Rabu, 16 April 2008

Dialog Dengan Marxis Pemuja Jawa

audara-saudaraku sekalian, dialog saya dengan pemuja Jawa yang bernama Roysepta Abimanyu berlanjut, dalam dialog kali ini akhirnya si pemuja Jawa ini menunjukkan jati diri aslinya yang seorang MARXIS/KOMUNIS.

Dalam dialog kali ini pula si pemuja Jawa ini menampilkan wajah aslinya, ternyata pernyataan-pernyataan bodohnya dalam dialog-dialog sebelumnya dengan saya ternyata hanyalah KAMUFLASE si pemuja Jawa ini untuk menyembunyikan maksud aslinya, ketika dia tampak bodoh di hadapan saya saat berbicara tentang antropologi, ternyata itu bukanlah pengetahuannya yang sebenarnya, sebaliknya ternyata dia sangat paham tentang antropologi, bahkan jauh lebih paham daripada saya sendiri. itu dia lakukan bisa jadi untuk menjebak dan memprovokasi saya untuk mengeluarkan kalimat-kalimat yang nantinya akan dia gunakan untuk menyerang balik saya (ini taktik khas Jawa yang sudah sangat saya hapal) atau itu dia lakukan semata untuk memanipulasi FAKTA bahwa keberagaman itu memang ada fakta bahwa GAYO/ACEH memang berbeda dengan JAWA.

Ternyata Roysepta Abimanyu yang MARXIS/KOMUNIS ini adalah seorang sarjana lulusan PERANCIS yang entah dengan maksud apa, justru sekarang berada di Aceh, bersama kita, berusaha merusak pemahaman kita dan berusaha menipu kita dengan membangun opini bahwa KEBERAGAMAN itu TIDAK ADA, Roysepta Abimanyu berusaha mengacaukan opini dengan menggambarkan bahwa seolah-olah INDONESIA ini adalah sebuah bangsa yang real bukan sebuah bangsa artifisial buatan Belanda.

Roysepta Abimanyu, ternyata sengaja mencari gara-gara dengan menyerang tulisan saya yang menolak ALA dengan maksud untuk membangun opini bahwa kamilah GAYO yang sekarang sedang menzalimi Jawa, bukan sebaliknya.

Saya tidak mengenal orang ini secara fisik, tapi kepada saudara-saudaraku saya ingatkan orang ini "had nyoe na diantara geutanyoe syedara lon ureung Aceh"...bahkan menurut pengakuannya dia sering minum kopi di Solong, karena itu berhati-hatilah atas semua gerakannya dan waspadai dan kenali pula taktik politik ala Jawa-nya.

Berikut ini dialog lengkap saya dengan si Pemuja Jawa yang ternyata MARXIST ini!

Kronologis lengkap perdebatan ini dari awal thread ini dibuka bisa dibaca di www.gayocare.blogspot.com
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Roysepta Abimanyu : Bung Win Wan Nur,

Win Wan Nur : Iya Bung Roysepta Abimanyu, saya harap kali ini anda puas, nama anda saya tulis lengkap.

Roysepta Abimanyu : Win Wan Nur bagian dari Gayo, tapi Gayo tidak sama dengan Win Wan Nur.

Win Wan Nur :Ini adalah klaim khas anda berbungkus kata-kata canggih tapi pemahaman amburadul, mau bukti?...yuk kita blejeti pernyataan anda.

Pernyataan anda di atas adalah logika dasar yang sedikit anda pelintir sesuai karakteristik anda yang saya amati selama ini, premis pertama anda "Win Wan Nur bagian dari Gayo" benar karena Win Wan Nur memang adalah bagian kecil dari Gayo, tapi premis kedua anda "Gayo tidak sama dengan Win Wan Nur" ya salah besar (saya tidak mengatakan ngawur karena saudara kita di Kalimantan tidak nyaman dengan sebutan itu) karena bertentangan dengan premis pertama anda sendiri , karena Gayo sendiri adalah kumpulan dari individu-individu dan hanya disebut Gayo karena di dalamnya ada individu-individunya, salah satunya adalah Win Wan Nur...yang anda katakan secara sangat salah TIDAK SAMA DENGAN GAYO ini.

Jadi pernyataan anda di atas Jelas TIDAK LOGIS. Ngomong sok canggih seperti ini kan memang ciri khas anda yang seperti biasa juga ujung-ujungnya anda kelelep sendiri sama omongan anda, persis seperti tuduhan-tuduhan anda yang lain kepada saya seperti bilang saya STEREOTIP eh pas diblejeti kok ternyata anda sedang berbicara tentang diri anda sendiri.

Kalau mau main kata-kata begitu, ini saya benerin logika anda WIN WAN NUR adalah satu elemen kecil yang menyusun Gayo dan sekecil apapun elemen itu WIN WAN NUR adalah GAYO jadi WIN WAN NUR = GAYO meskipun jelas bukan SELURUH GAYO dan sayapun tidak pernah mengklaim Win Wan Nur adalah SELURUH GAYO.

Ini juga berlaku bagi orang-orang KP3ALA, Apakah karena Rahmat Salam dan Iwan Gayo adalah limbah-limbah suku kami lalu Rahmat Salam dan Iwan Gayo tidak sama dengan Gayo?...ya nggak begitu, mereka tetap saja Gayo, meskipun statusnya LIMBAH.

Kalau saya katakan Roysepta Abimanyu bukan bagian dari Gayo, tapi merasa lebih tahu dan lebih pintar soal Gayo daripada Win Wan Nur, ini lebih benar lagi dan nggak ada yang bisa membantah.

Begitu logika yang benar bung Roy...wah ternyata sebelum kita berdebat di Solong banyak sekali hal yang harus anda pelajari ya Roysepta Abimanyu.

Roysepta Abimanyu : Sebenarnya saya salut dengan determinisme anda untuk membuktikan bahwa pandangan anda tentang "Jawa" bukanlah pandangan stereotip.

Win Wan Nur : Anda ini sudah berkali-kali saya bilang, pernyataan anda tentang "saya yang menilai Jawa dengan pandangan stereotip" itu adalah imajinasi anda sendiri dan cuma eksis dalam fantasi anda sendiri, kok nggak ngerti-ngerti ya, pakai bilang salut dengan determinisme lagi.

Ya udah sekali lagi saya bilang, ide tentang saya yang menilai jawa secara stereotip itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah imajinasi di dalam kepala anda THOK, FAKTA yang sebenarnya adalah cara menilai secara STEREOTIP adalah cara khas anda dalam menilai, sebaliknya cara itu sama sekali ABSEN dari diri saya.

Tapi ngomong-ngomong soal salut sayapun jujur saja sangat salut dengan anda, jujur saya akui sejauh ini andalah lawan diskusi saya yang paling tahan lama

Roysepta Abimanyu : Begitu deterministiknya sehingga tidak telihat mana yang merupakan bumbu diskusi atau mana yang argumentasi serius.

Win Wan Nur : Ck ck ck, nggak bosan-bosannya anda ini pakai jurus Jawa yang udah terbukti nggak mempan ini, udahlah nggak usah mbulet dan muter-muter, tunjukkan saja mana bumbu diskusi yang nggak serius dan mana argumentasi serius menurut anda biar kita blejeti lagi.

Roysepta Abimanyu : Anda membawa ini menjadi persoalan "pemuja Jawa"

Win Wan Nur : Lagi-lagi, anda ini lempar batu sembunyi tangan, anda sendiri yang dalam seluruh tulisan anda yang begitu Jawa sentris, kok malah bilang saya yang membawa ini jadi persoalan.

Untuk membuktikan omangan saya mari kita baca tulisan anda yang tidak saya potong-potong ini, ini tulisan anda sendiri ketika anda berusaha membantah argumen saya yang mengatakan Jawa tidak militan :

"Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa? Anda bisa sebut PKI, DI/TII, PRD, Jamaah Islamiyah. Semuanya punya kader orang Jawa dan semuanya punya "masa tempur" yang panjang. Kalau soal "disiram peluru", anda mungkin belum mendengar pengepungan Kandang Menjangan (markas kopassus) oleh warga (yangmayoritas Jawa dan tak punya senjata), "pertempuran" Semanggi I dan II di mana fakta lapangan justru menunjukkan jumlah mahasiswa yang bertempur lebih
sedikit daripada warga setempat yang terlibat "pertempuran", dan saya yakin ada juga Jawanya tidak punya senjata ataupun struktur bersenjata seperti GAM. Atau anda mau dengar cerita ketika kantor Golkar Jatim dibakar massa Gus Dur? Sama juga, "disiram peluru" tapi masih ngelawan."

Dengan segala pemujaan ini, mengatakan di jawalah semua gerakan militan besar berasal, di jawa orang disiram peluru nggak lari dan mengatakan itu sebagai sifat militansi, untuk membantah argumen saya kalau Nilai-nilai luhur dalam budaya jawa tidak membentuk manusia Jawa memiliki sifat militan, masih mau ngeles bilang ini bukan omongan seorang pemuja JAWA...eh sekarang Anda memutar balikkan fakta dengan menuduh saya yang membawa persoalan ini menjadi persoalan "pemuja Jawa" he he he ..ini taktik basi bos, orang Aceh nggak sebego yang anda bayangkan, yang bisa tertipu dengan utak-atik gathuk mbulet-mbulet begini.

Karena dalam kacamata kami orang Aceh yang berkomunikasi suka terus terang dan apa adanya, Faktanya jelas urusan pemuja Jawa ini sama sekali tidak ada urusannyadengan saya, tapi KENYATAAN itu memang itulah yang tercermin dalam IDE yang ada dalam tulisan anda ingat bung Roy, ini diskusi milis saya nggak pernah tahu anda itu siapa secara genetik, saya tidak kenal Roysepta Abimanyu secara fisik, saya mengenal Roysepta Abimanyu hanya melalui IDE yang ada dalam tulisan anda.

Roysepta Abimanyu : dan "dipenuhi ide-ide Orde Baru".

Win Wan Nur : Inilah kalau anda terlalu larut dalam doktrin dan dogma, kemampuan menganalisa diri sendiri dan kemampuan berpikir kritis HILANG.

Soal tulisan anda dipenuhi Ide-ide Orde Baru ya memang begitulah faktanya, bahkan parahnya saya melihat ide-ide itu tidak datang dari kesadaran anda, tapi sudah tertanam di alam bawah sadar anda yang kental dengan doktrin ideologi MARXIS/KOMUNISTIK itu, kenapa saya katakan begitu?...karena anda saya lihat begitu mati-matian membantah keterkaitan ini dan jeals sekali anda tidak menyadari adanya keterkaitan tersebut, padahal meskipun katanya Orde Baru yang sangat anda benci itu sangat anti Komunis, tapi dalam prakteknya Orde Baru banyak sekali menerapkan ide-ide komunis yang salah satunya adalah ANTI KEBERAGAMAN.

Apakah ini cuma karangan saya karena saya benci Jawa atau saya sentimen pada anda?...mari kita buktikan, ingatkah anda pernah mengatakan TIDAK ADA SUKU YANG BERHAK MENGKLAIM TANAHNYA?...Semua suku itu pada dasarnya sama, Pengklasifikasian suku-suku di Indonesia itu tidak dikenal sebelum kedatangan Belanda dan pengklasifikasian suku-suku itu adalah hasil kerja para penjajah.

Semua propaganda kosong anda ini, Ini kan ide anti keberagaman individu, persis seperti pemaksaan satu kultur seperti yang dilakukan Soeharto dulu yang dengan kebijakannya menghancurkan seluruh sistem masyarakat di Indonesia di tingkat desa menjadi satu sistem seperti sistem desa di JAWA, sehingga keberagaman sistem sosial tingkat terendah yang bukan ala Jawa ini hanya tinggal bisa kita saksikan di BALI dan di beberapa kelompok suku pedalaman...kebersamaan dan anti perbedaan ini adalah IDE KOMUNIS.

Nah di sinilah letak kesamaan antara IDE KOMUNIS anda yang Marxist dengan IDE KOMUNIS Orde Baru yang Kapitalis nanggung yang katanya anti komunis itu.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda perhatikan, sekalipun saya menggunakan kutipan dari anda untuk memberikan kepada pembaca yang lain mana kalimat-kalimat yang anda bangun yang saya anggap sebagai ungkapan stereotip, saya tidak pernah memotong-motong jawaban penuh anda karena alasan irrelevansi. Saya ingin pembaca lain, terutama yang bagi pembaca yang baru mengikuti "perbincangan panas" ini, tidak kehilangan teks lengkap uraian yang saya kutip. Bahkan sering saya mengutip paragraf lengkapnya. Itu yang disebut fairness, apalagi
jika saya ingin memforward isi perbincangan ini ke milis lain, ataupun pembaca lain.

Win Wan Nur : Hua ha ha ha....asli saya ngakak membaca rengekan anda ini, lagi lagi anda pakai taktik basi strategi komunikasi ala Jawa yang penuh ewuh pakewuh yang sangat mengutamakan keindahan kemasan daripada isi, anda yang menyerang dan memprovokasi saya malah sengaja membuat diri seolah-olah sangat menderita sehingga yang terlihat seolah-olah sayalah yang menzalimi anda.

Benar taktik ini sukses diterapkan Soeharto pada Soekarno, Gus Dur pada Soeharto, Mega pada Gus Dur dan SBY pada Mega, tapi itu semua terjadi di Jawa bung Roy, bukan di Aceh ini, kalau di Jawa sikap menghiba-hiba seperti ini dianggap terhormat, di Aceh sini ya diludahi orang.

Gaya komunikasi saya yang praktis detail dan terbuka malah anda permasalahkan, saya memotong-motong itu bukannya menghilangkan konteks tapi justru memperjelas inti dari masalah yang anda permasalahkan, eh ini malah anda bilang saya tidak fair.

Lalu dengan sok bijaksananya anda bilang, anda nggak motong ucapan saya karena anda bilang "anda ingin pembaca lain, terutama yang bagi pembaca yang baru mengikuti "perbincangan panas" ini, tidak kehilangan teks lengkap uraian yang anda kutip?"..ini gaya ngeles khas Jawa dalam menyembunyikan ketidak mampuan anda yang tidak mampu mendebat saya dalam hubungan antara Gayo dan Jawa ini secara detail.

FAKTA yang benar mengenai keadaan ini adalah anda tidak memotong-motong tulisan saya secara detail adalah karena anda memang sengaja menghindari detail ketika mendebat saya, sebab anda memang tidak punya satupun ARGUMEN VALID untuk mendukung klaim-klaim dan fitnahan anda, modal anda mendebat saya cuma doktrin MARXIS/KOMUNISTIK di kepala anda itu ditambah sikap ewuh pakewuh khas jawa yang anda pakai buat ngelak kanan kiri waktu saya paksa untuk bicara detail.

Alasan sebenarnya kenapa anda tidak memotong-motong bahasan tulisan saya secara detail bisa jadi adalah karena argumentasi logis saya tidak sedikitpun memberi celah bagi anda untuk membuktikan bahwa argumen saya itu berdasarkan pandangan STEREOTIP. Tapi bisa juga nada punya alsan lain yang jelas bukan karena kebijaksananaan seorang Roysepta Abimanyu.

