akan menyengsarakan orang Gayo, konflik yang sebenarnya sangat bisa kita hindari.

Sama seperti serinen yang tidak menginginkan jabatan di Pemerintah atau sebagai anggota legislative dalam sebuah Partai, sayapun demikian. Memang sejak maraknya pencalegan ini banyak partai yang mencoba mendekati saya karena kebetulan para pengurus partai-partai itu adalah teman-teman saya dan merekapun mengenal saya dengan baik. Tapi dengan sangat menyesal permintaan teman-teman itu terpaksa saya tolak. Alasan saya, kalau saya bergabung ke salah satu partai, tidak bisa tidak, suara saya akan diasosiakan sebagai suara partai tempat saya bergabung. Padahal saya berniat menjadikan forum ini sebagai forum yang bebas dan tidak partisan. Untungnya sekarang Pengajuan nama Caleg sudah ditutup jadi tidak perlu lagi tidak enak-tidak enakan.

Meskipun sama-sama ingin memberikan yang terbaik bagi Gayo dan bertujuan menyelesaikan persoalan-persoalan antara Aceh dan Gayo. Tapi ke depannya, forum saya ini akan terlihat sangat berbeda dengan KP3ALA. Jika KP3ALA dalam menyelesaikan persoalan-persoalan antara Aceh-Gayo mengutamakan pendekatan Konfrontasi, maka forum ini mengedepanan dialog, baik dengan pemerintah Aceh sendiri maupun dengan elemen-elemen masyarakat Aceh lainnya.

Ide awal kenapa forum ini saya bentuk adalah karena saya melihat sebenarnya soal ALA ini, sangat bisa didialogkan. Masalahnya KP3ALA yang saat ini bersuara paling kencang mengatas namakan Gayo saya lihat tampaknya sangat bermasalah dalam kemampuan melakukan dialog dengan orang yang berbeda pandangan. Dengan orang gayo yang berbeda pandangan saja KP3ALA tidak memiliki kemampuan untuk melakukan dialog apalagi dengan orang Aceh.

Kalau KP3ALA tidak mampu berdialog dengan orang Aceh itu sangat saya pahami, itu terjadi karena KP3ALA sejauh ini tampaknya menilai orang Aceh adalah sekumpulan manusia keras kepala yang tidak bisa diajak berdialog. Seperti saya katakan di atas ini terjadi karena KP3ALA memang didominasi oleh aktivis-aktivis yang tidak pernah benar-benar mengengenal Aceh, rata-rata aktivis pegiat ALA hanya mengenal Aceh dari 'media' dan 'kata orang'. Padahal pengalaman saya mengatakan tidak demikian. Sebaliknya Orang Aceh yang saya kenal adalah orang-orang yang sangat menghargai sikap baik dan ketulusan. Karena itulah dengan adanya forum ini saya berniat untuk membantu permasalahan KP3ALA yang tidak memiliki kemampuan berdialog itu.

Cuma yang saya tidak mengerti adalah kenyataan bahwa KP3ALA juga sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berdialog dengan orang Gayo yang tidak sepandangan dengan mereka. Menghadapi perbedaan pandangan tentang ALA, sampai hari ini alih-laih menerima ajakan dialog, KP3ALA hanya bisa memberi ancaman serta melabeli orang-orang yang berseberangan dengan mereka dengan bermacam cap yang buruk, entah itu pegeson lah, pengkhianat Gayo lah, tidak cinta Gayo lah dan lain sebagainya. Bahkan kabarnya Cik Tagore dalam sebuah fotum di Berastagi pernah mengeluarkan ucapan Halal Darahnya, Orang Gayo yang tidak setuju ALA. Melihat fakta ini saya jadi curiga, jangan-jangan KP3ALA memang sama sekali tidak memiliki kemampuan berdialog dengan siapapun yang berbeda pandangan dengan mereka.

Selama ini banyak teman-teman Gayo yang berpikiran seperti saya, sayangnya mereka tidak terorganisir dan banyak juga teman-teman di Takengen yang tidak setuju dengan ALA yang mengkhawatirkan keselamatan keluarga atau jabatan mereka kalau mereka secara terbuka menyatakan ketidak setujuan mereka terhadap ALA. Dengan adanya forum ini teman-teman ini nantinya bisa berkumpul dan kita bisa mengumpulkan permasalahan yang kita hadapi. Hasil dari pengumpulan masalah-masalah itu tidak jauh berbeda dengan keluhan-keluhan serinen Kosasih dan Lembide. Bedanya untuk mencari penyelesaian keluhan-keluhan itu. Sekali lagi jika KP3ALA mengutamakan pendekatan konfrontasi, kami lebih mengedepankan dialog.

Kenapa dialog yang kami pilih?, itu karena banyak masalah yang serinen sampaikan itu terjadi akibat selama ini memang orang Aceh sendiri tidak terlalu banyak tahu mengenai Gayo. Karena itu saya pikir tugas kitalah untuk membuat saudara kita orang Aceh untuk lebih mengenal Gayo. Dan itu bisa terjadi melalui dialog.

Melalui jaringan yang saya punya, forum ini nanti akan saya jadikan jembatan untuk memperbanyak dialog antara Gayo, Aceh dan suku-suku lain. Forum kami ini nantinya akan banyak diisi oleh orang-orang Gayo yang punya semangat damai yang bukan hanya menuntut orang Aceh mengenal Gayo tapi juga mau berusaha mengenal orang Aceh.