Mau bukti, silahkan balas semua argumen saya di tulisan ini secara detail, potong sesuka anda asal semua tulisan saya anda kutip utuh dalam seluruh bagian postingan anda?...buktikan anda memang punya argumen VALID dan mampu membahas relasi anatar Gayo dan Jawa secara detail, dan mampu membuktikan kalau semua argumen saya dasarnya adalah pandangan STEREOTIP. dengan begitu nggak perlu merengek-rengek bilang saya STEREOTIP lah Nggak fair lah, dan segala macam rengekan khas anak TK lainnya, kalau anda bisa menunjukkan klaim anda secara DETAIL anda bisa menunjukkan sendiri di mana letak tidak fairnya saya pada semua pembaca "perbincangan yang biasa-biasa aja tapi anda sebut "panas" ini (memangnya kopi pancung panas)...ha ha ha..santai sikit lah bos, nggak usah tegang kali!

Bicara soal fairness dan tidak kehilangan text, Anda pikir kami orang aceh yang membaca perdebatan ini sebegitu begonya yang cuma karena kalimat anda saya potong ini akan kehilangan pemahaman yang utuh atas kalimat anda?, Seperti saya katakan sebelumnya MASALAH TERBESAR anda adalah anda tidak bisa membedakan yang mana IMAJINASI anda sendiri dan yang mana KENYATAAN, sekali inipun yang anda permasalahkan itu adalah SUBJEKTIFITAS anda sendiri, dalam kepala anda anda mengkhayal kami ini Orang Aceh yang membaca perdebatan ini adalah kumpulan ORANG BEGO yang karena tidak seberuntung anda bisa kuliah di Perancis, sehingga tidak bisa menilai secara fair tulisan anda yang telah saya potong-potong agar pembahasannya lebih fokus.

Tapi apakah benar ORANG ACEH yang saya kirimi tulisan ini benar SEBEGO yang anda bayangkan?...apakah dengan pemotongan yang saya lakukan, mereka akan kehilangan pemahaman utuh tentang TEXT anda tersebut?...ya tentu saja tidak, itu cuma khayalan anda sendiri.

Toh kalaupun anda merasa sangat terganggu dengan gaya diskusi saya yang suka memotong kalimat agar permasalahannya jadi FOKUS ini, kenapa anda tidak mempost tulisan lengkap anda di milis-milis yang anda permasalahkan?...apakah saya pernah melarang?...atau malah apa saya punya kemampuan melarang?...bukankah sayapun tidak pernah meminta anda untuk menyerang saya, kelompok saya, suku saya dan bangsa saya?.

Terus selanjutnya mana lebih fair saya yang memotong-motong tulisan anda tapi memposting secara utuh, dibandingkan dengan anda yang sengaja mengelak dari argumen saya dengan membiarkannya tidak ditanggapi, lalu merengek-rengek di sini bilang saya tidak fair?

Kalau mau Fair...coba anda jelaskan kenapa anda tidak menjawab secara detail ketika saya kejar dengan pertanyaan atas pernyataan anda di bawah ini:

1. Ketika anda menyatakan tidak seorangpun yang berhak mengklaim tanah sebagai miliknya, saya bertanya "Kalau memakai logika Anda, kenapa Belanda diusir dari sini?, bukankah merekapun sebenarnya berhak atas tanah ini"

Mana jawaban detail anda untuk pertanyaan saya ini?...apakah sikap anda yang dengan sengaja mengelak untuk menjawab pertanyaan ini yang anda maksud lebih FAIR daripada memotong-motong kalimat anda yang tetap saya post secara utuh?

2. Ketika saya minta dijelaskan atas dasar dan maksud apa anda meletakkan angka 2000 di situ?

Mana jawaban detail anda?...anda hanya menjawab "Makanya, saya bilang, belum tentu 2000 tahun yang lalu ada orang Gayo di tanah Gayo. Di Eropa saja, setelah PD II rasanya tidak ada ahli sejarah berani mengatakan misalnya orang Jerman sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu di "tanah" Jerman". ...mana jawaban atas pertanyaan saya? jawaban seperti inikah yang anda sebut fair?

3.Ketika saya bertanya, tahu apa sih anda tentang aktor-aktor politik yang bermain di seputar isu ALA itu?, apa anda mengenal mereka secara pribadi?, apa anda tahu rekam jejak mereka, anda tahu siapa orang tuanya, anda tahu kultur seperti apa yang membesarkan mereka?

Anda jawab Yang terakhir, saya memang gak tinggal di Tanah Gayo, saya tinggal di Banda Aceh. Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik.

"Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik" Apakah jawaban seperti ini ANDAIKAN adalah merupakan bentuk pernyataan yang lebih Fair menurut anda?

Sudah begini apakah anda masih berani mengelak kalau saya bilang gaya berpolitik Ala Jawa sudah mendarah daging dalam diri anda?

Roysepta Abimanyu : Pertama, saya sedang setengah bercanda ketika saya bilang anda terselimpet soal nama saya. Saya sebenarnya tertawa ketika anda menuliskan "...mengaku bernama Roy Abimanyu". Ketika membaca itu, dalam benak saya, saya tersenyum sambil bertanya apakah ada "Roysepta Abimanyu" yang lain? He he.

Win Wan Nur : Bung Roy yang baik, harap anda sadari ini adalah diskusi milis, ekspresi anda hanya bisa saya nilai melalui tulisan anda, mana saya tahu mimik anda seperti apa ketika anda bilang saya terselimpet soal nama anda, yang bisa saya nilai dan saya tanggapi hanyalah apa yang anda tulis.

Tapi cara anda menghindar ini sama sekali tidak asing bagi saya karena cara anda ini memang tipikal strategi Jawa feodal dalam melancarkan kritikan terselubungnya atas pribadi si lawan. Strategi Jawa memang selalu menyiapkan "guyon" sebagai "safety net"-nya begitu si orang Jawa itu ditanya balik "kowe ngomong opo?" Ingat Semar dan para punakawan di pewayangan Jawa khan! jadi cara anda Itu adalah archetypenya Jawa dalam mengritik.

Roysepta Abimanyu : Dalam dunia anda, dari kalimat-kalimat yang anda gunakan, saya mendapatkan kesan bahwa ada representasi yang menyatakan bahwa Indonesia ini berada dalam hegemoni Jawa. Anda bukan satu-satunya, salah satu pendiri milis ini, Andreas Harsono, pernah mengkoinkan istilah Indopahit. Indonesia kelanjutan dari Majapahit. Banyak akademisi yang aktif dalam Indonesian Studies juga memiliki pandangan yang sama: sistem politik Indonesia disusun dan bertahan lama berdasarkan konsep Jawa tentang kekuasaan dan tatanan sosial. Pandangan ini banyak muncul dari akademisi yang meneliti tentang perilaku politik Orde Baru.

Win Wan Nur : Berarti kan memang pendapat saya itu bukan pendapat yang eksklusif-eksklusif amat, jadi kenapa anda bisa begitu terganggu dengan tulisan saya yang mencerminkan keprihatinan saya atas eksistensi SUKU SAYA?

Roysepta Abimanyu : Persoalannya adalah kalau kacamata ini digunakan sebagai alat satu-satunya untuk merepresentasikan aspek-aspek nasion Indonesia.

Win Wan Nur : Nasion Indonesia itu apa bung Roy?....

Kan saya pernah bilang yang mendefinisikan Indonesia itu Belanda, coba saja Sumatra waktu itu masuk Inggris seperti Malaysia, maka jangan harap Sumatra bakal menjadi bagian dari Indonesia sekarang karena pengalaman kami di sini jelas nggak bakal sama dengan Jawa dan dijajah Belanda. Dan nggak mungkin juga Jawa saat ini ngomong bahasa Indonesia yang adalah bahasa Melayu itu.

Omongan anda ini mengingatkan saya pada megawati Presiden yang paling nggak berkualitas yang pernah dimiliki negara ini bilang 'salah atau benar ini negaraku' Kembangkan omongan nasionalis yang buta sejarah itu menjadi 'salah atau benar ini adalah warisan Belanda yang musti 'tak pertahankan', maka Ngawurnya khan tambah kentara. (sori bung Muhlis, kata-kata ini terpaksa dipake lagi, soalnya saya kesulitan menemukan kata pengganti yang lebih halus)

Jadi kalau sekarang semangat kedaerahan muncul di mana-mana ya itu fenomena yang wajar saja, semangat itu muncul karena memang sekarang Belanda sebagai satu-satunya tali pengikat Nasion Indonesia sudah makin irrelevan buat Indonesia ini. Belanda itu adalah bayang-bayang Indonesia. Belandanya hilang, Indonesia ya jadi hantu karena kehilangan bayang-bayangnya.

Kalau sekarang MARXIS/ KOMUNIS seperti anda yang gila PENYERAGAMAN ini uring-uringan dan bikin macam-macam teori yang bertentangan dengan akal sehat untuk menutupi kenyataan bahwa Semangat kedaerahan itu memang ada, ya itu karena andanya sendiri yang memang tidak bisa berpikir dengan akal sehat dan orang seperti anda ini sebenarnya lebih layak dipajang di museum, negara komunis penganut Marxisme udah pada tumbang semua eh ini anda malah mau jualan makanan basi itu di tanah warisan endatu kami.

Roysepta Abimanyu : Saya ingat kalimat anda:"Anda mengatakan tidak pernah dibesarkan dalam kultur Jawa?...baiklah. saya tanya, anda sekolah sejak SD sampai sekarang di luar negeri kah?, apakah sejarah yang anda pelajari sejak SD bukan buatan pembuat kurikulum yang dipenuhi HEGEMONI kultur Jawa?...harap anda jawab pertanyaan ini."

Win Wan Nur : Benar sekali, sejarah yang saya pelajari sejak SD itu adalah buatan pembuat kurikulum yang dipenuhi HEGEMONI kultur Jawa, itulah sebabnya pertanyaan yang sama saya tanyakan pada anda, tapi untuk saya sejarah model itu hanya untuk dijadikan hapalan untuk lulus ujian saja, sebaliknya sejarah asli yang saya maknai membentuk diri saya sebagai manusia adalah sejarah asli BANGSA SAYA yang diceritakan turun-temurun oleh keluarga dan lingkungan saya.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda menggunakan ini sebagai definisi "hegemoni jawa", anda akan melupakan apa yang disebut perkembangan-perkembangan bentuk-bentuk dan relasi-relasi produksi, dengan kata lain: keberadaan kelas-kelas sosial, industrialisasi, dan seterusnya.

Win Wan Nur : Yang anda omongkan ini kan semua hapalan doktrin MARXIS/KOMUNIS, BASI, kalo ngomong sama saya yang jelas-jelas aja lah nggak usah mbulet muter kemana-mana menghindari detail, kalo mau mendebat saya tunjukkan saja dengan jelas mana itu perkembangan-perkembangan bentuk-bentuk dan relasi-relasi produksi, mana keberadaan kelas-kelas sosial, industrialisasi, dan seterusnya...nanti biar saya tunjukkan dengan detail KOSONG nya argumen anda.

Roysepta Abimanyu : Relasi kelas ini muncul di lingkup nasional, juga bersifat lokal. Elit politik di kabupaten/kota di luar Jawa tidak menggunakan konsep Jawa. Selain itu, pada jaman perkembangannya dan penyebarluasannya di Indonesia, pendekatan ini tidak mendapatkan kritik atau interogasi yang serius karena sudah dianggap "benar" secara akademis.

Win Wan Nur : sekali lagi saya bilang, yang sangat perlu anda pelajari sekarang adalah membedakan mana FANTASI mana KENYATAAN.

Roysepta Abimanyu : Pandangan kedua yang saya tahu mendukung teori hegemoni Jawa tidak terlalu "Jawa-sentris". Kalangan yang percaya dengan argumen ini mengakui bahwa kultur Jawa yang ada saat ini dibentuk oleh banyak faktor, termasuk faktor kekuasaan dan relasi kekuasaan di jaman kolonial.

Win Wan Nur : Seperti yang anda katakan PERCAYA ya namanya juga percaya mana bisa dibuktikan dengan penamatan panca indra, ya kepercayaan itu subjektif, hanya berlaku bagi si pemegang kepercayan itu sendiri...jadi argumen anda itu ya cuma berlaku bagi anda sendiri, sedangkan basis argumen saya kan selalu OBJEKTIF artinya bisa diamati oleh siapapun.

Saya kan sudah bilang, Jawa itu SINKRETIS mulai dari Jaman pra Hindu, Hindu- Buddha, Islam, Kolonial sampai hari inipun faktor utama yang membentuk kultur Jawa ya itu dan itu saja, karena apapun sistemnya apapun kepercayaan yang di anut, kepercayaan asli JAWA ya nggak hilang, tapi malah dicampurkan ke kebudayaan atau sistem yang baru itu (ingat Wayang Purwa), kebijakan Jawa sejak jaman Pra-Hindu dulu sampai sekarang ya tetap sama aja, itu ya tetap model kebijakannya SEMAR, cara berpolitik Jawa sejak jaman Pra -Hindu sampai sekarang ya begitu-begitu aja.

Roysepta Abimanyu : Namun di sisi lain, kalangan ini justru percaya bahwa tafsir Orde Baru tentang kebudayaanlah yang "Jawa-sentris".

Win Wan Nur : kan sudah saya bilang bos, namanya juga kepercayaan sifatnya ya Subjektif, kebenarannya ya terserah siapa yang menafsir.

Roysepta Abimanyu : Biasanya mereka menunjukkan penggunaan-penggunaan kata-kata Jawa/Sanskrit, seremonial Orde Baru yang penuh dengan "aura" Jawa, Soeharto yang meski telah mensahkan Ejaan Yang Disempurnakan tetap tidak kunjung hilang logat Jawanya yang kental, ataupun adanya tendensi sebagian pejabat Orde Baru mendekatkan diri pada citra "priyayi Jawa".

Win Wan Nur : Yang anda omongkan ini kan cuma bungkus, yang jadi masalah kan patronisasi tipikal orang Jawa yang suka mem-bapak-kan dirinya sendiri tanpa diminta siapa-siapa, jadi dia pun terus merasa punya hak budayawi untuk membimbing yang lain dalam konteks feodalisme budaya Jawa itu, lalu melakukan generalisasi ambil elemen yang serupa dari semuanya, bangun argumennya dari keserupaan itu, sambil terus menindas perbedaannya di tingkat detail ...ini yang dilakuan Suharto dan sekarang mau anda terapkan di Aceh.

Roysepta Abimanyu : Pandangan ini disempurnakan oleh sebuah argumen bahwa kultur Jawa sebenarnya tercipta menjadi "sopan", "penuh nilai-nilai adil-luhung", karena relasi kekuasaan tidak langsung yang melibatkan Belanda dan bangsawan Jawa dalam mengontrol rakyat Jawa.
Orde Baru mengadopsi kultur bangsawan Jawa karena ingin melegitimasi dirinya sebagai kekuasaan kultural dan menggunakan ritual bangsawan Jawa untuk merepresentasikan masyarakat Jawa sebagai sesuatu yang tertata dan stabil.

Win Wan Nur : Anda baca nggak sih penjelasan saya tentang Wayang Purwa?...jauh sebelum Belanda apalagi Orde Baru, jawa ya memang sudah begini.

Roysepta Abimanyu : Kalau anda ingin menggunakan argumen ini juga punya masalah. Pertama, bangsawan Jawa bukanlah totalitas Jawa secara keseluruhan, apalagi nilai-nilainya. Daerah-daerah yang dapat mewakili kebudayaan kelas ini berpusat secara geografis di Jogjakarta dan Solo. Orang-orang yang dikategorikan oleh Belanda kolonial sebagai Jawa saling berbeda satu sama lain dengan folklore, dialek, dan tradisi yang berbeda-beda. Ketika anda bicara "Wayang Purwa", saya bertanya bagaimana dengan budaya Jawa lainnya yang populer namun sama sekali tidak berhubungan dengan Keraton-Keraton Jawa, semisal Ketoprak atau Warok Ponorogo? Kedua, yang lebih mendasar, ketika kultur Jawa dan "nilai-nilai luhurnya" yang diadopsi merupakan ciptaan para bangsawan yang berada di tengah-tengah antara masyarakat yang diperas/dijajah dan kekuasaan kolonial Belanda, bukankah sangat mungkin Orde Baru juga bisa menciptakan "kultur Jawa" versinya sendiri, yang lebih diimprovisasi dan dicampur-adukkan dengan elemen-elemen nasionalisme-populis Soekarno, jargon-jargon liberal Barat, fasisme Jepang, teknokratisme Amerika secara bersamaan? Ketiga, upaya merepresentasikan masyarakat Jawa sebagai tertata dan stabil sangat terganggu dengan periode 1945-1965, sebuah periode di mana "tertata dan stabil" digugurkan oleh pergolakan politik pemberontakkan, pembunuhan politik, pembantaian) di Jawa.

Soal Pembahasan Antropologi/Etnografi

Sebenarnya, tadinya saya gak ingin berbicara panjang-panjang soal ini ketika saya ngomong soal ilmuwan Eropa yang meletakkan dasar etnografi di Nusantara. Karena anda langsung menuduh saya menyatakan "bullshit" atas kerja mereka, yah saya harus klarifikasi. Saya menggunakan kaca mata yang berbeda, saya bicara tentang relasi kekuasaan kolonial yang menggolong-golongkan penduduk nusantara ke dalam kelompok-kelompok etnis dan ras. Ada banyak penelitian sebenarnya menemukan bahwa "tradisi", "folklore", bahkan identitas dan sense of belonging berbagai etnis/suku di nusantara justru muncul setelah proses penggolongan-penggolongan ini.

Sama seperti penyusunan peta dalam geografi, penelitian etnografi kolonial sebenarnya untuk persoalan governmentality, urusan bagaimana pemerintah kolonial bisa memerintah dengan pendekatan yang sekarang disebut "customised". Di sini bukanlah persoalan devide et impera yang sering dibesar-besarkan oleh pendidikan sejarah indonesia di bawah semangat Moh. Yamin, ini justru salah satu perhatian elit kolonial dalam konteks politik etis yang ingin berkuasa dengan cara-cara yang canggih, tidak menggunakan kekuatan kasar. Yang ingin digunakan adalah semacam kekuasaan yang bisa cocok dengan rakyat jajahan yang beragam etnis. Setidak-tidaknya ada 19-20 wilayah yang dihasilkan dari studi etnografi kolonial Belanda, di mana Belanda memberlakukan hukum adat setempat sebagai elemen kekuasaannya, dan
tentunya seperangkat elit setempat yang telah dijinakkan untuk melengkapi administrator-administrator kolonial.

Artinya, kalau saya kemudian menggunakan paragraf di bawah ini, maaf saja, saya tidak sedang bicara pembahasan antropologi.

"Orang yang tinggal di Bogor, Purwakarta,Bandung dst dikategorikan Sunda, orang yang tinggal di semarang, solo, dst dikategorikan jawa. Padahal kesamaannya lebih di bahasa, sementara adat-istiadatnya ternyata berbeda-beda, sistem politiknya juga berbeda-beda. Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut, banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20, yang kurang lebih berarti terpengaruh oleh penggolongan-penggolongan kolonial. Sebagai contoh, tak banyak orang yang tahu bahwa Tari Kecak adalah hasil koreografi abad 20, orang lebih banyak langsung mengkategorikan sebagai "tradisi" bali."

Saya sedang bicara tentang relasi kekuasaan yang ada pada imaginaries orang tentang identitas mereka, tentang bagaimana tafsiran kolonial atas masyarakat-masyarakat nusantara membentuk konstelasi etnis di Indonesia hingga saat ini.

Win Wan Nur : Bravo...Bung Roy...Bravo, terima kasih atas penjelasan anda, akhirnya anda menunjukkan jati diri asli anda sekarang, sekarang saya jadi tahu persis kalau anda ternyata bukanlah orang yang sebego dan sementah yang anda tunjukkan dalam diskusi-diskusi kita terdahulu, ternyata banyak hal yang sengaja anda sembunyikan untuk dijadikan senjata pamungkas buat menghancurkan saya dan usaha saya mempertahankan EKSISTENSI SUKU SAYA....Bravo.

Terimakasih dengan penjelasan anda ini saya jadi sangat mengerti kalau ternyata anda menyimpan maksud tertentu ketika anda mengatakan Suku-suku di Indonesia membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal. Adalah lmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia.

Saya jadi mengerti sekarang, ternyata semua itu anda katakan bukan karena ketidak tahuan anda akan ANTROPOLOGI DASAR bahkan sebaliknya ternyata ilmu ANTROPOLOGI yang anda miliki sudah mencapai tingkat sangat canggih yang jauh di atas saya, he he he...apa yang sebenarnya anda sembunyikan bung Roy?

Apa rencana anda ketika dengan sengaja memelintir, fakta keberagaman ini sudah ada jauh sebelum Kolonial Belanda ada tapi anda katakan keberagaman ini adalah hasil kreasi Imperialis?

Roysepta Abimanyu : Saya sedang bicara bagaimana imaginaries kolonial tersebut menempatkan etnis-etnis tersebut ke dalam wilayah-wilayah yang mereka tentukan boundariesnya. Ini sebenarnya mirip dengan bagaimana kekuasaan kolonial lainnya (Inggris, Prancis, dan Belgia) membagi-bagi wilayah mereka di Afrika, yang kemudian menjadi sekian negara-bangsa baru. Saya sebenarnya sedang membicarakan geografi dan geopolitik, di mana interaksi spatial kekuasaan diperhitungkan identitas sebuah masyarakat sebagai entitas
politik. Dan saya berani bilang, itu memang pengaruh Eropa.

Win Wan Nur : Kalau soal penjelasan anda ini saya tidak akan mendebat anda, anda yang kuliah di Perancis jelas lebih tahu tentang daerah sejarah, sosiologi, antropologi dan apapun tentang negara itu daripada saya dan silahkan ngomong dan pamer sesuka anda soal ini, saya berterima kasih anda telah memberi saya informasi baru ini, tapi penjelasan dan pengetahuan anda yang mendalam tentang Eropa dan Africa ini...masalahnya adalah anda MAKSA menggunakan pengetahuan anda ini untuk digeneralisasikan ke hubungan antara Gayo dan Jawa hasilnya ya tetap saja tidak membuat teori anda yang mengatakan keberagaman ini hasil kreasi Imperialis menjadi relevan dan MASUK AKAL ketika teori itu anda gunakan untuk mendebat saya saat saya sedang berbicara tentang hubungan antara GAYO dengan JAWA.....FOKUS BUNG ROY...FOKUS, jangan ngelantur kemana-mana yang kita omongkan dan perdebatkan berhari-hari ini bukan relasi antara Jawa dengan Sunda atau Jawa Tengah dengan Jawa Timur tapi relasi antara GAYO dengan JAWA!

Roysepta Abimanyu : Ada bedanya pengamatan jujur yang memperhatikan setiap orang pasti berbias, dengan pengamatan "objektif" atau "raw data" tapi melupakan fakta bahwa semua orang punya bias.

Win Wan Nur : Siapa yang lupa?, di dunia ini memang mana ada pemahaman yang 100% sama, barang nyata seperti korek api atau Zippo pun bias nilai dan maknanya bagi perokok dan bukan perokok, biarpun kedua penilai itu sama-sama setuju benda nyata itu adalah Zippo, apalagi budaya yang bentuknya lebih abstrak ini, anda yang sedikit banyak terpengaruh kultur jawa otomatis dalam setiap penilaian anda yang njawani yang penuh ewuh pakewuh, ya tentu saja menilai dengan cara itu, sayapun demikian semua penilaian saya ya tentu saja tidak bisa lepas dari gaya ke-Aceh-an saya yang terus terang.

Tapi saat secara objektif melihat faktanya, baik anda yang Jawa maupun saya yang Aceh, ketika melihat Jawa dimana-mana banyak yang sukses jadi pembantu, Minang dimana-mana suka merantau banyak yang sukses jadi pedagang, cina yang selalu tertekan tapi sangat kuat memegang nilai budayanya cenderung lebih sukses dalam hal apapun dibanding suku lain di Indonesia...yang kita lihat ya sama saja, Minang yang perantau sukses berdagang, Jawa yang rajin sukses jadi pembantu maupun Cina yang sangat gigih berusaha, sukses di sekolah, berdagang, bermusik atau berolah raga.

Bias ada ketika yang kita nilai itu adalah nilai atau makna kesuksesannya, nilai sukses dalam kaca mata Jawa pasti ada perbedaan dengan nilai sukses dalam kaca mata Aceh.

Roysepta Abimanyu : Bung Win, saya agak bingung melihat anda sangat "fasih" dalam antropologi, bahkan senang mempelajari kebudayaan dan bahasa etnis lain, tapi menggunakannya untuk menjustifikasi pandangan-pandangan anda berbias etnisitas.

" Tentu saja ada, ya kami orang ACEH yang berhak melakukannya, hal itu berhak kami lakukan kalau kami merasa keturunan transmigran Jawa yang bukan "pemilik sah" tanah GAYO tersebut mulai berlaku kurang ajar terhadap kami PEMILIK SAH TANOH GAYO, ketika mereka dengan pongahnya menghadap Priyayi di tanah leluhur mereka sana dengan mengenakan BLANGKON, mengaku sudah jadi Mayoritas di TANAH KAMI dan mengklaim TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI sebagai Tanah mereka dan dengan lancang minta mendirikan provinsi baru dengan
menggunakan bahasa KROMO INGGIL yang dalam budaya Jawa dipakai sebagai sikap menyerah dan mecerminkan sikap INFERIORITAS TOTAL."

Win Wan Nur : Bung Roy, siapa sih orangnya yang 100% bisa lepas dari bias etnisitas?...kecuali memang orang itu tidak punya dasar identitas etnis sama sekali, saya sendiri dalam menilai tentu secara naluriah akan sangat terpengaruh oleh nilai-nilai yang ditanamkan dan membentuk pribadi saya, anda sendiripun ketika memandang dan menilai saya mana bisa lepas dari bias kejawaan yang entah darimana asalnya anda tidak pernah mau mengakui, tapi terbukti ada dalam pribadi anda.

Berdasarkan pemahaman itu, kalau anda jujur dan keberadaan anda di negeri kami memang karena niat baik, anda yang lulusan Perancis yang sangat pintar, memiliki basis teori dan data yang sangat kuat tentu akan sangat maklum dan paham alasan saya mengeluarkan pernyataan saya di atas adalah cuma satu yaitu karena EKSISTENSI SUKU KECIL KAMI diancam oleh ETNIS TERBESAR di negara ini.

Tapi bersama-sama kita saksikan yang terjadi kan tidak seperti itu, anda yang ternyata sangat paham alasan saya mengeluarkan pernyataan itu justru memojokkan dan menjebak saya dan semua orang yang membaca postingan anda untuk sampai ke satu kesimpulan bahwa SAYA Win Wan Nur yang menulis penolakan atas ALA atas nama kelompok saya FPPG yang merupakan satu elemen dari suku saya GAYO yang merupakan salah satu elemen penyusun bangsa saya ACEH ...STEREOTIP memandang Jawa.

Bermodalkan teori dan data yang sangat kuat yang anda miliki, terlihat jelas anda bukannya mendukung usaha kami membela diri, tapi sebaliknya tujuan anda justru untuk menggiring opini pembaca, bahwa dalam konflik ini justru kami Gayo yang 4 orang diantaranya baru-baru ini dibakar hidup-hidup inilah yang mengancam JAWA, dengan pengetahuan yang anda miliki anda berusaha membangun opini bahwa justru JAWA lah yang merasa terancam dan untuk itu keberadaan mereka di negeri kamilah yang harus dilindungi, bukan sebaliknya.

Saya sama sekali tidak menggunakan pengetahuan saya tentang kebudayaan dan bahasa etnis lain untuk menjustifikasi pandangan-pandangan saya yang berbias etnisitas, kalau anda memakai kutipan tulisan saya di atas sebagai BUKTI bahwa saya melakukan justifikasi atas pandangan-pandangan saya yang berbias etnisitas, anda tentu lebih tahu lagi...pernyataan saya itu hanyalah reaksi, ada FAKTOR LUAR yang membuat saya mengeluarkan pernyataan seperti yang anda kutip itu...dan tampaknya FAKTOR ini berdasarkan prinsip fairness menurut anda tidak perlu anda jelaskan kepada para pembaca tulisan anda.

Bung Roy...anda pernah bertanya kenapa saya mempost diskusi kita ke berbagai milis, hari ini saya jawab alasan inilah yang membuat saya mem-POST semua isi perdebatan kita ini ke milis-milis yang dihuni orang Aceh, ingat bung Roy HANYA KE MILIS-MILIS YANG DIHUNI ORANG ACEH, itu saya lakukan supaya saudara-saudara sebangsa saya tahu, kalau di tengah mereka, di Solong tempat nongkrong mereka ada satu makhluk yang sangat berbahaya bagi eksistensi bangsa kami ACEH, orang itu bernama ROYSEPTA ABIMANYU seorang Sarjana Cerdas yang pernah jadi Ketua Bidang Ekonomi PRD (bahkan mungkin masih sampai sekarang) berniat tidak baik terhadap bangsa kami .

Roysepta Abimanyu : Tapi ketemu jawabannya, Koentjaraningrat! Anda menyuruh saya meminjam buku Pengantar Antropologi karangan Koentjaraningrat di UNSYIAH. Terlepas dari jasa besarnya Koentjaraningrat, kita singkat saja K (kalau saya sebut Pak Koen atau RMK-Raden Mas Koentjaraningrat, nanti dituduh pemuja Jawa) dalam membawa fondasi ilmu antropologi dan metode kuantitatif di Indonesia, konten
teoritik yang dibawa K berada dalam cita-cita Pembangunanisme yang kebetulan sejalan dengan semangat Orde Baru, yang menurut anda dihegemoni Jawa itu. Selain karena kegigihannya ingin mengubah mentalitas pribumi untuk pembangunan, karya dia menyebarluas seiring dengan banjir proyek penelitian kultural, baik dari ORBA maupun kampus luar negeri. Selain itu metode kuantitatif yang diperkenalkannya lebih sering dijalankan untuk menjustifikasi politik kebudayaan dan pendidikan ORBA. Tetapi ini memang tidak menggerus kualitas karya-karya intelektual K, sampai-sampai Anda merekomen karya orang yang anda sebut "pasti sukses kalau jadi pembantu".