Untuk maksud inilah pada pertengahan November ini saya akan pulang ke Aceh, maksud kepulangan saya adalah supaya saya sendiri bisa langsung terlibat dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya berdasar 'kata orang' dan 'media'. Soalnya bukan apa-apa, saya yang lama di media tahu kalau tidak semua media itu jujur meberitakan fakta apa adanya.

Seperti serinen katakan, sudah sekian tahun Irwandi menjadi Gubernur tapi belum ada sebuah kebijakan yang amat mendasar untuk orang Gayo, saya pikir itu terjadi karena memang tidak ada orang gayo yang memberitahu Irwandi apa yang harus dia lakukan terhadap Gayo. Untuk itulah saya pulang, keberadaan saya di Aceh nanti akan saya manfaatkan untuk terjun langsung membangun komunikasi itu.

Soal ALA ini bukan soal pegeson, bukan soal munuruh ni behu, apalagi soal i kuduk dor...Ini adalah soal apakah layak kita mengorbankan kedamain yang sangat berharga ini hanya untuk memperjuangkan PEPESAN KOSONG?.

Soal ikuduk Dor ini justru seharusnya serinen katakan pada orang-orang di KP3ALA bukan pada kami. karena ALA belum berdiripun yang terlihat sudah Blangkon i arap.

Lalu soal Gayo yang selalu di belakang Aceh ini menurut pengamatan saya sebenarnya hanyalah mitos yang dikembangkan oleh orang-orang Gayo yang sama sekali tidak pernah mengenal orang Aceh dan berinteraksi langsung dengan Aceh. Karena menurut pengalaman saya selama di Aceh, fakta yang saya dapatkan Orang Aceh adalah suku yang sangat terbuka dan sangat bisa menerima perbedaan dan mau mengakui keunggulan orang lain. Mungkin ini dikarenakan oleh kenyataan bahwa suku Aceh sendiri memang bukan suku yang didasarkan pada kesamaan genetik. Aceh itu suku kosmopolitan. Teman-teman Aceh saya ada yang secara genetik sangat eropa, ada yang sangat Cina, ada yang sangat Arab dan sangat banyak yang sangat India, mereka semua mengaku suku Aceh meskipun asal-usul genetisnya sangat beragam.

Bukti dari Gayo yang selalu di belakang Aceh ini adalah mitos, adalah kenyataan pada tahun 1994, Ketua Senat Unsyiah yang dipilih oleh mayoritas orang Aceh adalah orang Gayo yang bernama Syaifuddin Manan. Tahun 1995 Ridwan orang Gayo asal Centong Blang Kejeren dipilih langsung oleh mahasiswa Fakultas Teknik Unsyiah sebagai ketua senat. Tahun 1996, saya sendiri diminta oleh teman-teman saya di Leuser untuk maju sebagi ketua, tapi saya menolak. Tahun 1998 saya sendiri berada di depan massa saya, mahasiswa Unsyiah yang mayoritas adalah teman-teman suku Aceh, memimpin demo penurunan Suharto tanpa ada mempermasalahkan suku saya apa padahal seluruh Teknik tahu saya orang Gayo. Di milis ini banyak saksi peristiwa itu.

Jadi serinen, kami menolak ALA bukan karena ditakut-takuti, bukan karena pegeson kami menolak ALA. Kami menolak ALA adalah karena sejauh ini ALA sama sekali tidak menawarkan solusi kongkret apapun selain fantasi. Dan penolakan ini semuanya kami lakukan bukan hanya untuk esok hari, tapi untuk sepuluh dua puluh dan beberapa puluh tahun mendatang.

Yang kami lihat dari ide ALA yang sama sekali tidak terpola ini bukanlah kemakmuran, tapi kekacauan. Yang kami lihat satu dua tahun ke depan jika ALA berdiri akan terjadi perbeutan jabatan di antara orang-orang yang merasa berjasa dalam perjuangan. Akan ada tuntutan pembagian proyek dari kelompok lain yang juga merasa berjasa. Akan ada kelompok lain yang menggalang massa karena tidak puas dengan pembagian jatah proyeknya. 4 tahun setelah ALA berdiri akan berkembang rasa tidak senang di kalangan masyarakat Alas dan Singkil yang merasa dianak tirikan. Lalu berkembang tuntutan dari orang Alas supaya Gubernur ALA harus orang Alas, kalau Tidak ALAS akan membuat provinsi sendiri. Kami melihat beberapa tahun ke depan kalau ALA berdiri akan ada orang Singkil yang berdemo karena kecewa Singkil dipinggirkan dalam pembangunan ALA. Kalau ALA berdiri kami melihat akan ada sekelompok Kontraktor asal Uken atau Toa yang menggalang massa karena pemerintah Provinsi ALA hanya berpihak pada satu golongan yang dekat dengannya saja.

Serinenku Kosasih, itulah alasan kenapa kami merasa ALA sangat tidak layak diperjuangkan dengan taruhan darah bahkan nyawa. Seperti saran serinenku yang sepanjang hidupnya tidak pernah merasakan dinamika hidup di bumi Gayo. Yang hanya mengenal Gayo dan dinamikanya dari 'kata orang' dan kata 'media'.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo

Jawaban Cossablu atas Skenario Lain

Sebelum saya mencoba mengulas apa yang disampaikan Abang Win Wan Nur (saya juga tidak tahu apakah ia orang Gayo asli atau tidak, wallahu’alam bishowab), saya pertama kali mengucapkan terima kasih dengan kembalinya seorang yang dikenal dengan santun setiap perkataanya, mudah-mudahan ini akan menjadi modal kita dalam berdiskusi kedepan. Kemudian yang harus saya sampaikan lagi adalah memang ada perbedaan antara kami berdua, yang satu ada keluarganya dibunuh oleh Marsose yang katanya ada dari Jawa, sedangkan Kakek saya dicincang oleh DI TII. Selanjutnya kemudian perbedaan itu semakin kental ketika mempermasalahkan PEMEKARAN WILAYAH NAD, ALA DAN ABBAS.