Win Wan Nur : Hampir semua pernyataan anda ini tidak saya bantah, saya mengajukan nama Koentjaraningrat semata karena melihat parahnya argumen anda ketika mengatakan "Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut,
banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20." Terbukti kemudian ternyata sikap SOK BEGO anda ini hanyalah kamuflase anda dan ini anda lakukan kalau bukan bagian dari strategi yang telah anda rencanakan untuk digunakan buat menyerang saya, ketika saya merespon jebakan anda ini. Ketika saya melihat pengetahuan anda itu anda gunakan untuk menjustifikasi pandangan KOMUNISTIK anda bahwa KEBERAGAMAN ITU TIDAK ADA.

Dan seperti biasa pula di paragraf inipun anda sengaja memelintir pernyataan saya yang mengatakan "orang suku Jawa selalu menjadi yang paling sukses berkarir sebagai pembantu rumah tangga" yang saya bandingkan dengan suku-suku lain menjadi "pasti sukses kalau jadi pembantu"...yah nggak apa-apalah Bung Roy saya sudah sangat paham, ini memang strategi khas anda.

Dalam paragraf ini ketika anda mengatakan (kalau saya sebut Pak Koen atau RMK-Raden Mas Koentjaraningrat, nanti dituduh pemuja Jawa) sekali lagi pola anda tidak berubah, yang anda lakukan selalu menggiring opini pembaca kalau saya yang pada awal thread ini menulis atas nama kelompok saya FPPG yang merupakan satu elemen dari suku saya GAYO yang merupakan salah satu elemen penyusun bangsa saya ACEH ini RASIS, bukankah sejak awal saya katakan sikap RASIS absen dari diri saya, saya berulangkali mengatakan bahwa saya tidak pernah menilai MANUSIA dari sisi GENETIKNYA semua penilaian saya terhadap JAWA adalah pengamatan JUJUR saya, buktinya saya tetap merekomendasikan Kuntjaraningrat yang tentu saja anda tidak sangat naif menduga bahwa saya tidak mengetahui kalau SECARA GENETIK Raden Mas Koentjaraningrat adalah JAWA.

Roysepta Abimanyu : Saya lebih tersenyum lagi ketika anda bicara ilmu antropologi bisa menjelaskan masyarakat Perancis itu adalah hasil proses asimilasi. Setahu saya, banyak akademisi yang meragukan klaim "nos ancestres, les gauls" karena bahasa Perancis itu yah hasil penaklukan yang menempatkan bahasa Oeïl sebagai bahasa legitime, menghancurkan bahasa Oc, Breton, Alsace, dan Basque. Prosesnya, terjadi mulai akhir jaman monarki absolut, diperkuat dengan pelarangan penggunaan bahasa lokal selama ratusan tahun yang dimulai
oleh rejim revolusioner. Bahasa Oeïl, sebagaimana Oc, sebenarnya berasal dari Latin, dibawa para plebeian yang menjadi legiuner Romawi, yang digunakan luas di region parisien. Kalau anda senang membaca komik Asterix, sebenarnya Gosciny dan Uderzo sedang mengkritik apa yang mereka sebut Latinisasi (makanya musuhnya Romawi), dan kalau anda lihat wilayah desa Asterix, itu adalah Bretagne, tempat tinggal orang-orang Breton. Rejim revolusioner yang baru berkuasa sejak 1789 memiliki strategi penyatuan bahasa untuk kepentingan politik mereka, pembentukan dan pembentukan kembali struktur mental masyarakat. Namun, penaklukan bahasa berdampak pada hilangnya identitas etnis. Nah kalau klaim Galia nenek moyang Perancis dipakai, kenapa bahasa Breton dilarang selama ratusan tahun? Jadi kalau ini bisa disebut asimilasi, wah mengerikan juga ya hasil membaca Koentjaraningrat.

Win Wan Nur : Ha ha ha...Khusus untuk yang ini Bung Roy anda sangat pantas tersenyum, malah saya pikir anda ini adalah pribadi yang dingin sekali karena cuma tersenyum, soalnya saya malah ngakak ketika membuka website anda dan membaca latar belakang anda lalu membaca sebuah tulisan anda tentang Politik Bela diri Uni Eropa yang telah dimulai sejak masa perang dingin dalam bahasa Perancis yang sempurna (dengan menggunakan diri saya sendiri yang kalau di test DALF mungkin levelnya paling jauh hanya A2 sebagai pembanding tentunya), saya lebih ngakak lagi ketika membaca ulang pernyataan SOK TAU saya saat menanggapi pernyataan anda tentang sejarah terbentuknya Bangsa Perancis, jadi soal Perancis dengan segala sejarah dan permasalahannya...sejujurnya dari lubuk hati saya yang paling dalam tanpa ada intrik apapun saya katakan bahwa Win Wan Nur tidak akan cukup bodoh untuk DUA KALI pamer KETOLOLAN di milis ini berdebat tentang Perancis dan segala permasalahannya dengan anda Roysepta Abimanyu yang merupakan seorang sarjana lulusan Perancis, bahkan KHUSUS UNTUK BAGIAN INI saya dengan sukarela memposisikan diri sebagai MURID terhadap ANDA (dans cettes matieres vous etes mon professeur) dan dengan ini saya akui pula kalau pernyataan saya sebelumnya yang melecehkan anda ketika menjelaskan tentang Perancis, adalah terjadi semata akibat KEBODOHAN saya yang alpa mengenal latar belakang anda.

Tapi soal Koentjaraningrat, itu soal yang berbeda, saya rekomendasikan Koentjaraningrat kepada anda karena dalam pengkategorian antropologi ala Anda itu, saya melihat anda SECARA LICIK sangat menonjolkan pada pentingnya fungsi "tradisi" inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20 dalam pengkategorian itu, dan sejujurnya KELICIKAN anda itu baru dapat saya lihat sekarang, saat mengomentari tulisan anda yang lalu, saya benar-benar jujur dan polos ketika mengatakan "pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL", pernyataan saya itu keluar betul-betul berdasarkan pemahaman saya atas anda saat itu, tidak ada TRIK SULAP ala Ken Arok.

Saat itu saya benar-benar tidak tahu latar belakang anda, tapi sekarang setelah saya tahu latar belakang anda, ya pandangan saya terhadap anda tentu lain lagi, sekarang saya jadi tahu persis kalau anda tidak mungkin tidak paham detail-detail kecil remeh temeh seperti itu, maka melalui pemahaman saya yang baru terhadap anda ini, ketika saya melihat dengan jelas bagaimana anda memelintir pengkategorian suku-suku itu untuk menggiring pemahaman saya dan pembaca diskusi ini menuju satu kesimpulan bahwa KEBERAGAMAN ITU BIKINAN IMPERIALIS... yang terjadi sekarang justru saya jadi bertanya-tanya, apa maksud keberadaan seorang MARXIS lulusan Perancis secerdas dan sepintar anda di Tanah Warisan Endatu kami ?!

Roysepta Abimanyu : Di satu sisi fasistik, di sisi lain seperti membela hak masyarakat indigenous, seperti dua paragraf ini:

"Ya tentu saja ada, bahkan sudah pernah dilakukan oleh Soekarno dan Seoharto dulu, di masa Soekarno mereka diusir ketika
mereka tidak mau memilih jadi WNI dan di masa Soeharto mereka diusir ketika mereka diangap tidak mau melebur dengan suku bangsa asli
pemilik SAH Bumi Nusantara ini.

Di luar Indonesia ada juga negara yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk
asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat negara sendiri di Tanah yang mereka Datangi...contohnya adalah NEGARA SINGAPURA, Australia dan Selandia Baru, di ketiga negara tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran yang tidak bebas menjalankan adat budaya maupun agama mereka, kami ORANG GAYO tentu saja tidak mau bernasib seperti para penduduk asli itu."

Win Wan Nur : Hua ha ha ha....asli diskusi dengan anda kali ini betul-betul mengocok perut saya Bung Roy, seperti inikah bentuk fairness versi anda yang anda sebut dan anda dengung-dengungkan di awal tulisan tadi?

Mau kuliah di Perancis kek mau di Planet Mars sekalipunpun sekali Jawa ya tetap Jawa, trik berpolitiknya ya nggak berubah mulai dari Zaman Ken Arok dulu sampai sekarang. Polanya persis, memprovokasi terus menggunakan reaksi orang yang diprovokasi sebagai senjata. dengan menyembunyikan beberapa fakta tentunya, sayangnya strategi yang berkali-kali anda ulang ini sudah sejak awal terbukti gsgsl kok masih saja anda ulang bung Roy?.

Bung Roy yang Marxis/Komunis...yuuk kita telusuri awal mula, asal muasal saya mengeluarkan tulisan yang secara sangat manis dan lembut anda kutip itu.

Tolong Bung Roysepta Abimanyu menuliskan angka 14176 di box kecil bertuliskan message # di bagian atas daftar postingan milis pantau komunitas ini kemudian klik Go... lalu setelah terbuka anda baca seluruh isi paragraf ke 9 kemudian lihat sendiri nama yang mempost tulisan itu dan anda akan segera tahu siapakah yang memprovokasi saya dengan dua pertanyaan di bawah ini sehingga menghasilkan jawaban seperti yang anda permasalahkan itu :

1.Apakah ada yang berhak mengusir para keturunan transmigran Jawa, karena mereka bukan "pemilik sah" tanah tersebut?

2.Atau apakah ada yang berhak mengusir keturunan Tionghoa dari Indonesia karena mereka adalah pendatang?

Lalu Bung Roysepta Abimanyu yang pintar silahkan ketik angka 14197 ditempat yang sama seperti tadi kemudian klik Go... silahkan baca PARAGRAF no.69 yang ketika mengutip tulisan saya ini sengaja anda buang, bukankah justru paragraf No.69 yang sengaja anda buang itulah yang paling JELAS menunjukkan posisi saya atas provokasi orang yang menulis kedua pertanyaan itu?

Apakah isi paragraf kalimat saya yang secara sangat JUJUR dan FAIRNESS telah sengaja dihilangkan oleh ROYSEPTA ABIMANYU si MARXIST/KOMUNIS Jawa yang gaya dan strategi berpolitiknya PERSIS sama seperti gaya dan strategi berpolitiknya Ken Arok dulu?

Saudara-saudaraku sekalian inilah kalimat saya yang dengan sengaja telah dihilangkan oleh si MARXIS lulusan PERANCIS ini :

Meskipun tentu saja IDE pengusiran seperti yang anda provokasi-kan ini adalah hal terakhir yang kami pilih, sejauh ini kami masih beranggapan, saudara-saudara Jawa kami tersebut hanya terprovokasi oleh Raja-raja kecil yang terancam kehilangan kekuasaan.

Roysepta Abimanyu : Saya tidak punya fantasi apa-apa tentang anda, tentang Orang Gayo, lah kok sekarang tiba-tiba saya dituduh punya prasangka orang Aceh/Gayo (lebih luas lagi ya?).

Win Wan Nur : Kalau anda memang jujur dengan pernyataan saya ini, kenapa anda yang tidak bereaksi apa-apa ketika Limbah-limbah suku kami memprovokasi saudara-saudara kami Jawa kelas pekerja korban Priyayi di tanah leluhur mereka sana berdemo ke Jakarta secara VULGAR menggunakan BLANGKON, berbahasa KROMO INGGIL mengatakan mereka sudah mayoritas di Tanah Muyang Datu kami, lalu dengan alasan itu minta Jakarta membentuk provinsi baru?...tapi merasa begitu terganggu dan bereaksi begitu keras terhadap saya yang cuma bereaksi atas provokasi yang mereka lakukan dengan sangat VULGAR terhadap suku kami itu?...kenapa anda justru menuduh saya yang STEREOTIP?

Roysepta Abimanyu : Saya cuma membaca tulisan anda, dan kemudian mengatakan:
penilaian anda tentang orang Jawa (cocok jadi pembantu) itu stereotip, sama stereotipnya dengan imajinaries orang di Jawa tentang Aceh yang dilukiskan suka berperang oleh media di Jakarta. Maaf saja, saya tidak memfitnah, saya menilai dengan bukti-bukti tertulis dari anda sendiri. Perlu saya list?

Win Wan Nur : Apanya yang Stereotip?...dan ngapain juga perlu anda list , saya memang betul ngomong begitu kok karena faktanya Jawa memang dibentuk oleh budayanya untuk cocok jadi pembantu, nggak ada yang stereotip di sini ITU FAKTA buktinya lihat saja di mana-mana mulai dari Jawa sendiri, di Aceh sini, di Medan, di Bali sampai Malaysia, Singapura, Hongkong sampai Arab Saudi, Jawa memang terbukti cocok jadi pembantu dan mereka rata-rata SUKSES melakoni profesi itu, karena karakter mereka yang dibentuk oleh nilai-nilai luhur budaya mereka memang membuat mereka cocok melakoni jenis pekerjaan itu.

Terus anda bilang imajinaries orang di Jawa tentang Aceh yang dilukiskan suka berperang oleh media di Jakarta sebagai Stereotip?...di mana letak Stereotipnya?...Faktanya orang Aceh memang suka berperang kok, generasi keluarga saya saja sejauh yang sempat saya kenal melalui cerita turun temurun mulai dari kakeknya kakek saya, cuma generasi bapak saya saja yang nggak pernah ikut perang, sisanya termasuk saya semua tumbuh besar dalam Perang. dan kisah seperti ini bukan cuma kisah eksklusif keluarga saya saja, melainkan kisah hampir semua keluarga Aceh. Nggak ada yang stereotip di sini ITU FAKTA.

Konflik yang timbul di Aceh selama berada di bawah pemerintahan Indonesiapun kan masalah utamanya sebenarnya hanya ini, Indonesia di bawah Orde Baru yang isinya orang-orang KOMUNIS seperti anda ini (bedanya cuma di sistem ekonominya Komunis Orde Baru menganut Kapitalis tanggung), berkeras bikin teori yang berlawanan dengan FAKTA, berkeras bilang bahwa KEBERAGAMAN itu tidak ada, KEBERAGAMAN itu cuma hasil kategorisasinya BELANDA, oleh orang-orang model anda ini karakter semua suku yang karena sama-sama HOMO SAPIENS ini dianggap sama semua.

Konflik terjadi karena orang Jawa yang nilai-nilai luhur budaya mereka menciptakan mereka cocok jadi pembantu, menilai dan memperlakukan Aceh yang suka berperang dengan acuan nilai-nilai luhur budaya mereka, ya jelas nggak nyambung, karena cara menangani PEMBANTU dan cara menangani ORANG YANG SUKA PERANG kan memang harus beda. Tapi FAKTA adanya perbedaaan ini yang selalu ditolak oleh Orde Baru hasilnya ya KONFLIK BERKEPANJANGAN.

Dan satu hal lagi, Bung Roy, yang jadi masalah dalam perdebatan kita di sinipun saya lihat justru sebenarnya bukan soal fakta cocok atau tidaknya Jawa dengan pekerjaan pembantu (gimana mau dibantah...itu memang fakta kok), tapi masalahnya adalah anda ROYSEPTA ABIMANYU seorang MARXIS lulusan PERANCIS yang pernah jadi Ketua Bidang Ekonomi PRD menganggap rendah dan remeh PROFESI PEMBANTU. sehingga anda merasa risih dan menolak Jawa dikatakan sangat cocok bekerja di bidang profesi yang satu itu.

Roysepta Abimanyu : Oh ya, kalau anda masih tertarik mengenai pendidikan sejarah saya sejak SD yang anda pertanyakan apakah di bawah hegemoni Jawa atau tidak, waduh untungnya saya bisa bilang tidak. Saya membaca buku-buku sejarah terbitan TIME-LIFE milik kakek saya sejak SD, lebih menarik dan berkesan (nah anda bisa berteriak: didikan Amerika!). Periodisasi dalam pelajaran sejarah yang saya pelajari di SD-SMA saja saya tidak bisa saya ingat, kalau tidak membaca protes Asvi Warman Adam mengenai Kurikulum SNI. Saya mengenali sejarah nusantara lagi malah ketika mencuri baca buku Denis Lombard punya teman.

Win Wan Nur : Tidak Bung Roy, setelah saya membaca profil anda di website anda ditambah dengan menggoogle nama anda dan membaca tulisan-tulisan anda di berbagai media, saya tidak tertarik lagi mengetahui latar belakang pendidikan sejarah anda karena saya pikir saya sudah cukup paham Roysepta Abimanyu yang tiba-tiba muncul mendebat saya ini orang seperti apa, tapi terserahlah kalau anda mau cerita, terserah pula anda mau ngomong apa, mau jujur atau mau ngeles atau mau pamerpun itu urusan anda, yang tidak akan memberi pengaruh apapun lagi terhadap saya. Karena seluruh pandangan saya terhadap anda saat ini sama sekali telah berbeda dibandingkan pandangan saya terhadap anda di awal diskusi dulu bahkan dibandingkan pandangan saya saat mengomentari paragraf awal tulisan anda ini sekalipun, bukankah untuk segala hal yang berhubungan dengan Perancis malahan secara sepihak saya telah menganggap anda sebagai GURU SAYA, tapi apapun kata anda yang jelas melalui apa yang anda tunjukkan dalam diskusi ini, baik itu gaya maupun perilaku yang anda perlihatkan pada kami dalam diskusi ini dengan terang menunjukkan kalau Roysepta Abimanyu sangat nJAWANI.

Roysepta Abimanyu : Sebagai penutup yang lupa saya sampaikan, seperti anda, saya merasakan berdirinya ABAS-ALA kepentingan elit semata dan malah bisa menjadi bahan bakar konflik baru. Adagium "Yang minoritaslah yang memulai perang" saya rasa bisa berlaku di ALA kalau jadi provinsi, tinggal tergantung siapa yang merasa menjadi minoritas dalam konflik ini.

Win Wan Nur : Ini kan kesimpulan saya dari awal, dan ternyata sama saja dengan kesimpulan anda, jadi berarti semua diskusi dan perdebatan ini anda lakukan cuma buat NGETEST saya?

Roysepta Abimanyu : Semakin panjang anda menulis respon terhadap saya, semakin menunjukkan kepada saya bahwa "pengamatan" dan
"tingkat literasi teoritik" anda begitu "luar biasa". Saya yakin kalau anda mengambil kuliah antropologi yang diajarkan Koentjaraningrat, anda pasti dapat A. Cuma jangan salahkan saya, kalau orang-orang yang lebih bijak dari kita berdua, yang membaca respon-respon anda ke saya, bisa lebih jauh "memahami" dan "mengerti" anda.

Win Wan Nur : Nasehat bijaksana anda itupun juga berlaku bagi anda sendiri Bung Roysepta Abimanyu MARXIS lulusan PERANCIS yang menganggap kami orang Gayo, Aceh udik yang tinggal di Gunung ini tidak tahu apa-apa. Semakin panjang anda menulis respon terhadap saya, semakin menunjukkan kepada saya bahwa anda ternyata punya basis teori dan fakta yang sangat kuat (keduanya tanpa tanda kutip), saya yakin kalau anda mau menggunakan basis teori dan fakta yang anda ketahui itu dengan jujur, kami orang Aceh akan sangat menaruh HORMAT kepada anda, cuma jangan salahkan saya, kalau orang-orang yang lebih bijak dari kita berdua, yang membaca respon-respon anda ke saya, bisa lebih jauh lebih mencurigai dan meragukan (keduanya juga tanpa tanda kutip) niat baik atas keberadaan anda hari ini di Tanah warisan ENDATU KAMI.

Roysepta Abimanyu : PS. Taktik demonisasi sering kali ada blowback. Masa gak capai membelah cermin berhari-hari? Saya lebih ngakak lagi membaca respon anda ke Muhlis Suheri.

Win Wan Nur : Taktik demonisasi apa Bung Roy?, bukankah demonisasi itu taktik anda sendiri dan bukankah sekarang anda pula yang sedang merasakan blowbacknya?... siapa yang membelah cermin berhari-hari?, apakah debat panjang ini terjadi akibat saya yang sengaja mencari gara-gara, menantang debat setiap penghuni milis yang namanya berbau-bau Jawa?...apa bukan sebaliknya justru andalah yang telah membawa kita berdebat sampai sejauh ini, bukankah semua ini dimulai ketika tidak ada angin dan tidak ada hujan anda tiba-tiba menyerang saya, FPPG kelompok saya, GAYO suku saya serta ACEH bangsa saya, ketika anda dengan nada menggurui menyerang tulisan saya yang atas nama FPPG menolak ALA dan dengan sombongnya mengaku andalah yang lebih tahu tentang dinamika perpolitikan dan orang-orang di TANAH WARISAN MUYANG DATU SAYA?.

Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Sabtu, 12 April 2008

Strategi Politik Ala Jawa

Strategi komunikasi politik Khas Jawa yang dipraktekkan oleh Roy Abimanyu di milis Pantau Komunitas, telah berhasil memancing simpati para penduduk milis itu, diantaranya Muhlis Suheri asal Kalimantan Barat dan saudara kita Dewa Gumay.

Persis seperti kultur jawa yang sarat dengan nilai-nilai yang disimbolkan Blangkon yang begitu rapih di depan tapi berantakan di Belakang, atau keris yang diletakkan di belakang dan disamarkan dengan wajah manis ketika menghadapi lawan, ini pula yang dipraktekkan oleh Roy Abimanyu dalam strategi politiknya untuk menghancurkan saya.

Dalam menjatuhkan saya, seperti yang biasa kita lihat dalam seluruh sejarah perpolitikan khas jawa, Roy Abimanyu tidak langsung menyerang saya secara frontal, tapi dalam mencapai tujuannya dia menggunakan orang-orang yang sepadan dengan kita, orang-orang yang sama dengan kita berani berperang secara frontal, di milis pantau komunitas dua orang saudara kita Muhlis Suheri asal kalimantan Barat dan saudara kita di Aceh Dewa Gumay, oleh Roy Abimanyu telah sukses dijadikan Pion yang menyerang saya.

Inilah yang ditulis oleh Mukhlis dari Kalimantan Barat dan Dewa Gumay ketika menyerang tulisan saya dan kemudian sayapun membalas serangan ini dan berusaha menyadarkan dua orang rakan kita ini seperti apa yang ditulis di bawahnya.

From: kill mus
To: pantau-komunitas@yahoogroups.com
Sent: Tuesday, April 08, 2008 11:10 PM
Subject: Re: [pantau-komunitas] Re: Pemuda Gayo Tolak ALA - Buat Bung Coy


Salam,

Dari berbagai liputan dan wawancara dengan anggota atau elit organisasi
yang mengatasnamakan agama, suku atau golongan, di Jakarta, berbagai kota
di Jawa, dan sebagian besar Kalimantan Barat --tempat tinggal saya
sekarang---, kenapa modelnya sama?

Ketika mereka berbeda pendapat atau ingin mengutarakan pendapatnya,
selalu berhamburan kata-kata NGAWUR, SALAH, TAK CERDAS, SOK TAHU, dan
berbagai isi kebun binatang keluar semua.

Apa memang begitu ya, cara mereka memaknai perbedaan dan berpendapat?

Tabik,

Muhlis Suhaeri
www.muhlissuhaeri.blogspot.com

Re: [pantau-komunitas] Re: Pemuda Gayo Tolak ALA - Buat Bung Coy

Salam-

Bung Muhlis, begitulah adanya ...

padahal musuh nyatanya Pemerintah Jakarta,
perpanjangan tangannya militer.
tapi sayang, tetesan konfliknya merembes ke persoalan etnik.

ini bukan persoalan cerdas atau tidak memetakan issue,
tapi lebih kepada romantisme gerakan yang ingin dipetakan ulang ...
hehehe ... maaf jika saya kurang cerdas.

::goemay
http://dewagumay.wordpress.com/
"Manusia Tidak Bisa Makan Uang"

Saudaraku Muhlis Suheri...

Saya sangat memahami pandangan anda yang melihat arah demokrasi kita sekarang yang mengarah ke penyampaian pendapat melalui caci-maki yang tidak sehat.

Tapi dalam menilai pernyataan yang saya sampaikan kepada rekan kita Roy Abimanyu, saya berharap anda dapat melihat konteks dan situasi yang sedang kami bicarakan.

Situasinya adalah, kami warga asli TANOH GAYO ingin disingkirkan oleh SUKU PENDATANG yang kebetulan beretnis Jawa, yang berdelegasi ke DPR RI menggunakan ciri khas identitas mereka dan mengatakan ingin membentuk provinsi baru di tanah kami dengan ragumen sekarang mereka telah menjadi MAYORITAS di tanah kami.

Kepada saudaraku Suheri yang asal Kalimantan Barat yang menulis postingan ini yang saya rasakan sebagai sebuah serangan terhadap gaya komunikasi saya yang terus terang, saya ingin bertanya apakah anda sudah merasa fair dalam menilai, ketika anda mengkritik gaya terus terang dalam gaya saya dalam berkomunikasi?.

Saya merasa perlu bertanya seperti ini karena saya melihat anda telah terjebak dalam strategi komunikasi ala Jawa yang penuh ewuh pakewuh yang sangat mengutamakan kemasan daripada isi, ketika anda memojokkan gaya komunikasi saya yang terus terang, saya melihat anda telah terjebak dalam strategi politik khas Jawa yang sepanjang sejarahnya biasa menempatkan "Villain become a Hero".

Dalam kasus ini misalnya, jelas sekali anda lebih tertarik pada kemasan indah yang dibuat oleh saudara kita Roy Abimanyu ketika menyerang saya secara culas dan licik, kenapa saya katakan begitu?, untuk memahami secara jelas serangan culas dan licik Roy Abimanyu kepada saya mari kita buang bungkus indah tulisan saudara Roy Abimanyu, dan kita lihat bersama inti atau kesimpulan dari keseluruhan tulisannya yaitu :

- Win Wan Nur adalah seorang yang hanya bisa menilai secara stereotip.
- Win Wan Nur adalah seorang pembenci Jawa.
- Tanoh Gayo bukanlah milik Orang Gayo, tapi siapapun berhak mengkalim dan berbuat sesuka hatinya di tanah warisan nenek moyang kami .
- Win Wan Nur sangat bodoh dan dangkal dalam menilai konflik yang terjadi di tanah kelahirannya.
- Roy Abimanyu yang tidak mengenal TANOH GAYO sebaik Win Wan Nur lah yang sebenarnya lebih tahu apa yang terjadi di sana.

Saudaraku Muhlis, sebenarnya apa yang ingin disampaikan Roy dalam tulisannya yang panjang, indah dan penuh ewuh pakewuh khas Jawa itu sebenarnya hanya sesederhana LIMA poin yang saya tulis itu.

Apa yang menjadi DASAR Roy Abimanyu ketika dengan sangat PROVOKATIF dengan berani dan menyimpulkan saya dan seluruh isi tulisan saya sebelumnya adalah seperti keempat poin itu?...cuma PRASANGKA dan PANDANGAN STEREOTIP bahwa Aceh termasuk Gayo benci Jawa, dan orang Aceh adalah sekumpulan manusia berotak bodoh yang hanya bisa memandang sebuah konflik secara dangkal.

Saya melihat pandangan STEREOTIP seperti ini pulalah yang mendasari penilaian saudara saya Dewa Gumay terhadap saya ketika mengatakan bahwa apa yang saya lakukan "lebih kepada romantisme gerakan yang ingin dipetakan ulang".

Seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, strategi yang dilakukan oleh Roy Abimanyu dalam memaksakan IDEnya adalah dengan strategi membuat "Villain become a Hero", dia memancing saya untuk membalas Provokasinya dengan gaya khas kami orang Aceh dalam berkomunikasi yaitu TERUS TERANG dan tepat seperti yang diperkirakan Roy Abimanyu, ketika itu saya lakukan, yang terjadi kemudian adalah persis seperti yang dia harapkan yaitu "SAYA menjadi TERTUDUH" anda dan sepertinya juga banyak pembaca milis ini yang serta merta tanpa merasa perlu untuk memahami masalahnya secara mendalam LANGSUNG SEPAKAT dengan pencitraan yang Roy Buat terhadap saya.

Padahal jika anda mau mencoba memahami lebih dalam, sebenarnya Roy Abimanyulah TERTUDUH asli karena dialah yang pertama kali mencari gara-gara dengan menyerang saya tanpa alasan kuat malah mendapat simpati dari orang-orang seperti anda dan Dewa Gumay, sebaliknya saya yang mewakili masyarakat yang Tanahnya ternacam dijadikan kolonialisasi JAWA yang sebetulnya adalah KORBAN PROVOKASI-nya, malah sekarang menjadi tertuduh, dan oleh penduduk milis ini dianggap sebagai seorang yang tidak mengerti berdemokrasi yang hanya bisa memaki-maki.
Strategi Politik khas JAWA berhasil sukses diterapkan di milis ini seseorang yang bernama Roy Abimanyu, seorang VILLAIN yang sukses menjadi HERO.

Apa yang dilakukan oleh Roy Abimanyu ini adalah gaya berpolitik khas Jawa, persis seperti apa yang dilakukan Ken Arok, Raja pertama Singosari yang menjadi cikal bakal kerajaan jawa terbesar MAJA PAHIT, Ken Arok ini aslinya adalah seorang pembantu seorang Adipati yang ngiler melihat Paha KEN DEDES istri majikannya Tunggul Ametung, Ken Arok lalu membunuh majikannya dan mengawini Istri Majikannya yang cantik jelita itu, setelah membunuh majikannya, Ken Arok yang seorang VILLAIN pun sukses menjadi HERO, menggantikan posisi Majikannya menjadi penguasa dan dielu-elukan oleh masyarakatnya, Tapi apakah ketika Ken Arok membunuh majikannya dia melakukannya secara jantan dan terbuka?...tidak, dia menusuk majikannya dengan Keris Empu Gandring dan sebelumnya dia kesankan sebagai milik KEBO IJO. dan Kebo Ijolah yang menjadi tertuduh.