Sebelum saya membahas, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya lahir, besar, menikah dan bekerja bukan di Aceh, akan tetapi kedua orang tua saya berasal dari Gayo. Kemudian, tidak pernah saya didoktrin untuk membenci siapapun, karena saya memegang teguh agama saya yang tidak membedakan asal seorang manusia dari suku manapun, perbedaannya hanya ketaqwaannya. Pun demikian, saya bisa sampai berkehidupan yang lumayan seperti sekarang karena bantuan dari orang Aceh Pesisir, saya tidak akan melupakan jasa beliau dalam kehidupan saya. Bahkan ia sering kali dikatakan orang sebagai ‘maaf’ tanduk GAM sewaktu zaman Aceh rusuh dahulu. Terakhir, saya menuliskan ini bukan karena dendam akan tetapi untuk mencapai perdamaian dan kedamaian serta kemajuan bagi rakyat Aceh yang kita semua cintai. Tidak juga saya menginginkan sebuah jabatan di Pemerintah Daerah ALA atau sebagai legislative dalam sebuah Partai dengan menjadi sebuah Ketua Asosiasi/Forum terlebih dahulu, tidak juga karena uang atau harta, karena saya sudah merasa cukup dengan apa yang saya punya, saya bersyukur. Saya hanya ingin rakyat Gayo maju.

Pada alinea pertama sampai ketiga Abang Win Wan Nur mencoba menyampaikan persamaan ide yang dilontarkan oleh saya dan Limbide, berkenaan dengan penderitaan dan pengkhianatan yang dilakukan oleh orang Aceh terhadap orang Gayo. Untuk ini saya hanya ingin menambahkan bahwa sesungguhnya penderitaan yang diterima orang Gayo lebih dari itu, saya tambahkan dari hasil beberapa analisa saya.

Penghilangan sejarah orang Gayo, orang Aceh harus bisa mengakui terlebih dahulu bahwa sesungguhnya penduduk asli Aceh itu adalah Gayo bukan lainnya sekaligus mengangkat banyak pahlawan Gayo menjadi pahlawan nasional. Mohon maaf, ketika saya melihat mahkota, senjata, tongkat Kerajaan Linge yang selalu di sosialisasikan oleh Iwan Gayo terlihat bahwa Kerajaan Linge itu sudah sangat tua, ini terlihat dari corak ular dan naga yang ada pada peninggalan situs tersebut. Kemudian saya teringat bahwa minggu kemarin saya pergi ke Ciamis dan Garut daerah Jawa Barat, saya mengunjungi salah satu peninggalan situs Kerajaan Galuh, salah satu Kerajaan Tertua di Jawa Barat. Dari beberapa sumber saya mengetahui bahwa ternyata dahulu Kerajaan Galuh tidak bisa terkalahkan oleh Kerajaan Majapahit, terlebih lagi dengan pengkhianatan yang dilakukan Gajah Mada dengan membunuh semua keluarga Raja Galuh dengan cara perkawinan. Rombongan yang besar menuju Kerajaan Majapahit untuk mengawinkam Putri Raja Galuh dengan Raja Majapahit, tapi Patih Gajah Mada membunuh semuanya dengan cara mengatakan kepada rombongan bahwa mereka bukan akan menikahkan akan tetapi memberikan puterinya sebagai upeti. Berkenaan dengan hal ini semua berdampak orang Sunda (Suku di Jawa Barat) amat membenci orang Jawa (permusuhan tradisional). Ini semakin kentara ketika zaman Soeharto, dimana ketika itu Soeharto begitu menjaga peninggalan-peninggalan Kerajaan Jawa, akan tetapi sepertinya tidak memperdulikan situs-situs Kerajaan Sunda. Bahkan sebuah batu prasasti yang membuktikan Prabu Siliwangi di daeah Bogor menurut sebagian besar orang Sunda sudah dihilangkan, belum lagi situs-situs lainnya yang terus hilang. Kenapa saya memberikan contoh cerita ini kepada kita semua, saya hanya ingin memberikan gambaran bahwa begitu juga halnya yang terjadi antara Gayo dan Aceh, memang permusuhan tradisional itu sudah ada. Di Jawa ini oleh para pendiri Negara kita diantisipasi dengan cara pemekaran wilayah Jawa, menjadi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, kesemuanya sebenarnya jika ditelusuri adalah diakibatkan oleh adanya perbedaan kebudayaan. Dan ketika ini dipisahkan menjadi masing-masing wilayah pedamaian dapat terjadi dan pembangunan dapat terlaksana dengan baik, perlu saya juga sampaikan bahwa sampai sekarang dimanapun (ex: Jakarta) antara Sunda dan Jawa itu selalu bersaing, dan satu lagi bahwa ternyata kedua suku tersebut mempunyai bahasa yang berbeda sekali seperti halnya Gayo dan Aceh. Saya hanya ingin menegaskan bahwa memang ada perbedaan antara Gayo dan Aceh, tidak usah ditutup-tutupi dengan persaudaraan, karena sesungguhnya kita juga bersaudara dengan suku manapun selama dia mengucapkan syahadat. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana kita mensikapi perbedaan yang terjadi itu.

Yang kedua, banyak dari suku Gayo yang menjadi korban oleh GAM, ntah itu suku Gayo asli, suku Jawa, Padang, dsb, hanya kerana mereka tidak mau mengikuti GAM. Yang menjadi permasalahan adalah pengorbanan mereka tidak hanya fisik tapi juga psikis, pernahkan anda semua bayangkan bagaimana petani Gayo kesulitan untuk memasarkan hasil kopinya ? Berapa banyak kerugiannya ? Pernahkah kalian semua bayangkan sulitnya BBM dan kebutuhan pokok lainnya ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkan kalian tahu sakitnya Ama dan Inenya ketika mengetahui anaknya dipaksa menjadi anggota GAM atau keluarganya diancam dibunuh ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkan taunya sakitnya para transmigran Jawa, tanpa bersenjata mereka disiksa, dibilang binatang, apakah mereka tidak seiman dengan kita ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernahkah kalian tahu betapa sulitnya menentukan sikap, harus menjadi mata-mata siapa, GAM atau TNI, karena semuanya berakibatkan kematian dan siksaan ? Berapa banyak kerugiannya ? Atau pernhakan kalian tahu anak-anak kami semakin kehilangan kesempatan mendapatkan kehidupan yang layak ? Berapa banyak kerugiannya ? KENAPA ? Karena semua PERANG BODOH INI.

Yang ketiga, apakah ada keadilan MoU Helsinky itu ? Contoh hanya ada keadilan bagi Militer TNI yang melanggar HAM, tapi tidak bagi anggota GAM. Jadi sudah sepatutnya kami orang Gayo menuntut pelanggarana HAM yang dilakukan GAM, bukan hanya TNI. Tahukah anda semua kenapa terjadi kejadian Atu Lintang, karena semua rakyat daerah tersebut sudah jengah dengan tingkah laku KPA yang selalu meminta-minta dengan seenaknya, sehingga massa yang akhirnya menghukum mereka. Apakah kalian tahu orang Jawa yang membakar itu mengatakan bahwa saya melakukannya karena mereka juga dahulu melakukan hal yang sama dengan keluarga saya, menyedihkan bukan. Pembunuhan yang dilakuakn dengan aksi massa itu harusnya sudah membuka mata kalian semua bahwa rakyat Gayo sudah bosa dengan semuanya. Ini sepertinya tidak terjadi di Takengon saja, akan tetapi hanya orang Gayo saja yang berani menentang GAM sejak dahulu kala. Sering saya ke Banda Aceh, mereka selalu mengatakan bahwa KPA atau anggota GAM saat ini sudah formal melakukan pemaksaan untuk meminta jatah. Ini adalah masalah ketidakadilan, bukan saja permasalah akar rumput. Jika ingin mencapai perdamaian maka penuhi dulu keadilan. Atau jika mau adil maka tidak ada perdamaian dengan MoU Helsinky tapi betul-betul menuju perdamaian untuk rakyat Aceh bukan GAM.

Rasanya saya tidak perlu memberikan tanggapan tentang bahan olok-olokkan suku mana dengan mana, yang pasti adalah orang Jawa sudah membuktikan bahwa mereka memang suku tertua yang ada di Indonesia, situs di Solo. Ini juga menandakan bahwa memang bermacam ragam suku, ini adalah sunnatulaah bahwa Allah menciptakan manusia memang untuk beragam suku untuk saling mengenal dan berinteraksi. Intinya adalah jangan kita menghilangkan perbedaan tapi jadikan perbedaan itu sebagai sebuah kekayaan dalam persatuan, Bhineka Tunggal Ika.

Sebelum saya mengulasi tulisan Bang Win Wan Nur tentang ALA, ada baiknya saya mengulas sedikit tentang sifat orang Gayo. Ada sebuah buku karangan Snouckronge (Orientalis Islam, Penulis yang handal), judul bukunya GAYO, tebal sekali hampir 1000 halaman lebih, saya mendapatkannya di LIPI Jakarta, disitu ia menuliskan sejarah Kerajaan di Gayo. Seorang Snouckronge saja mengatakan bahwa ada suku asli Aceh disana suku Gayo dengan sifat keterbukaan, keramahan, mempunyai daya ingat tinggi dalam melakukan pemetaan wilayah. Ia mengatakan dalam tulisannya bahwa Suku Gayo itu mengangkat ‘maaf’ pembantunya dari suku batak yang diajak yang kedepannya sekarang banyak juga perkawinan silang dengan suku batak (bahkan ada yang menyebutkan orang Gayo dekat dengan Batak Karo), kemudian kerap kali melakukan perkawinan antar suku, ntah itu Aceh, Padang, dsb. Dalam tulisannya jelas bahwa suku Gayo bukan seorang dengan sukuismenya yang terlalu tinggi. Ini terbukti sampai sekarang bagaimana suku Gayo begitu dekat dengan transmigran Jawa, begitu juga halnya dengan Aceh, mohon maaf banyak keluarga saya yang menikahi suku Aceh atau dalam adatnya diangkap bahkan ada yang dibeli. Anda silahkan baca buku ini, sebagai rujukan bagaimana Gayo itu sesungguhnya lengkap dengan Kerajaan-kerajaan yang ada dan pecahannya, juga dengan Kerajaan Linge. Buku ini dapat dijadikan sebagai rujukan teman-teman orang Gayo yang ingin tahu adat istiadat orang Gayo.