Sama seperti di milis ini, apakah Roy Abimanyu sendiri yang langsung secara jantan dan terbuka menyerang saya?...ya tentu saja tidak, ini bukanlah gaya berpolitiknya Jawa yang berani bertempur berhadap-hadapan, untuk menghadapi saya yang yang terbiasa dengan gaya berkomunikasi terus terang dia bersembunyi di balik gaya ewuh pakewuhnya.

Sama seperti ken Arok yang memanfaatkan Kebo Ijo, untuk menghadapi gaya berkomunikasi terus terang saya Roy Abimanyu menggunakan orang seperti anda dan Dewa Gumay, yang seperti saya memiliki Gaya Komunikasi yang terus terang juga.


Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com

Jumat, 11 April 2008

Dialog Dengan Pemuja Jawa

Di Milis Pantau Komunitas saya melakukan diskusi dengan seseorang yang mengaku bernama Roy Abimanyu yang ide-idenya sangat dipenuhi semangat orde baru yang mengagungkan jawa dan anti keragaman, Roy Abimanyu sangat tidak bisa menerima ada orang yang mengurai sisi budaya Jawa yang tidak ingin dia ketahui, karena itu dengan bahasa provokatif yang pasif yang menyerang tapi menempatkan diri sebagai korban, dia menyerang tulisan saya tentang pernyataan menolak ALA sebagai tulisan yang berdasarkan prasangka dan sikap stereotip, yang kemudian setelah diurai dengan benar ternyata dia sendirilah yang dalam pandangannya berdasarkan sikap stereotip yang semata hanya berdasarkan PRASANGKA BURUK terhadap saya dan ORANG GAYO dan PRASANGKA BAIK terhadap JAWA.. kemudian Roy mencoba mengarahkan saya ke dialog berbau antropologi dan kemudian terbukti pula, ternyata dia pun sangat tidak menguasai bidang ilmu ini.

Berikut materi lengkap diskusi kami.

Roy : Bung Win Wan Nur, Saya cuma mendasarkan reasoning yang anda pakai, dan dari dasar itu saya berkomentar atas kalimat-kalimat yang anda pakai. Misalnya: "Jawa tidak militan", "Ini cuma persoalan raja kecil yang tersingkir."

Win Wan Nur : Bung Roy, Sebelumnya saya mohon maaf telah menggunakan bahasa yang tidak sepantasnya ketika menanggapi komentar anda yang lalu, harap anda maklum bahwa pilihan bahasa yang saya gunakan ketika saya menjawab komentar anda yang lalu, sebenarnya tidak lain hanyalah strategi komunikasi saya agar maksud saya bisa dipahami dengan jelas oleh konstituen saya.

Perlu anda pahami bahwa situasi psikologis yang dialami oleh masyarakat saya saat ini adalah adanya rasa INFERIORITAS AKUT, terhadap Jawa, karena alasan itulah kepada masyarakat saya, saya merasa perlu menunjukkan sisi lain bahwa kalau dalam satu sisi Jawa unggul, itu sebenarnya hanya dari satu sudut pandang, padahal kalau dipandang dari sudut lain Jawa juga memiliki kelemahan...inilah yang ingin saya tonjolkan.

Strategi komunikasi yang saya pilih ketika menjawab komentar anda semata berasal dari asumsi saya yang salah, ketika melihat cara pemahaman anda yang sangat dangkal terhadap isu ALA, saya langsung berkesimpulan bahwa anda bukan di Aceh karena saya lihat semua pendapat anda hanya berdasarkan pada teori yang kaku, anda sama sekali tidak paham situasi Aceh sebenarnya (kesimpulan ini tetap belum berubah meskipun sekarang saya sudah tahu anda ada di Banda Aceh), saya sangat sering berdiskusi dengan orang Non-Aceh yang hanya mengenal Aceh dari tulisan di milis, tapi kemudian langsung bersikap seperti anda yang tanpa memiliki pemahaman yang jelas sudah berani mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif yang memancing emosi.

Kenapa strategi komunikasi seperti itu yang saya pilih, ini karena mayoritas konstituen saya kurang beruntung dalam hal kemampuan memahami beberapa gaya komunikasi, sehingga kebanyanyakn konstituen saya tidak memiliki kemampuan untuk bisa memahami gaya berkomunikasi seperti milik anda yang untuk menyampaikan sedikit informasi dilakukan dengan cara berbelit-belit dan berliku liku berbungkus sopan santun dan basa basi yang seringkali bukan hanya mubazir tapi malah sering anda gunakan untuk memprovokasi secara pasif dengan menempatkan diri seolah-olah sebagai korban, mengaburkan inti permasalahan yang dibicarakan, memutar balikkan fakta atau menyamarkan kedangkalan informasi yang anda sampaikan . Karena itulah dalam mendeskripsikan pendapat anda dan tanggapan saya atas pendapat anda itu saya memilih gaya komunikasi yang TERUS TERANG.

Tapi perkembangan terbaru yang saya lihat, dengan langkah tepat yang dilakukan Irwandi saya melihat arah penyelesaian Isu ALA ini mulai mengarah ke jalur yang sama-sama kita harapkan yaitu pendekatan kekeluargaan, maka dengan perkembangan terbaru ini saya melihat konstituen sayapun tampaknya tidak lagi terlalu membutuhkan informasi yang TERUS TERANG dari diskusi saya dengan anda hari ini, jadi selanjutnya saya tidak berkebaratan untuk berkomunikasi dengan cara anda.

Baiklah sekarang kita kembali ke pokok bahasan kita.

Roy : Pertama, soal stereotip. Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa? Anda bisa sebut PKI, DI/TII, PRD, Jamaah Islamiyah. Semuanya punya kader orang Jawa dan semuanya punya "masa tempur" yang panjang. Kalau soal "disiram peluru", anda mungkin belum mendengar pengepungan Kandang Menjangan (markas kopassus) oleh warga (yangmayoritas Jawa dan tak punya senjata), "pertempuran" Semanggi I dan II di mana fakta lapangan justru menunjukkan jumlah mahasiswa yang bertempur lebih
sedikit daripada warga setempat yang terlibat "pertempuran", dan saya yakin ada juga Jawanya tidak punya senjata ataupun struktur bersenjata seperti GAM. Atau anda mau dengar cerita ketika kantor Golkar Jatim dibakar massa Gus Dur? Sama juga, "disiram peluru" tapi masih ngelawan.

Win Wan Nur : Soal stereotip dan pertanyaan anda "Apa yang bisa menjelaskan semua gerakan militan besar di Indonesia muncul juga di Jawa?"... pertanyaan anda ini tentu mudah sekali dijawab oleh siapapun juga yang bisa berpikir, pertanyaan anda itu bisa terjadi karena memang Jawalah yang paling punya akses terhadap Informasi, bahkan Jawa pulalah yang menjadi tempat pertama yang mendapat segala informasi dibanding daerah manapun di Nusantara, INFORMASI dari luar itulah yang menimbulkan semangat militansi itu BUKAN hasil konstruksi sosial BUDAYA JAWA. Sama juga seperti kasus-kasus lain yang anda sebut, itu hanya sebuah aksi insidental akibat beredarnya satu Informasi, sama sekali bukan terjadi karena adanya sikap militansi dalam diri orang Jawa yang dibentuk oleh konstruksi sosial, sebab seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya NILAI LUHUR BUDAYA JAWA tidak membentuk manusia yang memiliki sifat militan. Karena itulah sikap militansi di Jawa itu hanya bisa terlihat di permukaan saja, tidak mengakar.

Roy : Posisi saya bukan bermaksud membela Jawa

Win Wan Nur : Pada dasarnya sayapun tidak bermaksud menyerang Jawa, saya hanya menilai Jawa secara jujur. Kalau dalam tulisan sebelumnya saya terlihat seperti menyerang Jawa, itu semata terjadi karena Provokasi yang anda lakukan yang mengharuskan saya menjawab seperti itu.

Roy : Tapi saya agak risih mendengar: "karena konstruksi sosial Orang Jawa yang dibangun berdasarkan nilai-nilailuhur yang ada dalam budaya Jawa memang menciptakan manusia dengan kulturyang bangga menjadi seorang abdi dalem memang telah membuat orang Jawa tidak memiliki sifat militansi."

Win Wan Nur : Terus terang saya melihat penyebab dari risih-nya anda mendengar fakta jujur yang saya sampaikan tentang Jawa itu semata disebabkan karena secara psikologis anda sendiri memang sudah tidak netral dalam memandang Jawa, sebelum menerima pandangan OBJEKTIF saya, pikiran anda sudah lebih dulu anda isi dengan berbagai doktrin dan stereotip dalam konotasi positif tentang Jawa. Sebelum menerima informasi dari saya, kepala anda telah terlebih dahulu anda penuhi dengan segala informasi yang baik-baik tentang Jawa dan sebelum anda menerima menerima informasi dari saya, anda dengan sadar telah membentuk satu sikap resistensi terhadap segala sesuatu yang menurut anda Buruk dalam kaitannya dengan Jawa.

Roy : Kalau anda menggunakan term sosiologi "konstruksi sosial", saya rasa ini tidak bisa dianalogikan dengan bangunan (konstruksi) yang fondasinya sesuatu yang pasti. Karena "social constructs" sepengetahuan saya bukan berdasarkan nilai-nilai, tetapi dari praktik-praktik yang di kemudian hari dianggap "wajar" atau "benar".

Win Wan Nur : Saya bersepakat dengan anda soal pengertian "social constructs" dalam beberpa hal, tapi agak berbeda dalam hal lain, saya tidak pernah menganalogikan "konstruksi sosial"dengan bangunan (konstruksi) yang fondasinya sesuatu yang pasti , kesimpulan salah anda terhadap saya ini murni berdasarkan pada PRASANGKA BURUK anda terhadap saya, berbeda dengan pandangan anda yang mengebiri salah satu faktor "konstruksi sosial" yang tampaknya sengaja anda hindari, bagi saya "social constructs" itu berdasarkan pada nilai-nilai yang dalam bentuk kongkrit bisa dilihat dalam praktik-praktik yang di kemudian hari dianggap "wajar" atau "benar".

Saya sangat memahami ini makanya sebelum sampai pada kesimpulan bahwa "orang Jawa tidak memiliki sifat militansi", berkebalikan dengan PRASANGKA BURUK anda, saya sebenarnya sudah terlebih dahulu mendalami Budaya dan karakter Orang Jawa.

Dalam usaha ini saya mencoba memahami karakter orang jawa dengan mempelajari cerita-cerita atau legenda yang diceritakan turun temurun yang membentuk karakter seorang manusia Jawa, kurang lebih seperti cerita Malin Kundang di Minang yang diciptakan untuk melanggengkan kultur Matrilineal di Minang dan terbukti efektif untuk menjaga kultur itu tetap eksis sampai hari ini.

Saya memahami Jawa dengan mencoba memahami 'Wayang Purwa' yang merupakan mitologi asli Jawa, yang sudah eksis jauh sebelum kedatangan Hindu ataupun Buddha, yang nilai-nilai di dalam lakonnya terbukti tetap mempengaruhi kepribadian orang Jawa sampai hari ini.

Semua agama mulai dari Hindu, Buddha sampai Islam yang berkembang di Jawa tidak lepas dari sinkretisme mitologi ini, sinkretisme agama-agama ini adalah bercampurnya ide-ide ketiga agama tersebut dengan dengan mitologi asli Jawa tadi, makanya sampai hari inipun kita bisa menyaksikan sinkretisme dalam lakon-lakon Mahabarata dan Ramayana yang diimport dari India.

Dalam dua lakon terkenal asal India itu dalam versi Jawa , empat tokoh 'asli' dari Jawa jaman pra-Hindu tetap eksis, Tokoh sentral dari empat tokoh asli itu adalah Semar. Semar ini tidak punya orang tua karena dia lahirnya dari telor, dia juga tidak punya Istri tapi dia punya tiga anak Gareng, Petruk dan Bagong, keempatnya dikenal sebagai punakawan.

Dalam Mitologi Jawa, keempat Punakawan ini badut tapi sekaligus dewa, mereka ini kelakuannya sangat tidak sophisticated, meski mereka selalu eksis di dalam 'inner circle'-nya para elit, para Punakawan ini secara superior 'menjaga' para priyayi junjungan mereka dari bahaya tapi sekaligus secara inferior 'melayani' si priyayi.

Dalam pergelaran wayang purwa, mereka ini disukai oleh audiens tapi tidak ada satu pun dari si audiens itu yang sudi diidentifikasi atau
mengidentifikasikan diri mereka dengan keempatnya (siapa yang MAU jadi seperti si gemblung Semar, si hidung bulat Gareng, Petruk si Hidung panjang dan si pentet Bagong.)

Orang Jawa sendiri justru senang kalau diidentifikasikan sebagai salah satu priyayi di antara Pandawa Lima; bilang 'kowe kayak Arjuno' itu identik dengan bilang 'kowe ngganteng'; bilang 'kowe kayak Bimo' itu identik dengan bilang 'kowe kuat lan sehat'. Tapi dibilang 'kowe kayak Semar,Petruk, Gareng dan Bagong' sendiri adalah penghinaan.

Tapi semua orang Jawa sendiri rata-rata sepakat dengan sifat positifnya si Semar, yaitu 'bijak' padahal hidupnya si Semar sendiri gonta-ganti majikan terus. Implikasi sikap seperti ini terhadap orang Jawapun jelas, yaitu 'yang bijak itu berarti tidak fanatik/fixed dalam mengikuti sesuatu/seseorang'. Dan itu memang mentalitas tipikalnya masyarakat Jawa yang tidak mengenal militansi, dan rata-rata juga tidak setia.

Maka sekarang coba saudaraku Roy melihat Semar dan ketiga anaknya sebagai prototype masyarakat Jawa, maka andapun segera melihat dan segera mengerti kalau CARA-nya si Semar untuk survive adalah sebagai cara serta metode untuk survive ala Jawa.

Seperti Semar dalam moralitas mitologi itu, orang Jawapun dianjurkan untuk tidak fanatik terhadap satu priyayi, bahkan pindah-pindah kesetiaan pun diijinkan karena itu seperti Semar juga, mereka diajari cara untuk bisa survive dalam menghadapi bahaya besar perang Baratayuda.

Perkembangan ini bisa melibatkan proses penundukkan (dengan kekerasan), tekanan, bargaining, dan sekian banyak interaksi sosial yang terjadi baik secara fisik maupun mental.

Kuatnya pengaruh mitologi ala wayang Purwo ini terhadap orang Jawa modern secara gamblang dapat kita saksikan pada selera humor orang Jawa hari ini yang tidak berubah sejak zaman Pra-Hindu dulu.