Aceh Louser Antara (ALA) atau sebelum GALAKSI atau ntah apalagi sebelumnya. Yang perlu saya informasikan adalah gerakan ini sudah ada sejak zaman Bupati I Aceh Tengah, Mude Sedang, waktu itu jejaringnya sudah dibangun juga seperti yang terjadi sekarang. Ini juga diakibatkan pemikiran tetua kita dahulu bahwa memang sudah terjadi ketidakadilan dari Aceh kepada orang Gayo, dari sejarah maupun banyak factor lainnya. Yang menjadi permasalahan waktu itu adalah keinginan dari tetua kita untuk orang Aceh memberikan penghormatan orang Gayo, seperti pengakuan bahwa penduduk asli Aceh adalah Gayo, penghormatan kepada Pahlawan-pahlawan Gayo.

Kemudian rakyat Gayo dengan sikap terbukanya juga menjadikan rakyat Gayo sebagai salah satu suku yang beragam asalnya dan selalu mengutamakan budaya malu. Malu Berkhianat. Ketika Takengon dengan Rimba Rayanya menjadi corong pengakuan kemerdekaan di dunia internasional, ketika orang Gayo tahu sekali dengan NKRI makan tetap dengan NKRI, pantang jilat diludah. Tidak seperti halnya ‘maaf’ Hasan Tiro, yang katanya merupakan salah satu keturunan Pahlawan Nasional Teuku Cik Ditiro, Kakeknya menjadi pembela NKRI, cucunya menjadi pemberontak NKRI. Sebenarnya ini bagi orang Gayo adalah malu. Yang menarik dari suku ini adalah mereka itu dari pada meminta-minta, atau merampok, mereka lebih baik ke kebun kopi, makanya ketika ada yang mengatakan orang Gayo malas perlu dipertanyakan atas dasar apa ? Persamaan ini pulalah yang menyebabkan antara Gayo dan Jawa menjadi satu, suka berkebun dan bertani, tidak suka perang. Tapi jangan tanyakan keberanian orang Gayo untuk berperang dengan Kafir, bukan dengan seiman, mereka lebih berani dari semua orang Aceh, lihat saja Aman Dimot dan masih banyak lagi Muyang atau Datu kita yang dicincang oleh Belanda dan Jepang.

Ada 2 hal yang menarik yang dikatakan Win Wan Nur, yaitu ALA adalah solusi masalah mengakibatkan masalah dan meragukan para pejuang ALA.

Ketika Win Wan Nur mengatakan bahwa ALA adalah solusi yang mengakibatkan masalah menjadi masalah, maka sesungguhnya yang terjadi ialah ia telah membenarkan sekaligus mengancam rakyat Gayo bahwa jika ada ALA maka akan terjadi ketidakamanan. Kemudian pertanyaannya adalah siapa yang melakukan ketidakamanan ? Jawabannya pun mudah pastinya GAM. Jelas tidak mungkin rakyat Gayo akan menimbulkan ketidakamanan, jelas tidak mungkin juga orang Gayo akan mengusir orang Aceh yang banyak sudah menjadi saudar karena perkwinan seperti halnya dengan orang Jawa, Batak dan Padang, dsb. Kembali pertanyaannya, kenapa GAM yang tidak setuju ? Sudah jelas kiranya dari pernyataan Nazar yang mengatakan mundur jika ada pemekaran atau yang dikatakan Fauzan, Panglima Tinggi GAM di Gayo bahwa akan ada perang jika terjadi pemekaran. Yah, sebenarnya semua orang dapat melihatnya dengan kasat mata saja.

Ketika Win Wan Nur meragukan para pejuang ALA yang ke Jakarta dengan alasan menggunakan blankon, yang saya pertanyakan adalah sudahkah ia klarifikasi bahwa dari 470 an orang tersebut hanya ada 40 orang Kade dari Jawa, apakah semuanya dikatakan berblankon ? Kasihan. Yang terhormat Abang Win Wan Nur, tolong dicatat bahwa sebagian besar mereka adalah orang Gayo. Inikah yang abang ragukan perjuangannya ? Maaf kembali alasan ini terlalu dibuat-buat.

Berbicara scenario, scenario 1, scenario 2, kenapa tidak ada scenario 3 dan 4 atau 5 sekalipun. Seorang perencana yang matang harus mempunyai banyak scenario, akan tetapi dengan tujuan yang satu. Bukan banyak scenario dengan tujuan yang banyak pula, itu bukan scenario tapi sebuah kontra scenario.

Ucapan Ban Win Wan Nur ketika mengatakan “Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?”. Seperti halnya menantang orang Gayo, tidak usah ditanyakan kepada mereka Bang, sekian puluh tahun mereka terkena konflik mereka tetap mendukung NKRI, sudah jelas kan kepada siapa orang Gayo itu berafiliasi, karena rakyat Gayo bukan pengkhianat NKRI, bukan yang suka menjilat lidahnya sendiri, bukan yang suka menipu-nipu, lebih baik ke kebun dari pada meminta pajak nanggroe. Statement Bang Win Wan Nur itu untuk TNI ? Kenapa juga tidak ditanyakan kepada rakyat Gayo siapkah anda kembali merakit senjata untuk melawan pemberontak ? Jangan pancing keberanian orang Gayo, jangan menganggap lemah orang Gayo Bang. Muyang Datu kita bukan orang lemah, semua orang Aceh takut dengan orang Gayo, tanyakan sejarah. Sedih saya ternyata semakin banyak yang menganggap remeh orangnya sendiri. Kalau seperti ini lebih baik kita berperang akan tetapi harga diri dan marwah orang Gayo terjaga. Maaf, saya tidak suka anda menganggap rendah orang Gayo.

Tujuan ALA hanya satu yaitu masyarakat ALA yang sejahtera, jelas. Skenarioanya banyak ya jelas harus memikirkan banyak perencanaan kedepannya. Saya sebenarnya sudah sering kali pentingnya ALA, bagaimana yang mempermudah penangkapannya. Salah satu contohnya adalah seringkali kita mengataknan rentang kendali yang terlalu jauh, sehingga tidak tertangani daerah Gayo oleh NAD, atau ALA adalah percepatan dalam pembangunan masyarakat ALA, SDA ALA untuk masyarakat ALA, SDM ALA akan dapat dilakukan percepatan dalam membangunnya. Oh ya, mudahnya begini sajalah, selain itu semua pemekaran itu dimaksudkan untuk menuju perdamaian dan keamanan yang abadi, pemekaran itu akan memecahkan kekuatan GAM untuk merdeka sehingga tidak ada lagi pemberontakkan di NKRI, pemekaran itu untuk mencegah terjadinya pemberontakkan kembali oleh sebagian rakyat Aceh karena tingkat kesejahteraan semakin tinggi, pemekaran itu akan lebih mengangkat harkat, martabat dan marwah orang Gayo (bayangkan dengan adanya ALA sejarah akan diluruskan, dengan adanya ALA adat isitiadat orang Gayo akan terangkat, dengan adanya ALA anak-anak tidak memikirkan perang dan dendam lagi, dengan adanya ALA keamanan bisa dijaga oleh orang ALA sendiri tidak oleh TNI atau GAM, dengan adanya ALA semua rakyat Gayo bisa berdiri di kakinya sendiri, dst.. dst… ). Menurut saya Bang Win Wan Nur, jika kita berpikir ke depan dan tidak ada maksud apapun, hanya untuk masyarakat Gayo maka kita semua harus mempertanyakan kecintaan orang Gayo yang menolak ALA.

Skenario Dialog, bukannya saya anti dialog, itu pula yang saya perntanyakan ketika Gorontalo ingin pisah dari Sulawesi Utara, ternyat memang ada perbedaan disitu, orang Gorontalo itu kebanyakan muslim, ada perbedaan budaya disitu. Atau ketika Maluku menjadi 2 dengan Maluku Utara, atau Irian dengan Irian Barat guna memberikan perhatian terhadap daerah yang sedemikian luas, dan yang membuat saya terkesima adalah pemekaran Banten dari Jawa Barat, yang lebih membuat saya heran lagi ternyata untuk pemekaran wilayah Banten tidak perlu ada persetujuan dari Gubernurnya. Yang berhasil maju sampai saat ini untuk daerah pemekaran adalah Banten dan Gorontalo, sangat maju. Yang menjadi aman karena pemekaran adalah Maluku Utara dan Irian Barat. Dialog juga dilakukan ketika Banten ingin keluar dari Jawa Barat, tapi tetap bisa dilakukan karena rakyat Banten bersatu padu mendukungnya. Apakah anda juga tahu sudah berapa banyak pemekaran yang dilakukan tingkat Kabupaten/Kota sudah amat banyak, jika ingin dilihat hasilnya mari kita tunggu.

Kembali ke Dialog, sudah sekian tahun Irwandy menjadi Gubernur tapi belum ada sebuah kebijakan yang amat mendasar untuk orang Gayo, belum ada. Sejarah orang Gayo masih dilupakan, asik saja Bapak Irwandy memberikan kesejahteraan untuk mantan anggota GAM melalui KPA-KPA nya atau mempersiapkan Partai Lokalnya. Belum lagi tahun 2009 dana BRR sudah habis, bagaimana ia harus menghadapi anggota GAM yang tidak terdidik dan tidak mempunyai keterampilan, bagaimana jika Partai Aceh gagal memenangkan Pemilu. Dialog seperti apa yang akan dilakukan ? Seharusnya Irwandy jika memang mencintai rakyat Aceh,maka ia akan menyetujui pemekaran ini untuk mencegah teradinya pemberontakkan kembali, karena internal GAM sendiri tidak mampu lagi menutupi perpecahan yang terjadi di kalangannya.

Sudah sekian lama rasanya berdialog, sehingga KP3ALA tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan cepat, karena dialog. Kemudian rakyat Gayo terus dalam ketidaktentraman, ketidakamanan, penekanan.

Terakhir, hai Pemuda dan Pemudi Gayo, enti kam bewen kam pegeson, erahen urang Gayo ni berani, si memude. Kite urang mude ara we si mu idealis, enti kite I kuduk dor, kite turah tar arap. Mera ke anak cucu kam sabe wan karu, ike kite nge gere cocok urum urang Acih enti mi ne I paksa, sara keduduken, bersaing. Gerara ne terror, bayak mi aten kam bewen mu kin urang mu.

Orang Gayo itu bukan rakyat pengecut yang mudah ditakut-takuti, hanya saja selama ini sedang terlena, berapa banyak korban yang jatuh karena PERANG BODOH ini, berapa banyak tekanan yang terjadi. Semua sudah cukup. ALA adalah solusi bagi orang Gayo yang memang cinta kepada Gayo, ALA adalah masa depan kita, mohon bisa lihat semuanya untuk masa yang akan datang, bukannya esok hari, tapi lihatlah 10 tahun yang akan datang.