Orang Jawa itu selera humornya tidak berubah dari sejak jamannya Semar diciptakan, yang saya maksud di sini 'cara' mereka memancing tawa, selalu dengan cara-cara bertingkah laku atau berdandan secara abnormal. Kalau abnormalnya para punakawan jelas kelihatan dari penampilan fisik mereka, sedangkan abnormalnya pelawak Jawa bisa dilihat seperti abnormalnya Tessi yang aslinya pria itu tapi tampil dan dandan pake daster misalnya yang jelas-jelas abnormal, atau Dono yang suka sekali memamerkan abnormalitas gimannya (gigi
mancung) buat mengundang tawa, begitu juga para pemain Srimulat lainnya entah itu Mamiek yang rambutnya dicat maksa, atau Gogon dengan model pangkas anehnya, asmuni dengan kumis sejumput, gepeng dengan kumis dua titik dan seterusnya, dan yang terakhir bukti tidak berubahnya selera humor orang Jawa sejak jamannya Semar diciptakan bisa dilihat dari fenomena meledaknya talk show empat matanya TUKUL ARWANA yang sukses karena menjual Abnormalitas tampang jelek dan gaya TUKUL yang sangat tidak sophisticated. PERSIS PUNAKAWAN.

Karena itulah Bung Roy, salah satunya berdasarkan atas pemahaman inilah maka saya berani mengatakan ORANG JAWA DASARNYATIDAK PUNYA MILITANSI, tentu bukan hanya faktor itu saja yang membuat saya sampai di kesimpulan Orang jawa tidak punya sifat militansi, ada banyak fakta-fakta lain yang saya temukan yang menguatkan kesimpulan saya tersebut, yang kalau saya tulis semua mungkin bisa dijadikan sebuah buku.

Roy : Norma, atau nilai-nilai, adalah bagian dari konstruksi sosial.

Win Wan Nur : Pernyataan anda ini betentangan dengan pernyataan anda sebelumya yang mengatakan "social constructs" sepengetahuan saya bukan berdasarkan nilai-nilai", pernyataan anda yang plintat-plintut ini adalah bukti lain kalau anda sebenarnya sama sekali tidak memahami apa yang anda tulis, cuma bahasanya saja yang anda buat mbulet dan melingkar-lingkar.

Roy : Karena itu, justru "nilai-nilai luhur budaya Jawa" yang merupakan konstruksi sosial. Sejauh mana ini merepresentasikan "Jawa" sebagai identitas, dipercayai sebagai karakter identitas "Jawa" dalam "imaginaries" orang Jawa dan non Jawa atas "Jawa", sejauh itulah representasi ini menjadi stereotip.

Win Wan Nur : Sejauh apa "nilai-nilai luhur budaya Jawa" merepresentasikan "Jawa" sebagai identitas di atas sudah saya jelaskan dengan gamblang. Dan kesimpulan saya tersebut seperti yang telah saya buktikan sama sekali bukan didasari atas prasangka, melainkan murni berdasarkan pengamatan Jujur saya atas Jawa, juga sama sekali bukan berdasarkan imajinasi seorang Non-Jawa apalagi kebencian terhadap Jawa. sebagaimana yang anda bayangkan dengan PRASANGKA BURUK ANDA terhadap saya.

Roy : Dan ketika membaca kalimat anda: "Konstruksi sosial yang telah menciptakan karakter Khas dalam diri masing-masing suku inilah yang menjadi alasan, kenapa Orang Minang atau Orang Cina selalu lebih sukses menjadi pedagang dibandingkan suku lain, konstruksi sosial ini pula yang membuat orang suku Jawa selalu menjadi yang paling sukses berkarir sebagai pembantu rumah tangga di belahan dunia manapun." Ini adalah contoh stereotip.

Win Wan Nur : Anda mengatakan itu contoh stereotip adalah karena ketika menilai pernyataan saya "raw data" yang anda miliki dalam memahami Jawa, Minang dan Cina sangat berbeda dengan "raw data" yang saya miliki, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Saya berani bilang seperti itu, karena saya sangat paham alasan kenapa laki-laki Minang cenderung pergi merantau, saya sangat paham kenapa laki-laki minang selalu punya motivasi yang lebih kuat dibanding suku manapun di Nusantara ini untuk sukses di perantauan, itu karena saya mempelajari faktor-faktor penyusun konstruksi sosial yang membentuk mereka. Saya juga tahu persis kenapa Orang Cina perantauan (Huaqiao) selalu cenderung lebih sukses dibanding suku manapun dalam hal apapun, baik itu perdagangan, pendidikan, musik bahkan Olah raga, saya tahu itu karena saya memahami orang Cina bukan cuma dari kulit luarnya, saya memahami kondisi psikologis orang Cina perantauan (Huaqiao), karena saya mempelajari filsafat yang membentuk kepribadian mereka, saya mempelajari budaya dan nilai-nilai yang membentuk kepribadian mereka, begitu juga dengan Jawa, saya memahami Jawa bukan cuma dari kulit luarnya.

Dasar yang kuat inilah yang menyebabkan semua pernyataan yang saya keluarkan selalu OBJEKTIF, itu karena semua pendapat itu didasarkan pada alasan yang kuat dan LOGIS, sebaliknya pendapat anda sangat rapuh karena hanya didasari oleh Prasangka, Stereotip dan Pemahaman yang sangat dangkal terhadap konstruksi sosial pembentuk masyarakat itu, inilah sebabnya kenapa pendapat yang anda keluarkan selalu hanya berupa tuduhan-tuduhan tidak jelas yang memancing emosi pembacanya.

Roy : Maaf saja, ini seperti membaca manual tentang masyarakat Indonesia yang diterbitkan almarhum Kolonel Juanda.

Win Wan Nur : Saya juga minta maaf karena tidak tahu pernah ada manual tentang masyarakat Indonesia yang diterbitkan almarhum Kolonel Juanda dan maaf juga ketika saya membaca bermacam pernyataan anda, saya kok merasa seperti sedang membaca propaganda Orde Baru yang sangat memuja dan mengagungkan Budaya Jawa yang Adi Luhung dan anti keberagaman itu.

Roy : Mungkin saya perlu jelaskan, dalam definisinya, prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Hanya saja, fakta itu digeneralisasi kemudiandijadikan identitas, adjektif atas semua orang yang berada dalam "golongan" tersebut. Saya yakin anda bisa mencari definisi yang paling tepat tentang stereotip, dan saya yakin definisi-definisi yang ada mencakup tentang "fakta yang digeneralisasi". Karena itu saya bisa berani bilang, orang Jawa bukan cuma abdi dalem, tapi juga ada yang jadi gali, kader komunis, teroris, dan manusia-manusia lainnya yang beratribut "militan".

Win Wan Nur : Saya sangat setuju dengan definisi anda, dan dasar pengambilan kesimpulan saya sangat jauh berbeda dengan definisi stereotip yang anda gambarkan.

Roy : Kedua, soal "interpretasi kolonial dan etnografi". Saya kira anda benar dalam menjelaskan bagaimana orang mengidentifikasi dirinya sebagai Aceh,Jawa, Sunda, Ambon, dst, di masa kini.

Win Wan Nur : jadi bisa dikatakan kita sepakat dalam hal ini.

Roy : Namun saya bicara tentang bagaimana mereka membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal. Adalah ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia.

Win wan Nur : Nah pernyataan anda ini adalah contoh yang paling tepat atas definisi anda bahwa prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Hanya saja, fakta itu digeneralisasi kemudiandijadikan identitas, adjektif atas semua orang yang berada dalam "golongan" tersebut.

Coba perhatikan dengan seksama cara anda mengambil kesimpulan di atas sini bukankah ini persis seperti definisi STEREOTIP yang anda gambarkan, perhatikan penilaian anda atas fakta bahwa prasangka dan stereotip memiliki basis fakta. Bukankah, fakta 'ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa' yang kemudian anda gunakan sebagai dasar untuk menyebut hasil kerja mereka secara general tidak valid" hasil dari sikap stereotip yang anda pakai dalam mengambil kesimpulan ini hanyalah pernyataan yang mengumbar kebencian dengan mengatakan "Adalah ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa yang meletakkan fondasi klasifikasi masyarakat-masyarakat di Indonesia" yang dengan dasar kebencian itu pula anda menolak seluruh kebenaran dalam hasil kerja mereka.

Nah kelihatan kan saya yang terbiasa mengambikl kesimpulan berdasarkan anggapan stereotip tapi sebaliknya terbukti, bahwa ternyata anda sendirilah yang sangat terbiasa mengambil kesimpulan dengan dasar Prasangka dan sikap stereotip seperti yang anda definisikan dan telah anda praktekkan dengan sempuran.

Berdasarkan fakta ini pula, saya kemudian menganggap kalau tuduhan anda kepada saya tentang basis pengambilan kesimpulan saya yang stereotip, sebenarnya hanyalah refleksi dari pikiran anda sendiri, yang tidak bisa keluar dari subjektifitas anda, yang merasa jika anda terbiasa berpikir stereotip tentu orang lain yang berdiskusi dengan andapun demikian....terbukti subjektifitas anda ini salah.

Maka pernyataan anda selanjutnya tentang "bagaimana suku-suku itu membedakan diri dengan etnis/suku lainnya, sesuatu yang jarang terjadi di masa pra-kolonial, feodal" otomatis tidak bisa diterima secara objektif karena terbukti pernyataan itu adalah subjektifitas anda sendiri.

Untuk membuktikan omongan anda itu cuma subjektifitas anda yang berdasarkan pandangan stereotip anda terhadap ilmuwan-ilmuwan yang dibiayai negara-negara imperial eropa, maka berdasarkan bangunan pikiran anda yang penuh prasangka itu tolong jelaskan pada saya, apakah menyingkirnya orang Gayo ke pegunungan akibat kedatangan bangsa-bangsa dari luar yang membentuk suku bangsa baru bernama Aceh, bukan sebagai satu bentuk kesadaran membedakan diri dengan etnis/suku lain, juga bagaimana terpisahnya Gayo dan Karo yang akar budayanya sama dan sama-sama proto melayu juga bukan sebagai satu bentuk kesadaran membedakan diri dengan etnis/suku lain?

Roy : Orang yang tinggal di Bogor, Purwakarta, Bandung dst dikategorikan Sunda, orang yang tinggal di semarang, solo, dst
dikategorikan jawa. Padahal kesamaannya lebih di bahasa, sementara adat-istiadatnya ternyata berbeda-beda, sistem politiknya juga berbeda-beda. Kategorisasi-kategorisasi ini pada gilirannya juga berdampak kepada identitas etnis-etnis tersebut, banyak "tradisi" pada kenyataannya adalah inovasi akhir abad 19 atau awal abad 20, yang kurang lebih berarti terpengaruh oleh penggolongan-penggolongan kolonial. Sebagai contoh, tak banyak orang yang tahu bahwa Tari Kecak adalah hasil koreografi abad 20, orang lebih banyak langsung mengkategorikan sebagai "tradisi" bali.

Win Wan Nur : Maaf kalau di sini saya terpaksa mengatakan bahwa pernyataan anda yang semakin dipenuhi prasangka dan pandangan STEREOTIP terhadap kolonial ini semakin mengaburkan objektifitas anda dalam berpikir dan maaf lagi kalau saya mengatakan pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL.

Bung Roy, upaya penglasifikasian manusia berdasarkan kategori etnik tidaklah sesederhana dan senaif prasangka anda yang anda gambarkan secara polos dalam pernyataan anda di atas. berdasarkan klasifikasi secara Antropologis yang benar, dalam pengklasifikasian manusia berdasarkan kategori etnik setidaknya harus ada tujuh faktor yang perlu dijadikan bahan pertimbangan yaitu : Bahasa, Sistem Teknologi, Sistem Ekonomi, Organisasi Sosial, Sistem Pengetahuan, Kesenian dan terakhir Sistem Religi.

Dalam urut-urutan proses melakukan klasifikasi etnik secara Antropologis inipun urutannya tidak boleh dibuat seenaknya dan segampangnya saja seperti yang anda lakukan, pengklasifikasian yang benar selalu dimulai dari yang paling nyata ke yang paling Abstrak, artinya dalam mengklasifikasikan suatu suku bangsa itu unsur yang paling pertama diurai selalu dimulai dari BAHASA lalu dilanjutkan dengan Sistem teknologi dan diakhiri dengan Sistem Religi, Jadi unsur kesenian yang seolah-olah perannya tampak begitu penting dalam pengklasifikasian versi anda yang penuh prasangka itu dalam pengklasifikasian Antropologis yang normal dan BENAR ada diurutan ke ENAM alias nomor dua terakhir.

Anda benar tentang Kecak itu, sebagaimana juga Kebaya yang sering dianggap hasil budaya Jawa juga sebenarnya merupakan hasil rancangan dari desainer eropa di abad ke 20. dan sebagaimana halnya Kecak, Kebayapun hanyalah ada di urutan ke ENAM dalam cara pengklasifikasian etnis yang benar.

Roy : Makanya, saya bilang, belum tentu 2000 tahun yang lalu ada orang Gayo di tanah Gayo. Di Eropa saja, setelah PD II rasanya tidak ada ahli sejarah berani mengatakan misalnya orang Jerman sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu di "tanah" Jerman.

Win Wan Nur : Saya tetap tidak mengerti maksud anda meletakkan angka 2000 tahun di sini, apa korelasi angka ini dengan Klaim kami SUKU GAYO atas TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI, saya sama sekali tidak paham angka 2000 tahun itu anda gunakan sebagai patokan apa.

Roy : Prancis sendiri sampai sekarang kesulitan apakah mereka bisa mengklaim wilayah-wilayah Galic sebagai asal muasal mereka, ketika
kebudayaan yang melahirkan kerajaan Perancis pertama kalinya bukanlah berasal dari suku-suku Galia.

Win Wan Nur : Makanya saya katakan pemahaman anda tentang ANTROPOLOGI dangkal sekali, bahkan bisa dikatakan nyaris NIHIL, membaca uraian anda yang sedangkal ini jelas sekali meskipun anda dengan penuh percaya diri bahkan sejak awal telah mengintimidasi dan menggoda saya dengan bersikap seolah-olah anda ini sangat paham tentang antropologi, tapi segera dengan jelas pula terlihat kalau ASLINYA anda tidak tahu apa-apa tentang Antropologi.

Jadi selanjutnya untuk melanjutkan diskusi kita ini, supaya diskusi ini lebih berkualitas tolong anda tingkatkanlah kualitas 'raw data" anda, sebelum berdiskusi kembali dengan saya tentang tema ini sebaiknya anda baca dululah buku antropologi yang paling dasar, paling enggak baca dululah Pengantar Ilmu Antropologi-nya Koentjaraningrat, bukunya ada kok di perpustakaan Unsyiah.

Bung Roy, kalau anda mempelajari dasar Antropologi, anda akan mudah memahami kalau apa yang melahirkan budaya Perancis yang membingungkan anda itu adalah sebuah proses biasa yang dalam istilah Antropologi disebut ASIMILASI, proses seperti ini pulalah yang telah membentuk SUKU BANGSA ACEH. dalam proses ini golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda saling bergaul langsung secara intensif dalam waktu yang lama sehingga membentuk satu ciri kebudayaan campuran yang kemudian membuat satu ciri kebudayaan baru yang khas, melalui proses inilah Bangsa Perancis dan Bangsa Aceh tercipta, proses asimilasi dalam bentuk yang lebih sederhana dan skala lebih kecil karena melibatkan lebih sedikit suku bangsa dapat anda saksikan di daerah yang secara geografis berada di perbatasan antara dua wilayah Budaya...Misalnya Cirebon yang merupakan perbatasan antara wilayah geografis Sunda dengan Wilayah Geografis Jawa, di sana anda bisa melihat adanya sebuah kebudayaan campuran hasil asimilasi antara Sunda dan Jawa yang menyangkut ketujuh aspek seperti yang telah saya uraikan sebelumnya.

Roy : Ide klaim kewilayahan sebagai hak yang terkait identitas pengelompokan masyarakat tertentu sebenarnya ide yang cukup baru.

Win Wan Nur : Maaf kalau sekali lagi saya terpaksa mengatakan pernyataan anda ini hanyalah pernyataan kosong yang berdasarkan prasangka , bukan Fakta, karena faktanya bahkan di zaman Fir'aun pun Musa sudah mengklaim Palestina sebagai tanahnya Bani Israel.

Roy : lebih banyak terinspirasi oleh narasi nasionalisme yang mulai marak di abad 17. Dan apalagi di nusantara ini, catatan tertulis tidak dimiliki oleh semua etnis/suku yang ada.

Win Wan Nur : Lagi-lagi anda hanya mendasarkan Klaim anda atas dasar PRASANGKA, abad ke 17 mana ada orang Aceh yang mengenal narasi nasionalisme ala Eropa, di Indonesiapun Narasi nasionalisme baru dikenal di awal Abad ke 20, tapi pada sekitar abad itupun meski tidak tercatat dalam sejarah tertulis sudah ada klaim-klaim atas tanah berdasarkan siapa yang lebih dahulu tinggal di sana, meskipun tidak tertulis tapi akibat dari konflik ini masih terasakan di Takengon hingga sekarang, yaitu Konflik UKEN-TOA.

Roy : Kalau anda lihat kalimat saya: "Sebenarnya, tidak ada yang bisa mengklaim pemilik sah sebuah tanah, dimanapun juga, hanya karena merasa sudah berada di tempat tersebut secara turun menurun." Saya di sini mau menunjukkan, penguasaan atas tanah yang turun temurun juga bukan tidak mungkin melalui penaklukan pemilik sah sebelumnya, yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja.

Win Wan Nur : Sekilas pernyataan anda memang ada benarnya, tapi berkebalikan dengan pendapat anda dengan bukti adanya penguasaan turun temurun itu adalah bukti nyata kalau TANAH tersebut adalah MILIK SAH suku bangsa yang menguasainya saat itu, keabsahan KLAIM MILIK SAH suku tersebut tidak berkurang meskipun bukan tidak mungkin KLAIM itu didapat melalui penaklukan pemilik sah sebelumnya,yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja.

Bung Roy, perlu anda pahami yang terjadi di Tanoh Gayo saat saya menulis jawaban atas komentar anda sebelumnya adalah sebuah usaha penaklukan oleh SUKU JAWA terhadap pemilik sah TANOH GAYO saat ini yaitu ORANG GAYO. Sama seperti yang dilakukan oleh Australia terhadap Aborigin, sama pseperti yang dilakukan Belanda Terhadap Indonesia.

Dan kalaupun spekulasi anda tentang kemungkinan Tanoh Gayo adalah hasil taklukan kami terhadap pemilik sah sebelumnya yang karena tidak ada catatan sejarah kemudian terhapus begitu saja, anda juga tentu tidak sebegitu naifnya berspekulasi kalau pemilik sah sebelumnya itu memberikan tanahnya dengan Sukarela kepada nenek moyang kami. Kalau spekulasi anda benar, tentu andapun menyadari kalau untuk mendapatkan Tanah ini Nenek Moyang kami tentu bertarung dan memperjuangkannya dengan susah payah.

Dengan memahami logika seperti ini andapun tentu mengerti, ketika kami merasa TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI itu mau dikuasai para pendatang dari Jawa, ya kamipun pemilik sah TANOH GAYO saat ini, mana mungkin mau menyerahkan tanah kami dengan Sukarela, saya yakin anda sangat mengerti tentang hal ini, karena kalau logika dasar seperti inipun terlalu sulit anda pahami, tentu saja akan sulit pula bagi kita untuk melanjutkan diskusi ini.

Roy : Ini sekaligus sebuah pertanyaan: Apakah ada yang berhak mengusir para keturunan transmigran Jawa, karena mereka bukan
"pemilik sah" tanah tersebut?

Win Wan Nur : Tentu saja ada, ya kami orang ACEH yang berhak melakukannya, hal itu berhak kami lakukan kalau kami merasa keturunan transmigran Jawa yang bukan "pemilik sah" tanah GAYO tersebut mulai berlaku kurang ajar terhadap kami PEMILIK SAH TANOH GAYO, ketika mereka dengan pongahnya menghadap Priyayi di tanah leluhur mereka sana dengan mengenakan BLANGKON, mengaku sudah jadi Mayoritas di TANAH KAMI dan mengklaim TANAH WARISAN MUYANG DATU KAMI sebagai Tanah mereka dan dengan lancang minta mendirikan provinsi baru dengan menggunakan bahasa KROMO INGGIL yang dalam budaya Jawa dipakai sebagai sikap menyerah dan mecerminkan sikap INFERIORITAS TOTAL.

Meskipun tentu saja IDE pengusiran seperti yang anda provokasi-kan ini adalah hal terakhir yang kami pilih, sejauh ini kami masih beranggapan, saudara-saudara Jawa kami tersebut hanya terprovokasi oleh Raja-raja kecil yang terancam kehilangan keuasaan.

Roy : Atau apakah ada yang berhak mengusir keturunan Tionghoa dari Indonesia karena mereka adalah pendatang?

Win Wan Nur : Ya tentu saja ada, bahkan sudah pernah dilakukan oleh Soekarno dan Seoharto dulu, di masa Soekarno mereka diusir ketika mereka tidak mau memilih jadi WNI dan di masa Soeharto mereka diusir ketika mereka diangap tidak mau melebur dengan suku bangsa asli pemilik SAH Bumi Nusantara ini.

Di luar Indonesia ada juga negara yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat negara sendiri di Tanah yang mereka Datangi...contohnya adalah NEGARA SINGAPURA, Australia dan Selandia Baru, di ketiga negara tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran yang tidak bebas menjalankan adat budaya maupun agama mereka, kami ORANG GAYO tentu saja tidak mau bernasib seperti para penduduk asli itu.

Di Indonesiapun juga begitu ada beberapa tempat yang yang membiarkan para pendatang ini ngelunjak dan membiarkan pendatang itu tidak menghormati penduduk asli, hasilnya pendatang itu berhasil membuat kekuasaan sendiri di Tanah yang mereka datangi, contohnya Medan, Lampung dan Pontianak di ketiga daerah tersebut penduduk asli pemilik sah tanah tersebut menjadi suku pinggiran, tapi kadang pembiaran seperti ini berakhir dengan Tragis seperti yang terjadi di SAMPIT, kejadian tragis di sana terjadi karena penduduk asli yang terus ditekan para pendatang dalam segala segi baik politik, ekonomi maupun sosial akhirnya tidak tahan dan meledaklah sebuah tragedi yang tentu sangat tidak kita inginkan terjadi di Bumi Aceh tercinta.

Roy : Soal Indonesia dan Belanda, seingat saya diskursusnya adalah "merdeka" dan elaborasi paling jauh tentang klaim kewilayahan yang populer, ya lagu Indonesia Raya ("...tanah airku, tanah tumpah darahku."). Dan yang mengelaborasi kedua hal ini, sangat terpengaruh oleh nasionalisme eropa. Jadi bukan soal klaim tanah, tapi yang diangkat adalah soal pembebasan nasional.

Win Wan Nur : Pernyataan anda makin lama makin mirip propganda Orde Baru, kalau bukan KLAIM atas TANAH, tanpa perlu memperdulikan kedua hal ini, sangat terpengaruh oleh nasionalisme eropa yang memang sama sekali nggak ada kaitan apapun dengan tuilisan tentang Klaim ini, maksud dari lirik "...tanah airku, tanah tumpah darahku." itu apa?

Roy : Ini jelas berbeda dengan soal asli dan pendatang...

Win Wan Nur : Apa bedanya?, kalau ini urusannya bukan soal asli dan pendatang, kenapa Belanda harus diusir?

Roy : Yang terakhir, saya memang gak tinggal di Tanah Gayo, saya tinggal di Banda Aceh. Andaikan saya bekerja meneliti di Tanah Gayo, sesuai dengan pendekatan geopolitik kritis yang pernah saya pelajari dulu, mungkin saya bisa berkomentar lebih baik.

Win Wan Nur : Memang sebaiknya inilah yang anda lakukan dan pelajari sedikit tentang antropologi, supaya analisa yang keluar dari pikiran anda itu lebih berkualitas, bukan cuma pernyataan-pernyataan yang penuh tuduhan dan prasangka seperti ini.

Roy : Bukan cuma bisa mengkritisi secara konseptual saja terhadap cara pandang anda (secara tertulis) atas masalah ALA dan
aktor-aktornya sangat dipenuhi stereotip dan spekulasi kasar.

Win Wan Nur : Tepat sekali itulah masalah anda, semua cara pandang anda (secara tertulis) atas masalah ALA dan aktor-aktornya sangat dipenuhi stereotip dan spekulasi kasar yang hampir seluruhnya berdasarkan pada PRASANGKA baik itu prasangka buruk terhadap saya dan Kolonialis yang sangat anda benci itu maupun PRASANGKA BAIK yang sangat berlebihan terhadap JAWA.

Roy : Anda terlalu beranggapan bahwa ini akibat raja-raja kecil, insting saya (bisa juga salah) mengatakan ada problem lain, seperti misalnya persepsi terjepit/terancam di kalangan etnis Jawa.

Win Wan Nur : Itu bukan anggapan saya Bung Roy, tapi itu adalah FAKTA, problem lain memang ada, problem diskriminasi etnis Aceh terhadap Gayo memang ada, tapi ini adalah hal wajar yang terjadi di daerah manapun, bahkan antar Fakultaspun dalam sebuah Universitas terjadi diskriminasi semacam ini, bahkan dalam satu ruangan kelas bahkan dalam satu keluarga, cuma semua problem lain menurut Insting anda itu, selama ini bukanlah PROBLEM, problem lain itu menjadi PROBLEM hanya karena dikipasi oleh raja-raja kecil tadi.

Persepsi terjepit/terancam di kalangan etnis Jawa juga ada karena dikompori oleh raja-raja kecil itu, makanya ketika Irwandi menawarkan solusi simpatik bukannya konfrontatif pasca aksi berblangkon ke Senayan kemarin, para pion etnis Jawa ini seperti mendapat guyuran air segar di tengah gurun.

Bisa anda bayangkan kondisi psikologis para kades itu saat ini, sekarang Pion-pion ALA ini secara moral dan psikologis sedang berada dalam titik terendah akibat HARGA DIRI yang telah mereka jual sedemikian murah ternyata sama sekali tidak menarik di mata para pejabat di Jakarta sana.

Saat berangkat dari Takengon dengan penuh rasa bangga dan harapan besar, merasa diri mereka adalah pejuang keutuhan NKRI, para kepala Desa ini membayangkan di Jakarta akan disambut bak Pahlawan tapi yang kenyataan yang mereka dapatkan ternyata berbanding terbalik dengan bayangan mereka sebelum berangkat, di Jakarta mereka malah ditolak mentah-mentah oleh Mendagri. ketika mereka kelaparan di Jakarta pun para kepala desa yang merasa diri mereka adalah para pejuang keutuhan NKRI ini mendapati, tidak ada pejabat NKRI yang mempedulikan nasib mereka.

Dalam situasi seperti ini Langkah konfrontatif dari Irwandilah yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu oleh orang-orang yang sangat berkepentingan di balik ALA ini, mereka berharap langkah konfrontatif dari Irwandi akan memnacing kemarahan pion-pion yang sedng terpuruk ini, kemudian timbul kerusuhan dan mereka punya alasan untuk minta Jakarta untuk mengirimkan tentara buat melindungi Pion-pion mereka. Sayangnya dalam permainan catur ini Irwandi tampaknya jauh lebih cerdas dibanding Raja-raja kecil ALA ini, Irwandi tidak terpancing dengan strategi Raja-raja kecil ALA ini, langkah yang diambil Irwandi justru semakin memojokkan posisi mereka. Dan kelihatan sekali kalau sekarang
kalau raja-raja kecil itu mulai panik.

Roy : Para raja kecil yang terjungkal itu memang bisa bagi-bagi uang, tapi uang belum tentu alasan satu-satunya orang bergabung dengan milisi, demo kepala desa ke Jakarta, ataupun terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang.

Win Wan Nur : Khusus untuk pernyataan ini, ini anda tuliskan asli berdasarkan atas PRASANGKA BURUK ANDA terhadap saya, saya sama sekali tidak pernah bilang Uang jadi alasan satu-satunya orang bergabung dengan milisi, demo kepala desa ke Jakarta, ataupun terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang, tolong tunjukkan satu kalimat saya yang menyatakan itu.

Menurut saya faktor terpenting bagai Kepala desa dan milisi itu justru bukan uang tapi karena raja-raja kecil itu memberikan rasa aman kepada para Milisi, kepala Desa maupun orang yang terlibat dalam pembunuhan massal di Atu Lintang, dan sebaliknya memberikan ancaman kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka, buktinya ya anda lihat sendiri dalam kasus Atu Lintang, kalau saat ini anda tinggal di Takengon, anda akan bisa merasakan sendiri bagaimana terancamnya orang yang tidak setuju ALA di sana, di Takengon tidak seorangpun yang berani terang-terangan mengatakan menolak ALA, karena kekuatan terbesar raja-raja kecil ini justru bukan uang tapi ANCAMAN.

Ancaman yang sedemikian besar Ini pula yang menjadi alasan kenapa teman-teman lain di FPPG memilih untuk bermain di belakang layar, ini pula yang menjadi alasan kenapa di FPPG cuma saya satu-satunya yang secara terbuka dengan identitas asli menyatakan menolak ALA.

Roy : Sekali waktu, mungkin anda di Banda Aceh, kita bisa banyak berdiskusi/berdebat di Solong.

Win Wan Nur : Dengan senang hati, kalau kebetulan saya ada di Banda Aceh, saya akan menemui anda dan berdiskusi di Solong tapi tentu saja hal itu hanya mungkin kita lakukan setelah anda memperkaya "raw data" anda dulu agar diskusi yang kita lakukan bisa menjadi sebuah diskusi yang berkualitas, bukan DEBAT KUSIR.

Wassalam

Win Wan Nur
www.gayocare.blogspot.com