Berijin.
Kosasih Bakar
Anggota Asosiasi Korban GAM

Skenario Lain Seandainya ALA Terbentuk

Belakangan ini sejak saya tidak terlalu aktif di milis, saya melihat kemunculan dua orang miliser yang cukup memberi warna di milis ini, kedua miliser itu bernama Kosasih Bakar dan Lembide Gayo yang keduanya menyuarakan keresahan orang Gayo yang merasa terpinggirkan di Aceh, beberapa argumen mereka cukup berbobot.

Dalam beberapa hal, saya sependapat dengan kedua orang serinen saya ini (kalau benar keduanya adalah orang gayo). Saya sepakat dengan apa yang mereka katakan tentang adanya diskriminasi dalam relasi sosial kesukuan terutama antara Gayo dan Aceh. Saya sepakat dalam hal ini karena saya sendiri pernah tinggal di Banda Aceh selama 13 tahun. Selama masa itu terutama di masa-masa awal keberadaan saya di Banda Aceh. Status saya sebagai suku Gayo seringkali menjadi bahan olok-olok. Pernah juga hubungan saya dengan pacar saya tidak direstui orang tuanya hanya karena saya orang Gayo. Tapi belakangan ketika saya mulai lebih akrab dengan orang Aceh dan sayapun mulai fasih berbahasa Aceh, saya merasakan hubungan itu perlahan-lahan mulai mencair. Mereka sudah tidak pernah lagi melecehkan saya, meskipun dari nama saya yang cuma satu-satunya di dunia ini, teman-teman Aceh saya tetap tahu kalau saya adalah orang Gayo.

Hal kedua yang saya sepakati adalah pernyataan Lembide Gayo tentang adanya rasa ketidak setujuan orang Gayo atas perang yang terjadi di Aceh. Perasaan itu lahir karena orang Gayo beberapa kali merasa dikhianati, misalnya saat Darul Islam dulu, pasukan Gayo yang tengah berjuang mempertaruhkan nyawa dan menunggu bantuan dari pesisir malah mendapati Tgk Daud Beureueh telah menerima tawaran damai. Begitu juga dengan kasus Teungku Ilyas Leubee, meskipun saya yakin Almarhum dan keluarganya tidak berpikiran seperti yang dikatakan Lembide Gayo itu. Tapi harus diakui kalau anggapan atau Ide bahwa Tengku Ilyas Leubee dijadikan tumbal dalam perjuangan banyak berkembang di Tanoh Gayo. Dalam hal ini saya sepakat dengan Lembide Gayo bukan berarti saya menyetujui pandangannya itu. Tapi saya setuju dengan Lembide kalau pandangan seperti itu memang ada dan berkembang di dalam omongan sehari-hari di antara masyarakat di Tanoh Gayo, pandangan yang menimbulkan kekecewaan terhadap Suku Aceh yang selama ini kami anggap sebagai saudara.

Yang tidak saya setujui dari kedua serinen saya ini adalah solusi yang mereka tawarkan untuk memecahkan persoalan itu yaitu MENDIRIKAN PROVINSI BARU.

Saya punya banyak alasan untuk tidak menyetujui SOLUSI seperti itu, alasan utamanya adalah karena solusi seperti itu merupakan solusi dengan type menyelesaikan masalah dengan membuat masalah. Solusi model seperti ini jika kita lihat di sepanjang sejarah peradaban manusia tidak pernah ada sejarahnya bisa menyelesaikan masalah, melainkan menjadikan masalah yang tidak terlalu rumit menjadi sangat rumit.

Bentuk kongkrit dari SOLUSI ini, kedua serinen saya ini menawarkan ALA sebagai alternatif, tapi apakah benar ALA ini akan menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang?...mari kita uji.

Apakah benar ALA bisa menyelesaikan diskriminasi yang bernuansa etnis?...sejujurnya saya sama sekali tidak yakin. Alasannya sebagai berikut :

ALA tidak akan mampu menyelesaikan diskriminasi bernuansa etnis, karena diskriminasi bernuansa etnis dan kelompok seperti ini bukanlah melulu terjadi antara Gayo dan Aceh tapi merupakan fenomena Global. Di bagian manapun di belahan bumi ini yang memiliki komunitas dengan cara pandang atau cara hidup apalagi etnis yang berbeda, diskriminasi semacam ini selalu ada.

Di Medan, orang Medan selalu melecehkan orang Aceh, saya yakin banyak dari kita yang hapal olok-olok khas Medan yang menjadikan orang Aceh sebagai objek.
Di Jakarta, orang Jawalah yang menjadi bahan olok-olok.
Di Surabaya, orang Madura yang menjadi bahan olok-olok.
Di Bali orang Banyuwangi yang menjadi bahan olok-olok
Di Banyuwangi sendiri orang Jember yang dijadikan bahan olok-olok.
Di luar negeri juga begitu, misalnya di Thailand..di Bangkok, orang dari utara (Chiang Mai dan Chiang Rai) selalu dipandang rendah.
Di negara maju semacam Amerika dan Eropapun diskriminasi semacam ini tetap terjadi, di Amerika orang melecehkan dan menganggap rendah orang hispanik dan negro. Di Perancis, orang Paris menjadikan orang Marseille dengan logat selatannya sebagai bahan tertawaan.

Bahkan di Tanoh Gayo sendiri, di Takengen, dulu ketika saya masih kecil oleh orang Gayo asli Takengen sebagai orang Gayo asal Isak saya sering diolok-olok sebagai 'urang Isak pekak-pekak'. Apakah kalau itu juga nanti tetap terjadi saat ALA berdiri saya harus minta Linge memisahkan diri dari ALA dengan Isak sebagai ibukota baru provinsi Linge?

Kalau ALA jadi dibentuk, atas dasar apa kita bisa memastikan kalau nantinya juga tidak terjadi diskriminasi antara Aceh dan Gayo dengan Gayo sebagai pihak aktif?...apakah nantinya kalau ALA berdiri orang Aceh yang sudah terlanjur tinggal di wilayah ALA harus diusir semua?

Jadi menurut saya, solusi untuk masalah ini hanya satu...kita perbanyak dialog antara Gayo, Aceh dan suku-suku lainnya sehingga antara kita terjalin hubungan yang lebih erat, perbedaan dan kesalah pahaman antara kita bisa terjembatani. Mengenai caranya bisa kita bicarakan asalkan ada niat ke arah itu.

Yang kedua, soal perasaan orang Gayo yang merasa dikhianati...ini lebih sulit, meskipun fakta tentang adanya pengkhianatan ini sulit dibuktikan secara empiris. Tapi fakta bahwa perasaan itu ada dalam diri sebagian orang gayo tidak dapat dibantah. Untuk ini Irwandy, Nazar dan orang-orang yang berada di pucuk tertinggi pemerintahan harus memperkuat komunikasi dengan orang Gayo dan meyakinkan orang Gayo kalau anggapan mereka itu tidak benar adanya.

Lalu ada lagi keluhan dari Kosasih tentang perdamaian yang sekarang ini hanya menguntungkan segelintir pihak. Ini adalah keluhan khas di akar rumput. Meskipun mungkin jika secara umum kita melihat perdamaian ini dan besarnya dana yang menyertainya telah membuat Aceh lebih baik dari sebelumnya. Tapi jika kaca mata yang dipakai adalah kacamata orang yang tidak menikmati secara langsung dana yang menyertai perdamaian itu maka apa yang terlihat akan sangat berbeda. Dari kacamata orang yang tidak menikmati dana-dana tersebut secara langsung yang terlihat adalah seperti apa yang dikatakan Kosasih Bakar. Hanya petinggi-petinggi GAM yang mendapatkan manfaat dari perdamaian.

Untuk inipun solusinya jelas bukan mendirikan provinsi baru, karena kalau provinsi baru juga berdiri nantinya. Tidak ada jaminan hal seperti ini tidak terulang. Buktinya belum jadi provinsi saja, praktek seperti ini sudah terjadi. Contohnya di Takengen, saat Orang Isak jadi Bupati ya orang Isak yang banyak mendapat bagian proyek, saat hari ini orang Bebesen yang jadi Bupati ya orang Bebesen yang dapat bagian proyek, orang Isak gigit jari.

Solusi untuk masalah ini kuncinya ada di para petinggi pemerintahan, bagaimana mereka bisa mendistribusikan kemakmuran itu secara lebih merata. Lalu perlu ada tekanan kuat dari bawah agar di Aceh dibentuk badan super semacam KPK yang bersifat lebih lokal. Sebab harus kita akui, selama ini pengawasan terhadap lalu lintas dana-dana bantuan ini lemah sekali.

Dalam banyak argumen pro ALA, saya sering melihat mereka menggunakan momen rombongan Kepala Desa berblangkon ke Jakarta atau kerumunan Massa yang menuntut berdirinya ALA sebagai cerminan keinginan seluruh rakyat Gayo untuk mendirikan provinsi baru.

Saya sangat tidak sepakat dengan pandangan ini, alasannya; selama ini dalam propaganda pembentukan provinsi ALA, masyarakat hanya disodori satu skenario, masyarakat hanya diberitahukan satu kemungkinan yaitu seandainya ALA berdiri masyarakat akan makmur dan aman. titik. Tidak ada kemungkinan apapun lagi!...Tapi apakah benar hanya ada satu kemungkinan skenario seperti itu kalau ALA jadi dibentuk?...tentu saja tidak.

Ada skenario lain, misalnya kalau ALA berdiri ada kemungkinan konflik kembali pecah, ada kemungkinan pasukan dalam jumlah besar akan didatangkan kembali ke Tanoh Gayo, dalam konflik seperti itu besar kemungkinan penculikan dan pembakaran marak kembali.

Jadi kalau kita ingin tahu keinginan masyarakat Gayo yang sebenarnya menyangkut ALA ini, seharusnya kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam skenario kedua ini juga diinformasikan secara seimbang, agar masyarakat bisa menimbang sendiri kemungkian-kemungkinan itu. Kita harus tanyakan kepada masyarakat Gayo, apakah untuk memperjuangkan ALA mereka siap untuk tiap malam jaga malam lagi?...apakah mereka siap untuk membuat barikade di setiap jalan lagi?...apakah mereka siap untuk memberikan kendaraan mereka dipinjam tiap hari oleh anggota pasukan kapanpun mereka mau seperti dulu lagi?.

Untuk mendapatkan pendapat yang sebenarnya dari masyarakat Gayo, kemungkinan-kemungkinan di atas perlu kita sosialisasikan karena secara peluang, jika ALA berdiri DALAM SITUASI PERDAMAIAN YANG MASIH SANGAT RAPUH seperti sekarang ini. Dibandingkan dengan skenario pertama yang selama ini selalu diteriakkan oleh para Propagandis ALA, justru skenario kedua seperti yang saya sebutkan di atas jauh lebih besar kemungkinannya untuk terjadi.

Wassalam

Win Wan Nur
Ketua Forum Pemuda Peduli Gayo
www.gayocare.blogspot.com